Dlawabit (batasan-batasan) Takfir #3
Dan memandang pada keterbuktian dan
penghalang-penghalang takfir adalah materi berikut ini:
4. Ucapan saya –pada kaidah
takfir–:
“Yang telah
terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’i“
Yaitu ucapan atau perbuatan yang
mengkafirkan yang mana ia adalah sebab kekafiran. Dan penjelasan itu
adalah bahwa hal itu termasuk dalam cakupan kaidah “pemberlakuan
hukum-hukum dunia berdasarkan atas dhahir“, yaitu bahwa si mukallaf
tidak dikenakan sanksi dengan sebab sesuatu dari ucapan-ucapan atau
perbuatan-perbuatannya dalam hukum-hukum dunia, kecuali bila terbukti
hal itu terhadapnya dengan cara-cara yang telah dijelaskan syari’ah
(yaitu, ed.) dengan cara-cara pembuktian syar’i yang di antaranya adalah
iqrar (pengakuan) dan kesaksian para saksi dan jumlah saksi
itu berbeda-beda tergantung masalahnya. Bila ucapan atau perbuatan itu
tidak terbukti terhadap si mukallaf dengan keterbuktian syar’i
yang shahih, maka ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan itu secara
hukum dianggap tidak ada, walaupun pada hakikat sebenarnya
ada. Barangsiapa berzina tetapi zinanya tidak terbukti dengan cara
pembuktian yang benar, maka ia dianggap tidak berzina pada hukum syar’i
akan tetapi ia itu berzina pada hakikat sebenarnya dan Allah akan
memberikan hukuman kepadanya atas perbuatannya, kecuali bila ia diampuni
dengan taubat orang itu atau dengan perbandingan (kebaikan dan
keburukan) atau dengan syafa’at.
Adapun riddah –yaitu
mendatangkan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir–
maka itu bisa terbukti dengan salah satu dari dua hal:
dengan iqrar (pengakuan) yaitu pengakuan (si pelaku) atau dengan
kesaksian dua laki-laki muslim yang adil. Ini adalah bentuk
madzhab jumhur ulama, tidak ada yang menyelisihi di dalamnya kecuali Al
Hasan dimana ia mensyaratkan empat saksi untuk membuktikan riddah,
karena hukumannya adalah bunuh, diqiyaskan dengan zina dan Ibnu Qudamah
membantahnya bahwa alasan pada saksi perzinaan adalah zina bukan hukum
bunuh yang dibangun di atasnya, karena jumlah nishab (4) saksi itu
sendiri disyaratkan dalam membuktikan zina ghair muhshan
sedangkan tidak ada hukum bunuh di dalamnya maka jelaslah perbedaannya.
(Lihat Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir 10/99)
Dalam penunaian kesaksian riddah ini
mesti ada rincian sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qadliy
Burhanuddin Ibnu Farhun Al Maliki: “Dan tidak diterima
kesaksian terhadap riddah yang global (mujmal), maka ucapan para saksi:
“Si fulan telah kafir atau murtad” mesti ada rincian apa yang mereka
dengar dan apa yang mereka lihat darinya karena perselisihan manusia
dalam hal takfir. Bisa jadi mereka meyakini kekafiran suatu yang bukan
kekafiran.” (Tabshiratul Hukkam 2/277).
Apakah riddah terbukti dengan istifadlah
yaitu kesaksian sejumlah orang tanpa mendengar atau melihat
secara langsung dari si tertuduh? Di dalamnya ada perselisihan,
Ibnul Qoyyim berkata: “Vonis hukum dengan istifadlah adalah tingkatan
mutawatir dengan ahad. Istifadlah adalah keterkenalan yang menjadi bahan
pembicaraan manusia dan menyebar di antara mereka. –sampai beliau
berkata– sedang dia (istifadlah) itu lebih kuat dari kesaksian dua orang
yang diterima”. (Ath Thuruq Al Hukmiyah, Ibnul Qayyim
hal 212 terbitan Al Madaaniy) dan juga bisa dirujuk di Fathul
Bariy 5/254 dan Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah
35/412-414
Di antara contoh kesaksian atas riddah
dengan istifadlah adalah kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu
Katsir dalam tarikh-nya pada tragedi-tragedi tahun 741 H,
beliau berkata: “Kemudian tatkala hari Selasa tanggal 21 Dzulqa’dah
dihadirkan Utsman Ad Dakakiy itu ke Dar As Sa’adah dan ia dihadapkan di
depan para umara’ dan para Qadli dan ia ditanya tentang cacat-cacat pada
saksi-saksi, maka ia tidak mampu dan tidak kuasa mendatangkan hal itu,
maka vonispun diarahkan kepadaanya. Kemudian Al Qadliy Al Malikiy
ditanya tentang vonis terhadapnya, maka beliau memuji dan menyanjung
Allah serta bershalawat terhadap Rasul-Nya, kemudian beliau memvonis
agar ia dibunuh meskipun ia telah taubat. Maka orang itu dibawa dan
dipenggal lehernya di Damaskus di Pasar Kuda dan diumumkan tentangnya.
Inilah balasan orang yang manganut paham Ittihadiyah dan hari itu adalah
hari yang disaksikan (banyak orang) di Dar As Sa’adah yang dihadiri
banyak tokoh dari kalangan pemerintah dan para syaikh dan hadir juga
guru kami Jamaluddin Al Miziy Al Hafizh, Al Hafizh Syamsuddin Adz
Dzahabiy dan keduanya berbicara dan sangat memberi semangat dalam hal
ini dan keduanya bersaksi akan kezindikan orang itu dengan istifadlah.
Dan begitu juaga Syaikh Zainuddin saudara Syaikh Taqiyuddin Ibnu
Taimiyah dan keluarlah tiga Qadliy Al Maliky, Al Hanafiy dan Al Hanbaliy
serta mereka melaksanakan vonisnya di majelis terus mereka menghadiri
pemancungan orang itu, sedang saya menyaksikan secara langsung dari awal
sampai akhir” (Al Bidayah Wan Nihayah 14/190)
Ini adalah cara pembuktian riddah dalam
hukum-hukum dunia dan kadang seseorang tertentu (mu’ayyan)
kafir secara hakikat sebenarnya namun kekafiran itu tidak
terbukti atasnya dalam hukum-hukum dunia, maka ini
perhitungannya kepada Allah (pada hari dinampakkan semua rahasia, maka
sekali-kali tidak ada bagi manusia suatu kekuatan pun dan tidak pula
seorang penolong) kemudian bila ia mati di atas kekafirannya tanpa
taubat, maka ia masuk neraka secara pasti lagi kekal selamanya di
dalamnya karena Allah tidak mengampuni (dosa) penyekutuan terhadapnya.
Dan tidak setiap orang yang kafir secara hukum sebenarnya dapat
dibuktikan kekafirannya dalam hukum-hukum peradilan duniawi. Hal
ini dijelaskan dalam empat gambaran berikut ini:
A. Bila seseorang merahasiakan keyakinan mukaffir yang tidak dia tampakkan dalam perbuatan dan ucapan
yaitu kekafiran dengan keyakinan saja seperti mendustakan hari berbangkit, maka
ia muslim secara zhahir, namun ia kafir pada hakikat sebenarnya. Ia
tergolong munafiqin dengan nifaq akbar. Dan tentang macam ini Ibnu
Taimiyyah berkata: “Andaikata
mereka menyembunyikan nifaq dan tidak mengatakannya maka mereka adalah
munafiqin, Allah ta’ala berfirman:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ
تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ
اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (٦٤)
“Orang-orang yang munafiq itu takut
akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang
tersimpan dalam hati mereka, katakan terhadap mereka: Teruskanlah
ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya) Sesungguhnya Allah akan
menyatakan apa yang kamu takuti itu”(At Taubah: 64)(dari
Majmu Al Fatawa: 13/57)
Ayat ini menunjukan bahwa nifaq
itu ada di hati mereka dan sama sekali belum keluar
dari ucapan dan perbuatan zhahir.
B. Bila seseorang menampakkan perbuatan atau ucapan mukaffir
akan tetapi tidak seseorangpun melihatnya, maka ia muslim
dalam hukum zhahir namun kafir secara hakikat sebenarnya. Dan ini
tergolong kaum munafiqin dengan nifaq akbar. Dan ini dan sebelumnya
masuk dalam firman Allah Subhanahu Wa ta’ala:
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ
الأعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى
النِّفَاقِ لا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ
مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ (١٠١)
“Dan di antara orang-orang Arab
Badui yang disekililingmu itu ada orang-orang munafiq dan (juga) di
antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya.Kamu
(Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah
yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian
mereka akan dikembalikan kepada azab yang berat”(At
Taubah: 101)
C. Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan diketahui oleh sebagian manusia, akan tetapi tidak bersaksi terhadapnya dari mereka
kecuali seorang laki-laki saja atau anak kecil atau seorang wanita, maka
perbuatan mukaffir
ini tidak terbukti terhadapnya, karena tidak terpenuhinya nishab kesaksian atas riddah pada diri orang
itu, sehingga ia itu muslim pada hukum zhahir namun kafir secara hakikat
sebenarnya. Namun demikian boleh bagi si Qadli untuk memberi sanksi si
tertuduh (menghukumnya dengan hukuman di bawah had seperti dipenjara
atau didera atau yang lainnya) tergantung kekuatan kesaksian, umpamanya
bila saksi itu termasuk ulama yang adil lagi shalih, namun hanya
sendirian. (lihat Tabshiratul Hukkam, Ibnu Farhun 2/281 )
Dan gambaran yang ke tiga ini adalah mayoritas
kaum munafiq pada masa Nabishalallahu ‘alaihi wa sallam,
dimana sesungguhnya mereka itu mengucapkan kekafiran di antara mereka namun
satu sama lain tidak menjadi saksi atas yang lainnya dengan
hal itu, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah:
“Terus dia bersikap nifaq dalam hatinya dan tidak kuasa menampakkan
riddah itu, namun ia mengucapkan kemunafikan bersama orang-orang
khususnya.” (Majmu Al Fatawa 13/54 )
Kadang mereka didengar oleh seorang
laki-laki muslim terus ia bersaksi dengan apa yang ia dengar, akan
tetapi ini tidak cukup untuk pembuktian. Sebagaimana Zaid Ibnu
Arqam bersaksi atas Abdullah Ibnu Ubay bahwa dialah yang
mengatakan: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah
benar-benar orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah
darinya”, sebagaimana itu telah tsabit dalam Ash
Shahih. Padahal sesungguhnya wahyu telah membenarkan Zaid
namun Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menghukumi
mereka berdasarkan wahyu akan tetapi dengan cara-cara pembuktian syar’i
dan dikarenakan banyak dari ucapan kaum munafiqin itu muhtamal
dilalah-nya dan tidak sharih (jelas) sebagaimana
firman Allah ta’ala:
وَلَوْ نَشَاءُ لأرَيْنَاكَهُمْ
فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ (٣٠)
“Dan kamu akan benar-benar mengenal
mereka dari kiasan-kiasan perkatan mereka“(Muhammad: 30)
sedang kiasan-kiasan perkatan itu adalah apa yang diketahui dengan
maknanya dan ia tidak tegas terhadapnya, ini dituturkan Al Qurthubiy.
Dan dengan ini para ulama menjawab tentang kenapa nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin? Maka Ibnu
Taimiyyah menjawab: “Bahwa mayoritas mereka tidak mengucapkan
kekafiran yang bisa dibuktikan atas mereka dengan bukti, akan tetapi
mereka itu menampakkan keislaman, sedang kemunafikan mereka bisa
diketahui kadang dari ucapan yang didengar oleh seorang laki-laki mukmin
terus ia menyampaikannya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian mereka malah bersumpah dengan Allah bahwa mereka tidak
mengatakan atau mereka tidak bersumpah, dan kadang diketahui dari apa
yang nampak dari sikap absen mereka dari shalat (berjama’ah) dan jihad,
serta mereka keberatan dengan zakat dan menampakkan ketidaksukaan dari
mereka terhadap hukum-hukum Allah, sedangkan mayoritas mereka bisa
diketahui dari kiasan-kiasan perkatan –sampai beliau berkata—
kemudian orang munafiq itu selalu menampakkan Islam dan bersumpah bahwa
mereka muslimin, dan mereka telah menjadikan sumpah mereka itu sabagai
perisai. Dan bila ini adalah keadaan mereka, maka Nabi shalallaahu
‘alaihi wa sallam tidak mungkin menerapkan hudud berdasarkan
pengetahuannya, tidak pula dengan berita (dari) seseorang, tidak juga
dengan sekedar wahyu serta tidak pula dengan dalil-dalil dan syawahid
sampai yang mengharuskan had itu terbukti dengan bayyinah (saksi-saksi)
atau pengakuan –sampai beliau berkata– jadi beliau
tidak membunuh mereka itu –padahal mereka kafir– adalah karena tidak
nampaknya kekafiran dari mereka dengan hujjah syar’iyah. Dan ini
dibuktikan dengan realita bahwa beliau tidak pernah meng-istitabah
mereka secara ta’yin, padahal sudah maklum bahwa keadaan terbaik bagi
orang-orang yang telah terbukti kemunafikan dan kezindikannya adalah
mereka di-istitabah (disuruh taubat) seperti halnya orang yang murtad,
kemudian bila ia taubat (maka diterima) dan bila tidak, maka ia dibunuh
sedangkan tidak sampai kepada kita bahwa beliau meng-istitabah seorang
mu’ayyan dari mereka, diketahuilah bahwa kekafiran dan riddah itu tidak
terbukti terhadap seorang secara ta’yin dengan keterbuktian yang
mengharuskan dibunuh seperti orang murtad, oleh sebab itu diterima hal
dhahir mereka dan kita serahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah.
Bila ini adalah keadaan orang yang nampak nifaq mereka dengan tanpa
bukti syar’i maka bagaimana keadaan orang yang tidak nampak nifaqnya?” (Ash
Sharimul Maslul: 355-357)
Al Qadli ‘Iyadlrahimahullah
berkata: “Dan hal-hal batin kaum munafiqin itu tersembunyi sedang
putusannya shalallahu ‘alaihi wasallam adalah berdasarkan
zhahir dan mayoritas ucapan-ucapan itu hanyalah diucapkan orang di
antara mereka secara sembunyi-sembunyi bersama kawan-kawannya dan mereka
itu bersumpah terhadapnya bila dilaporkan ucapannya itu dan mereka
mengingkarinya serta bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan, padahal
mereka sudah mengucapkan perkatan kekafiran –sampai ucapanya–
dan dengan inilah para imam kita rahimahullah menjawab
pertanyaan ini”. Dan berkata: “Mungkin tidak terbukti di sisi beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam dari ucapan-ucapan mereka apa yang telah
dilaporkan dan hanya dinukil dari seorang dan tidak sampai pada tingkat
kesaksian dalam hal ini, berupa anak kecil atau budak atau wanita,
sedangkan darah itu tidak ditumpahkan kecuali dengan kesaksian 2 saksi
laki-laki adil –sampai beliau berkata– dan begitu juga berkata para
sahabat kami (semadzhab) di Baghdad: “Sesungguhnya Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin berdasarkan
pengetahuan beliau tentang mereka dan tidak datang (satu nash pun yang
menunjukkan) bahwa telah ada bukti terhadap kemunafiqan mereka, maka
oleh sebab itu beliau membiarkan mereka”. (As Syifa’, Al
Qadli ‘Iyadl 2/961-963, terbitan Al Halabiy)
Dan dengan ini juga Ibnu
Taimiyyahrahimahullah menjawab tentang sabda Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam: “Biarkan (dia),
agar orang-orang tidak berbicara bahwa Muhammad membunuh sahabatnya”,
tatkala Ibnul Khaththab radliallahu’anhu hendak membunuh
Abdullah Ibnu Ubay dengan sebab apa yang dipersaksikan oleh Ibnu Zaid
Ibnu Arqam (HR Bukhari no. 4905), maka Ibnu
Tamiyyah berkata: ”Dan yang menyebabkan Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam melarang dari membunuhnya adalah apa yang beliau
sebutkan yaitu pembicaran manusia bahwa beliau membunuh para sahabatnya,
kerena kemunafiqannya tidak terbukti terhadapnya
dengan bayyinah (bukti syar’i) dan dia juga telah bersumpah
bahwa ia tidak mengucapkannya, namun hanya diketahui dengan wahyu dan
berita Zaid Ibnu Arqam”(Ash Sharim Al Maslul 354)
Al Qadli ‘Iyadl
berkata: “Andaikata Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membunuh
mereka kerena kemunafiqan mereka dan apa yang nampak dari mereka serta
karena pengetahuan beliau tentang apa yang mereka sembunyikan di dalam
mereka tentulah para pencari kesempatan mendapatkan bahan pembicaraan
dan tentulah menjadi ragu orang yang bimbang dan tentu pembangkang
menebarkan isu dan tentu banyak yang merasa takut dari menyertai Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam dan dari masuk Islam serta tentu pengklaim
mengklaim dan musuh yang zhalim menduga pembunuh itu hanya kerena
permusuhan –sampai beliau berkata– dan ini berbeda dengan pemberlakuan
hukum-hukum zhahir terhadap mereka seperti had zina, pembunuhan dan yang
serupa karena hal itu nampak dan manusia sama dalam hal mengetahuinya”
(As Syifa’ 2/964, cet. Al Halabiy)
D. Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan ia mengakuinya atas
dirinya atau bersaksi terhadapnya dua laki-laki yang adil atau lebih
atau masalahnya terkenal di tengah manusia, maka amalan mukaffir ini telah terbukti terhadapnya dengan
keterbuktian yang syar’i lagi shahih, akan tetapi ini
tidak cukup untuk memvonis dia kafir sampai meninjau pada
penghalang-penghalang hukum.
Ini adalah empat keadaan
bagi orang yang kafir secara hakikat sebenarnya, namun tidak
terbukti amalan mukaffir itu terhadapnya dalam
hukum-hukum dunia, kecuali pada satu keadaan saja darinya.
Ini adalah yang berkaitan
dengan keterbuktian syar’i dan di sini ada faidah yaitu:
Apakah bagi orang yang mengetahui
kekafiran dari seseorang, boleh menganggapnya kafir –sebagaimana dalam
gambaran (C) yang lalu– meskipun tidak bisa menetapkan kekafiran
terhadapnya dengan cara penetapan syar’i?
Jawabanya: Ya, bahkan wajib bagi
dia untuk memvonis orang itu kafir akan tetapi dengan dua syarat:
Pertama: Orang tersebut
memiliki kelayakan untuk memvonis dengan dirinya
sendiri atau dengan meminta fatwa orang lain agar bisa membedakan
kekafiran dan dengan yang bukan kekafiran dan agar melihat
penghalan-penghalang hukum.
Ke dua: Dia tidak
memberi sanksi dengan sanksi-sanksi yang mana ia adalah hak Allah
ta’ala seperti penghalalan darah dan hartanya agar tidak dikenakan hukum
dengan sebab ini karena tidak adanya keterbuktian yang syar’i lagi
sempurna. Dan andaikata hal ini boleh, tentu akan menimbulkan kekacauan
dalam penghalalan darah dan harta dengan sekedar tuduhan. Akan tetapi
dia menghukumi dengan hukuman-hukuman di bawah itu, seperti meng-hajr-nya
(menjauhinya), tidak menikahinya, tidak menikahkannya, tidak
menshalatkannya bila ia mati dan yang lainnya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah telah menuturkan hal ini dalam MajmuAl
Fatawa 24/285-287. Dan Ibnu Taimiyyah berkata –tentang
munafiqin–: “Awalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
menshalatkan mereka dan memintakan ampunan bagi mereka sampai Allah
melarang beliau dalam hal itu, Dia berfirman:
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ
مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (٨٤)
“Dan janganlah kamu sekali-kali
menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan
janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.Sesungguhnya
mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam
keadaan fasik.(At Taubah: 84)
Dan firman-Nya ta’ala:
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ
يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (٨٠)
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka
atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun
kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah
sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu
adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq”. (At Taubah: 80).Beliau
shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian tidak menshalatkan
mereka dan tidak pula memintakan ampun bagi mereka akan tetapi darah dan
harta mereka terjaga (ma’shum), tidak menghalalkan dari mereka apa yang
yang beliau halalkan dari orang-orang kafir yang tidak menampakkan
bahwa mereka itu mu’minun akan tetapi menampakkan kekafiran bukan
keimanan” (Majmu’ Al Fatawa 7/212-213)
Sedangkan dalil vonis kafir seorang
individu terhadap orang lain bila ia mengetahui kakafiran darinya adalah
firman-Nya ta’ala:
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلا
رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لأحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ
وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا (٣٢)كِلْتَا
الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا
وَفَجَّرْنَا خِلالَهُمَا نَهَرًا (٣٣)وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ
لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالا وَأَعَزُّ
نَفَرًا (٣٤)وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا
أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (٣٥)وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ
قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا
مُنْقَلَبًا (٣٦)قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ
بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ
رَجُلا (٣٧)
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah
perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara
keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua
kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu kami
buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu
tiada kurang buahnya sedikitpun, dan kami alirkan sungai di celah-celah
kedua kebun itu, Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata
kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku
lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” Dan
dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri; ia
berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, Dan Aku
tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya Aku
dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang
lebih baik dari pada kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mukmin) berkata
kepadaanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu
kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, Kemudian
dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang
sempurna?”(Al Kahfi 32-37)
Orang yang pertama kafir dengan sebab
ragu terhadap hari kebangkitan (dan aku tidak mengira hari kiamat
itu akan datang), sedangkan orang yang satunya lagi mengkafirkan
dengan sebab itu padahal mereka hanya berdua sebagaimana yang
Allah ta’ala firmankan. Dan contoh hal ini dikalangan salaf adalah
banyak dan di antaranya adalah pengkafiran As Syafi’i terhadap
Hafsh Al Fard di majelis diskusi (debat), silakan lihat Asy
Syari’ah karya Al Ajiriy: 81 dan Syarah
I’tiqad Ahlis Sunnah karya Abul Qosim Al Lalikaiy
1/252-253. Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa
Asy Syafi’i tidaklah mengkafirkan Hafsh ini, namun hanya memuthlaqan
kekafiran terhadap ucapannya akan tetapi yang terbukti benar
dari berita mereka berdua adalah berbeda dengan apa yang
dikatakan Syaikhul Islam. Silahkan lihat ucapannya di Majmu’Al
Fatawa 23/349
Orang yang mengkafirkan orang lain ini tidak
boleh memaksa orang-orang muslim lainnya dengan vonis dia itu
selagi tidak terbukti di sisi mereka apa yang telah terbukti di sisinya
dan selagi tidak terbukti kekafiran orang kafir ini dengan keterbuktian
syar’i yang shahih.
Akan tetapi orang yang mengkafirkan
orang lain ini boleh bagi muslim lainnya untuk mengikuti
dia bila dia itu orang yang paham lagi tsiqah
(terpercaya). Dan contohnya adalah taqlid Umar Ibnul Khaththab
kepada Hudzhaifah Ibnul Yaman dalam hal tidak menshalatkan orang yang
mana Hudzhaifah telah mengetahui kemunafiqan mereka dengan pemberitahuan
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya. (Lihat
Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah 7/213 dan Al Umm karya Asy Syafii
6/166)
Dan apakah boleh bagi orang yang
mengetahui kekafiran dari seseorang (lalu,ed) dia
menyebarkannya di tengah manusia bila orang kafir itu menyembunyikan
kekafirannya?
Jawbannya: Ya, bahkan wajib karena dikhawatirkan
bahayanya, terutama bila orang kafir ini penyeru bid’ah atau tergolong
orang yang diambil ilmunya atau ia ingin menikahi muslimah dan
yang lainnya karena agama itu adalah nasehat. Dan dalam hal ini
berkatalah Al Qadli ‘Iyadlrahimahullah:“Bila
orang yang melontarkan hal itu tergolong orang yang tampil untuk diambil
darinya ilmu atau periwayatan hadits atau untuk diputuskan dengan
vonisnya atau kesaksiannya atau fatwanya dalam berbagai hal, maka wajib
atas orang yang mendengarnya untuk menyebarkan apa yang ia dengar
darinya dan menghati-hatikan manusia darinya serta bersaksi terhadapnya
tentang apa yang ia ucapkan dan wajib pula bagi orang yang mendapatkan
berita itu dari kalangan imam kaum muslimin untuk mengingkarinya,
menjelaskan kekafirannya dan kerusakan ucapannya demi memutus bahaya
dari kaum muslimin serta sebagai bentuk penunaian akan hak penghulu para
rasul. Dan begitu juga bila orang itu tergolong orang yang suka
memberikan ceramah kepada masyarakat atau mendidik anak-anak. Karena
orang yang ini adalah sifatnya, besar kemungkinan ia menyampaikan hal
itu ke dalam hati mereka, maka kewajiban makin sangat kuat dalam hal
mereka itu, karena hak nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan hak
syariatnya”(As Syifa’ 2/997-998)
Ini adalah apa yang berkaitan
dengan keterbuktian syar’i yaitu: pembuktian terjadinya kekafiran dari
pelaku dengan pembuktian yang shahih.
5. Ucapan saya –dalam kaidah
takfir–: “Bila syarat-syarat hukum terpenuhi”
Maka meninjau syarat-syarat itu harus
dilakukan sebelum menghukumi, karena sesungguhnya kaidah hukum dalam
syari’at secara hukum adalah putusan/hukum itu terbangun di atas
sebab telah terpenuhi syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya
tidak ada.
Putusan/hukum/vonis adalah menetapkan
sesuatu bagi yang lain atau menafikannya darinya, sedang disini ia
adalah menetapkan vonis hukum kafir/murtad bagi orang tertentu.
Sedangkan sebab hukum
adalah sesuatu yang mana Sang Pembuat Syari’at menjadikan keberadaannya
(sebab hukum) sebagai tanda terhadap keberadaan hukum dan
ketidakadaannya (sebab hukum) sebagai tanda terhadap ketidakadaannya
hukum. Dan di sini adalah pendatangan orang ini akan ucapan atau
perbuatan mukaffir.
Sedangkan syarat hukum
adalah suatu yang mana keberadaan hukum adalah tergantung pada
keberadaanya (syarat) dan tidak mesti dari keberadaannya (syarat
hukum) keberadaan hukum, namun mesti ketidakadaannya (syarat hukum)
ketidakadaan hukum.
Syarat-syarat vonis untuk takfir
ini terbagi menjadi tiga bagian:
a. Syarat dalam pelaku:
yaitu dia mukallaf (yaitu baligh dan berakal), mengetahui bahwa
perbuatannya mukaffir[1],
sengaja dan bermaksud melakukannya, serta mukhtar (tidak
dipaksa) terhadapnya atau dengan kemauannnya.
b. Syarat-syarat dalam
perbuatan (yang mana ia adalah sebab hukum) yaitu perbuatannya itu mukaffir
tanpa ada kesamaran. Dan telah lalu penjelasan apa yang disyaratkan
untuk itu: yaitu perbuatan mukallaf itu jelas indikasinya dan
dalil syar’i yang mengkafirkan juga jelas indikasinya.
c. Syarat-syarat dalam
pembuktian perbuatan mukallaf: yaitu hal itu terbukti dengan
cara syar’i yang shahih.
6. Dan ucapan saya –dalam kaidah
takfir–: “Dan penghalang-penghalangnya tidak ada pada dirinya”yaitu
penghalang-penghalang hukum.
Penghalang (maani’):
Adalah sesuatu yang mesti dari keberadaannya (penghalang) tidak
adanya hukum dan tidak mesti dari ketidakadaannya (penghalang) ada atau
tidak adaanya hukum.
Ketahuilah, bahwa boleh mencukupkan
dalam kaidah takfir dengan menuturkan syarat-syarat saja atau
penghalang-penghalang saja, karena sesungguhnya keduanya adalah saling
berlawanan sehingga penuturan salah satunya mencakup dari yang lain
sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qoyyim: “Dan di
antara yang menjelaskan masalahnya di hadapanmu adalah kesepakatan
manusia bahwa syarat itu terbagi pada wujudiy (yang bersifat ada) dan
‘adamiy (yang bersifat tidak ada) dengan makna bahwa keberadaan ini
adalah syarat dalam suatu hukum dan tidak adaanya ini adalah syarat di
dalamnya. Dan ini disepakati di antara fuqaha, ahli ushul, ahli kalam
dan kelompok lainnya.Suatuketidakadaannya adalah
syarat maka keberadaannya adalah penghalang, sebagaimana sesuatu yang
keberadaannya adalah syarat, maka ketidakadaannya adalah penghalang,
jadi ketidakadaan suatu syarat adalah satu penghalang dari
penghalang-penghalang hukum dan tidak adanya penghalang adalah syarat
dari syarat-syaratnya, wabillahi taufiq.”(Badaaiul Fawaid
4/12 terbitan Darul Kitab Al ‘Arabiy)
Penghalang-penghalang (mawani’)
–sebagaimana syarat-syarat– terbagi menjadi tiga macam:
- Penghalang-penghalang pada pelaku: yaitu apa yang merintangi dia sehingga menjadikannya tidak dikenakan sanksi dengan sebab ucapan-ucapannya dan perbuatannya secara syar’i. Dan mawani’ ini dinamakan ‘Awaaridl Al Ahliyyah (faktor-faktor yang merintangi kelayakan) dan kami akan menuturkannya setelah ini Insya Allah.
- Penghalang-penghalang pada perbuatan (yaitu pada sebab kekafiran) seperti keberadaan perbuatan itu tidak pantas kepada kekafiran atau dalil syar’i-nya tidak qath’iy dilalahnya terhadap kekafiran.
- Penghalang-penghalang pada pembuktian; seperti keadaan salah seorang saksinya tidak diterima kesaksiannya, baik itu anak kecil atau tidak adil umpamanya.
Bersambung….
Baca juga artikel lainnya:
[1]
Ucapan Syaikh tentang syarat takfir bahwa si pelaku harus
mengetahui bahwa perbuatan mukaffir, telah dikomentari
oleh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisy dalam An Nukat:
“Syarat ini perlu ditinjau karena sesungguhnya orang-orang yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy Ibnu Hatim Ath Tha-iy radliallahu’anhutidaklah mengetahui –sebagaimana yang ditegaskan ‘Adiy sendiri– bahwa mentaati para ulama dan para pendeta dalam perbuatan hukum itu adalah ibadah akan tetapi ketidaktahuan mereka bahwa ketaatan itu ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah tidaklah menghalangi dari pencapan mereka sebagai musyrikin dan bahwa mereka itu telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah. Dan Allah telah memilah mereka dalam surat Al Fatihah sebagai orang-orang yang dimurkai yang telah kafir atas dasar ilmu, dengan sifat bahwa mereka itu orang-orang yang sesat yang telah kafir atas dasar taklid, kebodohan dan kesesatan.
Dan di antara yang menunjukkan juga secara jelas bahwa orang bisa menjadi kafir tanpa disadari yaitu ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya adalah kekafiran adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedang kamu tidak menyadari“. (Al Hujurat:2)
Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa meninggikan dan mengeraskan suara ini bisa menyebabkan terhapusnya amalan sedang si pelakunya tidak menyadari dan tidak mengetahui, sedangkan terhapusnya amalan ini hanya terjadi dengan kekafiran, sebagaimana firmanNya Ta’ala: ”Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang terapus amalannya”(Al Baqarah: 217)
Dan firman ta’ala: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya“(Al Maidah: 5)
Dan firman ta’ala: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya hapuslah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan“(Al An’am: 88)
Serta ayat yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Sesungguhnya meninggikan suara di atas suara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeraskan suara kepadanya adalah dikhawatirkan darinya si pelaku menjadi kafir tanpa ia sadari dan amalnya terhapus dengan sebab itu dan bahwa ia adalah penghantar kepada hal itu dan sebab di dalamnya “Selesai.(Ash Sharim Al Maslul hal; 55)
Maka tidak harus atau selalu disyaratkan bahwa orang bisa menjadi kafir, (bila) dia itu mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir sebagaimana yang dituturkan mushannif (penulis Al Jami’, yaitu Syaikh Abd.Qadir, ed.) namun para ulama hanya mensyaratkan hal itu dalam takfier orang yang memiliki ashlul Islam (tauhid) dan ia keliru dalam sebagian permasalahan yang samar atau yang pelik yang butuh terhadapnya penjelasan dan tidak diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah, karena kalau tidak demikian sesungguhnya Allah ta’ala telah menuturkan dalam kitab-Nya tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu kafir sedang mereka mengira bahwa mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk dan mereka berkata: ”Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. “
Dan Allah ta’ala menuturkan bahwa mayoritas mereka adalah tidak mengetahui dan bahwa mereka itu orang-orang bodoh.
Dan Allah ta’ala berfirman: ”Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?, yaitu orang-orang yang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya“ (Al Kahfi: 104)
Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menuturkan tentang orang-orang yang memperolok-olok para penghafal Al Quran di perang Tabuk bahwa Dia telah mengkafirkan mereka tatkala mereka lontarkan ucapan-ucapan kafir itu, padahal mereka secara tegas menyatakan tidak bermaksud kafir dan murtad dengan hal itu dan mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa ucapannya iu adalah kekafiran. Bahkan ia adalah seperti apa yang mereka katakan dalam sebab turun ayat: ”Obrolan para pengendara, dengannya kami memotong jarak perjalanan“.
Dan dalil-dali atas hal ini sangat banyak dan ia menunjukkan bahwa orang untuk dikafirkan tidaklah selalu disyaratkan ia mengetahui bahwa apa yang ia kerjakan adalah kekafiran kecuali dengan dimaksudkan dengan mengetahui ini ia bermaksud pada amal atau ucapan yang mengkafirkan dan sengaja kepadanya saat ia melakukan atau mengucapkannya, maka ini syarat dengan kesepakatan, namun ia bukan yang dimaksud mushannif di sini.
Dan lihatlah apa yang dikatakan Al ‘Allamah Ibnul Qoyyimrahimahullah dalam Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Pada thabaqah ke 17 dari tingkatan-tingkatan kaum mukallafin dan thabaqat mereka dan ia sebagaimana yang beliau katakan: ”Thabaqah orang-orang yang taqlid dan orang-orang kafir yang bodoh dan para pengikut-pengikut mereka serta keledai-keledai mereka yang menjadi pengikut mereka sembari mengatakan: “Sesungguhnya kami mendapatkan para pendahulu kami di atas suatu ajaran dan sesungguhnya kami mencontoh mereka –sampai ucapannya– dan umat telah sepakat bahwa thabaqah ini adalah kafir walaupun mereka itu bodoh… sampai akhir ucapannya“. Selesai komentar Al Maqdisiy.(pent)
“Syarat ini perlu ditinjau karena sesungguhnya orang-orang yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy Ibnu Hatim Ath Tha-iy radliallahu’anhutidaklah mengetahui –sebagaimana yang ditegaskan ‘Adiy sendiri– bahwa mentaati para ulama dan para pendeta dalam perbuatan hukum itu adalah ibadah akan tetapi ketidaktahuan mereka bahwa ketaatan itu ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah tidaklah menghalangi dari pencapan mereka sebagai musyrikin dan bahwa mereka itu telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah. Dan Allah telah memilah mereka dalam surat Al Fatihah sebagai orang-orang yang dimurkai yang telah kafir atas dasar ilmu, dengan sifat bahwa mereka itu orang-orang yang sesat yang telah kafir atas dasar taklid, kebodohan dan kesesatan.
Dan di antara yang menunjukkan juga secara jelas bahwa orang bisa menjadi kafir tanpa disadari yaitu ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya adalah kekafiran adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedang kamu tidak menyadari“. (Al Hujurat:2)
Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa meninggikan dan mengeraskan suara ini bisa menyebabkan terhapusnya amalan sedang si pelakunya tidak menyadari dan tidak mengetahui, sedangkan terhapusnya amalan ini hanya terjadi dengan kekafiran, sebagaimana firmanNya Ta’ala: ”Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang terapus amalannya”(Al Baqarah: 217)
Dan firman ta’ala: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya“(Al Maidah: 5)
Dan firman ta’ala: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya hapuslah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan“(Al An’am: 88)
Serta ayat yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Sesungguhnya meninggikan suara di atas suara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeraskan suara kepadanya adalah dikhawatirkan darinya si pelaku menjadi kafir tanpa ia sadari dan amalnya terhapus dengan sebab itu dan bahwa ia adalah penghantar kepada hal itu dan sebab di dalamnya “Selesai.(Ash Sharim Al Maslul hal; 55)
Maka tidak harus atau selalu disyaratkan bahwa orang bisa menjadi kafir, (bila) dia itu mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir sebagaimana yang dituturkan mushannif (penulis Al Jami’, yaitu Syaikh Abd.Qadir, ed.) namun para ulama hanya mensyaratkan hal itu dalam takfier orang yang memiliki ashlul Islam (tauhid) dan ia keliru dalam sebagian permasalahan yang samar atau yang pelik yang butuh terhadapnya penjelasan dan tidak diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah, karena kalau tidak demikian sesungguhnya Allah ta’ala telah menuturkan dalam kitab-Nya tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu kafir sedang mereka mengira bahwa mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk dan mereka berkata: ”Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. “
Dan Allah ta’ala menuturkan bahwa mayoritas mereka adalah tidak mengetahui dan bahwa mereka itu orang-orang bodoh.
Dan Allah ta’ala berfirman: ”Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?, yaitu orang-orang yang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya“ (Al Kahfi: 104)
Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menuturkan tentang orang-orang yang memperolok-olok para penghafal Al Quran di perang Tabuk bahwa Dia telah mengkafirkan mereka tatkala mereka lontarkan ucapan-ucapan kafir itu, padahal mereka secara tegas menyatakan tidak bermaksud kafir dan murtad dengan hal itu dan mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa ucapannya iu adalah kekafiran. Bahkan ia adalah seperti apa yang mereka katakan dalam sebab turun ayat: ”Obrolan para pengendara, dengannya kami memotong jarak perjalanan“.
Dan dalil-dali atas hal ini sangat banyak dan ia menunjukkan bahwa orang untuk dikafirkan tidaklah selalu disyaratkan ia mengetahui bahwa apa yang ia kerjakan adalah kekafiran kecuali dengan dimaksudkan dengan mengetahui ini ia bermaksud pada amal atau ucapan yang mengkafirkan dan sengaja kepadanya saat ia melakukan atau mengucapkannya, maka ini syarat dengan kesepakatan, namun ia bukan yang dimaksud mushannif di sini.
Dan lihatlah apa yang dikatakan Al ‘Allamah Ibnul Qoyyimrahimahullah dalam Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Pada thabaqah ke 17 dari tingkatan-tingkatan kaum mukallafin dan thabaqat mereka dan ia sebagaimana yang beliau katakan: ”Thabaqah orang-orang yang taqlid dan orang-orang kafir yang bodoh dan para pengikut-pengikut mereka serta keledai-keledai mereka yang menjadi pengikut mereka sembari mengatakan: “Sesungguhnya kami mendapatkan para pendahulu kami di atas suatu ajaran dan sesungguhnya kami mencontoh mereka –sampai ucapannya– dan umat telah sepakat bahwa thabaqah ini adalah kafir walaupun mereka itu bodoh… sampai akhir ucapannya“. Selesai komentar Al Maqdisiy.(pent)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar