PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 11 Oktober 2012

Dlawabit (batasan-batasan) Takfir #3

Dan memandang pada keterbuktian dan penghalang-penghalang takfir adalah materi berikut ini:
4. Ucapan saya –pada kaidah takfir–:
“Yang telah terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’i“
Yaitu ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan yang mana ia adalah sebab kekafiran. Dan penjelasan itu adalah bahwa hal itu termasuk dalam cakupan kaidah “pemberlakuan hukum-hukum dunia berdasarkan atas dhahir“, yaitu bahwa si mukallaf tidak dikenakan sanksi dengan sebab sesuatu dari ucapan-ucapan atau perbuatan-perbuatannya dalam hukum-hukum dunia, kecuali bila terbukti hal itu terhadapnya dengan cara-cara yang telah dijelaskan syari’ah (yaitu, ed.) dengan cara-cara pembuktian syar’i yang di antaranya adalah iqrar (pengakuan) dan kesaksian para saksi dan jumlah saksi itu berbeda-beda tergantung masalahnya. Bila ucapan atau perbuatan itu tidak terbukti terhadap si mukallaf dengan keterbuktian syar’i yang shahih, maka ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan itu secara hukum dianggap tidak ada, walaupun pada hakikat sebenarnya ada. Barangsiapa berzina tetapi zinanya tidak terbukti dengan cara pembuktian yang benar, maka ia dianggap tidak berzina pada hukum syar’i akan tetapi ia itu berzina pada hakikat sebenarnya dan Allah akan memberikan hukuman kepadanya atas perbuatannya, kecuali bila ia diampuni dengan taubat orang itu atau dengan perbandingan (kebaikan dan keburukan) atau dengan syafa’at.
Adapun riddah –yaitu mendatangkan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir– maka itu bisa terbukti dengan salah satu dari dua hal: dengan iqrar (pengakuan) yaitu pengakuan (si pelaku) atau dengan kesaksian dua laki-laki muslim yang adil. Ini adalah bentuk madzhab jumhur ulama, tidak ada yang menyelisihi di dalamnya kecuali Al Hasan dimana ia mensyaratkan empat saksi untuk membuktikan riddah, karena hukumannya adalah bunuh, diqiyaskan dengan zina dan Ibnu Qudamah membantahnya bahwa alasan pada saksi perzinaan adalah zina bukan hukum bunuh yang dibangun di atasnya, karena jumlah nishab (4) saksi itu sendiri disyaratkan dalam membuktikan zina ghair muhshan sedangkan tidak ada hukum bunuh di dalamnya maka jelaslah perbedaannya. (Lihat Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir 10/99)
Dalam penunaian kesaksian riddah ini mesti ada rincian sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qadliy Burhanuddin Ibnu Farhun Al Maliki: “Dan tidak diterima kesaksian terhadap riddah yang global (mujmal), maka ucapan para saksi: “Si fulan telah kafir atau murtad” mesti ada rincian apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat darinya karena perselisihan manusia dalam hal takfir. Bisa jadi mereka meyakini kekafiran suatu yang bukan kekafiran.” (Tabshiratul Hukkam 2/277).
Apakah riddah terbukti dengan istifadlah yaitu kesaksian sejumlah orang tanpa mendengar atau melihat secara langsung dari si tertuduh? Di dalamnya ada perselisihan, Ibnul Qoyyim berkata: “Vonis hukum dengan istifadlah adalah tingkatan mutawatir dengan ahad. Istifadlah adalah keterkenalan yang menjadi bahan pembicaraan manusia dan menyebar di antara mereka. –sampai beliau berkata– sedang dia (istifadlah) itu lebih kuat dari kesaksian dua orang yang diterima”. (Ath Thuruq Al Hukmiyah, Ibnul Qayyim hal 212 terbitan Al Madaaniy) dan juga bisa dirujuk di Fathul Bariy 5/254 dan Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah 35/412-414
Di antara contoh kesaksian atas riddah dengan istifadlah adalah kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam tarikh-nya pada tragedi-tragedi tahun 741 H, beliau berkata: “Kemudian tatkala hari Selasa tanggal 21 Dzulqa’dah dihadirkan Utsman Ad Dakakiy itu ke Dar As Sa’adah dan ia dihadapkan di depan para umara’ dan para Qadli dan ia ditanya tentang cacat-cacat pada saksi-saksi, maka ia tidak mampu dan tidak kuasa mendatangkan hal itu, maka vonispun diarahkan kepadaanya. Kemudian Al Qadliy Al Malikiy ditanya tentang vonis terhadapnya, maka beliau memuji dan menyanjung Allah serta bershalawat terhadap Rasul-Nya, kemudian beliau memvonis agar ia dibunuh meskipun ia telah taubat. Maka orang itu dibawa dan dipenggal lehernya di Damaskus di Pasar Kuda dan diumumkan tentangnya. Inilah balasan orang yang manganut paham Ittihadiyah dan hari itu adalah hari yang disaksikan (banyak orang) di Dar As Sa’adah yang dihadiri banyak tokoh dari kalangan pemerintah dan para syaikh dan hadir juga guru kami Jamaluddin Al Miziy Al Hafizh, Al Hafizh Syamsuddin Adz Dzahabiy dan keduanya berbicara dan sangat memberi semangat dalam hal ini dan keduanya bersaksi akan kezindikan orang itu dengan istifadlah. Dan begitu juaga Syaikh Zainuddin saudara Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan keluarlah tiga Qadliy Al Maliky, Al Hanafiy dan Al Hanbaliy serta mereka melaksanakan vonisnya di majelis terus mereka menghadiri pemancungan orang itu, sedang saya menyaksikan secara langsung dari awal sampai akhir” (Al Bidayah Wan Nihayah 14/190)
Ini adalah cara pembuktian riddah dalam hukum-hukum dunia dan kadang seseorang tertentu (mu’ayyan) kafir secara hakikat sebenarnya namun kekafiran itu tidak terbukti atasnya dalam hukum-hukum dunia, maka ini perhitungannya kepada Allah (pada hari dinampakkan semua rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi manusia suatu kekuatan pun dan tidak pula seorang penolong) kemudian bila ia mati di atas kekafirannya tanpa taubat, maka ia masuk neraka secara pasti lagi kekal selamanya di dalamnya karena Allah tidak mengampuni (dosa) penyekutuan terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang kafir secara hukum sebenarnya dapat dibuktikan kekafirannya dalam hukum-hukum peradilan duniawi. Hal ini dijelaskan dalam empat gambaran berikut ini:
A. Bila seseorang merahasiakan keyakinan mukaffir yang tidak dia tampakkan dalam perbuatan dan ucapan yaitu kekafiran dengan keyakinan saja seperti mendustakan hari berbangkit, maka ia muslim secara zhahir, namun ia kafir pada hakikat sebenarnya. Ia tergolong munafiqin dengan nifaq akbar. Dan tentang macam ini Ibnu Taimiyyah berkata: “Andaikata mereka menyembunyikan nifaq dan tidak mengatakannya maka mereka adalah munafiqin, Allah ta’ala berfirman:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (٦٤)
“Orang-orang yang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersimpan dalam hati mereka, katakan terhadap mereka: Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya) Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu”(At Taubah: 64)(dari Majmu Al Fatawa: 13/57)
Ayat ini menunjukan bahwa nifaq itu ada di hati mereka dan sama sekali belum keluar dari ucapan dan perbuatan zhahir.
B. Bila seseorang menampakkan perbuatan atau ucapan mukaffir akan tetapi tidak seseorangpun melihatnya, maka ia muslim dalam hukum zhahir namun kafir secara hakikat sebenarnya. Dan ini tergolong kaum munafiqin dengan nifaq akbar. Dan ini dan sebelumnya masuk dalam firman Allah Subhanahu Wa ta’ala
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الأعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ (١٠١)
“Dan di antara orang-orang  Arab  Badui yang disekililingmu itu ada orang-orang munafiq dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya.Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang berat”(At Taubah: 101)
C. Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan diketahui oleh sebagian manusia, akan tetapi tidak bersaksi terhadapnya dari mereka kecuali seorang laki-laki saja atau anak kecil atau seorang wanita, maka perbuatan mukaffir ini tidak terbukti terhadapnya, karena tidak terpenuhinya nishab kesaksian atas riddah pada diri orang itu, sehingga ia itu muslim pada hukum zhahir namun kafir secara hakikat sebenarnya. Namun demikian boleh bagi si Qadli untuk memberi sanksi si tertuduh (menghukumnya dengan hukuman di bawah had seperti dipenjara atau didera atau yang lainnya) tergantung kekuatan kesaksian, umpamanya bila saksi itu termasuk ulama yang adil lagi shalih, namun hanya sendirian. (lihat Tabshiratul Hukkam, Ibnu Farhun 2/281 )
Dan gambaran yang ke tiga ini adalah mayoritas kaum munafiq pada masa Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam, dimana sesungguhnya mereka itu mengucapkan kekafiran di antara mereka namun satu sama lain tidak menjadi saksi atas yang lainnya dengan hal itu, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah: “Terus dia bersikap nifaq dalam hatinya dan tidak kuasa menampakkan riddah itu, namun ia mengucapkan kemunafikan bersama orang-orang khususnya.” (Majmu Al Fatawa 13/54 )
Kadang mereka didengar oleh seorang laki-laki muslim terus ia bersaksi dengan apa yang ia dengar, akan tetapi ini tidak cukup untuk pembuktian. Sebagaimana Zaid Ibnu Arqam bersaksi atas Abdullah Ibnu Ubay bahwa dialah yang mengatakan: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya, sebagaimana itu telah tsabit dalam Ash Shahih. Padahal sesungguhnya wahyu telah membenarkan Zaid namun Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menghukumi mereka berdasarkan wahyu akan tetapi dengan cara-cara pembuktian syar’i dan dikarenakan banyak dari ucapan kaum munafiqin itu muhtamal dilalah-nya dan tidak sharih (jelas) sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَوْ نَشَاءُ لأرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ (٣٠)
“Dan kamu akan benar-benar mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkatan mereka“(Muhammad: 30) sedang kiasan-kiasan perkatan itu adalah apa yang diketahui dengan maknanya dan ia tidak tegas terhadapnya, ini dituturkan Al Qurthubiy. Dan dengan ini para ulama menjawab tentang kenapa nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin? Maka Ibnu Taimiyyah menjawab: “Bahwa mayoritas mereka tidak mengucapkan kekafiran yang bisa dibuktikan atas mereka dengan bukti, akan tetapi mereka itu menampakkan keislaman, sedang kemunafikan mereka bisa diketahui kadang dari ucapan yang didengar oleh seorang laki-laki mukmin terus ia menyampaikannya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka malah bersumpah dengan Allah bahwa mereka tidak mengatakan atau mereka tidak bersumpah, dan kadang diketahui dari apa yang nampak dari sikap absen mereka dari shalat (berjama’ah) dan jihad, serta mereka keberatan dengan zakat dan menampakkan ketidaksukaan dari mereka terhadap hukum-hukum Allah, sedangkan mayoritas mereka bisa diketahui dari kiasan-kiasan perkatan –sampai beliau berkata— kemudian orang munafiq itu selalu menampakkan Islam dan bersumpah bahwa mereka muslimin, dan mereka telah menjadikan sumpah mereka itu sabagai perisai. Dan bila ini adalah keadaan mereka, maka Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menerapkan hudud berdasarkan pengetahuannya, tidak pula dengan berita (dari) seseorang, tidak juga dengan sekedar wahyu serta tidak pula dengan dalil-dalil dan syawahid sampai yang mengharuskan had itu terbukti dengan bayyinah (saksi-saksi) atau pengakuan –sampai beliau berkata– jadi beliau tidak membunuh mereka itu –padahal mereka kafir– adalah karena tidak nampaknya kekafiran dari mereka dengan hujjah syar’iyah. Dan ini dibuktikan dengan realita bahwa beliau tidak pernah meng-istitabah mereka secara ta’yin, padahal sudah maklum bahwa keadaan terbaik bagi orang-orang yang telah terbukti kemunafikan dan kezindikannya adalah mereka di-istitabah (disuruh taubat) seperti halnya orang yang murtad, kemudian bila ia taubat (maka diterima) dan bila tidak, maka ia dibunuh sedangkan tidak sampai kepada kita bahwa beliau meng-istitabah seorang mu’ayyan dari mereka, diketahuilah bahwa kekafiran dan riddah itu tidak terbukti terhadap seorang secara ta’yin dengan keterbuktian yang mengharuskan dibunuh seperti orang murtad, oleh sebab itu diterima hal dhahir mereka dan kita serahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah. Bila ini adalah keadaan orang yang nampak nifaq mereka dengan tanpa bukti syar’i maka bagaimana keadaan orang yang tidak nampak nifaqnya?” (Ash Sharimul Maslul: 355-357)
Al Qadli ‘Iyadlrahimahullah berkata: “Dan hal-hal batin kaum munafiqin itu tersembunyi sedang putusannya shalallahu ‘alaihi wasallam adalah berdasarkan zhahir dan mayoritas ucapan-ucapan itu hanyalah diucapkan orang di antara mereka secara sembunyi-sembunyi bersama kawan-kawannya dan mereka itu bersumpah terhadapnya bila dilaporkan ucapannya itu dan mereka mengingkarinya serta bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan, padahal mereka sudah mengucapkan perkatan kekafiran –sampai ucapanya– dan dengan inilah para imam kita rahimahullah menjawab pertanyaan ini”. Dan berkata: “Mungkin tidak terbukti di sisi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ucapan-ucapan  mereka apa yang telah dilaporkan dan hanya dinukil dari seorang dan tidak sampai pada tingkat kesaksian dalam hal ini, berupa anak kecil atau budak atau wanita, sedangkan darah itu tidak ditumpahkan kecuali dengan kesaksian 2 saksi laki-laki adil –sampai beliau berkata– dan begitu juga berkata para sahabat kami (semadzhab) di Baghdad: “Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin berdasarkan pengetahuan beliau tentang mereka dan tidak datang (satu nash pun yang menunjukkan) bahwa telah ada bukti terhadap kemunafiqan mereka, maka oleh sebab itu beliau membiarkan mereka”. (As Syifa’, Al Qadli ‘Iyadl 2/961-963, terbitan Al Halabiy)
Dan dengan ini juga Ibnu Taimiyyahrahimahullah menjawab tentang sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Biarkan (dia), agar orang-orang tidak berbicara bahwa Muhammad membunuh sahabatnya”, tatkala Ibnul Khaththab radliallahu’anhu hendak membunuh Abdullah Ibnu Ubay dengan sebab apa yang dipersaksikan oleh Ibnu Zaid Ibnu Arqam (HR Bukhari no. 4905), maka Ibnu Tamiyyah berkata: ”Dan yang menyebabkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membunuhnya adalah apa yang beliau sebutkan yaitu pembicaran manusia bahwa beliau membunuh para sahabatnya, kerena kemunafiqannya tidak terbukti terhadapnya dengan bayyinah (bukti syar’i) dan dia juga telah bersumpah bahwa ia tidak mengucapkannya, namun hanya diketahui dengan wahyu dan berita Zaid Ibnu Arqam”(Ash Sharim Al Maslul 354)
Al Qadli ‘Iyadl berkata: “Andaikata Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membunuh mereka kerena kemunafiqan mereka dan apa yang nampak dari mereka serta karena pengetahuan beliau tentang apa yang mereka sembunyikan di dalam mereka tentulah para pencari kesempatan mendapatkan bahan pembicaraan dan tentulah menjadi ragu orang yang bimbang dan tentu pembangkang menebarkan isu dan tentu banyak yang merasa takut dari menyertai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dari masuk Islam serta tentu pengklaim mengklaim dan musuh yang zhalim menduga pembunuh itu hanya kerena permusuhan  –sampai beliau berkata– dan ini berbeda dengan pemberlakuan hukum-hukum zhahir terhadap mereka seperti had zina, pembunuhan dan yang serupa karena hal itu nampak dan manusia sama dalam hal mengetahuinya(As Syifa’ 2/964, cet. Al Halabiy)
D.  Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan ia mengakuinya atas dirinya atau bersaksi terhadapnya dua laki-laki yang adil atau lebih atau masalahnya terkenal di tengah manusia, maka amalan mukaffir ini telah terbukti terhadapnya dengan keterbuktian yang syar’i lagi shahih, akan tetapi ini tidak cukup untuk memvonis dia kafir sampai meninjau pada penghalang-penghalang hukum.
Ini adalah empat keadaan bagi orang yang kafir secara hakikat sebenarnya, namun tidak terbukti amalan mukaffir itu terhadapnya dalam hukum-hukum dunia, kecuali pada satu keadaan saja darinya.
Ini adalah  yang berkaitan dengan keterbuktian syar’i dan di sini ada faidah yaitu:
Apakah bagi orang yang mengetahui kekafiran dari seseorang, boleh menganggapnya kafir –sebagaimana dalam gambaran (C) yang lalu– meskipun tidak bisa menetapkan kekafiran terhadapnya dengan cara penetapan syar’i?
Jawabanya: Ya, bahkan wajib bagi dia untuk memvonis orang itu kafir akan tetapi dengan dua syarat:
Pertama: Orang tersebut memiliki kelayakan untuk memvonis dengan dirinya sendiri atau dengan meminta fatwa orang lain agar bisa membedakan kekafiran dan dengan yang bukan kekafiran dan agar melihat penghalan-penghalang hukum.
Ke dua: Dia tidak memberi sanksi dengan sanksi-sanksi yang mana ia adalah hak Allah ta’ala seperti penghalalan darah dan hartanya agar tidak dikenakan hukum dengan sebab ini karena tidak adanya keterbuktian yang syar’i lagi sempurna. Dan andaikata hal ini boleh, tentu akan menimbulkan kekacauan dalam penghalalan darah dan harta dengan sekedar tuduhan. Akan tetapi dia menghukumi dengan hukuman-hukuman di bawah itu, seperti meng-hajr-nya (menjauhinya), tidak menikahinya, tidak menikahkannya, tidak menshalatkannya bila ia mati dan yang lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menuturkan hal ini dalam MajmuAl Fatawa 24/285-287. Dan Ibnu Taimiyyah berkata –tentang munafiqin–: “Awalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan mereka dan memintakan ampunan bagi mereka sampai Allah melarang beliau dalam hal itu, Dia berfirman:
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (٨٤)
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.(At Taubah: 84)
Dan firman-Nya ta’ala:
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (٨٠)
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq”. (At Taubah: 80).Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian tidak menshalatkan mereka dan tidak pula memintakan ampun bagi mereka akan tetapi darah dan harta mereka terjaga (ma’shum), tidak menghalalkan dari mereka apa yang yang beliau halalkan dari orang-orang kafir yang tidak menampakkan bahwa mereka itu mu’minun akan tetapi menampakkan kekafiran bukan keimanan (Majmu’ Al Fatawa 7/212-213)
Sedangkan dalil vonis kafir seorang individu terhadap orang lain bila ia mengetahui kakafiran darinya adalah firman-Nya ta’ala:
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلا رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لأحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا (٣٢)كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا خِلالَهُمَا نَهَرًا (٣٣)وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالا وَأَعَزُّ نَفَرًا (٣٤)وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (٣٥)وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا (٣٦)قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا (٣٧)
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, Dan Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya Aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadaanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?”(Al Kahfi 32-37)
Orang yang pertama kafir dengan sebab ragu terhadap hari kebangkitan (dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang), sedangkan orang yang satunya lagi mengkafirkan dengan sebab itu padahal mereka hanya berdua sebagaimana yang Allah ta’ala firmankan. Dan contoh hal ini dikalangan salaf adalah banyak dan di antaranya adalah pengkafiran As Syafi’i terhadap Hafsh Al Fard di majelis diskusi (debat), silakan lihat Asy Syari’ah karya Al Ajiriy: 81 dan Syarah I’tiqad Ahlis Sunnah karya Abul Qosim Al Lalikaiy 1/252-253. Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa Asy Syafi’i tidaklah mengkafirkan Hafsh ini, namun hanya memuthlaqan kekafiran terhadap ucapannya akan tetapi yang terbukti benar dari berita mereka berdua adalah berbeda dengan apa yang dikatakan Syaikhul Islam. Silahkan lihat ucapannya di Majmu’Al Fatawa 23/349
Orang yang mengkafirkan orang lain ini tidak boleh memaksa orang-orang muslim lainnya dengan vonis dia itu selagi tidak terbukti di sisi mereka apa yang telah terbukti di sisinya dan selagi tidak terbukti kekafiran orang kafir ini dengan keterbuktian syar’i yang shahih.
Akan tetapi orang yang mengkafirkan orang lain ini boleh bagi muslim lainnya untuk mengikuti dia bila dia itu orang yang paham lagi tsiqah (terpercaya). Dan contohnya adalah taqlid Umar Ibnul Khaththab kepada Hudzhaifah Ibnul Yaman dalam hal tidak menshalatkan orang yang mana Hudzhaifah telah mengetahui kemunafiqan mereka dengan pemberitahuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah 7/213 dan Al Umm karya Asy Syafii 6/166)
Dan apakah boleh bagi orang yang mengetahui kekafiran dari seseorang (lalu,ed) dia menyebarkannya di tengah manusia bila orang kafir itu menyembunyikan kekafirannya?
Jawbannya: Ya, bahkan wajib karena dikhawatirkan bahayanya, terutama bila orang kafir ini penyeru bid’ah atau tergolong orang yang diambil ilmunya atau ia ingin menikahi muslimah dan yang lainnya karena agama itu adalah nasehat. Dan dalam hal ini berkatalah Al Qadli ‘Iyadlrahimahullah:“Bila orang yang melontarkan hal itu tergolong orang yang tampil untuk diambil darinya ilmu atau periwayatan hadits atau untuk diputuskan dengan vonisnya atau kesaksiannya atau fatwanya dalam berbagai hal, maka wajib atas orang yang mendengarnya untuk menyebarkan apa yang ia dengar darinya dan menghati-hatikan manusia darinya serta bersaksi terhadapnya tentang apa yang ia ucapkan dan wajib pula bagi orang yang mendapatkan berita itu dari kalangan imam kaum muslimin untuk mengingkarinya, menjelaskan kekafirannya dan kerusakan ucapannya demi memutus bahaya dari kaum muslimin serta sebagai bentuk penunaian akan hak penghulu para rasul. Dan begitu juga bila orang itu tergolong orang yang suka memberikan ceramah kepada masyarakat atau mendidik anak-anak. Karena  orang yang ini adalah sifatnya, besar kemungkinan ia menyampaikan hal itu ke dalam hati mereka, maka kewajiban makin sangat kuat dalam hal mereka itu, karena hak nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan hak syariatnya”(As Syifa’ 2/997-998)
Ini adalah apa yang berkaitan dengan keterbuktian syar’i yaitu: pembuktian terjadinya kekafiran dari pelaku dengan pembuktian yang shahih.
5.   Ucapan saya –dalam kaidah takfir–: “Bila syarat-syarat hukum terpenuhi”
Maka meninjau syarat-syarat itu harus dilakukan sebelum menghukumi, karena sesungguhnya kaidah hukum dalam syari’at secara hukum adalah putusan/hukum itu terbangun di atas sebab telah terpenuhi syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya tidak ada.
Putusan/hukum/vonis adalah menetapkan sesuatu bagi yang lain atau menafikannya darinya, sedang disini ia adalah menetapkan vonis hukum kafir/murtad bagi orang tertentu.
Sedangkan sebab hukum adalah sesuatu yang mana Sang Pembuat Syari’at menjadikan keberadaannya (sebab hukum) sebagai tanda terhadap keberadaan hukum dan ketidakadaannya (sebab hukum) sebagai tanda terhadap ketidakadaannya hukum. Dan di sini adalah pendatangan orang ini akan ucapan atau perbuatan mukaffir.
Sedangkan syarat hukum adalah suatu yang mana keberadaan hukum adalah tergantung pada keberadaanya (syarat) dan tidak mesti dari keberadaannya (syarat hukum) keberadaan hukum, namun mesti ketidakadaannya (syarat hukum) ketidakadaan hukum.
Syarat-syarat vonis untuk takfir ini terbagi menjadi tiga bagian:
a. Syarat dalam pelaku: yaitu dia mukallaf (yaitu baligh dan berakal), mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir[1], sengaja dan bermaksud melakukannya, serta mukhtar (tidak dipaksa) terhadapnya atau dengan kemauannnya.
b. Syarat-syarat dalam perbuatan (yang mana ia adalah sebab hukum) yaitu perbuatannya itu mukaffir tanpa ada kesamaran. Dan telah lalu penjelasan apa yang disyaratkan untuk itu: yaitu perbuatan mukallaf itu jelas indikasinya dan dalil syar’i yang mengkafirkan juga jelas indikasinya.
c. Syarat-syarat dalam pembuktian perbuatan mukallaf: yaitu hal itu terbukti dengan cara syar’i yang shahih.
6. Dan ucapan saya –dalam kaidah takfir–: “Dan penghalang-penghalangnya tidak ada pada dirinya”yaitu penghalang-penghalang hukum.
Penghalang (maani’): Adalah sesuatu yang mesti dari keberadaannya (penghalang) tidak adanya hukum dan tidak mesti dari ketidakadaannya (penghalang) ada atau tidak adaanya hukum.
Ketahuilah, bahwa boleh mencukupkan dalam kaidah takfir dengan menuturkan syarat-syarat saja atau penghalang-penghalang saja, karena sesungguhnya keduanya adalah saling berlawanan sehingga penuturan salah satunya mencakup dari yang lain sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qoyyim: “Dan di antara yang menjelaskan masalahnya di hadapanmu adalah kesepakatan manusia bahwa syarat itu terbagi pada wujudiy (yang bersifat ada) dan ‘adamiy (yang bersifat tidak ada) dengan makna bahwa keberadaan ini adalah syarat dalam suatu hukum dan tidak adaanya ini adalah syarat di dalamnya. Dan ini disepakati di antara fuqaha, ahli ushul, ahli kalam dan kelompok lainnya.Suatuketidakadaannya adalah syarat maka keberadaannya adalah penghalang, sebagaimana sesuatu yang keberadaannya adalah syarat, maka ketidakadaannya adalah penghalang, jadi ketidakadaan suatu syarat adalah satu penghalang dari penghalang-penghalang hukum dan tidak adanya penghalang adalah syarat dari syarat-syaratnya, wabillahi taufiq.”(Badaaiul Fawaid 4/12 terbitan Darul Kitab Al ‘Arabiy)
Penghalang-penghalang (mawani’) –sebagaimana syarat-syarat– terbagi menjadi tiga macam:
  1. Penghalang-penghalang pada pelaku: yaitu apa yang merintangi dia sehingga menjadikannya tidak dikenakan sanksi dengan sebab ucapan-ucapannya dan perbuatannya secara syar’i. Dan mawani’ ini dinamakan ‘Awaaridl Al Ahliyyah (faktor-faktor yang merintangi kelayakan) dan kami akan menuturkannya setelah ini Insya Allah.
  2. Penghalang-penghalang pada perbuatan (yaitu pada sebab kekafiran) seperti keberadaan perbuatan itu tidak pantas kepada kekafiran atau dalil syar’i-nya tidak qath’iy dilalahnya terhadap kekafiran.
  3. Penghalang-penghalang pada pembuktian; seperti keadaan salah seorang saksinya tidak diterima kesaksiannya, baik itu anak kecil atau tidak adil umpamanya.
Bersambung….
Baca juga artikel lainnya:

[1] Ucapan Syaikh tentang syarat takfir bahwa si pelaku harus mengetahui bahwa perbuatan mukaffir, telah dikomentari oleh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisy dalam An Nukat:
“Syarat ini perlu ditinjau karena sesungguhnya orang-orang yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy Ibnu Hatim Ath Tha-iy radliallahu’anhutidaklah mengetahui –sebagaimana  yang ditegaskan ‘Adiy sendiri– bahwa mentaati para ulama dan para pendeta dalam perbuatan hukum itu adalah ibadah akan tetapi ketidaktahuan mereka bahwa ketaatan itu ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah tidaklah menghalangi dari pencapan mereka sebagai musyrikin dan bahwa mereka itu telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah. Dan Allah telah memilah mereka dalam surat Al Fatihah sebagai orang-orang yang dimurkai yang telah kafir atas dasar ilmu, dengan sifat bahwa mereka itu orang-orang yang sesat yang telah kafir atas dasar taklid, kebodohan dan kesesatan.
Dan di antara yang menunjukkan juga secara jelas bahwa orang bisa menjadi kafir tanpa disadari yaitu ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya adalah kekafiran adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedang kamu tidak menyadari“. (Al Hujurat:2)
Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa meninggikan dan mengeraskan suara ini bisa menyebabkan terhapusnya amalan sedang si pelakunya tidak menyadari dan tidak mengetahui, sedangkan terhapusnya amalan ini hanya terjadi dengan kekafiran, sebagaimana firmanNya Ta’ala: ”Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang terapus amalannya”(Al Baqarah: 217)
Dan firman ta’ala: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya“(Al Maidah: 5)
Dan firman ta’ala: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya hapuslah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan“(Al An’am: 88)
Serta ayat yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Sesungguhnya meninggikan suara di atas suara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeraskan suara kepadanya adalah dikhawatirkan darinya si pelaku menjadi kafir tanpa ia sadari dan amalnya terhapus dengan sebab itu dan bahwa ia adalah penghantar kepada hal itu dan sebab di dalamnya “Selesai.(Ash Sharim Al Maslul hal; 55)
Maka tidak harus atau selalu disyaratkan bahwa orang bisa menjadi kafir, (bila) dia itu mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir sebagaimana yang dituturkan mushannif (penulis Al Jami’, yaitu Syaikh Abd.Qadir, ed.) namun para ulama hanya mensyaratkan hal itu dalam takfier orang yang memiliki ashlul Islam (tauhid) dan ia keliru dalam sebagian permasalahan yang samar atau yang pelik yang butuh terhadapnya penjelasan dan tidak diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah, karena kalau tidak demikian sesungguhnya Allah ta’ala telah menuturkan dalam kitab-Nya tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu kafir sedang mereka mengira bahwa mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk dan mereka berkata: ”Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. “
Dan Allah ta’ala menuturkan bahwa mayoritas mereka adalah tidak mengetahui dan bahwa mereka itu orang-orang bodoh.
Dan Allah ta’ala berfirman: ”Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?, yaitu orang-orang yang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya(Al Kahfi: 104)
Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menuturkan tentang orang-orang yang memperolok-olok para penghafal Al Quran di perang Tabuk bahwa Dia telah mengkafirkan mereka tatkala mereka lontarkan ucapan-ucapan kafir itu, padahal mereka secara tegas menyatakan tidak bermaksud kafir dan murtad dengan hal itu dan mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa ucapannya iu adalah kekafiran. Bahkan ia adalah seperti apa yang mereka katakan dalam sebab turun ayat: ”Obrolan para pengendara, dengannya kami memotong jarak perjalanan“.
Dan dalil-dali atas hal ini sangat banyak dan ia menunjukkan bahwa orang untuk dikafirkan tidaklah selalu disyaratkan  ia mengetahui bahwa apa yang ia kerjakan adalah kekafiran kecuali dengan dimaksudkan dengan mengetahui ini ia bermaksud pada amal atau ucapan yang mengkafirkan dan sengaja kepadanya saat ia melakukan atau mengucapkannya, maka ini syarat dengan kesepakatan, namun ia bukan yang dimaksud mushannif di sini.
Dan lihatlah apa yang dikatakan Al ‘Allamah Ibnul Qoyyimrahimahullah dalam Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Pada thabaqah ke 17 dari tingkatan-tingkatan kaum mukallafin dan thabaqat mereka dan ia sebagaimana yang beliau katakan: ”Thabaqah orang-orang yang taqlid dan orang-orang kafir yang bodoh dan para pengikut-pengikut mereka serta keledai-keledai mereka yang menjadi pengikut mereka sembari mengatakan: “Sesungguhnya kami mendapatkan para pendahulu kami di atas suatu ajaran dan sesungguhnya kami mencontoh mereka –sampai ucapannya– dan umat telah sepakat bahwa thabaqah ini adalah kafir walaupun mereka itu bodoh… sampai akhir ucapannya“. Selesai komentar Al Maqdisiy.(pent)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar