Dlawabit (batasan-batasan) Takfir #7
(5) Di
antara kekeliruan-kekeliruan yang menyebar dalam masalah takfir:
Pembatasan sebab-sebab kekafiran pada kufur i’tiqadiy
Telah lalu –dalam definisi riddah–
penjelasan bahwa kekafiran itu terjadi dengan salah satu dari tiga
sebab: ucapan mukaffir (yaitu amal lisan), atau perbuatan
mukaffir (yaitu amal anggota badan), atau keyakinan
mukaffir (yaitu amalan hati) dan di antaranya keraguan.
Sebagian orang berpendapat bahwa tidak
ada kekafiran kecuali dengan keyakinan dan tidak seorangpun kafir dari
sisi amal, dan mereka memaksudkan dengan amal itu ucapan lisan dan
perbuatan anggota badan. Dan ini adalah pendapat yang rusak, sungguh
nash-nash syari’at telah menunjukan dan para ulama telah ijma terhadap
kekafiran orang yang mengucapkan ucapan-ucapan tertentu atau melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu atau meyakini keyakinan-keyakinan tertentu.
Dan bab-bab riddah di kitab-kitab fiqh sarat dengan contoh-contoh atas
hal itu, sehingga membatasi sebab-sebab kekafiran pada keyakinan mukaffir
saja adalah kesalahan yang keji…!
Di samping itu sesungguhnya para
penganut pendapat yang rusak ini mendapatkan isykal terhadap
diri mereka (yaitu) bahwa pemilik keyakinan mukaffir ini adalah
muslim dalam hukum dunia selagi dia tidak menampakkan keyakinannya, dan
kita tidak menghukumi dia kafir kecuali dengan sebab ucapan atau
perbuatan, sedangkan ini adalah apa yang diingkari para pemilik pendapat
ini.
Orang-orang yang berpendapat bahwa tidak
seorangpun kafir kecuali dengan sebab keyakinan, meskipun ungkapan
mereka berbeda-beda, akan tetapi ia itu kembali pada satu asal yaitu
persyaratan kufur hati untuk vonis kafir, sedangkan ini adalah ucapan
Ghulatul Murji-ah –sebagaimana yang telah lalu penjelasannya dalam
komentar terhadap ‘Aqidah Ath Thahawiyyah– yang menganggap kekafiran
hati yang diungkapkan terhadapnya dengan pengingkaran atau istihlal
dengan lisan sebagai syarat menyendiri untuk mengkafirkan dengan
sebab-sebab dosa yang mengkafirkan, padahal Murji-ah Fuqaha dan ahli
kalam menganggap kekafiran hati sebagai kemestian bagi takfir dengan
amalan-amalan zhahir yang mengkafirkan.
Inilah contoh-contoh para penganut
madzhab yang mengatakan bahwa tidak ada kekafiran kecuali dengan i’tiqad
(keyakinan):
(A) Syaikh
Al Albaniy dalam komentarnya terhadap matan (isi
inti) Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah, pada ucapan At Thahawiy (Dan kami
tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dengan sebab dosa selama
tidak menghalalkannya) Al Baniy berkata: “Sesungguhnya pensyarah Al
‘Aqidah At Thahawiyyah (menukil dari Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa
iman itu ucapan dan amalan yang bertambah dan berkurang, bahwa dosa apa
saja adalah kufur ‘amaliy bukan i’tiqadi, dan bahwa kekafiran menurut
mereka memiliki banyak tingkatan, kufrun duna kufrin seperti halnya iman
menurut meraka). (Al ‘Aqidah At Thahawiyyah Syarah Wa Ta’liq Al
Albaniy, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1398 H, hal 40-41).
Dengan merujuk kepada Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah karya
Ibnu Abil ‘Izz hal362-363 terbitan Al Maktab Al Islamiy
1403 H engkau mengetahui bahwa ia memaksudkan dengan kufur
‘amaliy: kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah.
Dan kesimpulan ucapan Al Albaniy bahwa dosa apa saja pelakunya tidak
dikafirkan selagi tidak menghalalkannya dengan penghalalan hati yang
bersifat keyakinan (Istihlal Qalbiy I’tiqadiy)–sesuai definisi
dia terhadap istihlal dalam referensi yang tadi diisyaratkan–
dan bila dia tidak menganggapnya halal, maka itu adalah kufur ashghar
dan terhadap hal ini kami memberikan komentar dengan ucapan kami:
Sesungguhnya Al Albaniy tidaklah
amanah dalam menukil dari Ibnu Abil ‘Izz, di mana ia
menyandarkan kepada Ibnu Abil ‘Izz bahwa ia berkata: (Bahwa dosa, dosa
apa saja adalah kufur ‘amaliy bukan i’tiqadiy),
padahal Ibnu Abil ‘Izz tidak pernah mengatakan ucapan ini, namun
sesungguhnya Ibnu Abil ‘Izz mensifati kufur ashghar (kufrun duna
kufrin) dengan kufur ‘amaliy. Dan tindakan ini bukanlah
tindakan pertama kali yang di dalamnya Al Albaniy melakukan manipulasi
dalam penukilan, di mana saya telah menuturkan dalam kitab saya (Al
‘Umdah Fi I’dadil ‘Uddah) pada bantahan saya terhadap syubhat
Al Albaniy, dia berkata di dalamnya: “Sesungguhnya kewajiban
terhadap pemerintah-pemerintah hari ini adalah sabar dan sibuk dengan
tarbiyyah, bukan memberontak terhadap mereka…”, telah saya
utarakan bahwa Al Albaniy berdalil untuk ucapannya ini dengan penukilan
dari ungkapan Ibnu Abil ‘Izz yang di dalamnya Al Albaniy melakukan
penggantian (ucapan), di mana Al Albaniy meletakkan kalimat (tarbiyyah)
dari dirinya sendiri sebagai pengganti dari kalimat (taubat) pada ucapan
Ibnu Abil ‘Izz. Dan ucapan Ibnu Abil ‘Izz ada di Syarhil Aqidah
At Thahawiyyah hal: 430 sedangkan nukilan yang dirubah ada
dalam ta’liq Al Albaniy terhadap matan Al ‘Aqidah At Thahawiyyah
hal: 47. Dan tahrif (pengrubahan) yang dilakukan Al
Albaniy dalam rangka membela pendapatnya ini adalah sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Hazmrahimahullah: (Dan
hendaklah orang yang membaca kitab kami ini mengetahui bahwa kami tidak
menghalalkan apa yang dianggap halal oleh orang yang tidak ada
sedikitpun kebaikan pada dirinya, berupa sikap penyandaran pada
seseorang suatu ucapan yang tidak pernah dia ucapkan secara tekstual,
meskipun ucapannya itu menghantarkan kepadanya, karena bisa jadi dia
tidak berkomitmen dengan apa yang dihasilkan ucapannya itu sehingga
terjadi kontradiksi. Maka ketahuilah bahwa menyandarkan kepada seseorang
baik dia itu orang kafir atau ahli bid’ah atau orang yang salah suatu
ucapan yang tidak pernah dia ucapkan secara tekstual adalah dusta
terhadapnya, sedangkan tidak halal berdusta terhadap (atas nama)
seorangpun”. (Al Fashl, Ibnu Hazm:5/33)
Adapun ucapan At Thahawiy (Dan kami
tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dengan sebab dosa selama
tidak menghalalkannya), maka telah lalu penjelasan maknanya yang shahih
menurut Ahlus Sunnah dalam komentar saya terhadap Al ‘Aqidah Ath
Thahawiyyah, dan bahwa yang dimaksud dalam ungkapan ini adalah dosa-dosa
yang tidak mengkafirkan seperti zina dan minum khamr yang mana Khawarij
menkafirkan dengan sebab hal itu. Dan telah saya nukil ucapan-ucapan
ulama dalam ungkapan ini dan tidak seorangpun mengatakan (sesungguhnya
dosa, dosa apa saja…) sebagaimana yang dikatakan oleh Al
Albaniy, bahkan justru Ibnu Abil ‘Izz telah mengatakan suatu yang
bertentangan apa yang disandarkan Al Albaniy kepadanya, beliau berkata:
“Oleh sebab itu banyak para imam menolak dari melontarkan ucapan bahwa
kami tidak mengkafirkan seorangpun dengan sebab dosa, akan tetapi
(seharusnya) dikatakan “kami tidak mengkafirkan mereka dengan setiap
dosa sebagaimana yang dilakukan Khawarij”. (Syarhul ‘Aqidah Ath
Thahawiyyah hal: 355/356) ini adalah ucapan pensyarah –Ibnu
Abil ‘Izz–) maka amatilah perbedaannya…!!
Ucapan pensyarah bahwa banyak para imam
menolak dari melontarkan ucapan “bahwa kami tidak mengkafirkan
seorangpun dengan sebab dosa”, saya berkata di antara mereka adalah Ahmad
Ibnul Hanbalrahimahullah dalam apa yang dinukil Al
Khallal darinya beliau berkata: “Telah mengabari kami Muhammad
Ibnu Harun bahwa Ishaq Ibnu Ibrahim telah mengabari mereka: Saya
menghadiri seorang laki-laki yang bertanya kepada Abu Abdillah, dia
berkata: “Wahai Abu Abdillah, ijma kaum muslimin terhadap iman kepada
qadar, baik dan buruk?”, Abu Abdillah berkata: “Ya”, Ia bertanya lagi:
“Dan kita tidak mengkafirkan seorangpun dengan dosa?”, maka Abu Abdillah
berkata: “Diam, barangsiapa meninggalkan shalat maka dia telah kafir
dan barang siapa mengatakan Al Qur’an itu makhluk maka dia itu kafir” selesai.
(Al Musnad, karya Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal, dengan Tahqiq
Ahmad Syakir: 1/79), dan Al Bukhari membuatkan
bab bagi masalah ini dalam Kitabul Iman dari Shahih-nya
dalam bab (Maksiat-maksiat adalah termasuk urusan jahiliyyah, dan
orangnya tidak dikafirkan dengan sebab melakukannya kecuali dengan sebab
syirik) dan beliau tidak mengatakan “Dan tidak dikafirkan kecuali
dengan istihlal” karena ucapannya “dengan sebab syirik”
mencakup istihlal dan hal-hal mukaffir lainnya. Dan
ini tergolong kejelian pandangan Al Bukhariy rahimahullah. Dan
rincian ini telah lalu pada ucapan saya dalam menjelaskan perbedaan
antara dosa-dosa yang dalam takfir dengannya disyaratkan si pelakunya
itu mengingkari atau menghalalkan dosa-dosa yang tidak disyaratkan hal
itu di dalamnya. Dan di sana telah saya sebutkan bahwa wajib merujuk
kepada masalah ini saat membicarakan kekeliruan-kekeliruan takfir, maka
silahkan merujuknya. Dan saya telah menyebutkan di dalamnya bahwa
pemilahan antara dua macam dosa ini adalah tsabit (terbukti)
berdasarkan Al Kitab As Sunah dan Ijma sahabat. Dan adapun Al Albaniy
maka dia tidak membedakan di antara keduanya, maka justru dosa, dosa
apa saja –sebagaimana yang dia katakan– adalah kufur ‘amaliy
dan si pelakunya tidak dikafirkan kecuali bila dia menghalalkannya
dengan penghalalan hati. Jadi dia itu tidak menyebutkan maksud Ahlus
Sunnah dengan ungkapan ini (Kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun
dengan sebab dosa besar), dan dia juga tidak menukil ucapan Ibnu Abil
‘Izz di dalamnya dengan penukilan yang shahih. Dan telah lalu dalam
komentar saya terhadap ucapan Ath Thahawiy (Dan seorangpun tidak
dikeluarkan dari al Iman kecuali dengan juhud (pengingkaran)
apa yang memasukkan dia di dalamnya) penjelasan bahwa menjadikan juhud
(pengingkaran) –dan yang semakna dengannya adalah istihlal
sebagaimana yang telah lalu penjelasannya– sebagai syarat tersendiri
untuk takfir dengan sebab doa-dosa yang mengkafirkan, ia adalah pendapat
Ghulatul Murji-ah yang telah dikafirkan salaf sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Taimiyyah (Majmu Al Fatawa 5/205 dan 209),
dan pendapat ini lebih busuk daripada pendapat Jahmiyyah yang
mengatakan bahwa orang yang telah ditegaskan kekafirannya oleh Allah,
maka ia itu kafir dalam hukum-hukum dunia dan boleh jadi dia itu mu’min
secara batin.
Jadi kesimpulan ucapan Al Albaniy adalah
ucapan Ghulatul Murji-ah, karena dia mensyaratkan istihlal
i’tiqadiy (penghalalan yang bersifat keyakinan) untuk mengkafirkan
dengan sebab dosa apa saja tanpa membedakan antara dzunub mukaffirah
(dosa-dosa yang mengkafirkan) dengan dzunub ghair mukaffirah
(dosa-dosa yang tidak mengkafirkan).
Dalam ucapan Al Albaniy yang lain, dia
membatasi kekafiran pada pengingkaran (juhud), dan itu pada
ucapannya (Akan tetapi saya katakan sesungguhnya vonis terhadap
orang-orang yang berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan,
baik keberhukuman mereka itu menghantarkan mereka kepada kekafiran yang
total atau (kepada) kufur ‘amaliy adalah sama sekali tidak
penting bagi kita, masalah ini antara dua keadaan. Sekarang dari sisi
‘aqidah, siapa sebenarnya yang kafir di sisi Allah maka dialah yang
mengingkari apa yang telah Allah syari’atkan). Selesai dari kitab (Hayatul
Albaniy Wa Atsaruhu, karya Muhammad Ibrahim Asy Syaibaniy, terbitan Ad
Dar As Salafiyyah 1407: 2/518).
Bila Al Albaniy mensyaratkan istihlal
atau ingkar untuk takfir, maka apa yang dia sisakan bagi orang semacam Muhammad
Mutawwaliy Asy Sya’rawiy yang berkata dalam kitabnya
Anta Tas-alu Wal Islam Yujib: “Orang mana saja bagaimanapun
ilmunya tidaklah mampu bersikap lancang terhadap orang yang menyatakan Laa
ilaha illallah dan dia berkata tentangnya: “Sesungguhnya ia
kafir”, boleh mengatakan: “Sesungguhnya dia tidak komitmen dalam
pengamalannya terhadap urusan-urusan agama.” Saya katakan pada mereka:
“Apakah orang yang mereka vonis dengan hal itu tidak menerapkan
hukum-hukum Allah karena pengingkaran atau karena malas… Bila dia malas,
maka kita memberinya kesempatan sampai hari terakhir dalam kehidupannya
dan kita tidak mengkafirkannya. Dan adapun bila dia mengingkari
hukum-hukum ini, maka kekafiranya itu bukanlah karena dia tidak taat,
akan tetapi karena dia mengingkari hukum-hukum ini”. Selesai,
dinukil dari kitab (Asyharu Qadlayal Ightiyalat As Siyasiyyah,
karya Muhammad Kamil Al ‘Arusiy, terbitan Dar Az Zahra Lil I’lam 1989 M
hal: 635-636).
Dan apa saja yang dituturkan Asy
Sya’rawiy ini adalah agamanya yang dia pelajari di Al Azhar,
sedangkan pegangan mereka dalam hal itu adalah (Syarah
Jauharatit Tauhid, karya Al Baijuriy), di mana tentang amalan
apakah ia syarat dalam keabsahan iman ataukah bukan, Al Baijuriy
berkata: “Dan ini adalah syarat kesempurnaan menurut pendapat yang
terpilih di Ahlus Sunnah, barangsiapa yang mendatangkan amalan, maka ia
telah meraih kesempurnaan, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka dia
itu mu’min, akan tetapi telah menyia-nyiakan kesempurnaan atas dirinya,
bila hal itu tidak disertai istihlal, atau pembangkangan
terhadap Allah atau keraguan akan pensyari’atannya, dan kalau tidak
demikian, maka dia itu kafir sesuai apa yang telah diketahui secara
pasti dari dien ini”. Selesai. (Tuhfatul Murid Syarah Jauharatit
Tauhid hal: 45)
Sedang ucapannya “…di Ahlus Sunnah…”
memaksudkan Asya’irah (Asy‘ariyyah) sebagaimana nama yang mereka
sandangkan kepada diri mereka, sedangkan engkau telah mengetahui
sebelumnya bahwa Asya’irah mengkafirkan dengan sebab dzunub
mukaffirah. Lahir dan batin mereka dalam hal itu sama dengan Ahlus
Sunnah dan Murji-ah fuqaha, namun sesungguhnya Asya’irah dan Murji-ah
Fuqaha mengatakan: Bahwa pendatangan seseorang akan dzunub
mukaffirah adalah tanda bahwa ia itu mengingkari
atau menghalalkan dengan hatinya yaitu mendustakan dengan hatinya,
karena juhud (pengingkaran) dan istihlal (penghalalan)
itu tempat kembalinya adalah pada takdzib (pendustan)
sebagaimana yang telah lalu dijelaskan. Adapun orang-orang muta’akhirin
semacam Al Albaniy dan Asy Sya’rawiy maka mereka itu malah
menjadikan juhud dan istihlal itu sebagai syarat yang
berdiri sendiri untuk takfir dan mereka tidak mengetahui maksud
orang-orang terdahulu dalam tulisan-tulisan mereka, sehingga
dengan hal itu jadilah mereka penganut paham Ghulatul Murji-ah.
Maka sesungguhnya saya banyak
menghati-hatikan banyak pemuda yang taqlid kepada Al
Baniy karena mereka menduga bahwa dia itu menganut paham Ahlus Sunnah
dalam masalah-masalah ini –yaitu masalah iman dan kufur–, padahal
sungguh telah jelas bahwa pendapatnya itu adalah pendapat Ghulatul
Murji-ah yang membatasi kekafiran pada juhud dan istihlal
dan mereka menganggap hal itu sebagai syarat tersendiri untuk takfir
dengan sebab dzunub mukaffirah (dosa-dosa yang mengkafirkan)
dengan sendirinya, namun demikian Al Baniy ini masih selalu mengajak
kepada pembenahan Aqidah dan pemurnian turats
(peninggalan –rujukan– Islam) sebagai mana yang ia sebutkan di
muqaddimahnya terhadap kitab (Mukhtashar Al ‘Uluww) karya Adz
Dzahabiy, dan sebagaimana yang dinukil darinya oleh Muhammad
Ibnu Ibrahim Asy Syaibaniy dalam kitabnya (Hayatul Albaniy Wa Atsaruhu),
maka apakah pendapat dia dalam al iman dan al kufru –yang mana ia
adalah masalah-masalah agama yang paling penting– sejalan dengan
ajakannya untuk membenahi ‘aqidah…???
Demikian juga saya mentahdzir dari
pendapat-pendapat Al Baniy yang syadz (ganjil/nyeleneh)
dalam masalah-masalah fiqh karena dia memiliki manhaj (metode) yang syadz
dalam berdalil dan dalam istinbath (pengambilan kesimpulan
hukum) yang akan saya isyaratkan Insya Allah ta’ala di dalam mabhats
ke tujuh[1]
yang khusus tentang pengkajian fiqh dan dalam mabhats ke
delapan saat pembahasan saya tentang Ahkamul Hijab[2].
Dan kami juga memiliki komentar terhadap takhrij-takhrij
hadits yang dilakukan Al Baniy[3]
di mabhats ke empat Insya Allah.
♦ Masih tersisa satu masalah penting
yang sepantasnya diingatkan terhadapnya sebagai koreksi terhadap ucapan
Al Albaniy: “Sesungguhnya dosa, dosa apa saja, adalah kufur amaliy bukan
‘itiqadiy” yaitu tahdzir dari sikap membaurkan antara kufur amaliy
dengan kufur bil ‘amal, dengan (penjelasan Al Albaniy) yang
membuat ada kesan bahwa keduanya adalah sama.
Kufur ‘amali dalam
ucapan-ucapan ulama dilontarkan dan dimaksudkan dengannya kufur ashghar
yang tidak mengeluarkan dari millah atau kufrun dunna kufrin. Ibnul
Qayyimrahimahullah berkata: “Iman ‘amaliy adalah
lawan kufur ‘amaliy, sedangkan iman i’tiqadiy lawannya adalah kufur
i’tiqadiy. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah
menyatakan apa yang kami katakan ini dalam sabdanya di hadits shahih: “menghina
orang muslim adalah kefasiqan sedangkan memeranginya adalah kekafiran”,
beliau membedakan antara memeranginya dengan menghinanya dan beliau
menjadikan salah satunya sebagai kekafiran, ini tidaklah mengeluarkan
dari lingkungan millah Islamiyyah secara total, sebagaimana,
pezina, pencuri dan peminum tidak keluar dari Islam walaupun lenyap
darinya nama iman”. (Ash Shalat: 26).
Syaikh Hafizh Hakamiy rahimahullah
berkata: “Kufur itu ada dua: kufur akbar
yang mengeluarkan secara total dari iman, yaitu kufur i’tiqadiy
yang menafikan (meniadakan) ucapan hati dan amalnya atau salah satunya.
Dan kufur ashghar yang menafikan kesempurnaan iman dan
tidak menafikan muthlaqul iman (inti iman), yaitu kufur
‘amaliy yang tidak mengugurkan ucapan hati dan amalnya serta tidak
memestikan itu”. (A’lamus Sunnah Al Mansyurah: 80, Terbitan
Darun Nur di Jerman 1406 H.)
Dan Hafizh Hakamiy
berkata pula: “Apa kufur ‘amaliy yang tidak mengeluarkan dari
millah?, ia adalah setiap maksiat yang dinamakan oleh Pembuat syari’at
sebagai kekafiran, namun nama iman masih melekat pada pelakunya”.
(Referensi yang sama: 82). Ini adalah kufur ‘amaliy.
Adapun kufur bil ‘amal (kufur
dengan sebab amalan): maka ia adalah ‘amal (ucapan-ucapan lisan
dan perbuatan anggota badaan) yang mana pelakunya menjadi kafir dengan
kufur akbar. Ibnul Qayyim berkata:
“Sebagaimana ia menjadi kafir dengan sebab mendatangkan kalimat
kekafiran dalam kondisi ikhtiyar (tidak dipaksa) sedangkan ia
adalah suatu cabang kekafiran, maka begitu juga ia menjadi kafir dengan
sebab melakkukan suatu cabang kekafiran, seperti sujud kepada berhala
dan menghina mushhaf”. (Ash Shalat: 24).
Dan beliau berkata juga: “Adapun kufrul
‘amal, maka ia terbagi menjadi apa yang menohok iman dan apa yang
tidak menohoknya, sujud kepada berhala, menghina mushhaf, membunuh Nabi
dan menghinanya adalah menohok iman” (Ash Shalat: 25)
Syaikh Hafizh Hakamiy
berkata “Pertanyaan: Bila dikatakan kepada kita apakah sujud kepada
berhala, menghina Kitabullah, melecehkan Rasul dan memperolok-olok agama
serta yang serupa dengannya ini termasuk kufur ‘amaliy secara
dlahir, maka kenapa ia mengeluarkan dari dien sedangkan kalian telah
mendefinisikan kufur ashghar dengan ‘amaliy? Jawabnya: Ketahuilah, bahwa
yang empat ini dan apa yang sejenis dengannya bukanlah termasuk kufur
‘amaliy kecuali dari sisi keberadaanya terjadi dengan amalan
anggota badan dalam apa yang nampak di hadapan manusia, akan tetapi ia
tidak terjadi kecuali beserta lenyapnya amal hati berupa niatnya,
ikhlasnya, kecintaan dan ketundukannya sehingga tidak tersisa dari hal
itu sedikitpun bersamanya. Jadi meskipun secara dlahir ia adalah
bersifat ‘amal akan tetapi ia mengharuskan bagi kufur i’tiqadiy
secara pasti –sampai ucapannya– Dan kami tidak mendefinisikan kufur
ashghar dengan ‘amaliy secara muthlaq, namun
dengan ‘amaliy murni yang tidak memestikan i’tiqad serta tidak
menggugurkan ucapan dan amalan hati”. (A’lamus Sunnah Al
Mansyurah,hal: 83). Ini adalah kufur dengan
amal, berupa ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan.
Dan dari itu jelaslah bahwa kufur
‘amaliy yaitu kufur ashghar adalah berbeda dengan
kufur bil ‘amal (kafir dengan sebab amal yang mana ia adalah
kufur akbar yang terjadi dengan ucapan lisan atau perbuatan anggota
badan).
Saya mengajak para ulama dan para
pencari ilmu dimasa sekarang dan setelahnya agar tidak menggunakan
istilah kufur amaliy dan agar mereka menggunakan sebagai pengganti dari
istilah-istilah yang berasal dari salaf yang semakna dengannya, karena
dua sebab:
Pertama: Bahwa ia adalah istilah yang baru yang
digunakan orang-orang muta’akhirin dan tidak muncul dari salaf
yaitu sahabat dan tabi’in. Sedangkan yang bersumber dari salaf tentang
penyebutan kufur ashghar adalah istilah (kufur yang tidak memindahkan
dari millah) dan istilah (kufrun duna kufrin) sedang ia adalah yang
dituturkan oleh Al Bukhariy dalam Kitab Iman
dari Shahih-nya serta istilah (kufrun
nikmat).
Ke dua: Bahwa penamaan kufur ashghar dengan kufur
‘amaliy adalah memberikan image bahwa tidak seorangpun
kafir dari sisi ‘amal dan bahwa tidak ada kekafiran kecuali dengan
i’tiqad, sedangkan ini adalah madzhab Murji-ah, akan tetapi orang-orang
mutaakhirin ini adalah lebih buruk dari Murji-ah, karena sesungguhnya
Murji-ah mengatakan: Sesungguhnya amalan-amalan dlahir yang mengkafirkan
adalah tanda bahwa terhadap kekafiran bathin yaitu kekafiran i’tiqad,
dan mereka komitmen bahwa orang yang divonis kafir oleh Allah adalah
kafir lahir dan bathin, sedangkan Ahlus Sunnah berkata: Sesungguhnya
amalan-amalan zhahir yang mengkafirkan adalah kekafiran dengan
sendirinya dan memastikan akan kekafiran bathin, sebagaimana yang
dikatakan Hafizh Hakamiy: “Ia meskipun secara zhahir
(lahir) adalah bersifat amal akan tetapi ia itu mengharuskan bagi kufur
i’tiqadi secara pasti”, dan itu dikarenakan bahwa orang yang telah
divonis kafir oleh Allah dengan sebab ucapan atau perbuatan maka ia itu
harus terbukti kafir secara lahir dan bathin. Dan penjelasan ini telah
lalu dalam catatan terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah. Adapun orang
mutaakhirin, maka mereka mengatakan: Tidak ada kufur kecuali dengan
keyakinan (dengan bentuk) pengingkaran atau istihlal, adapun maksiat
yang dia lakukan sebagaimana yang dikatakan Al Albaniy: (Sesunguhnya
dosa, dosa apa saja, adalah kufur ‘amaliy bukan i’tiqadiy). Maka
menamakan kufur ashghar dengan kufur amaliy dan menamakan kufur
akbar dengan kufur i’tiqadiy, adalah memberikan kesan
bahwa tidak seorangpun menjadi kafir dari sisi amal, sebagaimana ia
memberikan image bahwa kufur akbar itu hanyalah kufur
i’tiqadiy. Sedangkan telah lalu dalam definisi riddah bahwa
kekafiran itu terjadi dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan, dan
bahwa keyainan itu tidak diberikan sanksi dengan sebabnya pada
hukum-hukum dunia, kecuali bila telah tampak dalam ucapan ataupun
perbuatan. Dan dengan hal itu sebab-sebab kufur akbar–dalam hukum dunia–
terbatas pada ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan,
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyahrahimahullah:
“Dan secara umum barangsiapa mengucapkan atau melakukan sesuatu yang
merupakan kekafiran, maka ia kafir dengan hal itu meskipun tidak
bermaksud untuk menjadi kafir” (Ash Sharimul Maslul: 177-178).
Dalam masalah ini silahkan merujuk juga
kepada apa yang dituturkan Asy Syaukaniy dalam kitabnya
Ad Durr An Nadlid hal: 49 tebitan Darul Quds di Shan’a
dalam bantahan terhadap Ash Shan’any, dan apa yang
ditulis oleh Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ad Dien Al
Khalis: 4/87-92, terbitan Maktabah Darut Turats di Kairo. Dan SyaikhMuhammad
Basyir As Sahsuwaniy Al Hindiy terhadap Ahmad Zaini Dahlan
mufti Makkah dalam sikapnya membedakan antara kufur amal dengan kufur
i’tiqad dan pendapatnya bahwa kufur amal itu selalu kufur ashghar, dan
itu dalam kitabnya Shiyanatul Insan ‘An Waswasatisy Syaikh
Dahlan hal: 367-368, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyyah di Kairo
1410 H.
Kesimpulannya: Bahwa saya
menghati-hatikan dari pembauran antara kufur amaliy dengan kufur bil
‘amal, sebagaimana saya mengajak untuk tidak menggunakan istilah
kufur ‘amaliy dan menggantinya dengan kufur ashghar atau kufrun
duna kufrin dalam rangka melenyapkan kekaburan dalam hal ini.
Ini semua berkenaan dengan komentar
terhadap ucapan Al Albaniy.
(B) Di
antara orang yang membatasi kekafiran dengan i‘itiqad: adalah Salim
Al Bahansawiy dalam kitabnya (Al Hukmu Wa Qadliyyatu
Takfiril Muslim hal: 171), dia berkata: “Sesungguhnya
orang-orang yang meminta pertolongan kepada orang-orang shalih yang
sudah mati dengan cara menyeru mereka atau tawassul dengan
mereka kepada Allah untuk memenuhi kebutuhan tidaklah meyakini kemampuan
orang-orang yang sudah mati terhadap pengaturan urusan, oleh sebab itu
maka memvonis mereka kafir adalah penyimpangan dari pemahaman hukum
Islam, dan berarti lebih utama lagi orang yang menghukumi keimanan
mereka itu tidaklah menjadi kafir dengan klaim bahwa ia tidak
mengkafirkan orang kafir -sampai ucapannya- sungguh mereka telah
mengatakan bahwa penyeruan orang-orang shaleh itu tidaklah disertai
keyakinan bahwa mereka memiliki madlarrat dan manfaat, akan
tetapi atas dasar bahwa mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka lagi
diberi rizqi dan mereka berdo’a kepada Allah, sedang keberadaan mereka
mendengar dan berdo’a itu tidaklah diingkari oleh seorangpun”. Selesai.
Penulis ini tidak membedakan tauhid
rububiyyah dengan tauhid uluhiyyah, di mana keyakinan orang-orang itu
bahwa tidak ada yang mampu terhadap pengurusan urusan kecuali Allah
adalah termasuk tauhid rububiyyah. Adapun do’a mereka kepada selain
Allah, maka ini adalah menggugurkan tauhid uluhiyyah, yaitu pengesaan
Allah ta’ala dengan seluruh ibadah yang di antaranya do’a, sehingga
mereka itu menjadi kafir dengan sebab mereka mengerjakan apa yang
membatalkan tauhid uluhiyyah meskipun mengakui tauhid rububiyyah.
Keadaan yang disebutkan Al Bahansawiy
ini adalah keadaan ahli Jahiliyyah yang telah dikafirkan Allah dan
diperangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di
mana kaum jahiliyyah itu menyeru berhala-berhala dan bertawassul dengan
mereka, padahal mereka itu meyakini bahwa pengaturan urusan hanya di
Tangan Allah sebagaimana yang telah Allah jelaskan keadaanya dalam
firman-Nya ta’ala:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ
السَّمَاءِ وَالأرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَمَنْ
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ
وَمَنْ يُدَبِّرُ الأمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلا تَتَّقُونَ
(٣١)
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi
rizqi kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati
dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?”. Maka
mereka akan menjawab: “Allah” maka katakanlah: “mengapa kamu tidak
bertakwa (kepada-Nya)?”(Yunus: 31).
Sungguh mereka itu mengakui akan tauhid
rububiyyah, akan tetapi mereka berbuat syirik dalam ibadah. Dan
ayat-ayat yang semakna dengan ini adalah banyak…
Adapun ucapan Al Bahansawiy bahwa mereka
maksudnya para pelaku syirik itu tidak meyakini madlarrat dan manfaat
pada orang-orang mati itu, maka ia adalah dusta, justru mereka itu
meyakini hal itu pada diri mereka dan seandainya tidak karena itu,
tentulah tidak akan menyeru mereka (orang yang sudah mati itu,ed.).
Allah ta’ala berfirman:
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ
الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا
نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ
يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا
يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (٣)
“Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Sesunggguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang
mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki
orang-orang pendusta dan sangat kafir.” (Az Zumar: 3).
Allah mendustakan mereka pada ucapannya
bahwa mereka mendekatkan diri dengan mereka itu pada Allah, karena
mereka tidak melakukan hal itu kecuali kerena mereka meyakini madlarrat
dan manfaat pada diri mereka dan oleh sebab itu mereka menyembahnya
dengan do’a dan yang lainnya.
Al Imam Shan’aniy rahimahullah
berkata: “Bila kamu berkata: “Orang-orang quburiyyun mengatakan kami
tidak menyekutukan Allah ta’ala dan tidak menjadikan tandingan bagi-Nya,
sedangkan bersandar kepada para wali dan meyakini pada diri mereka
bukanlah kemusyrikan.” Maka saya katakan: “Ya (mereka mengatakan dengan
mulut mereka apa yang tidak ada di hati mereka), dan ini justru
kebodohan mereka terhadap makna syirik karena pengagungan para wali dan
penyembelihan hewan untuk mereka adalah syirik, dan Allah ta’ala
berfirman, “Maka dirikanlah shalat karena tuhanmu dan berkorbanlah”
yaitu tidak kepada selainnya sebagaimana yang ditunjukan dengan
pengedepanan tujuan, dan Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya
masjid-masjid itu kepunyaan Allah maka janganlah kamu
menyembah seorang pun di dalamnya disamping (menyembah) Allah.” Dan
engkau telah mengetahui dengan uraian yang telah kami utarakan bahwa
Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam telah menamakan riya’ sebagai
syirik, maka bagaimana dengan apa yang kami sebutkan? sedang apa yang
mereka lakukan terhadap wali-wali mereka ini adalah justru apa yang
dilakukan kaum musyrikin dan dengan sebabnya mereka menjadi musyrik,
serta tidaklah bermanfaat bagi mereka ucapan mereka”. Kami tidak
menyekutukan sesuatupun dengan Allah” karena perbuatan mereka telah
mendustakan ucapan mereka” (Thathirul I’tiqad Ash Shan’aniy:
23-24)
Apa yang dituturkan Al Bahansawiy ini
adalah apa yang dijadikan udzur (alasan) lawan-lawan dakwah Syaikhul
Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab bagi ‘Ubbadul Qubur, (yaitu) bahwa
mereka itu tidak meyakini pengaruh bagi selain Allah. Dan di antara
lawan-lawan itu adalah Syaikh Dahlan yang diisyaratkan tadi, maka
silahkan rujuk ucapan-ucapan mereka itu dan bantahannya di kitab (Da’awa
Al Munawi’ina Li Dakwatisy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahab),
karya Abdul ‘Aziz Ibnu Abdil Lathif, Dar Thibah 1409 H hal: 193 dan
seterusnya.
Dan Al Bahansawiy telah menuturkan dalam
banyak tempat di kitabnya bahwa tidak seorang pun dikafirkan dengan
sebab sesuatu pun dari maksiat, dan tidak dikeluarkan dari millah
kecuali dengan sebab kufur i’tiqadi. Lihat kitabnya (Al Hukmu
wa Qadliyatu Takfiril Muslim, hal 45, 54 dan 55)
Kembali saya ingatkan pencari ilmu bahwa
vonis kafir di dunia ini dibangun di atas pendatangan ucapan mukaffir
atau perbuatan mukaffir. Barang siapa memohon kepada selain
Allah dalam hal yang tidak melakukannya kecuali Allah atau meyembelih
untuknya maka dia telah kafir bila ia berkata: “hati saya tidak
meyakini” maka dia dusta, Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ
هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (٣)
“Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar: 3).
Dan hukum-hukum dunia ini berjalan di atas dlahir tidak terhadap
keyakinan-keyakinan batin, namun demikian sesungguhnya setiap orang yang
kafir dengan sebab zhahir maka dia itu kafir secara batin bila mawani’
takfir tidak ada padanya, karena orang yang Allah kabarkan kekafirannya
karena suatu sebab maka dia itu mesti kafir secara sebenarnya, adapun
macam kekafiran yang ada di dalam hatinya, maka tidak ada kaitannya
dengan hukum-hukum dunia.
Dan ini semua dalam rangka menjelaskan
pendapat Al Bahansawiy dan pendapat-pendapat lain yang serupa dengannya.
Kami menuturkan kekeliruan-kekeliruan sebagian para penulis sebagai
contoh untuk membantahnya dan membantah pendapat-pendapat yang serupa
dengannya.
(C)
Dan di antara orang yang membatasi kekafiran dengan i’tiqad
(keyakinan): adalah Jama’ah (Al Jama’ah Al Islamiyyah di Mesir) dalam
kitabnya Ar Risalah Al Limaniyyah Fil Muwalah karya
Thal’at Fu’ad Qasim, di mana ia berkata hal 13 –tentang
hukum muslim yang muwalah kepada orang kafir: “Kaidah yang ke
dua, yaitu kewajiban memandang kepada muwalah itu sendiri, apakah ia itu
muwalah dengan zhahir saja disertai selamatnya hati dan keyakinan?
Ataukah (ia itu) muwalah dengan zhahir dan batin secara bersamaan? Maka
yang pertama tidak mengharuskan kekafiran dari muwalah, dan
yang kedua bisa saja mengharuskan kekafiran yang mengeluarkan dari
millah”. Selesai. Sedangkan penulis telah
mendefinisikan muwalah dlahirah dengan ucapannya bahwa (ia
adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mengandung makna muwalah
yang dilarang, akan tetapi dengan dlahir saja disertai selamatnya hati
dan keyakinan), sebagaimana dia mendefinisikan muwalah batin
bahwa ia adalah (ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan ini akan tetapi
disertai ridla hati, pembenaran dan kecintaan) hal: 11.
Penulis menjadikan muwalah zhahirah
tidak mengkafirkan dan dia membatasi pengkafiran dengannya dengan
kekafiran i’tiqadiy atau kufur hati atau kufur bathin. Padahal sudah
kami utarakan bahwa suatu yang telah datang nash tentang kekafiran
pelakunya. Maka tidak dianggap di dalamnya maksud si pelakunya, dan
telah datang nash akan kekafiran orang yang tawalliy kepada
orang-orang kafir, dan itu pada firman-Nya ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani
sebagai penolong, karena sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu tawalliy kepada mereka maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…” (Al
Maidah: 51).
Kitab ini yaitu “Ar Risalah Al
Limaniyyah Fil Muwallah” akan kami koreksi secara khusus
diakhir mabhats ini insya Allah, karena kekeliruan yang sangat banyak di
dalamnya, dan syubuhat-syubuhat dalam masalah kontemporer ini.
Wa ba’du. Ini adalah
contoh-contoh bagi orang yang telah keliru dalam masalah takfir yaitu
pembatasan sebab-sebab takfir pada kufur ‘itiqad.
(6) Di antara
kekeliruan yang umum dalam masalah takfir adalah: penganggapan juhud
atau istihlal sebagai syarat tersendiri untuk takfir dengan sebab dzunub
mukaffirah.
Murji-ah –sebagaimana
yang telah dikupas– mereka adalah orang-orang yang mengeluarkan amal
dari hakikat iman, dan terbangun di atas pendapat ini keberanian manusia
terhadap maksiat sehingga berkatalah Ibrahim An Nakha’iyrahimahullah:
“Murji-ah telah meninggalkan dien ini lebih tipis dari pakaian
Sabiriy”, diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Hanbal
dalam kitabnya (As Sunnah) hal 84 dan 438 terbitan Darul Kutub
Al Ilmiyah 1405 H. Pakaian sabiriy adalah yang tipis lagi menampakkan
apa yang di baliknya sehingga seolah orang yang mengenakannya antara
yang berbusana dengan yang telanjang, ini dituturkan oleh Abu
Manshur Ats Tsa’alibiy dalam kitabnya Fiqhul Lughah.
Bid’ah Irja ini telah berpengaruh dengan
dalam pada tulisan-tulisan kaum mutaakhirin dan fikrah-fikrah mereka,
sebagaimana ia berpengaruh dengan pengaruh yang serupa pada
perilaku-perilaku banyak kaum muslimin. Dan di antara sebab-sebab
terpenting keterpengaruhan tulisan-tulisan kaum mutaakhiran dengan
bid’ah ini adalah menjabatnya orang-orang Murji-ah –dari kalangan fuqaha
dan Asya’irah– pada mayoritas jabatan-jabatan pemberian fatwa,
peradilan, pengajaran dan wejangan di abad-abad Islam mutaakhirin,
sehingga ucapan-ucapan mereka yang masyhur lagi terkenal di kalangan
para pelajar dan para penulis, di waktu yang sama jadilah
pendapat-pendapat salaf suatu yang asing lagi ditinggalkan dan para
pengkaji tidak mendapatkannya kecuali dengan susah payah, dan bisa jadi
dia mendapatkannya bercampur aduk dengan ucapan-ucapan Murji-ah, dan
bisa saja dia mendapatkannya terpisah sendiri terus dia berupaya
menggabungkan antara ungkapan salaf ini dengan pendapat-pendapat
Murji-ah. Dan dalam hal ini Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: (Dan banyak dari kalangan mutaakhirin tidak bisa membedakan
antara madzhab salaf dengan ucapan-ucapan Murji-ah dan Jahmiyyah, karena
bercampurnya ini dengan ini pada ucapan banyak dari mereka dari
kalangan orang-orang yang batinnya berpendapat seperti pendapatnya
Jahmiyyah dan Murji-ah dalam hal iman, sedangkan ia sendiri mengagungkan
salaf dan ahlul hadits terus dia menduga bahwa ia telah menggabungkan
di antara keduanya, atau menggabungkan antara ucapan orang-orang semacam
dia dengan ucapan salaf) Majmu’ Fatawa 7/364
Sedangkan engkau telah mengetahui dari
uraian yang lalu bahwa iman menurut Murji-ah tempatnya adalah hati dan
begitu juga lawan dan kebalikannya yaitu kufur tempatnya adalah hati.
Keterpengaruhan dengan pendapat ini telah menghantarkan pada
keterjerumusan dalam berbagai kekeliruan pada masalah takfir, yang
semuanya kembali kepada pensyaratan kekafiran hati dalam rangka memvonis
kafir, dan di antara kekeliruan ini adalah:
- Pencampuradukan antara qashdul ‘amal al mukaffir dengan qashdul kufri serta pensyaratan pelapangan dada dengan kekafiran untuk diberlakukan vonis kafir. Dan telah lalu bantahan terhadap kekeliruan ini.
- Dan di antaranya sebab-sebab kekafiran pada kufur i’tiqad yaitu kufur hati atau membatasi kekafiran dengan kekafiran hati. Dan telah lalu bantahan terhadap kekafiran ini.
- Dan di antaranya pendapat bahwa tidak ada kufur, kecuali dengan juhud atau istihlal, sedangkan tempat kembali keduanya adalah kepada sikap pendustaan terhadap nushush sebagaimana telah lalu penjelasannya pada komentar saya terhadap ‘Aqidah Thahawiyyah, pada cataatan terhadap ucapan Ath Thahawiy (dan tidak seorangpun dikeluarkan dari iman kecuali dengan mengingkari apa yang memasukan dia kedalamnya).
Saat mereka membatasi kekafiran pada juhud
dan istihlal maka terjadi kesulitan terhadap Murji-ah bahwa di
sana ada uacapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mana Sang Pembuat
syari’at (Allah) telah menegaskan kekafiran pelakunya, maka akhirnya
Murji-ah terpecah menjadi berbagai kelompok seperti yang telah saya
utarakan sebelumnya:
A. Di antara mereka
ada yang mengatakan: Setiap orang yang telah Allah tegaskan akan
kekafiran maka dia kafir dlahir dan batin, bukan degan sebab amal mukaffir
itu, tapi dikarenakan amal mukaffir itu adalah tanda bahwa dia
itu mendustakan dengan hatinya. Ini adalah pendapat Asya’irah (Asy
‘Ariyah) dah Ahnaf yang mana mereka itu adalah Murji-ah fuqaha. Lihat (Al
Fashl, karya Ibnu Hazm: 3/239 dan 259, dan 5/75, dan Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyyah: 7/147 dan 509 dan 548 serta 582, juga Hasyiyyah Ibnu
Abidin:3/284).
B. Di antara mereka ada yang berkata:
Sesungguhnya setiap orang yang ditegaskan kekafirannya oleh Sang Pembuat
syari’at (Allah) maka ia kafir dalam status dhahir, dan boleh jadi dia
mukmin secara batin. Ini adalah pendapat Jahmiyyah, sedang ia adalah
pendapat yang sangat rusak, karena orang yang telah Allah kabarkan
kekafirannya karena sebab mendatangkan ucapan tertentu atau perbuatan
tertentu maka dia itu kafir secara dlahir dan bathin, karena pemberitaan
Allah ta’ala tidak terjadi kecuali atas dasar
hakikat sebenarnya tidak sekedar dlahir saja, oleh sebab itu salaf telah
mengkafirkan para penganut pendapat ini karena mengandung pendustaan
terhadap apa yang dikabarkan Allah
Jahmiyyah dalam masalah ini memiliki pendapat lain seperti
pendapat Asya’irah dan Ahnaf. Lihat (Majmu Al Fatawa: 7/188-189 dan
401-403 dan 558, Serta Ash Sharimul Maslul: 523-524)
C. Dan di antara mereka
ada yang mengatakan: Sesungguhnya orang yang telah ditegaskan
kekafirannya oleh Allah tidaklah divonis kafir kecuali bila dia terang
terangan dengan sifat juhud –yaitu pengingkaran yang dlahir
dengan lisan– atau istihlal. Dan para pemilik pendapat ini telah
dikafirkan juga oleh salaf, karena ucapan mereka ini adalah pendustaan
yang tegas terhadap nash-nash Sang Pembuat syari’at. (lihat
Majmu Al Fatawa: 7/205 dan 209)
Ini adalah paham-paham Murji-ah scara
global yang mensyaratkan kekafiran hati dalam rangka memvonis kafir –dan
telah saya tuturkan dengan sedikit rincian sebelumnya–, di mana di
antara mereka ada yang menjadikan kekafiran hati sebagai sebagai suatu
keharusan bagi kekafiran dlahir seperti Asy’ariyyah dan Murji-ah fuqaha,
dan di antara mereka ada yang menjadikan kekafiran hati –dalam bentuk
penegasan yang nyata dengan juhud atau istihlal– sebagai syarat yang
menyendiri untuk memvonis kafir, apapun kekafiran dlahir berupa ucapan
atau perbuatan yang dilakukan seseorang.
Macam terakhir inilah kekeliruan
umum di kalangan sebagian para penulis dan banyak manusia di
zaman kita ini. Dan di antara sebab kekeliruan penganut pendapat ini
adalah kesalahan mereka dalam memahami kaidah (Kami tidak mengkafirkan
seorang muslim pun dengan sebab dosa selagi ia tidak menghalalkannya)
sebagaimana yang telah saya nukil dari Al Albany dalam bantahan terhadap
kesalahan yang lalu. Dan telah saya sebutkan dalam komentar saya
terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, bahwa kaidah ini adalah benar akan
tetapikhusus dengan dzunub ghair mukaffiroh
(dosa dosa yang tidak mengkafirkan). Kemudian penganut madzhab yang
rusak ini menjadikannya sebagai kaidah umum pada dzunub mukaffirah
dan ghair mukaffirah sebagaimana mereka terjatuh dalam
kesalahan karena karena mengikuti Ath Thahawiy dalam ucapannya (dan
seorang hamba tidak dikeluarkan dari iman kecuali dengan sebab
mengingkari apa yang memasukkan ia kedalamnya) disertai sikap mereka
menjadikan ungkapan ini terhadap apa yang tidak dimaksudkan oleh Ath
Thahawiy, padahal Ath Thahawiy dan Murji-ah Fuqaha telah menjadikan
juhud (pengingkaran) sebagai suatu suatu kemestian bagi vonis hukum
dengan sebab kekafiran yang nampak. Adapun orang-orang mutaakhkhirun
maka mereka malah menjadikan juhud itu sebagai syarat tersendiri bagi
vonis hukum dengan sebab kekafiran yang nampak. Dan pendapat mereka ini
menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’, bahkan ia adalah pendustaan
terhadap nash-nash yang memvonis kafir orang yang mendatangkan mukaffirat
(hal-hal yang mengkafirkan) tanpa syarat juhud atau istihlal.
Bantahan terhadap syarat yang rusak ini
adalah apa yang telah saya utarakan sebelumnya pada tanbih
(perhatian) yang penting –yang disebutkan pada komentar saya terhadap Al
‘Aqidah Ath Thahawiyyah– dalam menjelaskan perbedaan antara: Dosa-dosa
yang disyaratkan untuk takfier dengannya keberadaan si pelakunya itu
juhud atau istihlal, yaitu dosa-dosa yang mana Allah tidak menegaskan
kekafiran pelakunya. Dan dosa-dosa yang tidak disyaratkan untuk takfier
dengannya keberadaan si pelakunya juhud atau istihlal,
yaitu dosa-dosa yang mana Allah telah menegaskan kekafiran pelakunya.
Engkau akan melihat bahwa celah yang
menyebabkan orang itu jatuh dalam kesalahan ini –yaitu pembatasan
kekafiran dengan juhud atau istihlal– adalah dengan sebab mereka tidak
membedakan antara kedua macam dosa ini (mukaffirah dengan ghair
mukaffirah) dan oleh karenanya mereka tidak membedakan antara
syarat-syarat takfier dalam setiap macam dari keduanya. Hal ini sangat
nampak dari ucapan-ucapan mereka, di antaranya:
A. Syaikh Al
Albaniy
Sebelumnya saya telah menukil hal ini
darinya: “Tetapi saya katakan, sesungguhnya vonis terhadap orang-orang
yang berhukum dengan selain hukum Allah, baik keberhukuman mereka itu
menghantarkan mereka pada kekafiran yang total atau (pada) kufur ‘amaliy
adalah sama sekali tidak penting bagi kita masalah ini antara dua
keadaan. Sekarang dari sisi ‘aqidah, siapa sebenarnya yang kafir di sisi
Allah? (yaitu) dialah yang mengingkari apa yang telah Allah
syari’atkan”. Selesai dari Kitab Hayatul Albaniy Wa
Atsaruhu, karya Muhammad Ibnu Ibrahim Asy Syaibaniy, terbitan Ad Dar As
Salafiyyah 1407, 2/518.
Ia membatasi kekafiran terhadap ingkar,
yaitu juhud. Oleh karena itu dalam komentarnya terhadap matan Al ‘Aqidah
Ath Thahawiyyah, Al Albaniy tidak memberikan komentar terhadap ucapan
Ath Thahawiy (Dan seorang hamba tidak dikeluarkan dari iman, kecuali
dengan sebab mengingkari apa yang memasukkan dia ke dalamnya), padahal
sungguh ini adalah jelas paham Murji-ah. Dan Al Albaniy tidak
menjelaskannya karena itu sejalan dengan ushul dia pada permukaan,
adapun secara hakikatnya, maka Murji-ah Fuqaha dan Asya’irah itu telah
menjadikan juhud sebagi kelaziman (kemestian) yang tidak lepas dari
vonis hukum dengan sebab kekafiran zhahir. Adapun orang-orang
mutaakhkhirin, maka mereka menjadikan juhud sebagai syarat tersendiri
untuk takfier dengan sebab dzunub mukaffirah, sebagaimana telah
lalu ucapan Al Albaniy dalam pensyaratan istihlal untuk
takfier (dengan dosa apa saja).
B. Salah seorang murid
Al Albaniy, yaitu Muhammad Ibrahim Syaqrah.
(Ia) ingin mengajari kaum muslimin al
haq (kebenaran) dalam masalah takfier pada kitabnya yang berjudul “Mujtama’unaa
Baina At Takfier Al Jair Wal Iman Al Hair” terbitan Al
Maktabah Al Islamiyyah di Yordania 1411 H. Dia telah memenuhi bukunya
ini dengan umpatan kepada orang-orang bodoh yang berbicara tentang
masalah takfier tanpa dasar ilmu. Ucapannya yang paling ringan dalam hal
itu di antaranya: “Dan alangkah banyaknya para penakut dari kalangan
yang memposisikan diri mereka sebagai para pengemban wasiat lagi
pengawas terhadap hamba-hamba Allah yang lalai –sampai ucapannya– dan
bila saya menulis secara khusus dalam masalah yang penting lagi
berbahaya ini, maka untuk memperkenalkan kepada kaum muslimin berbagai
cara mereka, level mereka dan arah mereka pada manhaj ‘ilmiy yang haq
dalam pengkajian berbagai masalah yang pelik ini” (hal. 23) dan setelah
memulai dengan muqaddimah ini, apa al haq yang dia katakan dalam masalah
ini? Dia berkata: “Bila seseorang telah mengucapkan dua kalimah
syahadat dan hatinya membenarkannya dan meyakininya dengan pasti serta
dia beriman kepada hak-haknya seluruhnya, maka dia itu mu’min meskipun
melakukan maksiat seluruhnya, baik yang lahir maupun yang batin, selagi
tidak disertai juhud atau pengingkaran” (37)
Saya katakan: Inilah orang yang ingin
mengajari manusia kebenaran, (ternyata) pahamnya dalam iman adalah paham
Murji-ah Fuqaha, karena dia membatasi iman pada pengucapan dua
kalimah syahadat dan pembenaran dengan hati. Adapun pahamnya dalam
masalah kufur, maka itu adalah paham Ghulatul Murji-ah yang
menjadikan juhud sebagai syarat tersendiri untuk takfier dengan maksiat mukaffirah.
Ucapan dia “Maksiat seluruhnya, baik yang lahir maupun yang bathin”
adalah penegasan yang umum yang masuk di dalamnya apa yang merupakan
kekafiran dan yang bukan. Dan ini adalah seperti pensyaratan Syaikhnya,
Al Albaniy, berupa istihlal yang bersifat hati untuk takfier
(dengan dosa apa saja), jadi si murid ini ada di atas paham gurunya.
Yang lebih mengherankan dari hal ini adalah ucapan dia: “Setiap
kekeliruan adalah diampuni bagi manusia, kecuali bila dia keliru dalam
‘aqidah dan apa-apa yang terkait dengannya” (107). Dan berkata juga:
“Dan tidak diampuni baginya kebodohannya pada ushul (inti-inti)
agamanya” (hal.108). Apakah celaan ini sejalan dengan madzhabnya dalam
al iman dan al kufru?
C. Jama’ah (Al
Jama’ah Al Islamiyyah di Mesir) dalam kitabnya Al Qaul
Al Qaathi’ Fi Man Imtana’a ‘an Asy Syara-i, tulisan ‘Ishaam
Darbalah dan ‘Aashim Abdul Majid.
Dalam kitab ini pada hal. 13 tercantum:
“Kapan saja kelompok yang memiliki kekuatan menolak dari menerapkan
salah satu ajaran Islam yang nampak lagi wajib, maka sesungguhnya
kelompok itu diperangi karenanya –sampai ucapannya– dan kelompok ini
tidaklah kafir selagi dia tidak juhud (mengingkari) kewajiban
yang ia menolak dari (menerapkan)nya. Adapun bila mereka mengingkari,
maka mereka telah menjadi murtad dengan sebab pengingkaran itu”. Selesai.
Ucapan ini telah disebutkan berulang-ulang di banyak tempat dari kitab
ini, sedangkan ini adalah salah, karena kewajiban-kewajiban syar’i itu
ada dua macam:
- Di antaranya ada yang masuk dalam Ashlul Iman, sehingga orang yang meninggalkannya dikafirkan degan sekedar menolak dari (melaksanakan)nya, baik dia itu mengingkari maupun tidak. Termasuk bab ini adalah kekafiran orang yang meninggalkan shalat dan kaum yang menolak membayar zakat dengan ijma para shahabat sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya. Maka membatasi takfir pada macam ini dengan juhud adalah madzhab Ghulatul Murji-ah.
- Ada pula yang masuk dalam iman yang wajib, maka orang yang meninggalkannya tidak dikafirkan dengan sekedar penolakan darinya dan bila dia mengingkari kewajibannya, maka dia kafir baik dia melakukannya ataupun menolak dari (melakukan)nya.
Maka mengumumkan pernyataan bahwa orang
yang meninggalkan kewajiban itu tidak kafir kecuali dengan juhud–tanpa
membedakan antara sesuatu yang menggugurkan ashlul iman dengan
sesuatu yang menggugurkan iman yang wajib– adalah paham Ghulatul
Murji-ah sebagaimana yang telah kami nukilkan dari Ibnu Taimiyyah.
(Lihat Majmu’ Al Fatawa 7/209 dan 205)
Kitab ini (Al Qaul Al Qaathi’) akan kami
khususkan pengkoreksiannya di akhir mabhats ini insya Allah.
Sebagaimana yang engkau lihat,
sesungguhnya penyebab kesalahan orang-orang di atas adalah karena mereka
tidak membedakan antara dzunub mukaffirah dengan ghair
mukaffirah dan apa yang disyaratkan untuk takfier dengan
masing-masing dari dua hal ini.
D. Hasan Al
Hudlaibiy (Mursyid II Jama’ah Ikhwanul Muslimin)
Dalam Kitabnya (Du’at La Qudlat)
terbitan Daruth Thiba’ah Wan Nasyr Al Islamiyyah di Kairo, dalam
ucapannya tentang firman-Nya ta’ala: “Barang siapa tidak memutuskan
dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang
kafir”. Dia berkata: (Dan telah kami kemukakan bukti dari
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bahwa orang yang beramal dari kaum muslimin menyelisihi apa yang telah
Allah ta’ala perintahkan tidaklah menjadi kafir, kecuali apa yang
dikecualikan dengan nash khusus yang memvonis bahwa (bagi) pelakunya
lenyap darinya nama iman, walaupun dia mengucapkan dua kalimah syahadat,
dan dari situlah si hakim dengan perbuatannya ini telah keluar dari
keumuman nash ayat yang mulia kecuali bila dia itu mengingkari –sampai
dia berkata– karena ijma Ahlis Sunnah menetapkan bahwa hakim dengan
makna pelaksana akan perintah atau yang memerintahkan untuk melaksanakan
suatu urusan yang menyelisihi hukum Allah tidaklah lenyap darinya nama
iman, kecuali dia itu mengingkari) (hal.156-157), kemudian berkata di
hal 159: (Sesungguhnya sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas radliyallahu
‘anhu yang dipeluk oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan didoakan seraya berkata: “Ya Allah, ajarilah dia
takwil” dan tabi’iy yang agung Thawus Al Yamaniy, keduanya berkata:
“Sesungguhnya ayat ini tidaklah sesuai dengan zhahir dan kemuthlaqannya
dan bahwa orang yang kafir itu adalah orang yang memutuskan dengan
selain apa yang Allah turunkan seraya mengingkari, serta bahwa orang
yang mengakui hukum Allah dan dia memutuskan dalam urusan itu dengan
sesuatu yang menyelisihinya, maka dia itu zhalim lagi fasiq; dan
pendapat ini dikatakan juga oleh As Suddiy, ‘Atha dan seluruh fuqaha
Ahlus Sunnah) Selesai. Kemudian di halaman 158 dia
menganggap ijma ini mengkhususkan ayat tersebut.
Al Hudlaibiy
menyebutkan dalam ucapannya ini kaidah yang umum yaitu bahwa orang yang
maksiat (dan yang disebut sebagai orang yang beramal yang menyelisih apa
yang Allah perintahkan) dengan meninggalkan yang wajib atau melakukan
yang haram tidaklah menjadi kafir kecuali apa yang dikecualikan dengan
nash yang khusus, ini adalah haq dan ia dalam hal ini lebih utama dari
orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya, karena dia dengan
ucapannya (Kecuali apa yang dikecualikan dengan nash…) adalah
telah membedakan antara dzunub mukaffirah dan ghair
mukaffirah, akan tetapi dia tidak komitmen dengan apa yang telah
dia katakan itu, sebab sesungguhnya orang yang meninggalkan pemutusan
dengan apa yang telah Allah turunkan adalah orang kafir dengan nash ayat
ini (“…barang siapa yang tidak memutuskan…”) jadi ini termasuk
apa yang dikecualikan dari kaidah –yang telah ia sebutkan– dengan nash
khusus. Dan dia telah menguatkan ucapan ini dengan uacapannya lagi
ditempat lain pada kitabnya hal: 35-36, di mana ia berkata: “Di antara
yang tidak ada keraguan di dalamnya bahwa syari’at Allah telah
menentukan uacapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang bila dikatakan
oleh orang muslim atau dia kerjakan maka ia keluar dengan sebabnya dari
Al Islam dan dengannya ia murtad kepada kekafiran. Dan yang kami katakan
dengannya adalah bahwa ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan itu telah
ditentukan oleh Allah ‘Azzawa Jalla dan telah
diterangkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka
kita tidak berhak untuk menambah di dalamnya atau mengurangi darinya”. Selesai.
Dan ucapannya ini adalah sifat dzunub mukaffirah yang
pelakunya dikafirkan dengan sekedar melakukannya. Dan sesuai ucapannya
ini maka sesungguhnya meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah
turunkan –sedang meninggalkannya itu adalah perbuatan sebagaimana yang
telah lalu dijelaskan– adalah tergolong amalan yang pelakunya murtad
karena adanya nash, yaitu “maka mereka adalah orang-orang kafir”. Jadi
meninggalkan di sini termasuk dzunub mukaffirah. Adapun sikap
dia beralasan bahwa ayat ini tidak dipakai sesuai zhahirnya untuk
menggugurkan vonis kafir di dalamnya, maka ini adalah pemberian alasan
yang batil dan akan datang penjelasannya insya Allah.
Adapun ucapannya bahwa orang yang kafir
itu adalah orang yang berhukum dengan selain apa yang telah Allah
turunkan seraya mengingkari, sedangkan orang yang tidak mengingkari
adalah tidak kafir, dan penyandaran ini semuanya kepada seluruh fuqaha
Ahlis Sunnah dan penganggapannya bahwa ini ijma adalah ucapan
yangsama sekali tidak memiliki landasan, dan tidak
seorang pun menukil ijma terhadap sesuatu pada tafsir ayat ini,
karena perselisihan pendapat tentang tafsir ayat ini
adalah tergolong hal yang paling terkenal di kalangan ahli ilmu. Adapun
juhud yang telah dituturkan oleh Al Hudlaibiy maka sungguh Ibnul
Qayyim telah berkata: “Dan di antara mereka ada yang mentakwil
ayat ini terhadap sikap meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah
Allah turunkan seraya mengingkarinya, dan ini adalah pendapat Ikrimah,
sedang ini adalah takwil yang marjuh (lemah), karena juhud-nya
itu sendiri merupakan kekafiran, baik dia memutuskan ataupun tidak
memutuskan”. (Madarijus salaikin: 1/365, terbitan Darul Kutub Al
Ilmiyyah).
[1]
Syaikh Abdul Qadir berkata dalam mabhats
ketujuh tentang Al Baniy: Dia memiliki manhaj yang syadz dalam
istinbath fiqh, yang membuat dia keluar dengan pendapat-pendapat yang syadz
(nyeleneh). Dan itu kembali kepada tiga sebab yang saya akan tuturkan
disini yaitu :
Pertama: Istidlal dia
dengan hadits-hadits dhaif, dan dia berupaya keras untuk menaikannya ke
derajat hasan dan penerimaan.
Ke dua: Istinbath dia
akan hukum-hukum dari dalil-dalil yang sama sekali tidak menunjukan
kepadanya dengan sisi manapun dari sisi-sisi dilalah nushush yang sudah
dikenal dalam ushul fiqh, akan tetapi dia sangat berusaha untuk
memaksakan diri dan dia memasukkan ke dalam dalil apa yang tidak
dikandung dalil itu.
Ke tiga: Sikapnya tidak
mengindahkan kaidah-kaidah tarjih, baik itu berkaitan dengan tarjih
antara dalil-dalil yang kontradiksi ataupun yang berkaitan dengan
tarjih antara dilalah nushush, justru engkau mendapatkan Al
Baniy kadang menuturkan dalil yang menguatkan pendapatnya dan ia tidak
mengisyaratkan kepada dalil yang menentangnya yang bisa jadi lebih kuat
dalam berhujjah dan lebih jelas dalam dilalahnya daripada dalil yang dia
gunakan. Al Baniy telah membela sikapnya yang ganjil ini dengan
ucapannya:
“Dan sama sekali bukanlah
termasuk sikap ganjil, orang muslim memiliki satu pendapat dari
pendapat-pendapat yang berbeda karena dalil yang nampak baginya,
walaupun jumhur ulama menyelisihnya, berbeda dengan orang yang telah
salah”. (Aqidah At Thahawiyyah, Syarh wa Ta’liq Al Albaniy, terbitan Al
Maktab Al Islamiy 1398 H cetakan I hal: 48].
Dan ucapan ini mengandung talbis,
karena tidak boleh bagi setiap orang berdalil dengan dalil yang nampak
baginya, dan kalau boleh tentu kita mesti mengudzur Murji’ah,
Mu’tazilah, dan Khawarij dalam pendapat-pendapat mereka yang salah,
bahkan kita mesti menguzdur orang-orang Nashrani, masing-masing mereka
itu berdalil untuk mazhab-mazhab mereka yang rusak dari dalil-dalil yang
terpotong dari Al Kitab dan As Sunnah, dan untuk hal itu saya telah
memberikan contoh-contoh di bagian ke lima dari hukum-hukum mufti di bab
ke lima dari kitab ini. Dan bukan termasuk ucapan ahli ilmu bahwa
setiap muslim boleh memilih berdasarkan dalil yang nampak baginya, akan
tetapi ia wajib mentarjih di antara dalil, dan itu adalah apa yang
diungkapkan ahli ilmi dengan ucapan mereka: “Sesungguhnya di antara
syarat dalil yang digunakan sebagai dalil adalah dalil yang shahih yang
selamat dari yang menentang”, bukan seperti ucapan Al Albaniy: “…dengan
dalil yang nampak baginya”.
Thalibul ‘ilmi akan mengetahui
kebenaran ucapan saya ini bila dia membaca bantahan-bantahan sebagian
ulama masa kini terhadap Al Baniy. Pendapat Al Albaniy bahwa wanita
tidak wajib menutup wajahnya di hadapan laki-laki asing, telah dibantah
oleh Syaikh Hamud At Tuwaijiri dalam kitabnya (Ash Sharimul
Masyhur ‘Ala Ahlit Tabarruj Was Sufur), dan pendapat Al Albaniy
akan keharaman emas yang melingkar atas wanita telah dibantah oleh Syaikh
Ismail Al Anshariy dalam kitabnya (Ibahatit Tahalliy Bidz Dzahabiy
Muhallaq ‘Alan Nissa), serta di sana masih banyak bantahan
terhadapnya, dengan membacanya akan nampak jelas keganjilan-keganjilan
fiqhnya dan sebab-sebabnya.
Oleh sebab itu ucapan Syaikh Al Albaniy
dalam hal Fiqh -terutama yang dengannya ia menyendiri dan menyelisih
orang-orang yang telah lampau- seyogyanya tawaqquf dalam
menerimanya. Demikianlah, Wabillahi ta’ala at taufiq.] selesai
ucapan Syaikh Abdul Qadir.(Pent)
[2]
Syaikh Abdul Qadir utarakan hal yang serupa dengan hal di atas, dimana
beliau sebutkan 3 sebab kenylenehan Al Albaniy dalam pembahasan hijab.(Pent)
[3]
Syaikh Abdul Qadir berkata: (Adapun di sini maka saya akan menyebutkan
sebagian catatan terhadap ‘amalnya dalam takhrij (hadits), yaitu:
(1) Bahwa dia itu
tercoreng keadilannya, dan itu disebabkan tahrifnya dalam apa
yang dia nukil dari salaf untuk menguatkan pendapat dia yang rusak. Dan
di mabhats ‘itiqad saya telah menuturkan dua contoh untuk itu
di mana Al Albaniy di dalamnya merubah ucapan pensyarah Al ‘Aqidah At
Thahawiyyah terus ia menyandarkannya kepada pensyarah (Ibnu Abil Izz)
ucapannya : “Sesungguhnya dosa, dosa apa saja, adalah kufur ‘amali bukan
‘itiqadiy.” (Aqidah At Thahawiyyah, Syarh wa Ta’liq Al Albaniy,
terbitan Al Maktab Al Islamiy 1398 H hal : 40-41), dan saat
merujuk ke asli syarahnya ternyata pensyarah tidak pernah mengucapkan
perkataan ini, sebagaimana Al Albaniy merubah ucapan pensyarah dan
menyandarkan kepadanya ucapan dia: “Maka wajib atas kita untuk ijtihad
(sungguh-sungguh) dalam istighfar, tarbiyyah, dan pembenahan amal.”
[rujukan yang lalu hal: 47], sedangkan di dalam asli syarah adalah
(taubat) bukan [tarbiyah]. Dan di atas hal ini Al Albaniy membangun
suatu paham (yaitu) tidak wajib memberontak terhadap para penguasa masa
kini akan tetapi yang wajib adalah menyibukkan diri dengan tarbiyyah.
Dan saya telah membantah dalam kitab saya (Al ‘Umdah Fi I’dadil
‘Uddah Lil Jihad Fi Sabilillahi Ta’ala). Saya telah berupaya
untuk membawa apa yang dilakukan Al Albaniy sebagai salah cetak, akan
tetapi -dan sebagaimana yang dikatakan oleh orang yang baik kepada saya-
seandainya seperti itu, tentu dia tidak membangun banyak hukum di atas
ucapan yang dirubah ini, namun dia sengaja merubah ucapan pensyarah At
Thahawwiyah dan di atas hal itu dia membangun pendapat-pendapatnya yang
rusak sembari berhujjah dengan ucapan yang dia rubah, sedangkan ini
adalah tidak halal baginya, dan dia adalah seperti apa yang dikatakan
oleh Ibnu Hazm: “Maka ketahuilah bahwa menyandarkan kepada seseorang
baik itu orang kafir atau ahli bid’ah atau orang yang salah dalam suatu
ucapan yang dia tidak pernah ucapkan secara tekstual adalah dusta
terhadapnya, sedangkan tidak halal berdusta atas nama seseorangpun”. (Al
Fashl, Ibnu Hazm: 5/33). Fa inna lillahi wa inna ilaihi
raji’uun… terhadap keadaan orang-orang yang menyibukkan diri dengan
hadits Nabawi di zaman kita ini, padahal mereka itu orang paling
pertama yang mengetahui bahaya dusta dan hukum pelakunya.
(2) Dan bersama
pengkajian saya terhadap takhrij-takhrij Al Albaniy dan dengan
merujuk kepada takhrij-takhrij salaf serta kepada kitab-kitab
yang memuat Sunnah (Rasul) saya memiliki banyak catatan terhadapnya, di
antaranya:
- Sikap Al Albaniy yang terkadang terlalu memaksakan untuk menshahihkan dan mendlaifkan banyak hadits.
- Dia menuduh keliru banyak para penghafal hadits dari kalangan salaf dalam banyak tempat padahal kekeliruan itu justru ada pada dirinya sendiri.
- Tidak optimal dalam biografi bagi sebagian perawi dengan keadaannya yang berpatokan pada satu atau dua sumber dalam kondisi-kondisi yang mana ia butuh penyebaran tuntas.
Di samping penyepelean dan pelecehan Al
Albaniy terhadap para pembesar ulama salaf dan yang lainnya yang padahal
wajib atas orang-orang umum apalagi ahliilmi untuk
menjaga lisan-lisan mereka darinya. Saya telah mengumpulkan
contoh-contoh untuk setiap catatan ini, sampai akhirnya saya mendapatkan
sebuah kitab karya Hasan Ibnu Ali As Saqaaf yang
berjudul “Tanaqudlat Al Albaniy Al Wadlihat Fi Mawaqa’a Lahu Fi
Tash-hihil Ahadits Wa Tadl’ifiha Min Akhtha Wa Ghalathat”
terbitan Darul Imam Nawawi di Aman Yordania, dan telah muncul darinya
dua juz, di dalamnya penulis telah mengumpulkan lebih dari seribu
kesalahan dan kontradiksi Al Albaniy seputar catatan-catatan yang saya
utarakan tadi dan bahkan lebih banyak, maka silakan lihat bagi orang
yang mau merujuknya.
Kekeliruan-kekeliruan dan
kontradiksi-kontradiksi ini ditambah lagi dengan ketercorengan
keadilannya menjadikan adanya ketidakpercayan terhadap takhrij-takhrij
Al Albaniy dan menjadikan kebersandaran terhadap kitab-kitabnya sebagai
hal yang perlu dipertanyakan. Al Bukhariy rahimahullahberkata:
“Saya telah meninggalkan sepuluh ribu hadits (riwayat) milik orang yang
dipertanyakan, dan saya tinggalkan jumlah serupa atau lebih darinya
(riwayat) orang yang lainnya yang saya memiliki catatan” [Hadyus
Sariy: 481].Inilah… dan Allah memberi petunjuk orang yang Dia
kehendaki kejalan yang lurus.] selesaiucapan Syaikh
Abdul Qadir. (Pent)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar