III. SYUBHAT-SYUBHAT
A. Mereka masih sholat, zakat dan lain-lain
Mungkin orang akan mengatakan: Bagaimana kalian mengkafirkan pemerintah Indonesia kafir sedangkan sebagian diantara mereka masih sahalat, puasa, haji. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan ketika seorang shahabat bertanya tidakkah kami perangi saja mereka wahai Rasulullah ? Beliau menjawab:”Tidak selama mereka masik menegakkan sholat bersama kalian.”
Permasalahan ini kami jawab sebagai berikut bahwasanya perlu diingat bahwa seluruh para rosul itu inti ajarannya adalah tauhid. Dan juga perlu diingat bahwasanya tauhid itu adalah syarat pokok diterimanya semua amalan dan ibadah.
Karena sesungguhnya semua amalan dan ibadah itu akan menjadi syah kalau memenuhi dua syarat yaitu Ikhlas dan mengikuti sunnah Rasul.
Adapun diantara dalil untuk syarat yang pertama adalah:
Allah berfirman:
والذين كفروا أعمالهم كسرابٍ بقيعة يحسبه الظمآن ماءً حتى إذا جاءه لم يجده شيئاً ووجد اللهَ عنده فوفّاه حسابه
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur: 39)
Dan dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwasanya Allah berfirman:
أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملاً أشرك به معي غيري تركته وشركه
Para ulama’ menggunakan dalil ini untuk syirik ashghor, lalu bagaimana halnya dengan syirik akbar?
Dengan demikian sesungguhnya orang yang melakukan kesyirikan itu tidak akan diterima amalannya, baik sholatnya, zakatnya, hajinya dan yang lainnya. Semua bentuk peribadahan yang mereka lakukan itu menjadi batal dan semua amalannya tidak akan diterima disisi Allah.
Lebih jelas lagi Allah berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan juga dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Demikian pula halnya para penguasa yang telah kufur kepada Alloh yang berkuasa di negeri ini semua amalannya tidak akan diterima di sisi Allah, sehingga mereka bertaubat. Karena mereka telah murtad dari Islam maka seluruh amalan dan ibadahnya tidak syah.
Ibnu Qudamah berkata:
إن الردة تنقض الوضوء وتبطل التيمم، وهذا قول الأوزاعي وأبي ثور، وهي الاتيان بما يخرج به عن الإسلام إما نطقاً أو اعتقاداً أو شكاً ينقل عن الإسلام، فمتى عاود إسلامه ورجع إلى دين الحق فليس له الصلاة حتى يتوضأ وإن كان متوضئاً قبل ردته
”Sesungguhnya kemurtadan itu membatalkan wudlu dan tayammum, dan ini adalah pendapat Al-Auza’I dan Abu Tsaur. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kemurtadan itu adalah melakukan amalan yang mengeluarkan dari Islam, baik itu berupa perkataan, keyakinan maupun keragu-raguan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Oleh karena itu jika ia kembali kepada agama yang benar, maka ia tidak syah sholatnya hingga ia berwudlu jika sebelum murtad ia telah berwudlu.”
Beliau juga berkata:
والردة تبطل الأذان إن وجدت في أثنائه
“Dan kemurtadan itu membatalkan adzan jika terjadi ketika ia adzan.” Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabir I/438.
Beliau juga berkata:
لا نعلم بين أهل العلم خلافا في أن من ارتد عن الإسلام في أثناء الصوم أنه يفسد صومه وعليه قضاء ذلك اليوم إذا عاد إلى الإسلام سواء أسلم في أثناء اليوم أو بعد انقضائه)
Kami tidak melihat ada perselisihan dikalangan ulama’ pada masalah orang yang murtad ketika berpuasa itu maka puasanya batal dan ia harus mengqodlo’nya jika ia kembali kepada Islam, sama saja apakah ia kembali kepada Islam pada hari itu juga atau setelah berlalu.”
Maka jelaslah bahwasanya orang yang tidak boleh dibunuh ataupun diperangi itu adalah orang yang masih sholat sedangkan tauhidnya benar dan ia tidak melakukan perbuatan kekufuran yang mengeluarkan ia dari Islam. Karena kalau ia telah murtad maka semua amalan dan ibadahnya itu tidak syah dan tidak ada manfaatnya.”
Para ulama’ telah berijma’ atas wajibnya memerangi kelompok manapun yang mempunyai kekuatan dan tidak mau melaksanakan suatu bagian dari syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir. Baik yang tidak dilaksanakan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka masih mengakui atas wajibnya syari’at tersebut maka mereka wajib diperangi sampai mereka melaksanakan apa yang mereka tinggalkan.
Adapun jika mereka itu tidak mau melaksanakan karena menentang, maka dengan demikian mereka jelas-jelas telah menolak sehingga mereka menjadi murtad. Dan mereka diperangi sampai mereka kembali kepada Islam. Dan memerangi dua kelompok tersebut adalah wajib hukumnya secara ijma’.
Rosululloh bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فمن قالها فقد عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله
“ Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sampai mengucapkan Lailaha Illallah, maka barang siapa yang mengucapkannya harat dan jiwanya terjaga dariku kecuali memang karena haknya dan hisabnya terserah kepada Allah.” (Shohihul Bukhori, Kitabuz zakah, bab I, no.1399, II/110 dan Shohih Muslim, Kitabul Iman, no.33, hal.52).
Orang-orang kafir yang masuk Islam jika mereka tidak melaksanakan syari’at Islam mereka diperangi. Oleh karena itu kelompok manapun yang mengaku Islam dan mengucapkan syahadatain namun tidak melaksanakan sebagian dari syari’at yang sudah jelas dan mutawatir, mereka wajib diperangi sebagaimana kesepakatan kaum muslimin sampai agama itu seluruhnya milik Alloh.
Ibnu Rojab Al-Hambali ketika menjelaskan hadits diatas mengatakan:”Dan suatu yang sudah maklum secara jelas bahwasanya Nabi saw., menerima siapa saja yang datang ingin masuk Islam hanya dengan syahadatain, dan dengan demikian darahnya menjadi terjaga dan ia menjadi orang Islam. Rosululloh telah mengingkari Usamah bin Zaid karena ia membunuh orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illalloh sedangkan pedang telah diangkat, maka rosululloh sangt mengingkari perbuatannya itu.
Maka sesungguhnya hanya dengan dua kalimat syahadat itu darah menjadi terjaga dan menjadi Islam. Apabila seseorang masuk Islam jika ia melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan melaksanakan syari’at-syari’at Islam, maka ia mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kaum muslimin yang lain. Namun jika ia tidak melaksanakan bagian dari rukun-rukun ini jika mereka suatu jamaah yang mempunyai kekuatan, mereka diperangi. Dan sebagian ada yang mengira bahwasanya hadits ini berarti orang kafir itu diperangi sampai mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan sholat dan mengeluarkan zakat, dan ia menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya orang kafir juga disuruh untuk melaksanakan ibadah furu’, namun pendapat ini perlu dikaji ulang. Sedangkan siroh Nabi saw. Bertentangan dengan hal ini. Dalam shihih Muslim disebutkan dari Abu Huroiroh ra. Bahwasanya Nabi saw. Pada saat perang badar memanggil Ali dan menyerahkan bendera kepadanya.lalu beliau bersabda:”Berjalanlah dan janganlah menoleh sampai Alloh memberikan kemenangan kepadamu, maka Ali berjalan sedikit lalu berhenti dan berkata:”Wahai Rosululloh, untuk apa kuperangi orang-orang itu?” Beliau menjawab:”Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada ilah kecuali Alloh dan bahwasanya Muhammad itu utusan Alloh. Jika mereka melakukan hal tersebut maka darah dan harta mereka telah terjaga darimu kecuali yang menjadi haknya dan hisab mereka terserah kepada Alloh.”(Muslim, Fadlo’ilush Shohabah 34, Musnad Imam Ahmad IV/439)
Maka hanya dengan menerima syahadatain harta dan nyawa itu menjadi terjaga, kecuali memang yang sudah menjadi haknya. Dan diantara haknya adalah tidak melaksanakan sholat dan zakat setelah masuk Islam sebagaiman yang difahami oleh para sahabat ra.
Dan diantara dalil yang menunjukkan atas wajibnya memerangi kelompok yang tidak mau melaksanakan sholat dan zakat adalah firman Alloh:
فإن تابوا وأقاموا الصلاة وأتوا الزكاة فخلوا سبيلهم
“Jika mereka bertaubat, melaksanakan sholay dan menunaikan zakat, maka biarkanlah mereka.” (At-Taubah:5)
فإن تابوا وأقاموا الصلاة وأتوا الزكاة فإخوانكم في الدين
“Jika mereka bertaubat, melaksanakan sholay dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara kalian dalam agama.” (At-Taubah:11)
و قاتلوهم حتى لا تكون فتنة ويكون كله الدين لله
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya hanyalah untuk Alloh.” (Al-Antal:39)
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك الجين القيمة
“Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Alloh dengan memurnikan agama hanya untuk-Nyadengan lurus, melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan itula agama yang lurus.”(Al-Bayyinah:5)
Disebutkan dalam hadits bahwasanya Nabi saw. jika mau menyerang sebuah kaum, beliau tidak menyerangnya kecuali setelah datang waktu subuh, jika beliau mendengar adzan beliau urungkan dan jika tidak beliau menyergap mereka. Padahal masih mengandung kemungkinan mereka itu orang Islam. Dan beliau memberi wasiyat kepada pasukan-pasukan yang hendak diberangkatkan:”Jika kalian mendengar adzan atau melihat masjid maka janganlah kalian membunuh seorangpun. Dan beliau pernah mengutus ‘Uyaynah bin Hisn kepada sebuah kaum dari Banil Ambar lalu beliau menyergap mereka karena belau tidak mendengar adzan, kemudian mereka mengaku telah masuk Islam sebelum itu. Dan Rosululloh pernah mengirim surat kepada penduduk ‘Ammaan yang berbunyi; ”Dari Muhammad kepada penduduk ‘Amman. Salam sejahtera kepada kalian, amma ba’du. Bersaksilah kalian bahwasanya tidak ada ilah kecuali Alloh dan aku adalah utusan Alloh, tunaikanlah zakat dan dirikanlah masjid, kalau tidak, aku akan menyerang kalian.” Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar, Ath-Thobroni dan yang lain.
Ini semuanya menunjukkan bahwasanya orang-orang yang masuk Islam itu diuji atas keislamannya, apakah mereka mau menegakkan sholat dan menunaikan zakat, kalu tidak maka tidak ada halangangan untuk memerangi mereka. Dan dalam masalah ini telah terjadi diskusi antara Abu Bakar dan Umar ra.sebagaimana yang tersebut dalam kitab Shohihain dari Abu Huroiroh ra. beliau berkata:” Ketika Rosululloh saw. telah wafat, Abu Bakar menjadi kholifah dan orang-orang Arab kembali kafir, Umar berkata kepada Abu Bakar:”Bagaimana kau bisa perangi mereka padahal Rosululloh pernah bersabda:” “ Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sampai mengucapkan Lailaha Illallah, maka barang siapa yang mengucapkannya harat dan jiwanya terjaga dariku kecuali memang karena haknya dan hisabnya terserah kepada Allah.” Maka Abu Bakar mengatakan;”Demi Alloh aku akan memerngi orang-orang yang memisahkan antar sholat dan zakat. Sesungguhnya zakat itu adalah hak harta, demi Alloh jika mereka tidak mau membayar zakat unta atau kambing yang pernah mereka bayatkan kepada Rosululloh, aku pasti akan perangi mereka.” Lalu Umar berkata:”Demi Alloh, aku melihat bahwasanya Alloh telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwasanya hal itu adalah benar.” Abu Bakar memerangi mereka dengan berdasarkan sabda Rosul: ”kecuali haknya.” Hal ini menunjukkan bahwasanya memerangi orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat adalah boleh. Dan diantara haknya adalah menunaikan hak kewajiban harta.
Dan Umar ra. Menyangka bahwasanya hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja bisa mencegah seseorang untuk masuk neraka di akherat kelak kare berpagang dengan berpegang dengan keumuman lafadz yang tersebut dalam hadits, padahal tidak demikian. Lalu Umar sepakat dengan pendapat Abu Bakar ra. (Jami’ul ‘Ulum, hal. 80-81)
Dan hukum orang yang meninggalkan seluruh hukum Islam adalah diperangi sebagaimana mereka juga diperangi jika mereka meninggalkan sholat dan zakat. Ibnu Syihab meriwayatkan dari Handzolah bin Ali bin Al-Asqo’, bahwasanya Abu Bakar ra. Mengutus Kholid ibnul Walid ra. Dan memerintahkannya untuk memerangi manusia jika mereka meninggalkan lima perkara. Maka barangsiapa meninggalkan salah satu dari lima perkara tersebut perangilah mereka sebagaimana halnya jika mereka meninggalkan lima perkara semuanya. Yaitu; dua kalimat syahadat, sholat, Zakat dan Shoum romadlon.
Dan Sa’id bin Jubar berkata bahwasanya Umar ibnul Khothob mengatakan: ”Seandainya orang-orang itu tidak melaksanakan haji, pasti akan kuperangi sebagaimana mereka juga akan aku perangi jika mereka tidak melaksanakan sholat dan zakat.” Inilah pembahasan tentang memerangi kelompok yang tidak mau melaksanakan bagian dari kewajiban-kewajiban tersebut.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 82)
An-Nawawi berkata:”Dalam hadits tersebut menunjukkan atas wajibnya memerangi orang-orang yang tidak mau melaksanakan zakat atau sholat atau kewajiban Islam yang lain, baik banyak maupun sedikit, dasarnya adalah perkataan beliau (Abu Bakar) :”Jika mereka tidak mau membayarkan zakat unta atau kambing.”
Imam Malik berkata:”Menurut kami, setiap orang yang tidak mau melaksanakan suatu kewajiban dari kewajiban Alloh, dan kaum muslimin tidak bisa memaksanya, maka kaum muslimin wajib memeranginya sampai bisa memaksanya untuk melaksanakannya.” (Muslim bisyarhin Nawawi I/212)
Asy-Syaukani berkata:”Dan orang yang meninggalkan rukun-rukun Islam atau sebagiannya, apabila ia terus dalam keadaan demikian, maka hukumnya wajib memeranginya sesuai dengan kemampuan. Dan begitu pulalah seharusnya hukumnya menurut syari’ah bagi setiap orang yang melakukan sesuatu yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban.” (Ar-Roudlotun Niddiyah I/184, cet. Darut Turots)
Ibnu Taimiyah berkata:”Dan kelompok manapun yang mengaku Islam dan tidak mau melaksanakan bagian dari syari’at yang telah jelas dan mutawatir, maka hukumnya wajib untuk memerangi mereka atas sebagaimana kesepakatan kaum muslimin, sehingga agama itu selurunya hanya milik Alloh. Sebagimana Abu Bakar dan seluruh sahabat ra. Memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan telah disebutkan dalam hadits dari Rosululloh saw. Dari banyak jalan bahwasanya beliau memerintahkan untuk memerangi khowarij. Dalam kitab Shohihain disebutkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Tholib ra. Beliau berkata bahwasanya Rosululloh saw. Bersabda:
سيخرج قوم في أخر الزمان حداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من قول خير البرية لا يتجاوز إيمانهم حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية فأينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم يوم القيامة
“Akan keluar pada masa akhir zaman orang-orang yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia. Iman mereka tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya. Maka bunuhlah mereka dimana saja kalian menjumpai mereka karena orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala pada hari qiyamat.”
Dan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ul Ummah, bahwasanya orang yang keluar dari syari’at Islam itu diperangi meskipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dan para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok yang meninggalkan sunnah yang rutin, seperti dua roka’at sholat fajar, apakah mereka boleh diperangi?, menjadi dua pendapat (antara boleh dan tidak). Adapun tentang kelompok yang meninggalkan kewajiban dan hal-hal yang haram yang sudah jelas dan terkenal, maka mereka diperangi dengan tidak ada perselisihan sampai mereka mau menjalankan nya kembali, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, shoum romadlon dan naik haji serta mninggalkan hal-hal yang haram seperti menikahi saudara perempuan, makan makanan yang menjijikkan dan mendlolimi harta dan nyawa kaum muslimin. Dan memerangi mereka ini hukumnya wajib untuk memulainya setelah sampai dakwah Nabi saw. tentang apa-apa yang menjadi penyebab mereka diperangi. Dan jika mereka menyerang lebih dulu maka kewajiban lebih ditekankan lagi sebagaimana yang telah kami bahas pada masalah para mumtani’in seperti penyerang dan begal. Dan kewajiban jihad terhadap orang kafir dan orang-orang yang tidak mau melaksanakan sebagian dari syari’at Islam, sebagaimana orang-orang yang tidak mau membayar zakat, khowarij dan orang-orang semacam mereka baik secara offensiv maupun defensiv. Jika ofensiv maka hukumnya adalah fardlu kifayah, jika sebagian telah melaksanakannya maka yang lain tidak terkena kewajiban lagi, dan mereka yang melaksanakan mendapatkan keutamaan sebagaimana firman Alloh:
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا {95}
Namun jika musuh mau menyerang kaum muslimin, maka jihad hukumnya wajib bagi mereka yang menjadi sasaran dan yang tidak menjadi sasaran untuk membantu mereka, sebagaimana firman Alloh:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَّنَصَرُوا أُوْلَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ ءَمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَّالَكُم مِّن وَّلاَيَتِهِم مِّن شَيٍْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصُرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {72}
Dan sebagaiman Rosululloh juga memerintahkan untuk menolong orang muslim baik ia seorang yang digaji pemerintah untuk berperang maupun bukan. Ini adalah wajib sesuai dengan kemungkinan bagisetiap orang dengan hartanya, nyawanya, banyak, sedikit, berjalan maupun berkendaraan ………..(As-Siyasah As-Sar’iyah 125-129)
Kewajiban pemerintah adalah memerintahkan untuk melaksanakan sholat wajib bagi semua orang yang mampu dan menghukum orang yang meninggalkannya sebagaimana ijma’ umat islam atas hal itu.
Dan jika yang tidak mau melaksanakan itu sebuah kelompok, mereka diperangi karena meninggalkan sholat. Begitu pula jika meninggalkan zakat, shoum dan yang lainnya serta menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan secara jelas dan ijma’, seperti menikahi mahrom, membikin kerusakan di muka bumi dan yang lainnya. Maka setiap kelompok yang tidak mau melaksanakan suatu syari’at dari syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir harus diperangi sehingga agama itu seluruhnya hanya milik Alloh, hal ini adalah merupaka kesepakatan seluruh ulama’.” (As-Siyasah Asy-Syar’iyah) Para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok yang tidak melaksanakan sunnah yang rutin, namun jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang sudah jelas dan terkenal maka mereka diperangi sebagaimana kesepakatan kaum muslimin.
Asy-Syairozi mengatakan ketika membahas tentang adzan dan iqomat:
Bab Adzan; “Adzan dan iqomat disyari’atkan untuk sholat lima waktu. Dan keduanya adalah sunah meskipun sebagian dari sahabat kita ada yang mengatakan fardlu kifayah. Dan jika penduduk sebuah kampung itu sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka diperangi karena ia adalah bagian dari syi’ar Islam yang tidak boleh ditinggalkan”.
An-Nawawi ketika menjelaskan perkataan Asy-Syairozi diatas mengatakan:”Sahabat-sahabat kita mengatakan, jika hukumnya adalah fardlu kifayah, dan penduduk sebuah kampung itu meninggalkannya dan mereka telah dimintan untuk melaksanakan namun tidak mau melaksanakan maka wajib hukumnya memerangi mereka sebagaimana wajibnya memerangi mereka jika mereka meninggalkan fardlu kifayah yang lain. Dan jika kita katakan hukumnya adalah sunnah maka apakah mereka diperangi jika mereka meninggalkannya. Dalam hal ini ada dua pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab ‘Iroqiyyin dan sedikit dari khurosaniyyin yang membahasnya, yaitu; mereka tidak diperangi sebagaimana orang yang meninggalkan sholat sunah dluhur, shubuh dan yang lain.Pendapat kedua mereka diperangi karena adzan adalah syi’ar yang nyata sedangkan sholat sunah dluhur tidak. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab III/74)
Abu Bakar ibnul ‘Arobi mengatakan:” Alloh berfirman:
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
“Dan jika kalian tidak mau meninggalkan riba maka ijinkanlah peperangan dari Alloh dan Rosul-Nya.”(Al-Baqoroh;279)
Kalau ada yang mengatakan bahwasanya peperangan tersebut adalah bagi orang yang menghalalkan riba, maka kami katakan:’Ya benar dan juga bagi orang yang melaksanakannya.’ Sesungguhnya umat Islam telah sepakat untuk memerangi orang yang melakukan maksiyat sebagaimana jika penduduk sebuah kampung bersepakat untuk melakukan riba dan juga apabila mereka sepakat untuk meninggalkan sholat jum’at dan sholat jama’ah.” (Ahkamul Qu’an karangan Ibnul ‘Arobi II/596)
Orang-orang yang tidak melaksanaklan syari’at itu ada dua keadaan ;
3. Mereka menolak dengan demikian mereka adalah orang-orang murtad.
Jika mereka adalah sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, maka mereka diperangi sebagaimana orang-orang murtad. Dan jika dia tertangkap seorang diri, maka dia dibunuh.
Jika mereka berada diperkampungan kaum muslimin, maka mereka dipisah-pisahkan setelah mereka bertaubat dan mereka dipaksa melaksanakan syariat Islam sebagaimana kaum muslimin yang lain.
4. Mereka mengakui atas kewajiban melaksanakannya.
Jika mereka adalah sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, mereka hingga mereka mau melaksanakan syari’at Islam yang wajib seluruhnya.
Sedangkan orang yang tertangkap dari mereka tidak dibunuh, akan tetapi ia dikasih ‘iqob sebagaimana yang diperintahkan Alloh dan Rosul-Nya.
Ibnu Huwaiz Mandad berkata:”Jika penduduk sebuah kampung melakukan riba dan menghalalkannya maka mereka murtad dan mereka hukumnya sebagaimana orang-orang murtad. Dan jika mereka melakukannya namun tidak menghalalkannya, Imam boleh memerangi mereka. Tidakkah anda melihat bahwasanya Alloh telah mengijinkan hal itu, Alloh berfirman:
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
“Dan jika kalian tidak mau meninggalkan riba maka ijinkanlah peperangan dari Alloh dan Rosul-Nya.”(Al-Baqoroh;279)(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an: III/364)
Orang-orang yang keluar dari pokok-pokok syari’at yang berbentuk keyakinan seperti khowarij atau berupa amalan seperti orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, mereka tidak sebagaimana bughot yang memberontak terhadap imam yang syah, dengan demikian maka peperangan melawan merekapun lain dengan perang melawan bughot.
Memerangi kelompok yang keluar dari sebagian syari’at Islam baik berupa keyakinan maupun berupa amalan, lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang musyrik dan ahli kitab yang tidak memerangi kita.
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seebuah kelompok dari rakyat sebuah negeri yang bepaham An-Nushoiriyyah. Lalu mereka bersepakat untuk mengikuti seseorang, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa dia ini ilaah, diantara mereka ada yang berpendapat bahwasanya dia ini nabi yang diutus dan diantara mereka ada yang berpendapat bahwasanya dia ini adalah Muhammad bin Al-Hasan, maksudnya adalah Al-Mahdi. Dan mereka secara terang tetangan menyatakan keluar dari ketaatan dan mereka bertekat untuk memerangi orang yang mampu berperang di antara mereka. Maka apakan wajib hukumnya memerangi mereka dan apakah anak-anak dan harta mereka menjadi halal?
Beliau menjawab:”Al-Hamdulillah. Mereka wajib diperangi sampai mereka mau melaksanakan syari’at-syari’at Islam. Sesungguhnya An-Nushoiriyyah adalah termasuk orang-orang yang sangat besar kekafirannya meskipun mereka tidak mengikuti seorang dajjal seperti ini. Mereka dalah seburuk-buruk orang yang murtad. Mereka yang bisa berperang diperangi. Harta mereka dijadikan ghonimah. Sedangkan tentang anak-anak mereka apakah dijadikan budak masih diperselisihkan. Akan tetapi menurut kebanyakan ulama’ mereka dijadikan budak. Dan inilah yang terdapat dalam sejarah Abu Bakar dalam memerangi orang-orang murtad. Begutu pula para ulama’ berselisih pendapat tentang menjadikan perempuan mereka yang murtad sebagai budak. Sebagian mengatakan mereka dijadikan budak sebagaimana perkataan Abu Hanifah, dan sebagian mengatakan tidak dijadikan budak, sebagaimana perkataan asy-Syafi’I dan Ahmad. Sedangkan yang terdapat dikalangan sahabat adalah pendapat yang pertama, yaitu wanita-wanita murtad dari kalangan mereka yang murtad dijadikan budak Sesungguhnya Ali bin Abi Tholib menjadikan Al-Hanafiyyah, ibunya Muhammad ibnul Hanafiyyah termasuk orang-orang yang menjadi tawanan dari kalangan Bani Hanifah yang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar dan para sahabat ketika Kholid ibnul Walid diutus untuk memerangi mereka. Adapun jika mereka tidak menampakkan penolakan terhadap syari’at dan tidak pula mengikuti si pendusta yang dianggap sebagai iamam Mahdi yang ditunggu-tunggu ini, merekapun sesungguhnya juga tetap diperangi, akan tetapi mereka diperangi sebagaiman khowarij yang diperangi oleh Ali bin Abi Tholib ra. Atas perintah Rosul saw. Mereka diperangi sebagaimana orang-orang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar ra. Selama mereka tidak mau melaksanakan syari’at. Namun Anak-anak mereka tidak dijadikan ghonimah dan harta mereka tidak dijadikan ghonimah selama tidak digunakan untuk berperang. Adapun yang digunakan untuk memerangi kaum muslimin seperti kuda, senjata dan yang lain, mka para ulam’ berselisih pendapat tentang masalah ini. Disebutkan dalam riwayat bahwasanya Ali bin Abi Tholib merampas apa saja yang berada pada pasukan khowarij. Maka jika waliyul amri menghalalkan harta yang berada pada pasukan mereka, maka hal ini boleh. Hal ini selama mereka tidak mau menjalankan syri’at. Dan jika mereka tertangkap maka persatuan mereka harus dipecah, sarana kejahatan mereka dihancurkan, mereka dipaksa menjalankan syri’at Islam dan orang yang tetap dalam kemurtadannya dibunuh. Adapun orang yang menampakkan keislaman namun menyimpan kekafiran, yaitu munafiq, yang dinamakan oleh para fuqoha’ dengan zindiq, menurut kebanyakan fuqohq’ mereka dibunuh meskipun mereka bertaubat sebagaimana madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i. Dan mereka yang menjadi penyeru kepada kesesatan, dan kejahatannya itu tidak bisa ditahan kecuali dengan membunuhnya, makaia dibunuh juga, meskipun ia memperlihatkan taubat dan meskipun ia ditak dihukumi sebagai orang kafir, seperti pemimpin-pemimpin rofidloh yang menyesatkan orang. Sebagaimana umat Islam telah membunuh Ghoilan Al-Qodari, Ja’d bin Dirham dan penyeru-penyeru semacam mereka. Maka Dajjal semacam ini secara mutlak dibunuh. Wallohu A’lam. (Al-Fatawa Al-Kubro IV/215 masalah ke 409)
Ibnu Taimiyah berkata ketika membahas tentang perang melawan An-Nushairiyah:”….. tidak diragukan lagi bahwasanya memerangi dan menegakkan hukum hudud kepada mereka termasuk ibadah yang paling agung dan kewajiban yang paling utama dan jihad melawan mereka adalah lebih utama dari pada orang-orang musyrik dan ahlul kitab yang tidak memerangi umat Islam, karena jihad melawan mereka ini merupakan penjagaan terhadap negeri Islam yang telah dikuasai. Sedangkan jihad melawan orang-orang musyrik dan ahlu kitab yang tidak memerangi kita adalah merupakan tambahan terhadap idzharuddin, dan menjaga yang pokok itu lebih didahulukan dari pada yang cabang.” (Al-Fatawa Al-Kubro IV/215 masalah ke 409)
B. Kajian “Kufrun Duna Kufrin”
Di antara dalil yang dijadikan sandaran oleh orang-orang yang menyanggah atas kafirnya negara yang membuat dan menjalankan hukum positif adalah sebuah atsar dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44].
Ibnu Abbas mengatakan,
إنه ليس بالكفر الذي يذهبون إليه إنه ليس كفراً ينقل عن الملة ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون كفر دون كفر
” Kufrun duna kufrin’ atau,” Bukan kufur yang kalian maksudkan.”
1. Kajian Terhadap Riwayat Dari Ibnu Abbas Tentang Tafsiran Ayat Tersebut
Ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan secara khusus yaitu “kufrun duna kufrin” atau “kufur ashghor”. Riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
3- Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah I/41,” menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,” Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah,” ” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir. “
Beliau menjawab,
كفى به كفره
” Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.”
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya,” Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.” Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. [lihat Tahdzibut Tahdzib I/515], dalam At Taqrib I/505 Al Hafidz mengomentarinya,” Shaduq.”
Dengan sanad imam Waki’ pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun dengan lafal,
هي به كفر
” Dengan hal itu ia telah kafir.”
Ibnu Thawus berkata,
ليس بالكفر الذي يذهبون إليه
” Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya.”
Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan
وليس كمن كفر بالله وملائكته وكتبه
“Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya ” , riwayat ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, melainkan perkataan Thawus.
2-. Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’ ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas, tentang ayat;
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Ibnu Abbas berkata,” Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.”
Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507]. Adapun Ibnu waki’ adalh Sufyan bin waki’ bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312,” Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.’
Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.
Kesimpulannya, tambahan ini dinisbahkan kepada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.
3- Al Hakim [II/313] telah meriwayatkan dari Hisyam bin Hujair dari Thawus ia berkata,” Ibnu Abbas berkata,” Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari milah.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” Maksudnya adalah Kufur duna kufrin.”
Al Hakim mengatakan,” Ini adalah hadits yang sanadnya shahih.” Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibn Katsir [II/62] dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah,” “Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.”
Beliau berkata,” Bukan kekufuran yang mereka maksudkan.”
Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in dan lain-lain. [Tahdzibu Tahdzib VI/25]. Ibnu ‘Ady menyebutkannya dalam Al Kamil fi Dhu’afai Rijal [VII/2569]. Demikian juga oleh Al ‘Uqaily dalam Al Dhu’afa al Kabir [IV/238].
Tidak ada yang mentsiqahkannya selain ulama yang terlalu mudah mentsiqahkan seperti Al ‘Ijli dan Ibnu Sa’ad. Imam Bukhari dan muslim meriwayatkan darinya secara mutaba’ah, buan secara berdiri sendiri. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan perkataannya,“ Saya akan mendatangi 90 istriku pada malam hari ini…” Beliau telah meriwayatkannya dengan nomor (5224) dengan mutaba’ah Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara mutaba’ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tempat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas,” Mu’awiyah berkata kepadaku,” Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…” Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba’ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus. Abu Hatim berkata,” Haditsnya ditulis.” [Tahdzibu Thadzib VI/25]. Maksudnya dilihat terlebih dulu apakah ada mutaba’ahnya sehingga haditsnya bisa diterima, atau tidak ada mutaba’ah sehingga ditolak ?
Saya katakan,”Hadits ini di antara hadits-hadits yang setahu kami tidak ada mutaba’ahya. Dalam diri saya ada keraguan tentang keshahihannya meskipun dishahihkan oleh Al Hakim, karena ia terkenal terlalu memudahkan dalam menshahihkan hadits, semoga Allah merahmati beliau.
4- Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia bekata,” jika ia juhud (ingkar) terhadap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka ia adalah dholim dan fasiq.”
Sanad ini munqathi’ (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan. [Tahdzibu Tahdzib IV/213-2141. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun sebagian besar ulama melemahkannya.
Saya katakan, dengan demikian apa yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ditinjau dari segi sanadnya ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Sanad yang shahih ; sebagian mengandung pengkafiran secara mutlaq terhadap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara sebagian lain mengandung tambahan ” dan bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya”, meskipun tambahan ini juga merupakan perkataan Ibnu Thawus sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian, pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tak kosong dari kritikan, diterima dan ditolak. Dengan demikian, kalau ada seorang muslim yang berpegangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang telah pasti tentang kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlaq maka dengan alasannya tersebut ia tidak melakukan suatu kesalahan. Demikian kami katakan, meskipun kami cenderung menetapkan tambahan tadi dari Ibnu Abbas sebagaimana telah kami sebutkan.
2. Atsar Ibnu Abbas Bukanlah Satu-Satunya Pendapat Dalam Masalah Ini
Sementara orang ada yang menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini. Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pendapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada kekufuran akbar tanpa merincinya.
- Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab,” Harta haram.” Keduanya bertanya,” Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab,” Itulah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini:
” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah.[Tahdzibu Tahdzib VI/240,VI/41-42,III/497-498,II/380].
o Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq,” Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya,” Apakah harta haram itu ?” Beliau menjawab,” Uang suap.” Laki-laki tersebut bertanya lagi,” Bagaimana kalau dalam masalah hukum.” Beliau menjawab,” Itu adalah kekufuran.” kemudian beliau membaca ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
o Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah,” Diriwayatkan oleh Al Musaddad , Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…”
Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IV/199. Beliau berkata,” Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sementara guru Abu Ya’la ; Muhammad bin Utsman tidak saya ketahui.” Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami dalam komentarnya atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250 berkata sebagai jawaban atas pernyataan imam Al Haitsami,” Jika ia tidak mengetahui Muhammad bin Utsman maka tidak berbahaya, karena Fitha gurunya memiliki mutaba’ah dari Syu’bah dalam riwayat Al Hakim dan Al Baihaqi, sementara Muhammad bin Utsman mempunyai mutaba’ah dari Maki bin Ibrahim dalam riwayat Al Baihaqi…”
Saya katakan,” Ini kalau dianggap shahih riwayat Abu Ya’la dari perkataan Abu Ya’la,” Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ustman dari Umar,” kalau tidak maka syaikh Al A’dzami telah menyebutkan dalam tempat yang sama bahwa riwayat yang bersambung adalah telah menceritakan kepadaku Muhammad telah menceritakan kepadaku Utsman bin Umar.” Muhaqiq Musnad Abu Ya’la telah tegas menyatakan bahwa yang benar adalah Muhammad dari Utsman bin Umar. Adapun yang ada dalam musnad adalah penyimpangan, kemudian beliau berkata,” Utsman bin Umar adalah Al Abdi.” [lihat Musnad Abu Ya’la dengan tahqiq :Husain Sualim Asad IX/173-174]. Saya katakan,” Utsman bin Umar Al Abdi seorang perawi tsiqah, termasuk perawi kutubus sitah.” [Tahdzibu Tahdzib IV/92-93].
Ath Thabrani dalam Al Mu’jamu Al Kabir [IX/229 no. 9100] meriwayatkan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud ia berkata,” Uang suap dalam masalah hukum adalah kekufuran dan ia uang haram di antara manusia.” Al Haitsami dalam Majma’ [IV/199] berkata,” Para perawinya perawi kitab ash shahih.”
Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52 meriwayatkannya dengan lafal,” Hadiah atas vonis (yang menguntungkan) adalah kekufuran, ia uang haram di antara kalian.”
Saya katakan,” Atsar dari Ibnu Mas’ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang pertama sekedar uang haram, sementara yang kedua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan :
Satu. Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan secara mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.
Dua. Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah kafir asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar. Al Jashash dalam Ahkamul Qur’an II/433 berkata,” Ibnu Mas’ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya. Beliau mengatakan,” Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran.”
Perbedaan pendapat yang kami jelaskan ini juga dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madariju As Salikin I/336-337, di mana beliau mengatakan,” Ibnu Abbas berkata,” Bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari milah, tapi jika ia mengerjakannya berarti telah kafir namun bukan seperti orang yang kafir kepada Allah dan hari akhir.” Demikian juga pendapat Thawus…Ada yang mentakwil ayat ini kepada makna para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah karena juhud (mengingkari). Ini adalah pendapat Ikrimah, dan pendapat ini lemah karena mengingkari itu sendiri merupakan kekafiran baik ia sudah berhukum maupun belum. Ada juga yang mentakwilnya dengan makna meninggalkan berhukum dengan seluruh kandungan kitabullah…ada juga yang mentakwilnya dengan berhukum dengan hukum yang bertentangan dengan nash-nash secara sengaja, bukan karena salah dalam mentakwil. Ini disebutkan oleh Imam al Baghawi dari para ulama secara umum. Ada juga yang mentakwilnya bahwa ayat ini untuk ahlul kitab…sebagian lainnya membawa makna ayat ini kepada kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”
Pendapat yang dinukil oleh Ibnu Qayyim ini secara tegas menyatakan pendapat Ibnu Abbas bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini. Sebagian salaf ada yang membawa kekafiran dalam ayat ini kepada makna kafir yang mengeluarkan dari milah, sementara sebagian lainnya tidak demikian.
Dengan ini semua, kalau ada yang berpendapat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah, maka ia telah mempunyai ulama salaf yang lebih dulu mengatakan hal itu. Wallahu A’lam.
Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sendiri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata “kafir” tersebut mengandung dua macam kekafiran ; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah ; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui perbuatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah ; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim, sebagaimana akan disebutkan nanti dengan izin Allah. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu Abbas di atas.
Namun kami tetap mengatakan atsar ini adalah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syariat Islam menjadi satu-satunya syariat yang berkuasa. Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang ketetapan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari milah, tidak termasuk dalam pembagian di atas. Ini akan kita bicarakan sebentar lagi secara rinci, dengan izin Allah.
3. Hal Ini Bukanlah Ta’wil Atau Mengada-Ada.
Kami katakan,” Ketika kami membedakan antara penguasa yang berhukum dalam satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang dengan undang-undang selain apa yang telah diturunkan Allah, dan kami membawa pendapat Ibnu Abbas untuk makna al qadha’ (memutuskan perkara), bukan untuk masalah tasyri’ (menetapkan undang-undang), pendapat yang kami pegangi ini bukanlah takwil sebagaimana dituduhkan oleh syaikh ---semoga Allah mengampuni kita dan beliau --- namun justru hal ini berarti membawa lafadz kepada makna asalnya dalam pengertian secara bahasa.
Karena makna Al hukmu (berhukum, memutuskan perkara) secara bahasa adalah al qadha’, sebagaimana disebutkan dalam Al Qamus IV/98. Secara istilah Al Qur’an, terkadang bermakna al qadha’ sebagaimana firman Allah:
وأن احكم بينهم بما أنزل الله
” Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum Allah.” [QS. Al Maidah :49].
Dan firman-Nya:
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام
” Dan janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil dan kalian membawanya kepada para hakim.” [QS. Al Baqarah :188].
Terkadang dalam Al Qur’an bermakna qadar (taqdir), itulah uyang disebut para ulama dengan istilah hokum kauni syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فلن أبرح الأرض حتى يأذن لي أبي أو يحكم الله لي وهو خير الحاكمين
” Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir sampai ayah mengizinkanku untuk kembali atau Allah memberi keputusan kepadaku. Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang sebaik-baiknya..“[QS. Yusuf :108].
Terkadang bermakna tasyri’, itulah yang disebut oleh para ulama dengan istilah hukum syar’I, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إن الله يحكم ما يريد
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Ia kehendaki.” [QS. Al Maidah:1]. [Mengenai masalah hukum kauni dan hukum syar’i, silahkan lihat Syifaul ‘Alil Ibnu Qayim hal. 270-283 dan Syarhu Aqidati Ath Thahawiyah II/658].
Perkataan Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir...” [QS. Al Maidah: 44].
Ketika kami mengatakan bahwa “al hukmu” yang dimaksud dalam atsar Ibnu Abbas adalah al qadha’ dan bukan makna tasyri’, maka kami sama sekali tidak menakwil. Karena takwil yang dimaksud di sini adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya. Apakah kami memalingkan lafal ini dari dhahirnya ? Ataukah kami kembalikan kepada makna asalnya yaitu al qadha ?
Bahkan saya mendapati perkataan Ibnu Abbas sendiri yang menunjukkan beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Yaitu dalam riwayat ath Thabrani dalam Al Mu’jamu Al Kabir X/226 no. 10621, dari Ibnu Buraidah Al Aslami ia berkata,” Seorang laki-laki mencela Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas menjawab,” Anda mencela saya padahal saya mempunyai tiga sifat ; Saya membaca satu ayat Al Qur’an lalu saya ingin agar manusia bisa memahami maknanya sebagaimana saya memahaminya, saya mendengar ada seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin yang adil dalam hukumnya maka saya senang karenanya padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya, dan aku mendengar hujan jatuh di salah satu negeri kaum muslimin maka aku senang karenanya padahal aku tidak mempunyai hewan ternak di negeri tersebut.”
Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IX/284 berkata,” Para perawinya adalah perawi kitab ash shahih.” Saya katakan,” Bukti (kebenaran yang saya sampaikan ini) adalah perkataan beliau “seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin” serta perkataan beliau “padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Bagaimanapun keadaannya, sebuah lafal jika mempunyai beberapa makna, maka memilih salah satu maknanya sama sekali tidak dianggap sebuah takwil.
Dalil-dalil yang membenarkan pendapat kami :
Sesungguhnya yang membawa kami untuk membedakan antara seorang penguasa yang menetapkan undang-undang selain syariat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mewajibkan mereka berhukum dengannya, dengan seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih di antara rakyatnya dengan selain hukum Allah. Kami nyatakan penguasa pertama telah kafir keluar dari milah sementara penguasa kedua berada di antara dua kemungkinan ; kafir asghar atau kafir akbar. Kami membawa perkataan Ibnu Abbas kepada penguasa yang kedua. Kami katakan ada banyak alasan yang membawa kami untuk melakukan hal ini, di antaranya :
Dalil-dalil yang menegaskan bahwa tasyri’ selain dari Allah adalah kafir akbar.
Sesungguhnya nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa siapa yang menetapkan undang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum dengannya, ia telah melakukan kafir akbar yang mengeluarkannya dari milah, berdasar beberapa dalil berikut ini :
1- Di antaranya firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
” Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An Nisa’ :59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ---sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim,” Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…” [A’lamul Muwaqi’in I/84].
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,” Maksudnya kembalikanlah perselisihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan “ Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”. Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir.” [Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim I/519].
Syaikh Muhammad bi Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin mengatakan,” Perhatikanlah ayat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata nakirah yaitu “suatu perkara” dalam konteks syarat yaitu firman Allah “Jika kalian berselisih” yang menunjukkan keumuman…lalu perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan hal ,ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firmannya ” Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” [Risalatu Tahkimi Al Qawanin hal. 6-7].
Saya bertanya,” Apa yang dilakukan oleh para penetap undang-undang positif ? Bukankah mereka mengembalikan seluruh perselisihan dan perbedaan pendapat di antara mereka kepada selain kitabullah dan sunah Rasulullah ?”
4- Di antaranya juga adalah firman Allah:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
” Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. An Nisa’ :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang sama mau berhukum dengan selain syariat Allah. Ibnu Qayyim dalam A’lamul Muwaqi’in I/85 berkata,” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa siapa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut. Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghut setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka mentaatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah.”
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan dalam tafsirnya I/520,” Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisihan ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshor berselisih dengan seorang yahudi. Si Yahudi berkata,”Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad.” Si shahabat Anshar berkata,” Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka’ab bin Al Asyraf.” Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafiq yang menampakkan keislaman mereka namun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur’an dan As Sunah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini.”
Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi dalam Taisirul ‘Azizil Hamid hal 554 mengatakan,” Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemudian berpaling kepada berhukum kepada selain Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya.”
5- Di antaranya juga adalah firman Allah;
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“ Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An Nisa’: 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan adatu nafyi dan dengan sumpah. [Tahkimul Qawanin hal. 5].
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya I/521," Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin."
Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini :
" Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehingga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, namun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan.” [A’lamul Muwaqi’in I/86].
6- Firman Allah Ta’ala :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
” Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin ?” [QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu perundang-undangan dan system jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syariat dan system Allah. Jika syariat Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur’an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah ?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan,” Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:
” Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” [Risalatu tahkimil Qawanin hal. 11-12].
Dalam tafsirnya II/68, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
” Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari system perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak maupun sedikit.”
Dan apakah perbedaan antara kaum Tartar yang dikafirkan oleh Ibnu Katsir ini dan beliau nyatakan wajib diperangi, dengan para penguasa kita hari ini ? Bukankah para penguaa kita hari ini menetapkan undang-undang dengan mengambil dari berbagai perundang-undangan Barat yang kafir ? Mereka mewajibkan rakyat untuk taat dan tunduk kepada undang-undang mereka, tanpa terkecuali.
Kami katakan tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar ‘alamah syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Sebelum melanjutkan penjelasan lebih lanjut, saya ingin mengingatkan di sini bahwa ketika berhukum dengan Alyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Alyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H,” Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…”
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah,” Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka syaikh taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata,” Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu’awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya.”
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat,” Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku.” [Al Bidayah wan Nihayah XIV/25, lihat juga Majmu’ Fatawa XXVIII/501-502, XXVIII/509 dst].
Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Alyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Alyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam [Umdatu tafsir IV/173-174].
5. Saya kembali ke pembahasan dalil-dalil kafirnya menetapkan undang-undang positif. Di antara dalil yang menyatakan hal ini adalah firman Allah:
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
” Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan (menatpkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [QS. Asy Syura :21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat dirinya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya IV/112 ketika menafsirkan ayat ini,” Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyariatkan Allah. Namun mereka mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa pengharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak.”
1- Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani :
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
” Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At Taubah : 31].
Sudah sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mereka dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan,” Mereka tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendeta menghalalkan sesuatu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya.” Imam Tirmidzi berkata,” Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A’yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits.”
Hadits ini dihasankan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa VII/67, sementara sebagian ulama lain melemahkannya. Apapun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Pengarang Fathul Majid (hal. 79) mengatakan tentang ayat ini,” Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah mengangkat orang tersebut sebagai rabb, sesembahan dan menjadikannya sebagai sekutu Allah…”
2- Di antara dalil lainnya adalah firman Allah :
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
” Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musyrikin berkata kepada kaum muslimin,”Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini. [lihat Tafsir Ibnu Katsir II/172].
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata,” Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syariatnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan undang-undang selain-Nya atas syariat-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah,” Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah...”
Tidak diragukan lagi mengikuti undang-undang positif yang menihilkan syariat Allah merupakan sikap berpaling dari syariat dan ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia. Syaikh Syanqithi dalam tafsir Adhwaul Bayan IV/91 saat menafsirkan firman Allah:
ولا يشرك في حكمه أحدا
“ Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al Kahfi :26].
Beliau berkata,” Dipahami dari ayat ini " Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan " bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain apa yang disyariatkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah,:
وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
" Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri' (peraturan-peraturan) yang menyelisihi syariat Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat," Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan ? Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus." [QS. Yasin :60-61].”
8- Telah menjadi ijma’ ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah XIII/128 setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Alyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :
“Barang siapa meninggalkan syariat yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syariat-syariat lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah ? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,” Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dineul Islam atau mengikuti syariat (perundang-undangan) selain syariat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,”Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ...” {QS. An Nisa’ :150}. [Majmu’ Fatawa XXVIII/524].
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa XXVIII/267,” Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syariat Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama.”
Saya bertanya,” Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati ? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati ? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akan hal ini, sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Insya Allah.
Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan III/400 dalam menafsirkan firman Allah,” Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik.” Ini adalah sumpah Allah Ta’ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma’ kaum muslimin.”
Abdul Qadir Audah mengatakan,” Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin.” [Al Islam wa Audha’una Al Qanuniyah hal. 60].
Demikianlah…nash-nash Al Qur’an yang tegas ini disertai ijma’ yang telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syariat Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas tidak berlaku atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha’ (menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syariat Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syariat Islam.
4. Pendapat Para Ulama Mu’ashirin Yang Menyatakan Bahwa Atsar Ibnu Abbas Tidak Sesuai Untuk Para Pnguasa Saat Ini
Pembicaraan kita pada dua pembahasan terdahulu berkisar pada masalah menetapkan hukum selain dengan hukum Allah adalah kafir akbar dan hukum-hukum positif adalah jelas-jelas kekafiran.
Kini kami akan membicarakan sebuah permasalahan yang lebih spesifik, yaitu penjelasan tentang tidak benarnya menggenakan atsar Ibnu Abbas untuk menghukumi para penguasa hari ini dan hukum-hukum positif batil ketetapan mereka. Dalam kesempatan ini kami mencukupkan diri dengan mengetengahkan pendapat para ulama kontemporer yang mengerti persoalan hukum-hukum positif tersebut dan bahaya destruktifnya. Maksud kami adalah menerangkan bahwa ketika kami menyatakan atsar Ibnu Abbas tidak bisa dipakai untuk menghukumi para penguasa yang menetapkan undang-undang tanpa izin Allah, kami sama sekali tidak mengada-adakan pendapat baru. Kami katakan, wabillahi at Taufiq :
3- Syaikh ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir dalam Umdatu Tafsir IV/156-158 mengomentari atsar Ibnu Abbas dengan perkataan beliau,” Atsar-atsar dari Ibnu Abbas dan lainnya ini dipermainkan oleh orang-orang yang membuat kesesatan pada masa kita ini, dari kalangan ulama dan orang-orang yang berani memperalat agama. Mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai udzur atau pembolehan bagi hukum-hukum positif yang diterapkan di negeri-negeri Islam. Ada juga atsar Ibnu Mijlaz tentang perdebatan beliau dengan kaum Khawarij Ibadhiyah tentang perbuatan para penguasa dzalim yang menetapkan vonis dalam beberapa kasus dengan vonis yang bertentangan dengan syariah, dikarenakan hawa nafsu atau tidak mengetahui hukum kasus tersebut. Kaum Khawarij berpendapat orang yang melakukan dosa besar telah kafir, mereka mendebat Abu Mijlaz dengan tujuan beliau menyetujui pendapat mereka yang mengkafirkan para penguasa tersebut, sehingga dengan demikian mereka mempunyai alasan untuk memerangi para penguasa tersebut. Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ath Thabari (12025 dan 12026). Saudara saya, Mahmud Muhammad Syakir telah mengomentarinya dengan sebuah komentar yang kuat, bagus dan bermutu…” Syaikh Ahmad Syakir kemudian menyebutkan teks riwayat atsar yang pertama, kemudian mengatakan :
“ Saudara saya, Mahmud Ahmad Syakir telah menulis berkenaan dengan dua atsar ini,” Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan. Wa Ba’du. Sesungguhnya orang-orang yang ragu dan ahlu fitnah di kalangan ulama pada masa sekarang ini telah mencari-cari alasan untuk membela para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah dan memutuskan perkara dalam masalah darah, kehormatan dan harta dengan selain syariah Allah yang diturunkan dalam kitab-Nya. Mereka membela penguasa yang menjadikan undang-undang kafir sebagai undang-undang di negeri-negeri Islam. Ketika mereka menemukan dua riwayat ini, mereka mengambilnya sebagai pembenar sikap penguasa yang memutuskan perkara dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan selain hukum Allah. Mereka menyatakan bahwa menetapkan perundang-undangan: baik orang yang meridhai maupun pelakunya, sama-sama tidak kafir.
Padahal sudah jelas bahwa kaum Ibadhiyah yang menanyai Abu Mijlaz bermaksud memaksakan dalil ini kepada beliau, agar beliau mengkafirkan para penguasa dikarenakan para penguasa berada di bawah bendera sultan (khalifah). Dan juga karena barangkali para penguasa berbuat maksiat atau melanggar beberapa larangan Allah.
Karena itu dalam menanggapi atsar yang pertama (12025), Abu Mijlaz menjawab,” Jika mereka meninggalkan suatu hal (memutuskan kasus dengan hukum Allah), mereka mengetahui bahwa dengan hal itu mereka telah melakukan suatu dosa.” Mengenai atsar kedua (12026), Abu Mijlaz berkata kepada kaum Ibadhiyah,” Mereka mengerti apa yang mereka kerjakan dan mereka menyadari kalau perbuatan tersebut adalah sebuah dosa.”
Dengan demikian, pertanyaan kaum Ibadhiyah bukanlah apa yang dijadikan alasan oleh para pengikut bid’ah zaman sekarang ini yaitu memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi syariah orang Islam, dan bukan pula dalam masalah menetapkan undang-undang yang diwajibkan atas kaum muslimin dengan berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan atas lisan nabi-Nya. Menetapkan undang-undang selain hukum Allah ini adalah berpaling dari hukum Allah, membenci dien-Nya dan mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum Allah Ta’ala. Ini jelas sebuah kekafiran yang tak diragukan oleh seorang muslim manapun, meskipun mereka masih berbeda pendapat mengenai kafirnya orang yang mengatakan dan juru kampanyenya…”
Barang siapa beralasan dengan kedua atsar ini bukan pada tempatnya dan memalingkan maknanya kepada selain makna sebenarnya karena ingin menolong sultan atau sebagai rekayasa untuk memperbolehkan berhukum dengan selain hukum Allah dan memperbolehkan penguasa mewajibkan kaum muslimin untuk berhukum kepada hukum tersebut. Hukum orang yang seperti ini dalam tinjauan syariah adalah orang yang mengingkari hukum Allah. Ia diminta untuk bertaubat, jika tetap pada pendiriannya, terus menerus seperti itu, mengingkari hukum Allah dan ridha dengan digantinya hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya hukum yang berkenaan dengan orang kafir yang tetap bertahan di atas kekafirannya telah sama-sama diketahui oleh orang yang memahami dien ini.”
Perkataan Syaikh Ahmad Syakir dan pengakuan beliau terhadap perkataan saudara beliau, Syaikh Mahmud Ahmad Syakir sudah jelas sejelas matahari di siang bolong dalam membedakan antara maksud perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz dengan kondisi kita hari ini. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz berkenaan tentang penguasa dzalim yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, namun undang-undang yang berlaku dalam negara adalah syariah Islam. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz tidak berkenaan dengan penguasa yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi syariat Allah dan mewajibkan rakyat untuk berhukum kepada undang-undang tersebut.
4- Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan,” Riwayat dari Ibnu Abbas, Thawus dan lain-lain menunjukkan bahwa penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir, baik kafir I’tiqad yang mengeluarkan dari Islam maupun kafir amal yang tidak mengeluarkan dari Islam.
Kafir yang pertama ; Kafir I’tiqad. Ada beberapa macam….Yang kelima. Adalah yang paling besar, paling luas dan paling nyata penentangannya terhadap syariah, penentangannya terhadap hukum-hukum syariah dan permusuhannya terhadap Allah dan rasul-Nya, dan paling nyata dalam menyaingi pengadilan-pengadilan Islam. Pengadilan hukum positif ini telah ditegakkan dengan segala persiapan, dukungan, pengawasan, sosialisasi yang gencar dan pembuatan hukum baik pokok maupun cabang serta pemaksaan dan membuat referensi dan sumber-sumber hukum, yang semuanya untuk menandingi mahkamah Islam. Sebagaimana pengadilan-pengadilan Islam mempunyai referensi dan pokok landasan yaitu seluruhnya berdasar Al Qur’an dan As sunah, demikian juga undang-undang dalam pengadilan-pengadilan hukum positif ini juga mempunyai sumber, yaitu dari perundang-undangan dan berbagai ajaran dari banyak sumber, seperti undang-undang Perancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris dan lain sebagainya, juga dari berbagai sekte sesat pembawa bid’ah.
Kekafiran apalagi yang lebih besar dari kekafiran ini, dan pembatal syahadat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah“ manalagi yang lebih besar dari perbuatan ini ?
Sampai pada perkataan beliau :
“ Adapun jenis kedua dari dua jenis kekufuran karena meninggalkan berhukum dengan hukum Allah adalah kufur yang tidak mengeluarkan dari milah…yaitu jika syahwat dan hawa nafsunya membawanya untuk memutuskan suatu kasus dengan selain hukum Allah dengan masih meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itulah yang benar dan ia masih mengakui perbuatannya itu salah dan menjauhi petunjuk.” [Tahkimul Qawanin hal. 15-24].
Sudah kami sebutkan di muka bahwa syaikh Muhammad bin Ibrahim menyebutkan bahwa termasuk kafir akbar yang sudah jelas adalah menempatkan undang-undang terlaknat sebagai pengganti dari wahyu yang diturunkan ruhul amien (kepada Muhammad) sebagai hukum di antara makhluk. Syaikh Muhammad menjelaskan bahwa menetapkan undang-undang yang menyelisihi syariat Allah dan tunduk kepadanya merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Adapun kafir asghar yang disebutkan dalam atsar Ibnu Abbas berkenaan dengan orang yang didorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, sementara ia masih mengakui bahwa perbuatannya tersebut berarti kelemahan dalam menjalankan hukum Allah dan ia tidak menetapkan undang-undang yang menyelisihi hukum Allah.
5- Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin ditanya tentang perbedaan antara satu kasus yang diputuskan oleh seorang hakim dengan selain hukum Allah Ta’ala dengan menetapkan undang-undang ? Beliau menjawab,” Ya, ada perbedaan di antara keduanya. Masalah menetapkan undang-undang tidak masuk dalam pembagian yang telah lewat (atsar Ibnu Abbas-pent), namun ia masuk dalam bagian yang pertama saja (kafir akbar) karena orang yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi Islam, ia menetapkan undang-undang tersebut karena ia meyakini hal itu lebih baik dan bermanfaat bagi hamba, sebagaimana telah diisyaratkan di awal.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibni Utsaimin II/144].
Perkataan syaikh Utsaimin,” namun ia masuk dalam bagian yang pertama saja ” maksudnya termasuk bagian yang Allah menafikan iman darinya, yaitu kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. [lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibni Utsaimin II/141].
Dengan demikian jelas sudah bahwa yang dikatakan oleh syaikh Albani sebagai sebuah takwilan lucu, bukanlah sekedar pendapat yang kosong dari dalil dan diutarakan tanpa ilmu oleh sebagian orang-orang bodoh yang dijuluki syaikh Albani dan pengikutnya sebagai Khawarij kontemporer, namun justru adalah pendapat para ahli tahqiq dari ulama ahlu sunah wal jama’ah kontemporer yang mengerti betul undang-undang positif tersebut dan penentangannya terhadap kitabullah dan sunah rasul-Nya.
Saya mengajak syaikh Albani untuk memperhatikan kembali ungkapan imam Ibnul Qayyim ketika menerangkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah;
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44].
Dalam Madariju Salikin I/337 beliau mengatakan,” Pendapat yang benar bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua kafir sekaligus ; kafir asghar dan akbar sesuai kondisi penguasa tersebut. Jika ia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dalam kasus tersebut tapi kemudian ia berpaling kepada hukum lain dngan tetap mengakuiperbuatannya tersebut sebuah maksiat dan ia berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Adapun jika ia meyakini ia tidak wajib berhukum dengan hukum Allah dan ia bebas memilih antara berhukum dengan hukum Allah atau hukum lainnya meskipun ia menyakini hukum Allah, maka ini kafir akbar. Sedangkan jika ia tidak mengetahui hukum Allah (dalam kasus tersebut) dan ia memutuskan dengan keputusan yang salah, maka ia seorang yang bersalah (keliru) dan hukum yang berlaku atas dirinya adalah hukum orang yang keliru.”
Yang dimaksudkan di sini adalah memperhatikan kembali kata beliau “dalam kasus tersebut “. Ungkapan ini berbicara tentang sebuah kasus yang diputuskan oleh seorang penguasa dengan selain hukum Allah. Artinya, yang dimaksud dari penjelasan rinci ini adalah menjatuhkan vonis dalam sebuah kasus tertentu, bukan menetapkan sebuah undang-undang secara umum karena jika beliau memaksudkan menetapkan undang-undang maka ungkapan beliau “dalam kasus tersebut “ tidak akan ada maknanya. Sebabnya, seorang yang menetapkan undang-undang tidak menetapkannya untuk sebuah kasus saja, namun ia menetapkan sebuah hukum umum yang ia wajibkan kepada rakyatnya dalam kehidupan mereka. Ini menguatkan pendapat kami bahwa atsar Ibnu Abbas mengenai menetapkan vonis dalam kasus tertentu, bukan mengenai menetapkan undang-undang.
5. Kesimpulan
Ali bin Abil ‘Izz berkata tentang berhukum kepada selain syari’at Islam: Disini ada masalah yang harus direnungkan, yaitu bahwasanya berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh bisa berupa kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan kadang hanya berupa maksiyat, baik dosa besar maupun dosa kecil. Dengan demikian ia berarti kufur majazi atau kufur ashghor. Hal itu disesuaikan dengan kondisi pelakunya. Apabila ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Alloh itu tidak wajib, atau ia bebas memilih, atau ia meremehkannya padahal ia yakin bahwa itu adalah hukum Alloh, maka yang demikian ini adalah kufur akbar. Namun jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Alloh, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi, lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa, maka orang tersebut bermaksiat. tapi kalau ia tidak tahu hukum Alloh sementara ia sudah berusaha dan mengerahkan segala potensi untuk mengetahui hukum Alloh, namun ia keliru maka ia dianggap bersalah, ia tetap mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya sedangkan kesalahannya diampuni.
Abdul Akhir Hammad dalam mengomentari perkataan diatas berkata: Yang perlu diperhatikan juga bahwasanya pembagian seperti ini bermuara pada berhukum yang berarti al-qodlo’ (memutuskan) bukan dalam arti at-tasyri’ (membuat undang-undang). Karena kata hukum dalam Al-Qur’an kadang berarti al-qodlo’ sebagaimana firman Alloh:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah:44).
Pengertian inilah yang dimaksud oleh Ali bin Abil ‘Izz ketika menjadikan berhukum kepada hukum selain yang telah Alloh turunkan maka hukumnya berkisar antara kufur akbar dan kufur ashghor sesuai dengan keadaan (keyakinan) pelakunya. Hal itu dapat kita pahami dari perkataan beliau pada peristiwa yang terjadi itu artinya beliau tengah membicarakan suatu kejadian yang diselewengkan oleh hakim sehingga ia tidak memutuskannya sesuai dengan hukum Alloh.
Adapun arti yang kedua yaitu at-tasyri’ sebagaimana firman Alloh:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Alloh bagi orang-orang yang yakin”. (QS. Al-Maidah: 50).
Ayat ini berbicara tentang hukum Alloh yang berarti syari’at dan manhaj-Nya dibandingkan dengan hukum jahiliyah yang berarti syari’at dan manhaj jahiliyah. Oleh karena itu anda dapatkan seorang mufassir seperti Ibnu Katsir ketika berbicara tentang ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).
Beliau membahas panjang lebar tentang perselisihan para ulama’ salaf seputar ayat ini, ditujukan kepada siapa dan apa yang dimaksud dengan kufur di sini, dan yang lain-lain. Adapun ketika mentafsirkan ayat:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki”.
Maka kita dapatkan beliau sangat mempertegas masalah ini. Beliau menetapkan bahwa menyeleweng dari syari’at Alloh kepada syari’at lain yang dibikin oleh manusia sendiri merupakan kekufuran yang pelakunya harus diperangi sampai kembali kepada ajaran Alloh.Beliau mengatakan:”Alloh mengingkari orang-orang yang menyeleweng dari hukum Alloh yang muhkam dan mencakup segala kebaikan dan larangan segala keburukan, lalu berpaling kepada kepada hukum yang lain berupa pemikiran, hawa nafsu dan segala atribut hukum buatan manusia, yang tidak berlandaskan dengan syari’at Alloh, sebagai mana hukum yang diterapkan oleh bangsa Tartar, yang diadopsi dari raja mereka, Jengkis Khan, yang membuat Ilyasa sebagai buku yang berisi kumpulan hukum yang diambil dari berbagai hukum; dari Yahudi, Nasrani, Islam dan yang lainnya, dan didalamnya juga banyak hukum yang hanya berlandaskan pemikiran dan hawa nafsu belaka, lalu jadilah ia sebagai sebuah syari’at yang diikuti dan lebih diutamakan dari pada hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka siapa saja mereka yang melakukan seperti ini, ia adalah kafir yang wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Alloh dan Rosul-Nya. Sehingga tidak ada keputusan hukum baik sedikit maupun banyak kecuali dengan menggunakan hukum Alloh”.
Bahkan beliau telah menyatakan ijma’ tentang kafirnya orang menjadikan selain syari’at Alloh sebagai syari’at yang dijadikan landasan hukum. Sebagaimana yang beliau nyatakan dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah sebagai sanggahan terhadap kitab Ilyasa. Beliau mengatakan: Barangsiapa yang meninggalkan syari’at yang telah baku yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdulloh sebagai penutup para nabi lalu berhukum dengan syari’at-syari’at lain yang telah mansukh, maka ia telah kafir, lalu bagaimana halnya dengan orang yang berhukum dengan Ilyasa dan lebih mengutamakannya dari pada hukum Alloh? Orang yang melakukannya telah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Dari sini jelas bagi kita keputusan yang tegas berkenaan dengan undang-undang buatan yang menyelisihi syari’at Alloh yang merasuki negara-negara Islam sehingga menjadi undang-undang yang mengikat mereka, bahwa hal itu adalah kekufuran yang tidak perlu bantahan lagi. Para muhaqqiq dari kalangan ulama’ pada masa ini menyadari hal itu sehingga mereka sehingga mereka menjelaskan hukum undang-undang tersebut dalam Islam. Diantara mereka adalah syaikh Ahmad Syakir dalam mengomentari perkataan Ibnu Katsir diatas: Sesungguhnya hokum/undang-undang buatan manusia itu telah jelas bagaikan matahari di siang bolong, hal itu adalah kekafiran yang nyata dan tidak ada kesamaran lagi. Tidak ada alasan lagi bagi orang yang mengaku Islam untuk tidak mengamalkannya, tunduk kepadanya atau mengakuinya.
Syaikh Muhammad bin Ibrohim mufti Arab Saudi (lama) berkata: Tidak mungkin Alloh menamakan orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh sebagai orang kafir lalu orang yang melakukan hal tersebut tidak kafir. Akan tetapi sebenarnya ia tetap kafir secara mutlak baik kufur amali maupun kufur I’tiqodi……
Beliau berkata: kufur ‘itiqodi sangatlah banyak , diantaranya adalah:
Pertama: Orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh, maka sungguh ia telah menginggkari keabsahan hukum Alloh dan Rosul-Nya. Inilah yang dimaksud dari riwayat Ibnu Abbas dan yang dipilih Ibnu Jarir, yaitu mengingkari hukum syar’I yang diturunkan Alloh, dan dalam hal ini tidak ada perselisihan antara para ulama’.
Kedua: Orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh, maka ia tidak mengingkari keabsahan hukum Alloh akan tetapi ia berkeyakinan bahwa selain hukum Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi kebutuhan manusia sebagai pemutus perkara antara mereka ketika terjadi perselisihan, baik secara mutlak maupun hanya terbatas pada masalah-masalah baru yang muncul sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan kondisi. Seperti ini juga tidak diragukan lagi atas kekafirannya karena ia lebih mengutamakan hukum buatan makhluk yang hanya merupakan sampah-sampah otak dan kekerdilan hukum dibanding dengan hukum Alloh yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Ketiga: Orang tersebut tidak berkeyakinan bahwa hukum tersebut lebih baik dari pada hukum Alloh dan Rosul-Nya, akan tetapi ia berkeyakinan bahwasanya keduanya sama saja, maka seperti ini sama saja dengan dua kelompok sebelunya, ia kafir keluar dari Islam karena dengan demikian ia menyamakan antara makhluq dengan Kholiq.
Keempat: Orang tersebut tidak sampai berkeyakinan bahwa selain hukum Alloh itu sama dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya apalagi berkeyakinan bahwasanya hukum tersebut lebih baik, akan tetapi ia berkeyakinan boleh berhukum dengan hukum yang menyelisihi hukum Alloh dan Rosul-Nya. Orang semacam ini sama saja dengan orang-orang sebelumnya karena ia berkeyakinan bolehnya mengikuti hukum yang secara jelas bertentangan dengan nash.
Kelima: Yaitu yang paling besar dan paling luas cakupan penentangannya terhadap syari’at dan paling berani menentang hukum-hukumnya. Serta permusuhannya terhadap Alloh dan Rosul-Nya juga membuat tandingan terhadap mahkamah syar’iyah baik secara persiapan, dukungan , pengawasan, penyebaran pemahaman, sekaligus menyebarkan keraguan-keraguan, pengembangan, bahkan juga pemutusan dan pemaksaan paham dengan berbagai rujukan dan referensi yang dimiliki. Sebagaimana mahkamah syar’iyah itu mempunyai rujukan dan sandaran yaitu yang semuanya berdasar kitab Allah dan sunnah Rosulullah, mahkamah mereka pun juga memiliki referensi yaitu undang-undang yang diadopsi dari berbagai ajaran, berbagai perundang-undangan seperti undang-ndang Perancis, Amerika, Inggris dan undang-undang yang lain serta dari berbagai aliran bid’ah yang mengaku berpegang terhadap syariat dan lain-lainnya. Mahkamah-mahkamah seperti ini sekarang banyak terdapat di negeri-negeri Islam yang di sempurnakan, di siapkan dan terbuka bagi seluruh manusia dan banyak orang yang memanfaatkannya yang pada dasarnya adalah fatamorgana. Para hakimnya memutuskan perkara dengan hukum yang bertentangan dengan al Qur’an dan As Sunnah bahkan megesahkannya dan mengharuskan orang untuk mengikutinya. Dengan demkian kekufuran apalagi yang lebih besar dari pada itu, penentangan mana yang lebih dassyat dari penentangan perbuatan mereka itu terhadap persaksian bahwa Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam adalah Rosul Allah.
Keenam: Hukum-hukum yang digunakan oleh para pemimpin suku dan kabilah yang berupa cerita dari nenek moyang mereka yang mereka namakan Sulumuhum yang mereka warisi secara turun menurun, mereka jadikan sebagai hukum lalu mereka menjadikannya sebagai hukum ketika ada perselisihan. Mereka tetap diatas hukum jahiliyan dan menolak serta benci terhadap hukum Allah dan rosul Nya.
Adapun bagian yang kedua adalah kekafiran berhukum kepada selain hukum yang Alloh turunkan yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Diatas telah disebutkan tafsirannya Ibnu Abbas terhadap firman Alloh
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah: 44).
Ayat ini mencakup pengertian bagian ini. Yaitu perkataan beliau: Kufrun Duna Kufrin. Dan juga perkataan beliau: Kekafiran di sini bukanlah kekafiran yang kalian maksudkan. Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yang telah Alloh turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya adalah benar, ia mengakui kesalahannya bahwa ia telah mengikuti hawa nafsu.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwasanya al-hukmu bighoiri maa anzalalloh mengandung dua pengertian:
Pertama: Al-Qodlo’ (memutuskan perkara).
Pada pengertian ini para pelakunya berbeda-beda hukumnya, berkisar antara kufur akbar dan kufur ashgor (kufrun duna kufrin) sesuai dengan keadaan pelakunya. Ia akan termasuk kufur akbar yang menyebabkan dirinya keluar dari Islam jika:
3. Ia mengingkari atas kebenaran hukum Alloh dan Rosul-Nya.
4. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum Alloh dan Rosul-Nya.
5. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya sama dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya.
6. Ia berkeyakinan boleh berhukum kepada hukum yang menyelisihi hukum Alloh dan Rosul-Nya, meskipun ia yakin bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya itu lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum yang lain.
Dan perbuatan itu akan hanya sebagai maksiyat atau kufur ashghor atau kufrun duna kufrin jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Alloh, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi (yang ia putuskan), lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa. Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yang telah Alloh turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya adalah benar, dan ia mengakui atas kesalahannya dan ia juga mengakui bahwa ia telah mengikuti hawa nafsu.
Kedua: At-Tasyri’ (membuat undang-undang).
Pada pengertian yang kedua ini para ulama’ telah berijma’ atas kekafiran mereka dan wajib diperangi sampai mereka mau kembali kepada syari’at Islam.
Kajian ini dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dan penyesuaian dari kitab:
o Waqfaatun Ma’a Al Syaikh Al Albani Haula Syarith “Min Manhaji Al Khawarij” karangan Abu Isra’ Al-Asyuthi
o Tahdzib Syarhul ‘Aqidah Ath-Thohawiyyah karangan Abdul Akhir Hammaad
C. Mereka bodoh
Sesungguhnya tidaklah semua kebodohan itu bisa diterima sebagai alasan. Karena jika semua kebodohan itu bisa diterima sebagai alasan untuk berbat salah, maka orang-orang awam yang kerjaannya hanya taqlid lebih baik keadaannya dari pada para ulama’ yang senantiasa berijtihad. Sesungguhnya kemampuan seseorang untuk mencari ilmu itu cukup sebagai pembatal alasan kebodohan sehingga kebodohan itu tidak bisa diterima sebagai alasan untuk setiap orang. Para ulama’ telah bersepakat bahwasanya yang dijadikan patokan itu kemampuan dan kemungkinan intuk mengetahui dan bukan sampainya ilmu itu sendiri.
Adapun dalilnya adalah semua dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya berilmu sebelum berbicara dan berbuat.
Seperti firman Allah:
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لاتعلمون
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (An-Nahl: 43)
Dan firman Allah:
ياأيها الذين آمنوا لاتقدموا بين يدي الله ورسوله
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya “ Al-Hujurot: 1)
Dan sabda Rasululloh saw. :
طلب العلم فريضة على كل مسلم (صححه السيوطي بمجموع طرقه).
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Hadits ini dishohihkan oleh As-Suyuthi dengan semua jalannya.
Kemudian jika seseorang telah berusaha mencari ilmu yang wajib untuk ia ketahui maka tinggallah yang menjadi patokan adalah firman Alloh:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
“Alloh tidaklah memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai mampuannya.” (Al-Baqoroh: 286)
Dengan demikian maka orang yang tidak memungkinkan untuk mengetahui itu ada dua macam:
Pertama; ia telah berusaha untuk belajar tentang segala sesuatu yang wajib ia ketahui.
Adapun keadaan yang kedua adalah ia meremehkan dan memang berpaling dari kebenaran. Maka orang semacam ini kebodohannya tidak bisa diterima. Tentang orang semacam ini Ibnul Qoyyim berkata:
فكـل مـن تمكّن من معرفة ما أمر الله به ونهى عنه، فقصَّر عنه ولم يعرفه، فقد قامت عليه الحجة
“Maka setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui perintah dan larangan Alloh lalu ia meremehkannya sehingga ia tidak mengetahuinya, maka hujjah telah tegak baginya.”
Dan inilah pendapat seluruh ulama’.
Oleh karena itu disini kami sebutkan beberapa keadaan dimana kebodohan tidak bisa diterima sebagai alasan kekafiran. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Orang yang kebodohannya disebabkan karena tidak mau mencari ilmu syar’ii, dan tidak mau melihat ayat-ayat Allah yang menunjukkkan keesaan-Nya dan kebenaran yang datang dari Rasul.
Ia tidak mendatangi ilmu dan tidak mau pula diajari, maka barangsiapa yang ketidak tahuannya dengan risalah yang dibawa oleh Rasul itu karena berpaling dari ilmu maksudnya ia tidak mau belajar dan tidak mau diajar, maka ketidak tahuannya tentang risalah itu tidak dapat diterima sebagai alasan. Allah berfirman :
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآياتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ
"Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.” (Al-An’am: 157)
صدف عنها
Artinya berpaling dari ayat-ayat tersebut, begitulah kata Ibnu Abbas, Mujahid, Qotadah, dan Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir berkata dalam tafsirnya :
سيثيب الله الذي يعرضون عن آياته وحججه ولا يتدبرونها ولا يتعرفون حقيقتها فيؤمنوا بما دلتهم عليه من توحيد الله وحقيقة نبوة نبيه، وصدق ماجاء به من عند ربهم سوء العذاب
Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang menentang ayat-ayat dan dalil-dalilnya dan tidak memahaminya serta tidak mengetahui hakekatnya sehingga beriman dengan keesaan allah dan hakekat kenabian, serta percaya dengan apa yang dia bawa dari sisi Rab-Nya dengan adzab yang sangat jelek.
Allah berfirman :
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْراً وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوا إِذاً أَبَداً
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Rabbnya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang dikerjakan oleh kedua tangannya Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya. (Al-Kahfi: 57)
Ibnu jarir berkata :
يقول عز ذكره، وأي الناس أوضع للإعراض والصد في غير موضعهما ممن ذكره بآياته وحججه، فدله بها على دليل سبيل الرشاد، وهداه بها إلى طريق النجاة، فأعرض عن آياته وأدلته في استدلاله بها الوصول على الخلاص من الهلاك
Allah berfirman, siapakah yang lebih berpaling dan menghalang-halangi dari pada orang yang diingatkan dengan ayat-ayat Allah dan hujjah-hujjahnya, ia diberikan petunjuk kepada jalan kebenaran dan jalan keselamatan lalu dia berpaling dari ayat-ayat yang menyelamatkan dia dari kehancuran.
Ibnu katsir berkata :
يقول تعالى وأي عباد الله أظلم ممن ذُكر بآيات الله فأعرض عنها، أي تناساها وأعرض عنها ولم يصغ لها ولا ألقى إليها بالاً
Allah berfirman : siapakah hamba Allah yang lebih dhalim daripada orang yang telah diingatkan dengan ayat-ayat Allah lalu dia berpaling maksudnya dia melupakan dan berpaling daripadanya dan tidak memperhatikannya.
Allah berfirman:
وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْراً. مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْراً. خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاً.
Dan sesungguhnnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan(al-Qur'an). Barangsiapa yang berpaling daripada al-Qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat, mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat.” (Thoha: 100-101)
Allah berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيراً . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat" Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan". (Thoha: 124-126)
Allah berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)
Dan dalam hadits disebutkan:
عن أبي واقد الليثي، أن رسول الله ، بينما هو جالس في المسجد والناس معه إذ أقبل ثلاثة نفر، فأقبل اثنان إلى رسول الله وذهب واحد. قال: فوقفا على رسول الله ، فأما أحدهما فرأى فرجة في الحلقة فجلس فيها، وأما الآخر فجلس خلفهم، وأما الثالث فأدبر ذاهباً فلما فرغ رسول الله قال:" ألا أخبركم عن النفر الثلاث؟ أما أحدهم فآوى إلى الله فآواه الله، وأما الآخر فاستحيا فاستحيا الله منه، وأما الآخر فأعرض فأعرض الله عنه " متفق عليه.
Dari Abu Waqid Al Laitsi : bahwasannya Rasulullah Saw. Ketika duduk didalam masjid bersama orang-orang datanglah tiga orang lalu yang dua orang menghadap Rasulullah dan yang satu pergi, maka kedua orang tersebut itu berhenti dihadapan Rasulullah, salah seorang diantara keduanya melihat ada celah diantara halaqah tersebut maka iapun duduk di celah itu, adapun yang satunya duduk di belakang, adapun yang ketiga dia berpaling dan pergi maka ketika selesai Rasullullah bersabda : maukah kalian aku beri tahu tentang tiga orang tersebut ? yang pertama ia berlindung kepada Allah maka Allah melindunginya, adapun yang kedua ia malu maka Allah pun malu darinya, dan yang ketiga dia berpaling, maka Allah pun berpaling darinya. ( Muttafaq Alaihi )
Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
اعلم أن من أعظم نواقص الإسلام عشرة، منها الإعراض عن دين الله لا يتعلمه ولا يعمل به، والدليل قوله تعالى: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
Ketahuilah bahwasanya diantara pambatal-pembatak keislaman yang terbesar adalah berpaling dari agama Alloh, tidak mau mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya. Dan dalilnya adalah firman Alloh: “(22) Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.
Ibnu Qayyim berkata :
إن العذاب يستحق بسببين، أحدهما: الإعراض عن الحجة وعدم إرادتها والعمل بها وبموجبها. الثاني: العناد لها بعد قيامها وترك إرادة موجبها. فالأول كفر إعراض، والثاني كفر عناد. أما كفر الجهل مع عدم قيام الحجة وعدم التمكن من معرفتها فهذا نفى الله التعذيب عنه حتى تقوم حجة الرسل.
“Sesungguhnya Allah mengadzab itu lantaran dua sebab, pertama : karena berpaling dari hujjah dan tidak menghendakinya serta tidak mau mengamalkan konsekwensinya, kedua : keras kepala setelah menerima hujjah dan tidak mau melaksanakan konsekwensinya. Adapun yang pertama adalah kufru I’radh dan yang kedua adalah kufru I’nad, adapun kufru jahli ( kekafiran yang disebabkan kebodohan ) sedangkan dia belum menerima hujjah dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahuinya maka Allah tidak akan mengadzabnya sampai ia menerima hujjah para Rasul.
3. Orang yang kebodohannya disebabkan karena taklid kepada nenek moyang atau karena mengikuti para pemimpin yang kafir dan sesat.
Allah berfirman:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا . وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيراً
Dan mereka berkata:"Ya Rabb Kami, sesungguhnya kami telah menta'ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (Al-Ahzab: 67-68)
Allah berfirman:
وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَاداً وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الْأَغْلالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri:"(Tidak), sebenarnya tipu daya (mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya".Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab.Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir.Mereka tidak di balas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan". (Saba’: 33)
Allah berfirman:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّأُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan ketika segala hubungan mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:”Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kep[ada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kalimereka tidak akan keluar dari api neraka. (Al-Baqarah: 166-167)
Ibnul Qoyyim berkata:”Tingkatan orang-orang taqlid dan bodoh dari kalangan orang-orang kafir, para pengikut dan keledei mereka yang selalu mengikuti mereka. Mereka mengatakan:Kami dapatkan orang-orang tua kami berbuat begini maka kami mengikuti mereka.” Namun demikian mereka membiarkan orang Islam dan tidak memerangi mereka, seperti kaum wanita, anak-anak mereka, pembantu-pembantu dan para pengikut mereka yang tidak berbuat sebagaimana yang diperbuat para pemimpin mereka yaitu berusaha memadamkan cahaya Alloh dan memusnahkan kalimahnya. Akan tetapi mereka itu kedudukannya sebagaimana binatang. Dan seluruh umat Islam telah sepakat bahwasanya orang-orang tersebut kafir meskipun mereka itu orang-orang bodoh yang hanya taqlid saja terhadap para pemimpin mereka. Kecuali pendapat yang diriwayatkan dari ahli bid’ah, mereka itu tidak dihukumi dengan masuk neraka akan tetapi mereka itu sebagaimana orang yang belum mendengar dakwah. Dan pendapat ini tidak ada seorang imampun dari kaum muslimin baik sahabat, tabi’in maupu orang setelah mereka yang berpendapat seperti ini, ini adalah pendapat dari kalangan ahlul kalam yang berbuat bid’ah dalam Islam.
قال ابن القيم رحمه الله: طبقة المقلدين وجهال الكفرة وأتباعهم وحميرهم الذين هم معهم تبعاً لهم، يقولون: إنا وجدنا آبائنا على أمة وإنا على أسوة بهم، ومع هذا فهم تاركون لأهل الإسلام غير محاربين لهم، كنساء المحاربين وخدمهم وأتباعهم الذين لم ينصبوا أنفسهم لما نصب له أولئك أنفسهم من السعي في إطفاء نور الله وهدم دينه وإخماد كلماته، بل هم بمنزلة الدواب. وقد اتفقت الأمة على أن هذه الطبقة كفار وإن كانوا جهالاً مقلدين لرؤسائهم وأئمتهم، إلا ما يحكى عن بعض أهل البدع أنه لم يحكم لهؤلاء بالنار وجعلهم بمنزلة من لم تبلغه الدعوة، وهذا مذهب لم يقل به أحد من أئمة المسلمين لا الصحابة ولا التابعين ولا من بعدهم، وإنما يعرف عن بعض أهل الكلام المحدث في الإسلام.
فغاية هذه الطبقة أنهم كفار جهال غير معاندين، وعدم عنادهم لا يخرجهم عن كونهم كفاراً، فإن الكافر من جحد الله وكذب رسوله إما عناداً أو جهلاً وتقليداً لأهل العناد. فهذا وإن كان غايته أنه غير معاند فهو متبع لأهل العناد، وقد أخبر الله في القرآن في غير موضع بعذاب المقلدين لأسلافهم من الكفار، وأن الأتباع مع متبوعيهم وأنهم يتحاجون في النار وأن الاتباع يقولون: رَبَّنَا هَؤُلاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَاباً ضِعْفاً مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لا تَعْلَمُون َلأعراف:38. وقال تعالى: وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعاً فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيباً مِنَ النَّارِ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ غافر:48.
فهذا إخبار من الله وتحذير بأن المتبوعين والتابعين اشتركوا في العذاب، ولم يغن عنهم تقليدهم شيئاً.
وصح عن النبي أنه قال: من دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل أوزار من اتبعه، لا ينقص من أوزارهم شيئاً. وهذا يدل على أن كفر من اتبعهم إنما هو بمجرد اتباعهم وتقليدهم ا- هـ .
“Dan (ingatlah) ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri:"Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka" Dan (ingatlah) ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombonan diri:"Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka.”
Ini adalah pemberitahuan dari Allah dan peringatan bahwasanya orang-orang yang mengikuti dan orang-orang yang diikuti itu sama-sama diadzab. Dan taqlid merekaitutidak akan bermanfaat bagi mereka.
Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda : barang siapa mengajak kepada kesesatan maka ia akan diberikan tanggungan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. Hal ini menunjukkan bahwasannya mereka itu kafir hanya sekedar mereka mengikuti dan taklid.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh muslim berbunyi
أهل النار خمسة ـ منهم ـ: الضعيف الذي لا زَبْرَ له، الذين هم فيكم تبعاً، لا يبغون أهلاً ولا مالاً ..". أي لا يسعون في تحصيل منفعة دينية ولا دنيوية.
“Penghuni nereka itu ada lima ( diantaranya adalah ) orang lemah yang tidak mempunyai akal yang mereka selalu mengikuti kalian tidak mengharapkan harta dan keluarga. Maksudnya mereka tidak berusaha mecari manfaat diniyah maupun dunyawiyah.
4. Orang yang kebodohannya disebabkan karena ia menyangka bahwasanya apa yang ia yakini itu benar, lalu ia mengikuti pesangkaan dan keyakinannya yang batil tersebut dan ia tidak mau belajar ataupun diajari.
Allah berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ . أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُون
Dan jika dikatakan kepada mereka:”Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi.” Mereka menjawab:”Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah sesungguhnya mereka itu orang-orang yang berbuat kerusakan akan tetapi mereka tidak sadar.” (Al baqarah : 11-12.)
قال الألوسي في تفسيره: وما يقال من أنه لا ذمَّ على من أفسد ولم يعلم، وإنما الذم على من أفسد عن علم يدفعه أن المقصر في العلم مع التمكن منه مذموم بلا ريب، بل ربما يقال إنه أسوأ حالاً من غيره. وفيه مزيد تسليه له ، إذ من كان من أهل الجهل لا ينبغي للعالم أن يكترث بمخالفته.
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya: “adapun pendapat yang mengatakan bahwasanya orang yang merusak sedangkan ia tidak mengetahui itu tidak dicela, adapun yang dicela adalah orang yang melakukan kerusakan sedangkan ia mengetahuinya. Hal ini dibantah bahwasanya orang yang meremehkan ilmu padahal ia mampu untuk belajar adalah tercela tanpa diragukan lagi. Bahkan bisa dikatakan ia lebih jelek keadaannya dari pada yang lain.”
Allah berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً. أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآياتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْناً.
“Katakanlah:"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. ( Al Kahfi : 103-105 )
Asy Syanqithi berkata:
هذه النصوص القرآنية تدل على أن الكافر لا ينفعه ظنه أنه على هدى لأن الأدلة التي جاءت بها الرسل لم تترك في الحق لبساً ولا شبهة. ولكن الكافر لشدة تعصبه للكفر لا يكاد في الأدلة التي هي كالشمس، فلذلك كان غير معذور
“Nash-nash al qur’an ini menunjukkan bahwasannya orang-orang kafir itu persangkaannya bahwa mereka diatas kebenaran tidak ada manfaatnya, karena dalil dalil yang dibawa oleh para Rasul itu tidak ada kerancuan dan kesamaran atas kebenarannya.
Akan tetapi orang kafir itu karena kefanatikan, mereka tetap kafir meskipun dalil-dalil itu sejelas matahari, oleh karena itu kebodohan mereka tidak bias diterima sebagai alasan.”
5. Orang yang kebodohannya disebabkan karena ngeyel dan sombong. Ia tidak mau menerima kebenaran meskipun ia sudah jelas baginya.
وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلاً مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ
Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu kehadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. ( Al An’am : 111 )
Allah berfirman:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِراً كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْراً فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيم ٍ
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. ( Lukman : 7 )
Orang semacam ini meskipun ia mendengarkan ayat-ayat yang diterangkan kepadanya, namun ia mendengarkannya bukan atas dasar mencari kebenaran. Hal itu karena kesombongan dan sikap keras kepalanya sehingga meskipun ia mendengar, namun pada hakekatnya sama saja dengan orang yang tidak mendengarnya.
Ibnu Jarir berkata :
ولَّى مستكبراً يقول: أدبر عنها، واستكبر استكباراً، وأعرض عن سماع الحق والإجابة عنه كأنه لم يسمعها يقول: ثقلاً، فـلا يطيق من أجله سماعه.
“( ia berpaling dengan sombong ) maksudnya Allah berfirman : dia berpaling dari ayat-ayat tersebut dan sombong, ia berpaling tidak mau mendengarkan dan menyambut kebenaran. ( seolah-olah dia tidak mendengar ) maksudnya Allah berfirman : karena berat sehingga mereka tidak kuat untuk mendengarkannya.”
5. Begitu pula orang yang tidak mengetahui ayat-ayat Allah itu disebabkan karena ia menyibukkan diri dengan urusan lain, dengan kata lain ia lebih mengedepankan urusan dunianya dari pada akheratnya, sehingga rusak agamanya, maka orang semacam ini kebodohannya tentang islam tidak bisa diterima.
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ .أُولَئِكَ مَأْوَاهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sesungguhnya orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. ( Yunus : 7-8 )
Al Hasan al Bashri berkata :
والله ما زينوها ولا رفعوها حتى رضوا بها وهم غافلون عن آيات الله الكونية فلا يتفكرون فيها، والشرعية فلا يأتمرون بها، فإن مأواهم يوم معادهم النار جزاءً على ما كانوا يكسبون في دنياهم من الآثام والخطايا والإجرام مع ما هم فيه من الكفر بالله ورسوله واليوم الآخر
“Demi Allah mereka tidak menghiasinya dan mengangkatnya sampai mereka rela dengannya sedangkan mereka lalai dari ayat-ayat kauniyah Allah, mereka tidak memikirkannya, begitu pula terhadap ayat-ayat syariyyah, mereka tidak mau mematuhinya, maka pada hari kiyamat nanti tempat kembali mereka adalah neraka sebagai ganjaran terhadap dosa-dosa, kesalahan-kesalahan dan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan di dunia, serta kekafiran mereka terhadap Allah, Rasulnya dan hari akhir.”
Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. ( Lukman : 6 )
Ibnu Jarir berkata:
عني به ما كان من الحديث ملهياً عن سبيل الله، مما نهى الله عن استماعه أو رسوله، لأن الله عم بقوله لهو الحديث ولم يخصص بعضاً دون بعض، والغناء والشرك من ذلك. وقوله تعالى: ليضل عن سبيل الله يقول: ليصد ذلك الذي يشتري من لهو الحديث عن دين الله وطاعته، وما يقرب إليه من قراءة قرآن وذكر الله
” Yang dimaksud adalah segala lahwul hadits yang melalaikan dari jalan Allah, yang dilarang Allah dan Rasul-Nya untuk didengarkan. Karena Allah mengatakan lahwul hadits secara umum dan tidak mengkhususkan sebagian dari sebagian yang lain, sedangkan nyanyian dan kesyirikan termasuk dari lahwul hadits.
Sedangkan firman Allah;”untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah” maksudnya adalah; untuk supaya orang yang membeli lahwal hadits tersebut menghalang-halangi dari agama Allah dan dari ketaatan kepada-Nya serta apa-apa yang mendekatkan kepada-Nya seperti qiro’atul qur’an dan berdzikir kepada Allah.”
الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجاً أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ بَعِيدٍ
(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok.Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. ( Ibrahim : 3 )
Allah berfirman :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.
Katakanlah:"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. ( At-Taubah : 24 )
Dan diantara bentuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Dan hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan berusaha unutuk mempelajari ilmu syar’i.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah hrata-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” ( Al Munafiqun : 9 )
Dengan demikian maka barang siapa yang tidak mengetahui lantaran ia sibuk dengan kehisupan dunia, sehingga ia lalai dari Al-Qur’an lalu ia tidak memahami kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia fahami maka orang yang semacam ini ketidak tahuannya tidak bias diterima sebagai alasan. Seandainya orang itu menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah saja kemudian melalaikannya dari kewajiban dia itu tidak boleh, lalu bagaimana halnya dengan orang yang menyibukkan diri dengan hal-hal yang haram.
6. Orang yang kebodohannya disebabkan karena kerasnya hatinya sehingga ia tidak mampu memahami ayat-ayat Allah, orang semacam ini juga tidak bisa diterima alasan kebodohannya.
Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah.Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Az-Zumar: 22)
Allah berfirman:
فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 43)
Allah berfirman:
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata:"Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu". Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthoffifin:13-14)
Dengan demikian maka sesungguhnya kebodohan para thoghut Indonesia pada hari ini terhadap hukum Islam tidaklah bisa diterima sebagai alasan atas segala kekafiran mereka. Dan tidak pula terdapat pada mereka satu mani’-pun (penghalang) dari mawani’ut takfir yang dijelaskan oleh para ulama’ yang terdapat pada mereka. Bahkan mempersoalkan mawani’ut takfir pada mereka itu temasuk bagian dari mempermainkan agama karena menentang hukum Allah untuk diberlakukan dalam kehidupan yang lebih kongkrit. Dan bisa jadi alasan kebodohan iblis bisa lebih diterima dari pada alasan kebodohan para thoghut tersebut. Dan bisa jadi menegakkan hujjah terhadap iblis lebih bisa diterima dari pada menegakkan hujjah terhadap para thoghut tersebut, namun kedua hal tersebut adalah batil.
A. Mereka masih sholat, zakat dan lain-lain
Mungkin orang akan mengatakan: Bagaimana kalian mengkafirkan pemerintah Indonesia kafir sedangkan sebagian diantara mereka masih sahalat, puasa, haji. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan ketika seorang shahabat bertanya tidakkah kami perangi saja mereka wahai Rasulullah ? Beliau menjawab:”Tidak selama mereka masik menegakkan sholat bersama kalian.”
Permasalahan ini kami jawab sebagai berikut bahwasanya perlu diingat bahwa seluruh para rosul itu inti ajarannya adalah tauhid. Dan juga perlu diingat bahwasanya tauhid itu adalah syarat pokok diterimanya semua amalan dan ibadah.
Karena sesungguhnya semua amalan dan ibadah itu akan menjadi syah kalau memenuhi dua syarat yaitu Ikhlas dan mengikuti sunnah Rasul.
Adapun diantara dalil untuk syarat yang pertama adalah:
Allah berfirman:
والذين كفروا أعمالهم كسرابٍ بقيعة يحسبه الظمآن ماءً حتى إذا جاءه لم يجده شيئاً ووجد اللهَ عنده فوفّاه حسابه
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur: 39)
Dan dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwasanya Allah berfirman:
أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملاً أشرك به معي غيري تركته وشركه
Para ulama’ menggunakan dalil ini untuk syirik ashghor, lalu bagaimana halnya dengan syirik akbar?
Dengan demikian sesungguhnya orang yang melakukan kesyirikan itu tidak akan diterima amalannya, baik sholatnya, zakatnya, hajinya dan yang lainnya. Semua bentuk peribadahan yang mereka lakukan itu menjadi batal dan semua amalannya tidak akan diterima disisi Allah.
Lebih jelas lagi Allah berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan juga dalam ayat lain Allah berfirman:
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Demikian pula halnya para penguasa yang telah kufur kepada Alloh yang berkuasa di negeri ini semua amalannya tidak akan diterima di sisi Allah, sehingga mereka bertaubat. Karena mereka telah murtad dari Islam maka seluruh amalan dan ibadahnya tidak syah.
Ibnu Qudamah berkata:
إن الردة تنقض الوضوء وتبطل التيمم، وهذا قول الأوزاعي وأبي ثور، وهي الاتيان بما يخرج به عن الإسلام إما نطقاً أو اعتقاداً أو شكاً ينقل عن الإسلام، فمتى عاود إسلامه ورجع إلى دين الحق فليس له الصلاة حتى يتوضأ وإن كان متوضئاً قبل ردته
”Sesungguhnya kemurtadan itu membatalkan wudlu dan tayammum, dan ini adalah pendapat Al-Auza’I dan Abu Tsaur. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kemurtadan itu adalah melakukan amalan yang mengeluarkan dari Islam, baik itu berupa perkataan, keyakinan maupun keragu-raguan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Oleh karena itu jika ia kembali kepada agama yang benar, maka ia tidak syah sholatnya hingga ia berwudlu jika sebelum murtad ia telah berwudlu.”
Beliau juga berkata:
والردة تبطل الأذان إن وجدت في أثنائه
“Dan kemurtadan itu membatalkan adzan jika terjadi ketika ia adzan.” Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabir I/438.
Beliau juga berkata:
لا نعلم بين أهل العلم خلافا في أن من ارتد عن الإسلام في أثناء الصوم أنه يفسد صومه وعليه قضاء ذلك اليوم إذا عاد إلى الإسلام سواء أسلم في أثناء اليوم أو بعد انقضائه)
Kami tidak melihat ada perselisihan dikalangan ulama’ pada masalah orang yang murtad ketika berpuasa itu maka puasanya batal dan ia harus mengqodlo’nya jika ia kembali kepada Islam, sama saja apakah ia kembali kepada Islam pada hari itu juga atau setelah berlalu.”
Maka jelaslah bahwasanya orang yang tidak boleh dibunuh ataupun diperangi itu adalah orang yang masih sholat sedangkan tauhidnya benar dan ia tidak melakukan perbuatan kekufuran yang mengeluarkan ia dari Islam. Karena kalau ia telah murtad maka semua amalan dan ibadahnya itu tidak syah dan tidak ada manfaatnya.”
Para ulama’ telah berijma’ atas wajibnya memerangi kelompok manapun yang mempunyai kekuatan dan tidak mau melaksanakan suatu bagian dari syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir. Baik yang tidak dilaksanakan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka masih mengakui atas wajibnya syari’at tersebut maka mereka wajib diperangi sampai mereka melaksanakan apa yang mereka tinggalkan.
Adapun jika mereka itu tidak mau melaksanakan karena menentang, maka dengan demikian mereka jelas-jelas telah menolak sehingga mereka menjadi murtad. Dan mereka diperangi sampai mereka kembali kepada Islam. Dan memerangi dua kelompok tersebut adalah wajib hukumnya secara ijma’.
Rosululloh bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فمن قالها فقد عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله
“ Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sampai mengucapkan Lailaha Illallah, maka barang siapa yang mengucapkannya harat dan jiwanya terjaga dariku kecuali memang karena haknya dan hisabnya terserah kepada Allah.” (Shohihul Bukhori, Kitabuz zakah, bab I, no.1399, II/110 dan Shohih Muslim, Kitabul Iman, no.33, hal.52).
Orang-orang kafir yang masuk Islam jika mereka tidak melaksanakan syari’at Islam mereka diperangi. Oleh karena itu kelompok manapun yang mengaku Islam dan mengucapkan syahadatain namun tidak melaksanakan sebagian dari syari’at yang sudah jelas dan mutawatir, mereka wajib diperangi sebagaimana kesepakatan kaum muslimin sampai agama itu seluruhnya milik Alloh.
Ibnu Rojab Al-Hambali ketika menjelaskan hadits diatas mengatakan:”Dan suatu yang sudah maklum secara jelas bahwasanya Nabi saw., menerima siapa saja yang datang ingin masuk Islam hanya dengan syahadatain, dan dengan demikian darahnya menjadi terjaga dan ia menjadi orang Islam. Rosululloh telah mengingkari Usamah bin Zaid karena ia membunuh orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illalloh sedangkan pedang telah diangkat, maka rosululloh sangt mengingkari perbuatannya itu.
Maka sesungguhnya hanya dengan dua kalimat syahadat itu darah menjadi terjaga dan menjadi Islam. Apabila seseorang masuk Islam jika ia melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan melaksanakan syari’at-syari’at Islam, maka ia mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kaum muslimin yang lain. Namun jika ia tidak melaksanakan bagian dari rukun-rukun ini jika mereka suatu jamaah yang mempunyai kekuatan, mereka diperangi. Dan sebagian ada yang mengira bahwasanya hadits ini berarti orang kafir itu diperangi sampai mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan sholat dan mengeluarkan zakat, dan ia menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwasanya orang kafir juga disuruh untuk melaksanakan ibadah furu’, namun pendapat ini perlu dikaji ulang. Sedangkan siroh Nabi saw. Bertentangan dengan hal ini. Dalam shihih Muslim disebutkan dari Abu Huroiroh ra. Bahwasanya Nabi saw. Pada saat perang badar memanggil Ali dan menyerahkan bendera kepadanya.lalu beliau bersabda:”Berjalanlah dan janganlah menoleh sampai Alloh memberikan kemenangan kepadamu, maka Ali berjalan sedikit lalu berhenti dan berkata:”Wahai Rosululloh, untuk apa kuperangi orang-orang itu?” Beliau menjawab:”Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada ilah kecuali Alloh dan bahwasanya Muhammad itu utusan Alloh. Jika mereka melakukan hal tersebut maka darah dan harta mereka telah terjaga darimu kecuali yang menjadi haknya dan hisab mereka terserah kepada Alloh.”(Muslim, Fadlo’ilush Shohabah 34, Musnad Imam Ahmad IV/439)
Maka hanya dengan menerima syahadatain harta dan nyawa itu menjadi terjaga, kecuali memang yang sudah menjadi haknya. Dan diantara haknya adalah tidak melaksanakan sholat dan zakat setelah masuk Islam sebagaiman yang difahami oleh para sahabat ra.
Dan diantara dalil yang menunjukkan atas wajibnya memerangi kelompok yang tidak mau melaksanakan sholat dan zakat adalah firman Alloh:
فإن تابوا وأقاموا الصلاة وأتوا الزكاة فخلوا سبيلهم
“Jika mereka bertaubat, melaksanakan sholay dan menunaikan zakat, maka biarkanlah mereka.” (At-Taubah:5)
فإن تابوا وأقاموا الصلاة وأتوا الزكاة فإخوانكم في الدين
“Jika mereka bertaubat, melaksanakan sholay dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara kalian dalam agama.” (At-Taubah:11)
و قاتلوهم حتى لا تكون فتنة ويكون كله الدين لله
“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya hanyalah untuk Alloh.” (Al-Antal:39)
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك الجين القيمة
“Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Alloh dengan memurnikan agama hanya untuk-Nyadengan lurus, melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan itula agama yang lurus.”(Al-Bayyinah:5)
Disebutkan dalam hadits bahwasanya Nabi saw. jika mau menyerang sebuah kaum, beliau tidak menyerangnya kecuali setelah datang waktu subuh, jika beliau mendengar adzan beliau urungkan dan jika tidak beliau menyergap mereka. Padahal masih mengandung kemungkinan mereka itu orang Islam. Dan beliau memberi wasiyat kepada pasukan-pasukan yang hendak diberangkatkan:”Jika kalian mendengar adzan atau melihat masjid maka janganlah kalian membunuh seorangpun. Dan beliau pernah mengutus ‘Uyaynah bin Hisn kepada sebuah kaum dari Banil Ambar lalu beliau menyergap mereka karena belau tidak mendengar adzan, kemudian mereka mengaku telah masuk Islam sebelum itu. Dan Rosululloh pernah mengirim surat kepada penduduk ‘Ammaan yang berbunyi; ”Dari Muhammad kepada penduduk ‘Amman. Salam sejahtera kepada kalian, amma ba’du. Bersaksilah kalian bahwasanya tidak ada ilah kecuali Alloh dan aku adalah utusan Alloh, tunaikanlah zakat dan dirikanlah masjid, kalau tidak, aku akan menyerang kalian.” Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar, Ath-Thobroni dan yang lain.
Ini semuanya menunjukkan bahwasanya orang-orang yang masuk Islam itu diuji atas keislamannya, apakah mereka mau menegakkan sholat dan menunaikan zakat, kalu tidak maka tidak ada halangangan untuk memerangi mereka. Dan dalam masalah ini telah terjadi diskusi antara Abu Bakar dan Umar ra.sebagaimana yang tersebut dalam kitab Shohihain dari Abu Huroiroh ra. beliau berkata:” Ketika Rosululloh saw. telah wafat, Abu Bakar menjadi kholifah dan orang-orang Arab kembali kafir, Umar berkata kepada Abu Bakar:”Bagaimana kau bisa perangi mereka padahal Rosululloh pernah bersabda:” “ Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sampai mengucapkan Lailaha Illallah, maka barang siapa yang mengucapkannya harat dan jiwanya terjaga dariku kecuali memang karena haknya dan hisabnya terserah kepada Allah.” Maka Abu Bakar mengatakan;”Demi Alloh aku akan memerngi orang-orang yang memisahkan antar sholat dan zakat. Sesungguhnya zakat itu adalah hak harta, demi Alloh jika mereka tidak mau membayar zakat unta atau kambing yang pernah mereka bayatkan kepada Rosululloh, aku pasti akan perangi mereka.” Lalu Umar berkata:”Demi Alloh, aku melihat bahwasanya Alloh telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwasanya hal itu adalah benar.” Abu Bakar memerangi mereka dengan berdasarkan sabda Rosul: ”kecuali haknya.” Hal ini menunjukkan bahwasanya memerangi orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat adalah boleh. Dan diantara haknya adalah menunaikan hak kewajiban harta.
Dan Umar ra. Menyangka bahwasanya hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja bisa mencegah seseorang untuk masuk neraka di akherat kelak kare berpagang dengan berpegang dengan keumuman lafadz yang tersebut dalam hadits, padahal tidak demikian. Lalu Umar sepakat dengan pendapat Abu Bakar ra. (Jami’ul ‘Ulum, hal. 80-81)
Dan hukum orang yang meninggalkan seluruh hukum Islam adalah diperangi sebagaimana mereka juga diperangi jika mereka meninggalkan sholat dan zakat. Ibnu Syihab meriwayatkan dari Handzolah bin Ali bin Al-Asqo’, bahwasanya Abu Bakar ra. Mengutus Kholid ibnul Walid ra. Dan memerintahkannya untuk memerangi manusia jika mereka meninggalkan lima perkara. Maka barangsiapa meninggalkan salah satu dari lima perkara tersebut perangilah mereka sebagaimana halnya jika mereka meninggalkan lima perkara semuanya. Yaitu; dua kalimat syahadat, sholat, Zakat dan Shoum romadlon.
Dan Sa’id bin Jubar berkata bahwasanya Umar ibnul Khothob mengatakan: ”Seandainya orang-orang itu tidak melaksanakan haji, pasti akan kuperangi sebagaimana mereka juga akan aku perangi jika mereka tidak melaksanakan sholat dan zakat.” Inilah pembahasan tentang memerangi kelompok yang tidak mau melaksanakan bagian dari kewajiban-kewajiban tersebut.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 82)
An-Nawawi berkata:”Dalam hadits tersebut menunjukkan atas wajibnya memerangi orang-orang yang tidak mau melaksanakan zakat atau sholat atau kewajiban Islam yang lain, baik banyak maupun sedikit, dasarnya adalah perkataan beliau (Abu Bakar) :”Jika mereka tidak mau membayarkan zakat unta atau kambing.”
Imam Malik berkata:”Menurut kami, setiap orang yang tidak mau melaksanakan suatu kewajiban dari kewajiban Alloh, dan kaum muslimin tidak bisa memaksanya, maka kaum muslimin wajib memeranginya sampai bisa memaksanya untuk melaksanakannya.” (Muslim bisyarhin Nawawi I/212)
Asy-Syaukani berkata:”Dan orang yang meninggalkan rukun-rukun Islam atau sebagiannya, apabila ia terus dalam keadaan demikian, maka hukumnya wajib memeranginya sesuai dengan kemampuan. Dan begitu pulalah seharusnya hukumnya menurut syari’ah bagi setiap orang yang melakukan sesuatu yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban.” (Ar-Roudlotun Niddiyah I/184, cet. Darut Turots)
Ibnu Taimiyah berkata:”Dan kelompok manapun yang mengaku Islam dan tidak mau melaksanakan bagian dari syari’at yang telah jelas dan mutawatir, maka hukumnya wajib untuk memerangi mereka atas sebagaimana kesepakatan kaum muslimin, sehingga agama itu selurunya hanya milik Alloh. Sebagimana Abu Bakar dan seluruh sahabat ra. Memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan telah disebutkan dalam hadits dari Rosululloh saw. Dari banyak jalan bahwasanya beliau memerintahkan untuk memerangi khowarij. Dalam kitab Shohihain disebutkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Tholib ra. Beliau berkata bahwasanya Rosululloh saw. Bersabda:
سيخرج قوم في أخر الزمان حداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من قول خير البرية لا يتجاوز إيمانهم حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية فأينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم يوم القيامة
“Akan keluar pada masa akhir zaman orang-orang yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia. Iman mereka tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya. Maka bunuhlah mereka dimana saja kalian menjumpai mereka karena orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala pada hari qiyamat.”
Dan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ul Ummah, bahwasanya orang yang keluar dari syari’at Islam itu diperangi meskipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dan para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok yang meninggalkan sunnah yang rutin, seperti dua roka’at sholat fajar, apakah mereka boleh diperangi?, menjadi dua pendapat (antara boleh dan tidak). Adapun tentang kelompok yang meninggalkan kewajiban dan hal-hal yang haram yang sudah jelas dan terkenal, maka mereka diperangi dengan tidak ada perselisihan sampai mereka mau menjalankan nya kembali, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, shoum romadlon dan naik haji serta mninggalkan hal-hal yang haram seperti menikahi saudara perempuan, makan makanan yang menjijikkan dan mendlolimi harta dan nyawa kaum muslimin. Dan memerangi mereka ini hukumnya wajib untuk memulainya setelah sampai dakwah Nabi saw. tentang apa-apa yang menjadi penyebab mereka diperangi. Dan jika mereka menyerang lebih dulu maka kewajiban lebih ditekankan lagi sebagaimana yang telah kami bahas pada masalah para mumtani’in seperti penyerang dan begal. Dan kewajiban jihad terhadap orang kafir dan orang-orang yang tidak mau melaksanakan sebagian dari syari’at Islam, sebagaimana orang-orang yang tidak mau membayar zakat, khowarij dan orang-orang semacam mereka baik secara offensiv maupun defensiv. Jika ofensiv maka hukumnya adalah fardlu kifayah, jika sebagian telah melaksanakannya maka yang lain tidak terkena kewajiban lagi, dan mereka yang melaksanakan mendapatkan keutamaan sebagaimana firman Alloh:
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا {95}
Namun jika musuh mau menyerang kaum muslimin, maka jihad hukumnya wajib bagi mereka yang menjadi sasaran dan yang tidak menjadi sasaran untuk membantu mereka, sebagaimana firman Alloh:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَّنَصَرُوا أُوْلَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ ءَمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَّالَكُم مِّن وَّلاَيَتِهِم مِّن شَيٍْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصُرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {72}
Dan sebagaiman Rosululloh juga memerintahkan untuk menolong orang muslim baik ia seorang yang digaji pemerintah untuk berperang maupun bukan. Ini adalah wajib sesuai dengan kemungkinan bagisetiap orang dengan hartanya, nyawanya, banyak, sedikit, berjalan maupun berkendaraan ………..(As-Siyasah As-Sar’iyah 125-129)
Kewajiban pemerintah adalah memerintahkan untuk melaksanakan sholat wajib bagi semua orang yang mampu dan menghukum orang yang meninggalkannya sebagaimana ijma’ umat islam atas hal itu.
Dan jika yang tidak mau melaksanakan itu sebuah kelompok, mereka diperangi karena meninggalkan sholat. Begitu pula jika meninggalkan zakat, shoum dan yang lainnya serta menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan secara jelas dan ijma’, seperti menikahi mahrom, membikin kerusakan di muka bumi dan yang lainnya. Maka setiap kelompok yang tidak mau melaksanakan suatu syari’at dari syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir harus diperangi sehingga agama itu seluruhnya hanya milik Alloh, hal ini adalah merupaka kesepakatan seluruh ulama’.” (As-Siyasah Asy-Syar’iyah) Para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok yang tidak melaksanakan sunnah yang rutin, namun jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang sudah jelas dan terkenal maka mereka diperangi sebagaimana kesepakatan kaum muslimin.
Asy-Syairozi mengatakan ketika membahas tentang adzan dan iqomat:
Bab Adzan; “Adzan dan iqomat disyari’atkan untuk sholat lima waktu. Dan keduanya adalah sunah meskipun sebagian dari sahabat kita ada yang mengatakan fardlu kifayah. Dan jika penduduk sebuah kampung itu sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka diperangi karena ia adalah bagian dari syi’ar Islam yang tidak boleh ditinggalkan”.
An-Nawawi ketika menjelaskan perkataan Asy-Syairozi diatas mengatakan:”Sahabat-sahabat kita mengatakan, jika hukumnya adalah fardlu kifayah, dan penduduk sebuah kampung itu meninggalkannya dan mereka telah dimintan untuk melaksanakan namun tidak mau melaksanakan maka wajib hukumnya memerangi mereka sebagaimana wajibnya memerangi mereka jika mereka meninggalkan fardlu kifayah yang lain. Dan jika kita katakan hukumnya adalah sunnah maka apakah mereka diperangi jika mereka meninggalkannya. Dalam hal ini ada dua pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab ‘Iroqiyyin dan sedikit dari khurosaniyyin yang membahasnya, yaitu; mereka tidak diperangi sebagaimana orang yang meninggalkan sholat sunah dluhur, shubuh dan yang lain.Pendapat kedua mereka diperangi karena adzan adalah syi’ar yang nyata sedangkan sholat sunah dluhur tidak. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab III/74)
Abu Bakar ibnul ‘Arobi mengatakan:” Alloh berfirman:
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
“Dan jika kalian tidak mau meninggalkan riba maka ijinkanlah peperangan dari Alloh dan Rosul-Nya.”(Al-Baqoroh;279)
Kalau ada yang mengatakan bahwasanya peperangan tersebut adalah bagi orang yang menghalalkan riba, maka kami katakan:’Ya benar dan juga bagi orang yang melaksanakannya.’ Sesungguhnya umat Islam telah sepakat untuk memerangi orang yang melakukan maksiyat sebagaimana jika penduduk sebuah kampung bersepakat untuk melakukan riba dan juga apabila mereka sepakat untuk meninggalkan sholat jum’at dan sholat jama’ah.” (Ahkamul Qu’an karangan Ibnul ‘Arobi II/596)
Orang-orang yang tidak melaksanaklan syari’at itu ada dua keadaan ;
3. Mereka menolak dengan demikian mereka adalah orang-orang murtad.
Jika mereka adalah sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, maka mereka diperangi sebagaimana orang-orang murtad. Dan jika dia tertangkap seorang diri, maka dia dibunuh.
Jika mereka berada diperkampungan kaum muslimin, maka mereka dipisah-pisahkan setelah mereka bertaubat dan mereka dipaksa melaksanakan syariat Islam sebagaimana kaum muslimin yang lain.
4. Mereka mengakui atas kewajiban melaksanakannya.
Jika mereka adalah sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, mereka hingga mereka mau melaksanakan syari’at Islam yang wajib seluruhnya.
Sedangkan orang yang tertangkap dari mereka tidak dibunuh, akan tetapi ia dikasih ‘iqob sebagaimana yang diperintahkan Alloh dan Rosul-Nya.
Ibnu Huwaiz Mandad berkata:”Jika penduduk sebuah kampung melakukan riba dan menghalalkannya maka mereka murtad dan mereka hukumnya sebagaimana orang-orang murtad. Dan jika mereka melakukannya namun tidak menghalalkannya, Imam boleh memerangi mereka. Tidakkah anda melihat bahwasanya Alloh telah mengijinkan hal itu, Alloh berfirman:
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
“Dan jika kalian tidak mau meninggalkan riba maka ijinkanlah peperangan dari Alloh dan Rosul-Nya.”(Al-Baqoroh;279)(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an: III/364)
Orang-orang yang keluar dari pokok-pokok syari’at yang berbentuk keyakinan seperti khowarij atau berupa amalan seperti orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, mereka tidak sebagaimana bughot yang memberontak terhadap imam yang syah, dengan demikian maka peperangan melawan merekapun lain dengan perang melawan bughot.
Memerangi kelompok yang keluar dari sebagian syari’at Islam baik berupa keyakinan maupun berupa amalan, lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang musyrik dan ahli kitab yang tidak memerangi kita.
Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seebuah kelompok dari rakyat sebuah negeri yang bepaham An-Nushoiriyyah. Lalu mereka bersepakat untuk mengikuti seseorang, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa dia ini ilaah, diantara mereka ada yang berpendapat bahwasanya dia ini nabi yang diutus dan diantara mereka ada yang berpendapat bahwasanya dia ini adalah Muhammad bin Al-Hasan, maksudnya adalah Al-Mahdi. Dan mereka secara terang tetangan menyatakan keluar dari ketaatan dan mereka bertekat untuk memerangi orang yang mampu berperang di antara mereka. Maka apakan wajib hukumnya memerangi mereka dan apakah anak-anak dan harta mereka menjadi halal?
Beliau menjawab:”Al-Hamdulillah. Mereka wajib diperangi sampai mereka mau melaksanakan syari’at-syari’at Islam. Sesungguhnya An-Nushoiriyyah adalah termasuk orang-orang yang sangat besar kekafirannya meskipun mereka tidak mengikuti seorang dajjal seperti ini. Mereka dalah seburuk-buruk orang yang murtad. Mereka yang bisa berperang diperangi. Harta mereka dijadikan ghonimah. Sedangkan tentang anak-anak mereka apakah dijadikan budak masih diperselisihkan. Akan tetapi menurut kebanyakan ulama’ mereka dijadikan budak. Dan inilah yang terdapat dalam sejarah Abu Bakar dalam memerangi orang-orang murtad. Begutu pula para ulama’ berselisih pendapat tentang menjadikan perempuan mereka yang murtad sebagai budak. Sebagian mengatakan mereka dijadikan budak sebagaimana perkataan Abu Hanifah, dan sebagian mengatakan tidak dijadikan budak, sebagaimana perkataan asy-Syafi’I dan Ahmad. Sedangkan yang terdapat dikalangan sahabat adalah pendapat yang pertama, yaitu wanita-wanita murtad dari kalangan mereka yang murtad dijadikan budak Sesungguhnya Ali bin Abi Tholib menjadikan Al-Hanafiyyah, ibunya Muhammad ibnul Hanafiyyah termasuk orang-orang yang menjadi tawanan dari kalangan Bani Hanifah yang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar dan para sahabat ketika Kholid ibnul Walid diutus untuk memerangi mereka. Adapun jika mereka tidak menampakkan penolakan terhadap syari’at dan tidak pula mengikuti si pendusta yang dianggap sebagai iamam Mahdi yang ditunggu-tunggu ini, merekapun sesungguhnya juga tetap diperangi, akan tetapi mereka diperangi sebagaiman khowarij yang diperangi oleh Ali bin Abi Tholib ra. Atas perintah Rosul saw. Mereka diperangi sebagaimana orang-orang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar ra. Selama mereka tidak mau melaksanakan syari’at. Namun Anak-anak mereka tidak dijadikan ghonimah dan harta mereka tidak dijadikan ghonimah selama tidak digunakan untuk berperang. Adapun yang digunakan untuk memerangi kaum muslimin seperti kuda, senjata dan yang lain, mka para ulam’ berselisih pendapat tentang masalah ini. Disebutkan dalam riwayat bahwasanya Ali bin Abi Tholib merampas apa saja yang berada pada pasukan khowarij. Maka jika waliyul amri menghalalkan harta yang berada pada pasukan mereka, maka hal ini boleh. Hal ini selama mereka tidak mau menjalankan syri’at. Dan jika mereka tertangkap maka persatuan mereka harus dipecah, sarana kejahatan mereka dihancurkan, mereka dipaksa menjalankan syri’at Islam dan orang yang tetap dalam kemurtadannya dibunuh. Adapun orang yang menampakkan keislaman namun menyimpan kekafiran, yaitu munafiq, yang dinamakan oleh para fuqoha’ dengan zindiq, menurut kebanyakan fuqohq’ mereka dibunuh meskipun mereka bertaubat sebagaimana madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i. Dan mereka yang menjadi penyeru kepada kesesatan, dan kejahatannya itu tidak bisa ditahan kecuali dengan membunuhnya, makaia dibunuh juga, meskipun ia memperlihatkan taubat dan meskipun ia ditak dihukumi sebagai orang kafir, seperti pemimpin-pemimpin rofidloh yang menyesatkan orang. Sebagaimana umat Islam telah membunuh Ghoilan Al-Qodari, Ja’d bin Dirham dan penyeru-penyeru semacam mereka. Maka Dajjal semacam ini secara mutlak dibunuh. Wallohu A’lam. (Al-Fatawa Al-Kubro IV/215 masalah ke 409)
Ibnu Taimiyah berkata ketika membahas tentang perang melawan An-Nushairiyah:”….. tidak diragukan lagi bahwasanya memerangi dan menegakkan hukum hudud kepada mereka termasuk ibadah yang paling agung dan kewajiban yang paling utama dan jihad melawan mereka adalah lebih utama dari pada orang-orang musyrik dan ahlul kitab yang tidak memerangi umat Islam, karena jihad melawan mereka ini merupakan penjagaan terhadap negeri Islam yang telah dikuasai. Sedangkan jihad melawan orang-orang musyrik dan ahlu kitab yang tidak memerangi kita adalah merupakan tambahan terhadap idzharuddin, dan menjaga yang pokok itu lebih didahulukan dari pada yang cabang.” (Al-Fatawa Al-Kubro IV/215 masalah ke 409)
B. Kajian “Kufrun Duna Kufrin”
Di antara dalil yang dijadikan sandaran oleh orang-orang yang menyanggah atas kafirnya negara yang membuat dan menjalankan hukum positif adalah sebuah atsar dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44].
Ibnu Abbas mengatakan,
إنه ليس بالكفر الذي يذهبون إليه إنه ليس كفراً ينقل عن الملة ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون كفر دون كفر
” Kufrun duna kufrin’ atau,” Bukan kufur yang kalian maksudkan.”
1. Kajian Terhadap Riwayat Dari Ibnu Abbas Tentang Tafsiran Ayat Tersebut
Ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan secara khusus yaitu “kufrun duna kufrin” atau “kufur ashghor”. Riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
3- Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah I/41,” menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,” Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah,” ” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir. “
Beliau menjawab,
كفى به كفره
” Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.”
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya,” Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.” Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. [lihat Tahdzibut Tahdzib I/515], dalam At Taqrib I/505 Al Hafidz mengomentarinya,” Shaduq.”
Dengan sanad imam Waki’ pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun dengan lafal,
هي به كفر
” Dengan hal itu ia telah kafir.”
Ibnu Thawus berkata,
ليس بالكفر الذي يذهبون إليه
” Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya.”
Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan
وليس كمن كفر بالله وملائكته وكتبه
“Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya ” , riwayat ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, melainkan perkataan Thawus.
2-. Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’ ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas, tentang ayat;
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Ibnu Abbas berkata,” Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.”
Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507]. Adapun Ibnu waki’ adalh Sufyan bin waki’ bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312,” Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.’
Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.
Kesimpulannya, tambahan ini dinisbahkan kepada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.
3- Al Hakim [II/313] telah meriwayatkan dari Hisyam bin Hujair dari Thawus ia berkata,” Ibnu Abbas berkata,” Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari milah.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” Maksudnya adalah Kufur duna kufrin.”
Al Hakim mengatakan,” Ini adalah hadits yang sanadnya shahih.” Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibn Katsir [II/62] dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah,” “Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.”
Beliau berkata,” Bukan kekufuran yang mereka maksudkan.”
Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in dan lain-lain. [Tahdzibu Tahdzib VI/25]. Ibnu ‘Ady menyebutkannya dalam Al Kamil fi Dhu’afai Rijal [VII/2569]. Demikian juga oleh Al ‘Uqaily dalam Al Dhu’afa al Kabir [IV/238].
Tidak ada yang mentsiqahkannya selain ulama yang terlalu mudah mentsiqahkan seperti Al ‘Ijli dan Ibnu Sa’ad. Imam Bukhari dan muslim meriwayatkan darinya secara mutaba’ah, buan secara berdiri sendiri. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan perkataannya,“ Saya akan mendatangi 90 istriku pada malam hari ini…” Beliau telah meriwayatkannya dengan nomor (5224) dengan mutaba’ah Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara mutaba’ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tempat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas,” Mu’awiyah berkata kepadaku,” Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…” Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba’ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus. Abu Hatim berkata,” Haditsnya ditulis.” [Tahdzibu Thadzib VI/25]. Maksudnya dilihat terlebih dulu apakah ada mutaba’ahnya sehingga haditsnya bisa diterima, atau tidak ada mutaba’ah sehingga ditolak ?
Saya katakan,”Hadits ini di antara hadits-hadits yang setahu kami tidak ada mutaba’ahya. Dalam diri saya ada keraguan tentang keshahihannya meskipun dishahihkan oleh Al Hakim, karena ia terkenal terlalu memudahkan dalam menshahihkan hadits, semoga Allah merahmati beliau.
4- Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia bekata,” jika ia juhud (ingkar) terhadap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka ia adalah dholim dan fasiq.”
Sanad ini munqathi’ (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan. [Tahdzibu Tahdzib IV/213-2141. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun sebagian besar ulama melemahkannya.
Saya katakan, dengan demikian apa yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ditinjau dari segi sanadnya ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Sanad yang shahih ; sebagian mengandung pengkafiran secara mutlaq terhadap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara sebagian lain mengandung tambahan ” dan bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya”, meskipun tambahan ini juga merupakan perkataan Ibnu Thawus sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian, pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tak kosong dari kritikan, diterima dan ditolak. Dengan demikian, kalau ada seorang muslim yang berpegangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang telah pasti tentang kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlaq maka dengan alasannya tersebut ia tidak melakukan suatu kesalahan. Demikian kami katakan, meskipun kami cenderung menetapkan tambahan tadi dari Ibnu Abbas sebagaimana telah kami sebutkan.
2. Atsar Ibnu Abbas Bukanlah Satu-Satunya Pendapat Dalam Masalah Ini
Sementara orang ada yang menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini. Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pendapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada kekufuran akbar tanpa merincinya.
- Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab,” Harta haram.” Keduanya bertanya,” Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab,” Itulah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini:
” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah.[Tahdzibu Tahdzib VI/240,VI/41-42,III/497-498,II/380].
o Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq,” Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya,” Apakah harta haram itu ?” Beliau menjawab,” Uang suap.” Laki-laki tersebut bertanya lagi,” Bagaimana kalau dalam masalah hukum.” Beliau menjawab,” Itu adalah kekufuran.” kemudian beliau membaca ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
o Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah,” Diriwayatkan oleh Al Musaddad , Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…”
Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IV/199. Beliau berkata,” Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sementara guru Abu Ya’la ; Muhammad bin Utsman tidak saya ketahui.” Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami dalam komentarnya atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250 berkata sebagai jawaban atas pernyataan imam Al Haitsami,” Jika ia tidak mengetahui Muhammad bin Utsman maka tidak berbahaya, karena Fitha gurunya memiliki mutaba’ah dari Syu’bah dalam riwayat Al Hakim dan Al Baihaqi, sementara Muhammad bin Utsman mempunyai mutaba’ah dari Maki bin Ibrahim dalam riwayat Al Baihaqi…”
Saya katakan,” Ini kalau dianggap shahih riwayat Abu Ya’la dari perkataan Abu Ya’la,” Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ustman dari Umar,” kalau tidak maka syaikh Al A’dzami telah menyebutkan dalam tempat yang sama bahwa riwayat yang bersambung adalah telah menceritakan kepadaku Muhammad telah menceritakan kepadaku Utsman bin Umar.” Muhaqiq Musnad Abu Ya’la telah tegas menyatakan bahwa yang benar adalah Muhammad dari Utsman bin Umar. Adapun yang ada dalam musnad adalah penyimpangan, kemudian beliau berkata,” Utsman bin Umar adalah Al Abdi.” [lihat Musnad Abu Ya’la dengan tahqiq :Husain Sualim Asad IX/173-174]. Saya katakan,” Utsman bin Umar Al Abdi seorang perawi tsiqah, termasuk perawi kutubus sitah.” [Tahdzibu Tahdzib IV/92-93].
Ath Thabrani dalam Al Mu’jamu Al Kabir [IX/229 no. 9100] meriwayatkan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud ia berkata,” Uang suap dalam masalah hukum adalah kekufuran dan ia uang haram di antara manusia.” Al Haitsami dalam Majma’ [IV/199] berkata,” Para perawinya perawi kitab ash shahih.”
Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52 meriwayatkannya dengan lafal,” Hadiah atas vonis (yang menguntungkan) adalah kekufuran, ia uang haram di antara kalian.”
Saya katakan,” Atsar dari Ibnu Mas’ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang pertama sekedar uang haram, sementara yang kedua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan :
Satu. Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan secara mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.
Dua. Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah kafir asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar. Al Jashash dalam Ahkamul Qur’an II/433 berkata,” Ibnu Mas’ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya. Beliau mengatakan,” Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran.”
Perbedaan pendapat yang kami jelaskan ini juga dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madariju As Salikin I/336-337, di mana beliau mengatakan,” Ibnu Abbas berkata,” Bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari milah, tapi jika ia mengerjakannya berarti telah kafir namun bukan seperti orang yang kafir kepada Allah dan hari akhir.” Demikian juga pendapat Thawus…Ada yang mentakwil ayat ini kepada makna para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah karena juhud (mengingkari). Ini adalah pendapat Ikrimah, dan pendapat ini lemah karena mengingkari itu sendiri merupakan kekafiran baik ia sudah berhukum maupun belum. Ada juga yang mentakwilnya dengan makna meninggalkan berhukum dengan seluruh kandungan kitabullah…ada juga yang mentakwilnya dengan berhukum dengan hukum yang bertentangan dengan nash-nash secara sengaja, bukan karena salah dalam mentakwil. Ini disebutkan oleh Imam al Baghawi dari para ulama secara umum. Ada juga yang mentakwilnya bahwa ayat ini untuk ahlul kitab…sebagian lainnya membawa makna ayat ini kepada kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”
Pendapat yang dinukil oleh Ibnu Qayyim ini secara tegas menyatakan pendapat Ibnu Abbas bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini. Sebagian salaf ada yang membawa kekafiran dalam ayat ini kepada makna kafir yang mengeluarkan dari milah, sementara sebagian lainnya tidak demikian.
Dengan ini semua, kalau ada yang berpendapat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah, maka ia telah mempunyai ulama salaf yang lebih dulu mengatakan hal itu. Wallahu A’lam.
Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sendiri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata “kafir” tersebut mengandung dua macam kekafiran ; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah ; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui perbuatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah ; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim, sebagaimana akan disebutkan nanti dengan izin Allah. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu Abbas di atas.
Namun kami tetap mengatakan atsar ini adalah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syariat Islam menjadi satu-satunya syariat yang berkuasa. Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang ketetapan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari milah, tidak termasuk dalam pembagian di atas. Ini akan kita bicarakan sebentar lagi secara rinci, dengan izin Allah.
3. Hal Ini Bukanlah Ta’wil Atau Mengada-Ada.
Kami katakan,” Ketika kami membedakan antara penguasa yang berhukum dalam satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang dengan undang-undang selain apa yang telah diturunkan Allah, dan kami membawa pendapat Ibnu Abbas untuk makna al qadha’ (memutuskan perkara), bukan untuk masalah tasyri’ (menetapkan undang-undang), pendapat yang kami pegangi ini bukanlah takwil sebagaimana dituduhkan oleh syaikh ---semoga Allah mengampuni kita dan beliau --- namun justru hal ini berarti membawa lafadz kepada makna asalnya dalam pengertian secara bahasa.
Karena makna Al hukmu (berhukum, memutuskan perkara) secara bahasa adalah al qadha’, sebagaimana disebutkan dalam Al Qamus IV/98. Secara istilah Al Qur’an, terkadang bermakna al qadha’ sebagaimana firman Allah:
وأن احكم بينهم بما أنزل الله
” Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum Allah.” [QS. Al Maidah :49].
Dan firman-Nya:
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام
” Dan janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil dan kalian membawanya kepada para hakim.” [QS. Al Baqarah :188].
Terkadang dalam Al Qur’an bermakna qadar (taqdir), itulah uyang disebut para ulama dengan istilah hokum kauni syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فلن أبرح الأرض حتى يأذن لي أبي أو يحكم الله لي وهو خير الحاكمين
” Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir sampai ayah mengizinkanku untuk kembali atau Allah memberi keputusan kepadaku. Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang sebaik-baiknya..“[QS. Yusuf :108].
Terkadang bermakna tasyri’, itulah yang disebut oleh para ulama dengan istilah hukum syar’I, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إن الله يحكم ما يريد
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Ia kehendaki.” [QS. Al Maidah:1]. [Mengenai masalah hukum kauni dan hukum syar’i, silahkan lihat Syifaul ‘Alil Ibnu Qayim hal. 270-283 dan Syarhu Aqidati Ath Thahawiyah II/658].
Perkataan Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
” Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir...” [QS. Al Maidah: 44].
Ketika kami mengatakan bahwa “al hukmu” yang dimaksud dalam atsar Ibnu Abbas adalah al qadha’ dan bukan makna tasyri’, maka kami sama sekali tidak menakwil. Karena takwil yang dimaksud di sini adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya. Apakah kami memalingkan lafal ini dari dhahirnya ? Ataukah kami kembalikan kepada makna asalnya yaitu al qadha ?
Bahkan saya mendapati perkataan Ibnu Abbas sendiri yang menunjukkan beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Yaitu dalam riwayat ath Thabrani dalam Al Mu’jamu Al Kabir X/226 no. 10621, dari Ibnu Buraidah Al Aslami ia berkata,” Seorang laki-laki mencela Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas menjawab,” Anda mencela saya padahal saya mempunyai tiga sifat ; Saya membaca satu ayat Al Qur’an lalu saya ingin agar manusia bisa memahami maknanya sebagaimana saya memahaminya, saya mendengar ada seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin yang adil dalam hukumnya maka saya senang karenanya padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya, dan aku mendengar hujan jatuh di salah satu negeri kaum muslimin maka aku senang karenanya padahal aku tidak mempunyai hewan ternak di negeri tersebut.”
Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IX/284 berkata,” Para perawinya adalah perawi kitab ash shahih.” Saya katakan,” Bukti (kebenaran yang saya sampaikan ini) adalah perkataan beliau “seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin” serta perkataan beliau “padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Bagaimanapun keadaannya, sebuah lafal jika mempunyai beberapa makna, maka memilih salah satu maknanya sama sekali tidak dianggap sebuah takwil.
Dalil-dalil yang membenarkan pendapat kami :
Sesungguhnya yang membawa kami untuk membedakan antara seorang penguasa yang menetapkan undang-undang selain syariat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mewajibkan mereka berhukum dengannya, dengan seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih di antara rakyatnya dengan selain hukum Allah. Kami nyatakan penguasa pertama telah kafir keluar dari milah sementara penguasa kedua berada di antara dua kemungkinan ; kafir asghar atau kafir akbar. Kami membawa perkataan Ibnu Abbas kepada penguasa yang kedua. Kami katakan ada banyak alasan yang membawa kami untuk melakukan hal ini, di antaranya :
Dalil-dalil yang menegaskan bahwa tasyri’ selain dari Allah adalah kafir akbar.
Sesungguhnya nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa siapa yang menetapkan undang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum dengannya, ia telah melakukan kafir akbar yang mengeluarkannya dari milah, berdasar beberapa dalil berikut ini :
1- Di antaranya firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
” Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An Nisa’ :59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ---sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim,” Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…” [A’lamul Muwaqi’in I/84].
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,” Maksudnya kembalikanlah perselisihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan “ Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”. Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir.” [Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim I/519].
Syaikh Muhammad bi Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin mengatakan,” Perhatikanlah ayat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata nakirah yaitu “suatu perkara” dalam konteks syarat yaitu firman Allah “Jika kalian berselisih” yang menunjukkan keumuman…lalu perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan hal ,ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firmannya ” Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” [Risalatu Tahkimi Al Qawanin hal. 6-7].
Saya bertanya,” Apa yang dilakukan oleh para penetap undang-undang positif ? Bukankah mereka mengembalikan seluruh perselisihan dan perbedaan pendapat di antara mereka kepada selain kitabullah dan sunah Rasulullah ?”
4- Di antaranya juga adalah firman Allah:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
” Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. An Nisa’ :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang sama mau berhukum dengan selain syariat Allah. Ibnu Qayyim dalam A’lamul Muwaqi’in I/85 berkata,” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa siapa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut. Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghut setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka mentaatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah.”
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan dalam tafsirnya I/520,” Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisihan ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshor berselisih dengan seorang yahudi. Si Yahudi berkata,”Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad.” Si shahabat Anshar berkata,” Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka’ab bin Al Asyraf.” Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafiq yang menampakkan keislaman mereka namun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur’an dan As Sunah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini.”
Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi dalam Taisirul ‘Azizil Hamid hal 554 mengatakan,” Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemudian berpaling kepada berhukum kepada selain Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya.”
5- Di antaranya juga adalah firman Allah;
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“ Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An Nisa’: 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan adatu nafyi dan dengan sumpah. [Tahkimul Qawanin hal. 5].
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya I/521," Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin."
Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini :
" Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehingga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, namun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan.” [A’lamul Muwaqi’in I/86].
6- Firman Allah Ta’ala :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
” Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin ?” [QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu perundang-undangan dan system jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syariat dan system Allah. Jika syariat Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur’an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah ?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan,” Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:
” Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” [Risalatu tahkimil Qawanin hal. 11-12].
Dalam tafsirnya II/68, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
” Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari system perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak maupun sedikit.”
Dan apakah perbedaan antara kaum Tartar yang dikafirkan oleh Ibnu Katsir ini dan beliau nyatakan wajib diperangi, dengan para penguasa kita hari ini ? Bukankah para penguaa kita hari ini menetapkan undang-undang dengan mengambil dari berbagai perundang-undangan Barat yang kafir ? Mereka mewajibkan rakyat untuk taat dan tunduk kepada undang-undang mereka, tanpa terkecuali.
Kami katakan tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar ‘alamah syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Sebelum melanjutkan penjelasan lebih lanjut, saya ingin mengingatkan di sini bahwa ketika berhukum dengan Alyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Alyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H,” Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…”
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah,” Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka syaikh taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata,” Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu’awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya.”
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat,” Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku.” [Al Bidayah wan Nihayah XIV/25, lihat juga Majmu’ Fatawa XXVIII/501-502, XXVIII/509 dst].
Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Alyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Alyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam [Umdatu tafsir IV/173-174].
5. Saya kembali ke pembahasan dalil-dalil kafirnya menetapkan undang-undang positif. Di antara dalil yang menyatakan hal ini adalah firman Allah:
أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
” Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan (menatpkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [QS. Asy Syura :21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat dirinya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya IV/112 ketika menafsirkan ayat ini,” Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyariatkan Allah. Namun mereka mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa pengharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak.”
1- Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani :
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
” Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At Taubah : 31].
Sudah sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mereka dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan,” Mereka tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendeta menghalalkan sesuatu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya.” Imam Tirmidzi berkata,” Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A’yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits.”
Hadits ini dihasankan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa VII/67, sementara sebagian ulama lain melemahkannya. Apapun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Pengarang Fathul Majid (hal. 79) mengatakan tentang ayat ini,” Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah mengangkat orang tersebut sebagai rabb, sesembahan dan menjadikannya sebagai sekutu Allah…”
2- Di antara dalil lainnya adalah firman Allah :
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
” Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musyrikin berkata kepada kaum muslimin,”Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini. [lihat Tafsir Ibnu Katsir II/172].
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata,” Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syariatnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan undang-undang selain-Nya atas syariat-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah,” Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah...”
Tidak diragukan lagi mengikuti undang-undang positif yang menihilkan syariat Allah merupakan sikap berpaling dari syariat dan ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia. Syaikh Syanqithi dalam tafsir Adhwaul Bayan IV/91 saat menafsirkan firman Allah:
ولا يشرك في حكمه أحدا
“ Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al Kahfi :26].
Beliau berkata,” Dipahami dari ayat ini " Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan " bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain apa yang disyariatkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah,:
وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
" Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri' (peraturan-peraturan) yang menyelisihi syariat Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat," Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan ? Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus." [QS. Yasin :60-61].”
8- Telah menjadi ijma’ ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah XIII/128 setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Alyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :
“Barang siapa meninggalkan syariat yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syariat-syariat lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah ? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,” Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dineul Islam atau mengikuti syariat (perundang-undangan) selain syariat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,”Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ...” {QS. An Nisa’ :150}. [Majmu’ Fatawa XXVIII/524].
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa XXVIII/267,” Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syariat Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama.”
Saya bertanya,” Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati ? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati ? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akan hal ini, sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Insya Allah.
Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan III/400 dalam menafsirkan firman Allah,” Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik.” Ini adalah sumpah Allah Ta’ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma’ kaum muslimin.”
Abdul Qadir Audah mengatakan,” Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin.” [Al Islam wa Audha’una Al Qanuniyah hal. 60].
Demikianlah…nash-nash Al Qur’an yang tegas ini disertai ijma’ yang telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syariat Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas tidak berlaku atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha’ (menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syariat Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syariat Islam.
4. Pendapat Para Ulama Mu’ashirin Yang Menyatakan Bahwa Atsar Ibnu Abbas Tidak Sesuai Untuk Para Pnguasa Saat Ini
Pembicaraan kita pada dua pembahasan terdahulu berkisar pada masalah menetapkan hukum selain dengan hukum Allah adalah kafir akbar dan hukum-hukum positif adalah jelas-jelas kekafiran.
Kini kami akan membicarakan sebuah permasalahan yang lebih spesifik, yaitu penjelasan tentang tidak benarnya menggenakan atsar Ibnu Abbas untuk menghukumi para penguasa hari ini dan hukum-hukum positif batil ketetapan mereka. Dalam kesempatan ini kami mencukupkan diri dengan mengetengahkan pendapat para ulama kontemporer yang mengerti persoalan hukum-hukum positif tersebut dan bahaya destruktifnya. Maksud kami adalah menerangkan bahwa ketika kami menyatakan atsar Ibnu Abbas tidak bisa dipakai untuk menghukumi para penguasa yang menetapkan undang-undang tanpa izin Allah, kami sama sekali tidak mengada-adakan pendapat baru. Kami katakan, wabillahi at Taufiq :
3- Syaikh ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir dalam Umdatu Tafsir IV/156-158 mengomentari atsar Ibnu Abbas dengan perkataan beliau,” Atsar-atsar dari Ibnu Abbas dan lainnya ini dipermainkan oleh orang-orang yang membuat kesesatan pada masa kita ini, dari kalangan ulama dan orang-orang yang berani memperalat agama. Mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai udzur atau pembolehan bagi hukum-hukum positif yang diterapkan di negeri-negeri Islam. Ada juga atsar Ibnu Mijlaz tentang perdebatan beliau dengan kaum Khawarij Ibadhiyah tentang perbuatan para penguasa dzalim yang menetapkan vonis dalam beberapa kasus dengan vonis yang bertentangan dengan syariah, dikarenakan hawa nafsu atau tidak mengetahui hukum kasus tersebut. Kaum Khawarij berpendapat orang yang melakukan dosa besar telah kafir, mereka mendebat Abu Mijlaz dengan tujuan beliau menyetujui pendapat mereka yang mengkafirkan para penguasa tersebut, sehingga dengan demikian mereka mempunyai alasan untuk memerangi para penguasa tersebut. Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ath Thabari (12025 dan 12026). Saudara saya, Mahmud Muhammad Syakir telah mengomentarinya dengan sebuah komentar yang kuat, bagus dan bermutu…” Syaikh Ahmad Syakir kemudian menyebutkan teks riwayat atsar yang pertama, kemudian mengatakan :
“ Saudara saya, Mahmud Ahmad Syakir telah menulis berkenaan dengan dua atsar ini,” Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan. Wa Ba’du. Sesungguhnya orang-orang yang ragu dan ahlu fitnah di kalangan ulama pada masa sekarang ini telah mencari-cari alasan untuk membela para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah dan memutuskan perkara dalam masalah darah, kehormatan dan harta dengan selain syariah Allah yang diturunkan dalam kitab-Nya. Mereka membela penguasa yang menjadikan undang-undang kafir sebagai undang-undang di negeri-negeri Islam. Ketika mereka menemukan dua riwayat ini, mereka mengambilnya sebagai pembenar sikap penguasa yang memutuskan perkara dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan selain hukum Allah. Mereka menyatakan bahwa menetapkan perundang-undangan: baik orang yang meridhai maupun pelakunya, sama-sama tidak kafir.
Padahal sudah jelas bahwa kaum Ibadhiyah yang menanyai Abu Mijlaz bermaksud memaksakan dalil ini kepada beliau, agar beliau mengkafirkan para penguasa dikarenakan para penguasa berada di bawah bendera sultan (khalifah). Dan juga karena barangkali para penguasa berbuat maksiat atau melanggar beberapa larangan Allah.
Karena itu dalam menanggapi atsar yang pertama (12025), Abu Mijlaz menjawab,” Jika mereka meninggalkan suatu hal (memutuskan kasus dengan hukum Allah), mereka mengetahui bahwa dengan hal itu mereka telah melakukan suatu dosa.” Mengenai atsar kedua (12026), Abu Mijlaz berkata kepada kaum Ibadhiyah,” Mereka mengerti apa yang mereka kerjakan dan mereka menyadari kalau perbuatan tersebut adalah sebuah dosa.”
Dengan demikian, pertanyaan kaum Ibadhiyah bukanlah apa yang dijadikan alasan oleh para pengikut bid’ah zaman sekarang ini yaitu memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi syariah orang Islam, dan bukan pula dalam masalah menetapkan undang-undang yang diwajibkan atas kaum muslimin dengan berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan atas lisan nabi-Nya. Menetapkan undang-undang selain hukum Allah ini adalah berpaling dari hukum Allah, membenci dien-Nya dan mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum Allah Ta’ala. Ini jelas sebuah kekafiran yang tak diragukan oleh seorang muslim manapun, meskipun mereka masih berbeda pendapat mengenai kafirnya orang yang mengatakan dan juru kampanyenya…”
Barang siapa beralasan dengan kedua atsar ini bukan pada tempatnya dan memalingkan maknanya kepada selain makna sebenarnya karena ingin menolong sultan atau sebagai rekayasa untuk memperbolehkan berhukum dengan selain hukum Allah dan memperbolehkan penguasa mewajibkan kaum muslimin untuk berhukum kepada hukum tersebut. Hukum orang yang seperti ini dalam tinjauan syariah adalah orang yang mengingkari hukum Allah. Ia diminta untuk bertaubat, jika tetap pada pendiriannya, terus menerus seperti itu, mengingkari hukum Allah dan ridha dengan digantinya hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya hukum yang berkenaan dengan orang kafir yang tetap bertahan di atas kekafirannya telah sama-sama diketahui oleh orang yang memahami dien ini.”
Perkataan Syaikh Ahmad Syakir dan pengakuan beliau terhadap perkataan saudara beliau, Syaikh Mahmud Ahmad Syakir sudah jelas sejelas matahari di siang bolong dalam membedakan antara maksud perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz dengan kondisi kita hari ini. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz berkenaan tentang penguasa dzalim yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, namun undang-undang yang berlaku dalam negara adalah syariah Islam. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz tidak berkenaan dengan penguasa yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi syariat Allah dan mewajibkan rakyat untuk berhukum kepada undang-undang tersebut.
4- Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan,” Riwayat dari Ibnu Abbas, Thawus dan lain-lain menunjukkan bahwa penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir, baik kafir I’tiqad yang mengeluarkan dari Islam maupun kafir amal yang tidak mengeluarkan dari Islam.
Kafir yang pertama ; Kafir I’tiqad. Ada beberapa macam….Yang kelima. Adalah yang paling besar, paling luas dan paling nyata penentangannya terhadap syariah, penentangannya terhadap hukum-hukum syariah dan permusuhannya terhadap Allah dan rasul-Nya, dan paling nyata dalam menyaingi pengadilan-pengadilan Islam. Pengadilan hukum positif ini telah ditegakkan dengan segala persiapan, dukungan, pengawasan, sosialisasi yang gencar dan pembuatan hukum baik pokok maupun cabang serta pemaksaan dan membuat referensi dan sumber-sumber hukum, yang semuanya untuk menandingi mahkamah Islam. Sebagaimana pengadilan-pengadilan Islam mempunyai referensi dan pokok landasan yaitu seluruhnya berdasar Al Qur’an dan As sunah, demikian juga undang-undang dalam pengadilan-pengadilan hukum positif ini juga mempunyai sumber, yaitu dari perundang-undangan dan berbagai ajaran dari banyak sumber, seperti undang-undang Perancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris dan lain sebagainya, juga dari berbagai sekte sesat pembawa bid’ah.
Kekafiran apalagi yang lebih besar dari kekafiran ini, dan pembatal syahadat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah“ manalagi yang lebih besar dari perbuatan ini ?
Sampai pada perkataan beliau :
“ Adapun jenis kedua dari dua jenis kekufuran karena meninggalkan berhukum dengan hukum Allah adalah kufur yang tidak mengeluarkan dari milah…yaitu jika syahwat dan hawa nafsunya membawanya untuk memutuskan suatu kasus dengan selain hukum Allah dengan masih meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itulah yang benar dan ia masih mengakui perbuatannya itu salah dan menjauhi petunjuk.” [Tahkimul Qawanin hal. 15-24].
Sudah kami sebutkan di muka bahwa syaikh Muhammad bin Ibrahim menyebutkan bahwa termasuk kafir akbar yang sudah jelas adalah menempatkan undang-undang terlaknat sebagai pengganti dari wahyu yang diturunkan ruhul amien (kepada Muhammad) sebagai hukum di antara makhluk. Syaikh Muhammad menjelaskan bahwa menetapkan undang-undang yang menyelisihi syariat Allah dan tunduk kepadanya merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Adapun kafir asghar yang disebutkan dalam atsar Ibnu Abbas berkenaan dengan orang yang didorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, sementara ia masih mengakui bahwa perbuatannya tersebut berarti kelemahan dalam menjalankan hukum Allah dan ia tidak menetapkan undang-undang yang menyelisihi hukum Allah.
5- Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin ditanya tentang perbedaan antara satu kasus yang diputuskan oleh seorang hakim dengan selain hukum Allah Ta’ala dengan menetapkan undang-undang ? Beliau menjawab,” Ya, ada perbedaan di antara keduanya. Masalah menetapkan undang-undang tidak masuk dalam pembagian yang telah lewat (atsar Ibnu Abbas-pent), namun ia masuk dalam bagian yang pertama saja (kafir akbar) karena orang yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi Islam, ia menetapkan undang-undang tersebut karena ia meyakini hal itu lebih baik dan bermanfaat bagi hamba, sebagaimana telah diisyaratkan di awal.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibni Utsaimin II/144].
Perkataan syaikh Utsaimin,” namun ia masuk dalam bagian yang pertama saja ” maksudnya termasuk bagian yang Allah menafikan iman darinya, yaitu kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. [lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibni Utsaimin II/141].
Dengan demikian jelas sudah bahwa yang dikatakan oleh syaikh Albani sebagai sebuah takwilan lucu, bukanlah sekedar pendapat yang kosong dari dalil dan diutarakan tanpa ilmu oleh sebagian orang-orang bodoh yang dijuluki syaikh Albani dan pengikutnya sebagai Khawarij kontemporer, namun justru adalah pendapat para ahli tahqiq dari ulama ahlu sunah wal jama’ah kontemporer yang mengerti betul undang-undang positif tersebut dan penentangannya terhadap kitabullah dan sunah rasul-Nya.
Saya mengajak syaikh Albani untuk memperhatikan kembali ungkapan imam Ibnul Qayyim ketika menerangkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah;
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44].
Dalam Madariju Salikin I/337 beliau mengatakan,” Pendapat yang benar bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua kafir sekaligus ; kafir asghar dan akbar sesuai kondisi penguasa tersebut. Jika ia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dalam kasus tersebut tapi kemudian ia berpaling kepada hukum lain dngan tetap mengakuiperbuatannya tersebut sebuah maksiat dan ia berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Adapun jika ia meyakini ia tidak wajib berhukum dengan hukum Allah dan ia bebas memilih antara berhukum dengan hukum Allah atau hukum lainnya meskipun ia menyakini hukum Allah, maka ini kafir akbar. Sedangkan jika ia tidak mengetahui hukum Allah (dalam kasus tersebut) dan ia memutuskan dengan keputusan yang salah, maka ia seorang yang bersalah (keliru) dan hukum yang berlaku atas dirinya adalah hukum orang yang keliru.”
Yang dimaksudkan di sini adalah memperhatikan kembali kata beliau “dalam kasus tersebut “. Ungkapan ini berbicara tentang sebuah kasus yang diputuskan oleh seorang penguasa dengan selain hukum Allah. Artinya, yang dimaksud dari penjelasan rinci ini adalah menjatuhkan vonis dalam sebuah kasus tertentu, bukan menetapkan sebuah undang-undang secara umum karena jika beliau memaksudkan menetapkan undang-undang maka ungkapan beliau “dalam kasus tersebut “ tidak akan ada maknanya. Sebabnya, seorang yang menetapkan undang-undang tidak menetapkannya untuk sebuah kasus saja, namun ia menetapkan sebuah hukum umum yang ia wajibkan kepada rakyatnya dalam kehidupan mereka. Ini menguatkan pendapat kami bahwa atsar Ibnu Abbas mengenai menetapkan vonis dalam kasus tertentu, bukan mengenai menetapkan undang-undang.
5. Kesimpulan
Ali bin Abil ‘Izz berkata tentang berhukum kepada selain syari’at Islam: Disini ada masalah yang harus direnungkan, yaitu bahwasanya berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh bisa berupa kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan kadang hanya berupa maksiyat, baik dosa besar maupun dosa kecil. Dengan demikian ia berarti kufur majazi atau kufur ashghor. Hal itu disesuaikan dengan kondisi pelakunya. Apabila ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Alloh itu tidak wajib, atau ia bebas memilih, atau ia meremehkannya padahal ia yakin bahwa itu adalah hukum Alloh, maka yang demikian ini adalah kufur akbar. Namun jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Alloh, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi, lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa, maka orang tersebut bermaksiat. tapi kalau ia tidak tahu hukum Alloh sementara ia sudah berusaha dan mengerahkan segala potensi untuk mengetahui hukum Alloh, namun ia keliru maka ia dianggap bersalah, ia tetap mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya sedangkan kesalahannya diampuni.
Abdul Akhir Hammad dalam mengomentari perkataan diatas berkata: Yang perlu diperhatikan juga bahwasanya pembagian seperti ini bermuara pada berhukum yang berarti al-qodlo’ (memutuskan) bukan dalam arti at-tasyri’ (membuat undang-undang). Karena kata hukum dalam Al-Qur’an kadang berarti al-qodlo’ sebagaimana firman Alloh:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah:44).
Pengertian inilah yang dimaksud oleh Ali bin Abil ‘Izz ketika menjadikan berhukum kepada hukum selain yang telah Alloh turunkan maka hukumnya berkisar antara kufur akbar dan kufur ashghor sesuai dengan keadaan (keyakinan) pelakunya. Hal itu dapat kita pahami dari perkataan beliau pada peristiwa yang terjadi itu artinya beliau tengah membicarakan suatu kejadian yang diselewengkan oleh hakim sehingga ia tidak memutuskannya sesuai dengan hukum Alloh.
Adapun arti yang kedua yaitu at-tasyri’ sebagaimana firman Alloh:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Alloh bagi orang-orang yang yakin”. (QS. Al-Maidah: 50).
Ayat ini berbicara tentang hukum Alloh yang berarti syari’at dan manhaj-Nya dibandingkan dengan hukum jahiliyah yang berarti syari’at dan manhaj jahiliyah. Oleh karena itu anda dapatkan seorang mufassir seperti Ibnu Katsir ketika berbicara tentang ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44).
Beliau membahas panjang lebar tentang perselisihan para ulama’ salaf seputar ayat ini, ditujukan kepada siapa dan apa yang dimaksud dengan kufur di sini, dan yang lain-lain. Adapun ketika mentafsirkan ayat:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki”.
Maka kita dapatkan beliau sangat mempertegas masalah ini. Beliau menetapkan bahwa menyeleweng dari syari’at Alloh kepada syari’at lain yang dibikin oleh manusia sendiri merupakan kekufuran yang pelakunya harus diperangi sampai kembali kepada ajaran Alloh.Beliau mengatakan:”Alloh mengingkari orang-orang yang menyeleweng dari hukum Alloh yang muhkam dan mencakup segala kebaikan dan larangan segala keburukan, lalu berpaling kepada kepada hukum yang lain berupa pemikiran, hawa nafsu dan segala atribut hukum buatan manusia, yang tidak berlandaskan dengan syari’at Alloh, sebagai mana hukum yang diterapkan oleh bangsa Tartar, yang diadopsi dari raja mereka, Jengkis Khan, yang membuat Ilyasa sebagai buku yang berisi kumpulan hukum yang diambil dari berbagai hukum; dari Yahudi, Nasrani, Islam dan yang lainnya, dan didalamnya juga banyak hukum yang hanya berlandaskan pemikiran dan hawa nafsu belaka, lalu jadilah ia sebagai sebuah syari’at yang diikuti dan lebih diutamakan dari pada hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka siapa saja mereka yang melakukan seperti ini, ia adalah kafir yang wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Alloh dan Rosul-Nya. Sehingga tidak ada keputusan hukum baik sedikit maupun banyak kecuali dengan menggunakan hukum Alloh”.
Bahkan beliau telah menyatakan ijma’ tentang kafirnya orang menjadikan selain syari’at Alloh sebagai syari’at yang dijadikan landasan hukum. Sebagaimana yang beliau nyatakan dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah sebagai sanggahan terhadap kitab Ilyasa. Beliau mengatakan: Barangsiapa yang meninggalkan syari’at yang telah baku yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdulloh sebagai penutup para nabi lalu berhukum dengan syari’at-syari’at lain yang telah mansukh, maka ia telah kafir, lalu bagaimana halnya dengan orang yang berhukum dengan Ilyasa dan lebih mengutamakannya dari pada hukum Alloh? Orang yang melakukannya telah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Dari sini jelas bagi kita keputusan yang tegas berkenaan dengan undang-undang buatan yang menyelisihi syari’at Alloh yang merasuki negara-negara Islam sehingga menjadi undang-undang yang mengikat mereka, bahwa hal itu adalah kekufuran yang tidak perlu bantahan lagi. Para muhaqqiq dari kalangan ulama’ pada masa ini menyadari hal itu sehingga mereka sehingga mereka menjelaskan hukum undang-undang tersebut dalam Islam. Diantara mereka adalah syaikh Ahmad Syakir dalam mengomentari perkataan Ibnu Katsir diatas: Sesungguhnya hokum/undang-undang buatan manusia itu telah jelas bagaikan matahari di siang bolong, hal itu adalah kekafiran yang nyata dan tidak ada kesamaran lagi. Tidak ada alasan lagi bagi orang yang mengaku Islam untuk tidak mengamalkannya, tunduk kepadanya atau mengakuinya.
Syaikh Muhammad bin Ibrohim mufti Arab Saudi (lama) berkata: Tidak mungkin Alloh menamakan orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh sebagai orang kafir lalu orang yang melakukan hal tersebut tidak kafir. Akan tetapi sebenarnya ia tetap kafir secara mutlak baik kufur amali maupun kufur I’tiqodi……
Beliau berkata: kufur ‘itiqodi sangatlah banyak , diantaranya adalah:
Pertama: Orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh, maka sungguh ia telah menginggkari keabsahan hukum Alloh dan Rosul-Nya. Inilah yang dimaksud dari riwayat Ibnu Abbas dan yang dipilih Ibnu Jarir, yaitu mengingkari hukum syar’I yang diturunkan Alloh, dan dalam hal ini tidak ada perselisihan antara para ulama’.
Kedua: Orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh, maka ia tidak mengingkari keabsahan hukum Alloh akan tetapi ia berkeyakinan bahwa selain hukum Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi kebutuhan manusia sebagai pemutus perkara antara mereka ketika terjadi perselisihan, baik secara mutlak maupun hanya terbatas pada masalah-masalah baru yang muncul sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan kondisi. Seperti ini juga tidak diragukan lagi atas kekafirannya karena ia lebih mengutamakan hukum buatan makhluk yang hanya merupakan sampah-sampah otak dan kekerdilan hukum dibanding dengan hukum Alloh yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Ketiga: Orang tersebut tidak berkeyakinan bahwa hukum tersebut lebih baik dari pada hukum Alloh dan Rosul-Nya, akan tetapi ia berkeyakinan bahwasanya keduanya sama saja, maka seperti ini sama saja dengan dua kelompok sebelunya, ia kafir keluar dari Islam karena dengan demikian ia menyamakan antara makhluq dengan Kholiq.
Keempat: Orang tersebut tidak sampai berkeyakinan bahwa selain hukum Alloh itu sama dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya apalagi berkeyakinan bahwasanya hukum tersebut lebih baik, akan tetapi ia berkeyakinan boleh berhukum dengan hukum yang menyelisihi hukum Alloh dan Rosul-Nya. Orang semacam ini sama saja dengan orang-orang sebelumnya karena ia berkeyakinan bolehnya mengikuti hukum yang secara jelas bertentangan dengan nash.
Kelima: Yaitu yang paling besar dan paling luas cakupan penentangannya terhadap syari’at dan paling berani menentang hukum-hukumnya. Serta permusuhannya terhadap Alloh dan Rosul-Nya juga membuat tandingan terhadap mahkamah syar’iyah baik secara persiapan, dukungan , pengawasan, penyebaran pemahaman, sekaligus menyebarkan keraguan-keraguan, pengembangan, bahkan juga pemutusan dan pemaksaan paham dengan berbagai rujukan dan referensi yang dimiliki. Sebagaimana mahkamah syar’iyah itu mempunyai rujukan dan sandaran yaitu yang semuanya berdasar kitab Allah dan sunnah Rosulullah, mahkamah mereka pun juga memiliki referensi yaitu undang-undang yang diadopsi dari berbagai ajaran, berbagai perundang-undangan seperti undang-ndang Perancis, Amerika, Inggris dan undang-undang yang lain serta dari berbagai aliran bid’ah yang mengaku berpegang terhadap syariat dan lain-lainnya. Mahkamah-mahkamah seperti ini sekarang banyak terdapat di negeri-negeri Islam yang di sempurnakan, di siapkan dan terbuka bagi seluruh manusia dan banyak orang yang memanfaatkannya yang pada dasarnya adalah fatamorgana. Para hakimnya memutuskan perkara dengan hukum yang bertentangan dengan al Qur’an dan As Sunnah bahkan megesahkannya dan mengharuskan orang untuk mengikutinya. Dengan demkian kekufuran apalagi yang lebih besar dari pada itu, penentangan mana yang lebih dassyat dari penentangan perbuatan mereka itu terhadap persaksian bahwa Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam adalah Rosul Allah.
Keenam: Hukum-hukum yang digunakan oleh para pemimpin suku dan kabilah yang berupa cerita dari nenek moyang mereka yang mereka namakan Sulumuhum yang mereka warisi secara turun menurun, mereka jadikan sebagai hukum lalu mereka menjadikannya sebagai hukum ketika ada perselisihan. Mereka tetap diatas hukum jahiliyan dan menolak serta benci terhadap hukum Allah dan rosul Nya.
Adapun bagian yang kedua adalah kekafiran berhukum kepada selain hukum yang Alloh turunkan yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Diatas telah disebutkan tafsirannya Ibnu Abbas terhadap firman Alloh
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al-Maidah: 44).
Ayat ini mencakup pengertian bagian ini. Yaitu perkataan beliau: Kufrun Duna Kufrin. Dan juga perkataan beliau: Kekafiran di sini bukanlah kekafiran yang kalian maksudkan. Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yang telah Alloh turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya adalah benar, ia mengakui kesalahannya bahwa ia telah mengikuti hawa nafsu.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwasanya al-hukmu bighoiri maa anzalalloh mengandung dua pengertian:
Pertama: Al-Qodlo’ (memutuskan perkara).
Pada pengertian ini para pelakunya berbeda-beda hukumnya, berkisar antara kufur akbar dan kufur ashgor (kufrun duna kufrin) sesuai dengan keadaan pelakunya. Ia akan termasuk kufur akbar yang menyebabkan dirinya keluar dari Islam jika:
3. Ia mengingkari atas kebenaran hukum Alloh dan Rosul-Nya.
4. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum Alloh dan Rosul-Nya.
5. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya sama dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya.
6. Ia berkeyakinan boleh berhukum kepada hukum yang menyelisihi hukum Alloh dan Rosul-Nya, meskipun ia yakin bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya itu lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum yang lain.
Dan perbuatan itu akan hanya sebagai maksiyat atau kufur ashghor atau kufrun duna kufrin jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Alloh, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi (yang ia putuskan), lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa. Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yang telah Alloh turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya adalah benar, dan ia mengakui atas kesalahannya dan ia juga mengakui bahwa ia telah mengikuti hawa nafsu.
Kedua: At-Tasyri’ (membuat undang-undang).
Pada pengertian yang kedua ini para ulama’ telah berijma’ atas kekafiran mereka dan wajib diperangi sampai mereka mau kembali kepada syari’at Islam.
Kajian ini dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dan penyesuaian dari kitab:
o Waqfaatun Ma’a Al Syaikh Al Albani Haula Syarith “Min Manhaji Al Khawarij” karangan Abu Isra’ Al-Asyuthi
o Tahdzib Syarhul ‘Aqidah Ath-Thohawiyyah karangan Abdul Akhir Hammaad
C. Mereka bodoh
Sesungguhnya tidaklah semua kebodohan itu bisa diterima sebagai alasan. Karena jika semua kebodohan itu bisa diterima sebagai alasan untuk berbat salah, maka orang-orang awam yang kerjaannya hanya taqlid lebih baik keadaannya dari pada para ulama’ yang senantiasa berijtihad. Sesungguhnya kemampuan seseorang untuk mencari ilmu itu cukup sebagai pembatal alasan kebodohan sehingga kebodohan itu tidak bisa diterima sebagai alasan untuk setiap orang. Para ulama’ telah bersepakat bahwasanya yang dijadikan patokan itu kemampuan dan kemungkinan intuk mengetahui dan bukan sampainya ilmu itu sendiri.
Adapun dalilnya adalah semua dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya berilmu sebelum berbicara dan berbuat.
Seperti firman Allah:
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لاتعلمون
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (An-Nahl: 43)
Dan firman Allah:
ياأيها الذين آمنوا لاتقدموا بين يدي الله ورسوله
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya “ Al-Hujurot: 1)
Dan sabda Rasululloh saw. :
طلب العلم فريضة على كل مسلم (صححه السيوطي بمجموع طرقه).
“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Hadits ini dishohihkan oleh As-Suyuthi dengan semua jalannya.
Kemudian jika seseorang telah berusaha mencari ilmu yang wajib untuk ia ketahui maka tinggallah yang menjadi patokan adalah firman Alloh:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
“Alloh tidaklah memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai mampuannya.” (Al-Baqoroh: 286)
Dengan demikian maka orang yang tidak memungkinkan untuk mengetahui itu ada dua macam:
Pertama; ia telah berusaha untuk belajar tentang segala sesuatu yang wajib ia ketahui.
Adapun keadaan yang kedua adalah ia meremehkan dan memang berpaling dari kebenaran. Maka orang semacam ini kebodohannya tidak bisa diterima. Tentang orang semacam ini Ibnul Qoyyim berkata:
فكـل مـن تمكّن من معرفة ما أمر الله به ونهى عنه، فقصَّر عنه ولم يعرفه، فقد قامت عليه الحجة
“Maka setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui perintah dan larangan Alloh lalu ia meremehkannya sehingga ia tidak mengetahuinya, maka hujjah telah tegak baginya.”
Dan inilah pendapat seluruh ulama’.
Oleh karena itu disini kami sebutkan beberapa keadaan dimana kebodohan tidak bisa diterima sebagai alasan kekafiran. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Orang yang kebodohannya disebabkan karena tidak mau mencari ilmu syar’ii, dan tidak mau melihat ayat-ayat Allah yang menunjukkkan keesaan-Nya dan kebenaran yang datang dari Rasul.
Ia tidak mendatangi ilmu dan tidak mau pula diajari, maka barangsiapa yang ketidak tahuannya dengan risalah yang dibawa oleh Rasul itu karena berpaling dari ilmu maksudnya ia tidak mau belajar dan tidak mau diajar, maka ketidak tahuannya tentang risalah itu tidak dapat diterima sebagai alasan. Allah berfirman :
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَّبَ بِآياتِ اللَّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يَصْدِفُونَ
"Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling.” (Al-An’am: 157)
صدف عنها
Artinya berpaling dari ayat-ayat tersebut, begitulah kata Ibnu Abbas, Mujahid, Qotadah, dan Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir berkata dalam tafsirnya :
سيثيب الله الذي يعرضون عن آياته وحججه ولا يتدبرونها ولا يتعرفون حقيقتها فيؤمنوا بما دلتهم عليه من توحيد الله وحقيقة نبوة نبيه، وصدق ماجاء به من عند ربهم سوء العذاب
Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang menentang ayat-ayat dan dalil-dalilnya dan tidak memahaminya serta tidak mengetahui hakekatnya sehingga beriman dengan keesaan allah dan hakekat kenabian, serta percaya dengan apa yang dia bawa dari sisi Rab-Nya dengan adzab yang sangat jelek.
Allah berfirman :
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْراً وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوا إِذاً أَبَداً
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Rabbnya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang dikerjakan oleh kedua tangannya Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya. (Al-Kahfi: 57)
Ibnu jarir berkata :
يقول عز ذكره، وأي الناس أوضع للإعراض والصد في غير موضعهما ممن ذكره بآياته وحججه، فدله بها على دليل سبيل الرشاد، وهداه بها إلى طريق النجاة، فأعرض عن آياته وأدلته في استدلاله بها الوصول على الخلاص من الهلاك
Allah berfirman, siapakah yang lebih berpaling dan menghalang-halangi dari pada orang yang diingatkan dengan ayat-ayat Allah dan hujjah-hujjahnya, ia diberikan petunjuk kepada jalan kebenaran dan jalan keselamatan lalu dia berpaling dari ayat-ayat yang menyelamatkan dia dari kehancuran.
Ibnu katsir berkata :
يقول تعالى وأي عباد الله أظلم ممن ذُكر بآيات الله فأعرض عنها، أي تناساها وأعرض عنها ولم يصغ لها ولا ألقى إليها بالاً
Allah berfirman : siapakah hamba Allah yang lebih dhalim daripada orang yang telah diingatkan dengan ayat-ayat Allah lalu dia berpaling maksudnya dia melupakan dan berpaling daripadanya dan tidak memperhatikannya.
Allah berfirman:
وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِنْ لَدُنَّا ذِكْراً. مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْراً. خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاً.
Dan sesungguhnnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan(al-Qur'an). Barangsiapa yang berpaling daripada al-Qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat, mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat.” (Thoha: 100-101)
Allah berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيراً . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". Berkatalah ia:"Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat" Allah berfirman:"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan". (Thoha: 124-126)
Allah berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)
Dan dalam hadits disebutkan:
عن أبي واقد الليثي، أن رسول الله ، بينما هو جالس في المسجد والناس معه إذ أقبل ثلاثة نفر، فأقبل اثنان إلى رسول الله وذهب واحد. قال: فوقفا على رسول الله ، فأما أحدهما فرأى فرجة في الحلقة فجلس فيها، وأما الآخر فجلس خلفهم، وأما الثالث فأدبر ذاهباً فلما فرغ رسول الله قال:" ألا أخبركم عن النفر الثلاث؟ أما أحدهم فآوى إلى الله فآواه الله، وأما الآخر فاستحيا فاستحيا الله منه، وأما الآخر فأعرض فأعرض الله عنه " متفق عليه.
Dari Abu Waqid Al Laitsi : bahwasannya Rasulullah Saw. Ketika duduk didalam masjid bersama orang-orang datanglah tiga orang lalu yang dua orang menghadap Rasulullah dan yang satu pergi, maka kedua orang tersebut itu berhenti dihadapan Rasulullah, salah seorang diantara keduanya melihat ada celah diantara halaqah tersebut maka iapun duduk di celah itu, adapun yang satunya duduk di belakang, adapun yang ketiga dia berpaling dan pergi maka ketika selesai Rasullullah bersabda : maukah kalian aku beri tahu tentang tiga orang tersebut ? yang pertama ia berlindung kepada Allah maka Allah melindunginya, adapun yang kedua ia malu maka Allah pun malu darinya, dan yang ketiga dia berpaling, maka Allah pun berpaling darinya. ( Muttafaq Alaihi )
Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
اعلم أن من أعظم نواقص الإسلام عشرة، منها الإعراض عن دين الله لا يتعلمه ولا يعمل به، والدليل قوله تعالى: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ
Ketahuilah bahwasanya diantara pambatal-pembatak keislaman yang terbesar adalah berpaling dari agama Alloh, tidak mau mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya. Dan dalilnya adalah firman Alloh: “(22) Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling daripadanya Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.
Ibnu Qayyim berkata :
إن العذاب يستحق بسببين، أحدهما: الإعراض عن الحجة وعدم إرادتها والعمل بها وبموجبها. الثاني: العناد لها بعد قيامها وترك إرادة موجبها. فالأول كفر إعراض، والثاني كفر عناد. أما كفر الجهل مع عدم قيام الحجة وعدم التمكن من معرفتها فهذا نفى الله التعذيب عنه حتى تقوم حجة الرسل.
“Sesungguhnya Allah mengadzab itu lantaran dua sebab, pertama : karena berpaling dari hujjah dan tidak menghendakinya serta tidak mau mengamalkan konsekwensinya, kedua : keras kepala setelah menerima hujjah dan tidak mau melaksanakan konsekwensinya. Adapun yang pertama adalah kufru I’radh dan yang kedua adalah kufru I’nad, adapun kufru jahli ( kekafiran yang disebabkan kebodohan ) sedangkan dia belum menerima hujjah dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahuinya maka Allah tidak akan mengadzabnya sampai ia menerima hujjah para Rasul.
3. Orang yang kebodohannya disebabkan karena taklid kepada nenek moyang atau karena mengikuti para pemimpin yang kafir dan sesat.
Allah berfirman:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولا . وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيراً
Dan mereka berkata:"Ya Rabb Kami, sesungguhnya kami telah menta'ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (Al-Ahzab: 67-68)
Allah berfirman:
وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَنْ نَكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ لَهُ أَنْدَاداً وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا الْأَغْلالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ يُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri:"(Tidak), sebenarnya tipu daya (mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya".Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab.Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir.Mereka tidak di balas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan". (Saba’: 33)
Allah berfirman:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّأُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan ketika segala hubungan mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti:”Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kep[ada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kalimereka tidak akan keluar dari api neraka. (Al-Baqarah: 166-167)
Ibnul Qoyyim berkata:”Tingkatan orang-orang taqlid dan bodoh dari kalangan orang-orang kafir, para pengikut dan keledei mereka yang selalu mengikuti mereka. Mereka mengatakan:Kami dapatkan orang-orang tua kami berbuat begini maka kami mengikuti mereka.” Namun demikian mereka membiarkan orang Islam dan tidak memerangi mereka, seperti kaum wanita, anak-anak mereka, pembantu-pembantu dan para pengikut mereka yang tidak berbuat sebagaimana yang diperbuat para pemimpin mereka yaitu berusaha memadamkan cahaya Alloh dan memusnahkan kalimahnya. Akan tetapi mereka itu kedudukannya sebagaimana binatang. Dan seluruh umat Islam telah sepakat bahwasanya orang-orang tersebut kafir meskipun mereka itu orang-orang bodoh yang hanya taqlid saja terhadap para pemimpin mereka. Kecuali pendapat yang diriwayatkan dari ahli bid’ah, mereka itu tidak dihukumi dengan masuk neraka akan tetapi mereka itu sebagaimana orang yang belum mendengar dakwah. Dan pendapat ini tidak ada seorang imampun dari kaum muslimin baik sahabat, tabi’in maupu orang setelah mereka yang berpendapat seperti ini, ini adalah pendapat dari kalangan ahlul kalam yang berbuat bid’ah dalam Islam.
قال ابن القيم رحمه الله: طبقة المقلدين وجهال الكفرة وأتباعهم وحميرهم الذين هم معهم تبعاً لهم، يقولون: إنا وجدنا آبائنا على أمة وإنا على أسوة بهم، ومع هذا فهم تاركون لأهل الإسلام غير محاربين لهم، كنساء المحاربين وخدمهم وأتباعهم الذين لم ينصبوا أنفسهم لما نصب له أولئك أنفسهم من السعي في إطفاء نور الله وهدم دينه وإخماد كلماته، بل هم بمنزلة الدواب. وقد اتفقت الأمة على أن هذه الطبقة كفار وإن كانوا جهالاً مقلدين لرؤسائهم وأئمتهم، إلا ما يحكى عن بعض أهل البدع أنه لم يحكم لهؤلاء بالنار وجعلهم بمنزلة من لم تبلغه الدعوة، وهذا مذهب لم يقل به أحد من أئمة المسلمين لا الصحابة ولا التابعين ولا من بعدهم، وإنما يعرف عن بعض أهل الكلام المحدث في الإسلام.
فغاية هذه الطبقة أنهم كفار جهال غير معاندين، وعدم عنادهم لا يخرجهم عن كونهم كفاراً، فإن الكافر من جحد الله وكذب رسوله إما عناداً أو جهلاً وتقليداً لأهل العناد. فهذا وإن كان غايته أنه غير معاند فهو متبع لأهل العناد، وقد أخبر الله في القرآن في غير موضع بعذاب المقلدين لأسلافهم من الكفار، وأن الأتباع مع متبوعيهم وأنهم يتحاجون في النار وأن الاتباع يقولون: رَبَّنَا هَؤُلاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَاباً ضِعْفاً مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لا تَعْلَمُون َلأعراف:38. وقال تعالى: وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعاً فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيباً مِنَ النَّارِ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ غافر:48.
فهذا إخبار من الله وتحذير بأن المتبوعين والتابعين اشتركوا في العذاب، ولم يغن عنهم تقليدهم شيئاً.
وصح عن النبي أنه قال: من دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل أوزار من اتبعه، لا ينقص من أوزارهم شيئاً. وهذا يدل على أن كفر من اتبعهم إنما هو بمجرد اتباعهم وتقليدهم ا- هـ .
“Dan (ingatlah) ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri:"Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka" Dan (ingatlah) ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombonan diri:"Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebagian azab api neraka.”
Ini adalah pemberitahuan dari Allah dan peringatan bahwasanya orang-orang yang mengikuti dan orang-orang yang diikuti itu sama-sama diadzab. Dan taqlid merekaitutidak akan bermanfaat bagi mereka.
Dalam hadits shahih Rasulullah bersabda : barang siapa mengajak kepada kesesatan maka ia akan diberikan tanggungan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. Hal ini menunjukkan bahwasannya mereka itu kafir hanya sekedar mereka mengikuti dan taklid.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh muslim berbunyi
أهل النار خمسة ـ منهم ـ: الضعيف الذي لا زَبْرَ له، الذين هم فيكم تبعاً، لا يبغون أهلاً ولا مالاً ..". أي لا يسعون في تحصيل منفعة دينية ولا دنيوية.
“Penghuni nereka itu ada lima ( diantaranya adalah ) orang lemah yang tidak mempunyai akal yang mereka selalu mengikuti kalian tidak mengharapkan harta dan keluarga. Maksudnya mereka tidak berusaha mecari manfaat diniyah maupun dunyawiyah.
4. Orang yang kebodohannya disebabkan karena ia menyangka bahwasanya apa yang ia yakini itu benar, lalu ia mengikuti pesangkaan dan keyakinannya yang batil tersebut dan ia tidak mau belajar ataupun diajari.
Allah berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ . أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُون
Dan jika dikatakan kepada mereka:”Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi.” Mereka menjawab:”Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah sesungguhnya mereka itu orang-orang yang berbuat kerusakan akan tetapi mereka tidak sadar.” (Al baqarah : 11-12.)
قال الألوسي في تفسيره: وما يقال من أنه لا ذمَّ على من أفسد ولم يعلم، وإنما الذم على من أفسد عن علم يدفعه أن المقصر في العلم مع التمكن منه مذموم بلا ريب، بل ربما يقال إنه أسوأ حالاً من غيره. وفيه مزيد تسليه له ، إذ من كان من أهل الجهل لا ينبغي للعالم أن يكترث بمخالفته.
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya: “adapun pendapat yang mengatakan bahwasanya orang yang merusak sedangkan ia tidak mengetahui itu tidak dicela, adapun yang dicela adalah orang yang melakukan kerusakan sedangkan ia mengetahuinya. Hal ini dibantah bahwasanya orang yang meremehkan ilmu padahal ia mampu untuk belajar adalah tercela tanpa diragukan lagi. Bahkan bisa dikatakan ia lebih jelek keadaannya dari pada yang lain.”
Allah berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً. أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآياتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْناً.
“Katakanlah:"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. ( Al Kahfi : 103-105 )
Asy Syanqithi berkata:
هذه النصوص القرآنية تدل على أن الكافر لا ينفعه ظنه أنه على هدى لأن الأدلة التي جاءت بها الرسل لم تترك في الحق لبساً ولا شبهة. ولكن الكافر لشدة تعصبه للكفر لا يكاد في الأدلة التي هي كالشمس، فلذلك كان غير معذور
“Nash-nash al qur’an ini menunjukkan bahwasannya orang-orang kafir itu persangkaannya bahwa mereka diatas kebenaran tidak ada manfaatnya, karena dalil dalil yang dibawa oleh para Rasul itu tidak ada kerancuan dan kesamaran atas kebenarannya.
Akan tetapi orang kafir itu karena kefanatikan, mereka tetap kafir meskipun dalil-dalil itu sejelas matahari, oleh karena itu kebodohan mereka tidak bias diterima sebagai alasan.”
5. Orang yang kebodohannya disebabkan karena ngeyel dan sombong. Ia tidak mau menerima kebenaran meskipun ia sudah jelas baginya.
وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَى وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلاً مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ
Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu kehadapan mereka niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. ( Al An’am : 111 )
Allah berfirman:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِراً كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْراً فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيم ٍ
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih. ( Lukman : 7 )
Orang semacam ini meskipun ia mendengarkan ayat-ayat yang diterangkan kepadanya, namun ia mendengarkannya bukan atas dasar mencari kebenaran. Hal itu karena kesombongan dan sikap keras kepalanya sehingga meskipun ia mendengar, namun pada hakekatnya sama saja dengan orang yang tidak mendengarnya.
Ibnu Jarir berkata :
ولَّى مستكبراً يقول: أدبر عنها، واستكبر استكباراً، وأعرض عن سماع الحق والإجابة عنه كأنه لم يسمعها يقول: ثقلاً، فـلا يطيق من أجله سماعه.
“( ia berpaling dengan sombong ) maksudnya Allah berfirman : dia berpaling dari ayat-ayat tersebut dan sombong, ia berpaling tidak mau mendengarkan dan menyambut kebenaran. ( seolah-olah dia tidak mendengar ) maksudnya Allah berfirman : karena berat sehingga mereka tidak kuat untuk mendengarkannya.”
5. Begitu pula orang yang tidak mengetahui ayat-ayat Allah itu disebabkan karena ia menyibukkan diri dengan urusan lain, dengan kata lain ia lebih mengedepankan urusan dunianya dari pada akheratnya, sehingga rusak agamanya, maka orang semacam ini kebodohannya tentang islam tidak bisa diterima.
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ لا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ .أُولَئِكَ مَأْوَاهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sesungguhnya orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. ( Yunus : 7-8 )
Al Hasan al Bashri berkata :
والله ما زينوها ولا رفعوها حتى رضوا بها وهم غافلون عن آيات الله الكونية فلا يتفكرون فيها، والشرعية فلا يأتمرون بها، فإن مأواهم يوم معادهم النار جزاءً على ما كانوا يكسبون في دنياهم من الآثام والخطايا والإجرام مع ما هم فيه من الكفر بالله ورسوله واليوم الآخر
“Demi Allah mereka tidak menghiasinya dan mengangkatnya sampai mereka rela dengannya sedangkan mereka lalai dari ayat-ayat kauniyah Allah, mereka tidak memikirkannya, begitu pula terhadap ayat-ayat syariyyah, mereka tidak mau mematuhinya, maka pada hari kiyamat nanti tempat kembali mereka adalah neraka sebagai ganjaran terhadap dosa-dosa, kesalahan-kesalahan dan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan di dunia, serta kekafiran mereka terhadap Allah, Rasulnya dan hari akhir.”
Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. ( Lukman : 6 )
Ibnu Jarir berkata:
عني به ما كان من الحديث ملهياً عن سبيل الله، مما نهى الله عن استماعه أو رسوله، لأن الله عم بقوله لهو الحديث ولم يخصص بعضاً دون بعض، والغناء والشرك من ذلك. وقوله تعالى: ليضل عن سبيل الله يقول: ليصد ذلك الذي يشتري من لهو الحديث عن دين الله وطاعته، وما يقرب إليه من قراءة قرآن وذكر الله
” Yang dimaksud adalah segala lahwul hadits yang melalaikan dari jalan Allah, yang dilarang Allah dan Rasul-Nya untuk didengarkan. Karena Allah mengatakan lahwul hadits secara umum dan tidak mengkhususkan sebagian dari sebagian yang lain, sedangkan nyanyian dan kesyirikan termasuk dari lahwul hadits.
Sedangkan firman Allah;”untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah” maksudnya adalah; untuk supaya orang yang membeli lahwal hadits tersebut menghalang-halangi dari agama Allah dan dari ketaatan kepada-Nya serta apa-apa yang mendekatkan kepada-Nya seperti qiro’atul qur’an dan berdzikir kepada Allah.”
الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجاً أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ بَعِيدٍ
(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok.Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh. ( Ibrahim : 3 )
Allah berfirman :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.
Katakanlah:"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. ( At-Taubah : 24 )
Dan diantara bentuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya. Dan hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan berusaha unutuk mempelajari ilmu syar’i.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah hrata-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” ( Al Munafiqun : 9 )
Dengan demikian maka barang siapa yang tidak mengetahui lantaran ia sibuk dengan kehisupan dunia, sehingga ia lalai dari Al-Qur’an lalu ia tidak memahami kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia fahami maka orang yang semacam ini ketidak tahuannya tidak bias diterima sebagai alasan. Seandainya orang itu menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah saja kemudian melalaikannya dari kewajiban dia itu tidak boleh, lalu bagaimana halnya dengan orang yang menyibukkan diri dengan hal-hal yang haram.
6. Orang yang kebodohannya disebabkan karena kerasnya hatinya sehingga ia tidak mampu memahami ayat-ayat Allah, orang semacam ini juga tidak bisa diterima alasan kebodohannya.
Allah berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah.Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Az-Zumar: 22)
Allah berfirman:
فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 43)
Allah berfirman:
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ. كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata:"Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu". Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthoffifin:13-14)
Dengan demikian maka sesungguhnya kebodohan para thoghut Indonesia pada hari ini terhadap hukum Islam tidaklah bisa diterima sebagai alasan atas segala kekafiran mereka. Dan tidak pula terdapat pada mereka satu mani’-pun (penghalang) dari mawani’ut takfir yang dijelaskan oleh para ulama’ yang terdapat pada mereka. Bahkan mempersoalkan mawani’ut takfir pada mereka itu temasuk bagian dari mempermainkan agama karena menentang hukum Allah untuk diberlakukan dalam kehidupan yang lebih kongkrit. Dan bisa jadi alasan kebodohan iblis bisa lebih diterima dari pada alasan kebodohan para thoghut tersebut. Dan bisa jadi menegakkan hujjah terhadap iblis lebih bisa diterima dari pada menegakkan hujjah terhadap para thoghut tersebut, namun kedua hal tersebut adalah batil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar