PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 11 Oktober 2012

Dlawabit (batasan-batasan) Takfir #8 – TAMAT

Pembedaan Antara Juhud Dengan Tidak Juhud Hanyalah Ada Pada Dzunub Ghair Mukaffirah

Pembicaraan dalam masalah ini (masalah al hukmu bighairi ma anzalallah) tempatnya adalah di mabhats ke delapan dari bab ini Insya Allah ta’ala. Dan di sana ada bahasan dengan penjabaran yang luas. Dan adapun di sini, maka secara ringkas saja. Seyogyanya pencari ilmu mengetahui hakikat-hakikat berikut ini dalam hal yang berkaitan dengan ayat ini:
Pertama: Bahwa kufur dalam ayat ini adalah kufur akbar karena ia datang secara ma’rifat dengan alif dan lam sedang setiap kufur yang datang dengan bentuk isim ma’rifat maka ia adalah kufur akbar, dan setiap pendapat bahwa ia adalah kufrun duna kufrin maka ia salah, dan penjelasan ini akan datang Insya Allah di mabhats ke delapan. Dan dalam hal ini cukup bagimu ucapan Abu Hayyan Al Andalusiy dalam tafsirnya (Al Bahrul Muhith): “Dan dikatakan (bahwa) yang dimaksud adalah kufur nikmat, dan ia dianggap lemah, dengan realita bahwa kufur bila disebutkan begitu saja, maka ia langsung tertuju pada kufur dalam dien ini” (Al Bahrul Muhith: 3/493)
Kedua: Bahwa vonis kufur akbar dalam ayat ini, terkait dengan kesengajaan meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan: “…Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”, dan Dia tidak mengaitkannya pada pemutusan DENGAN selain apa yang telah Allah turunkan. Bila dia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, maka ini sebab lain yang mengkafirkan –selain sekedar meninggalkan–, sedangkan dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ (١٢١)
Sesungggunya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik(Al An’am:121) dan firman-Nya ta’ala:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah (At Taubah:31).
Jadi meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan adalah kufur akbar dan pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan adalah kufur akbar juga, contohnya:
Seandainya seseorang ditangkap dalam kondisi mabuk yang jelas di bar yang di izinkan meminum khamr di dalamnya, dan orang ini didatangkan ke hadapan hakim yang memvonis dengan undang-undang buatan, maka sesuai ketentuan undang-undang ini si orang itu tidak melakukan pidana dan ia tidak diberikan sanksi apapun, padahal sesungguhnya syari’at mewajibkan penegakan had khamr terhadapnya dengan menderanya 80 kali deraan. Maka di sini hakim tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan yaitu ia meninggalkan hukum syar’iy dan tidak menghukum dengan suatu yang lain, sehingga kekafiran si hakim ini terjadi di sini karena satu sebab[1].
Dan seandainya seseorang ditangkap saat dia mabuk yang jelas di jalan raya, maka sesungguhnya Qadli undang undang buatan akan menvonis penjara terhadapnya 6 bulan. Maka di sini si qadli meninggalkan hukum syar’iy yaitu dera (dia tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan) dan dia memutuskan dengan yang selainnya yaitu penjara (dia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan) maka kekafiran si qadli itu terkait di sini terhadap dua sebab yang masing-masing dari keduanya untuk mengeluarkan dia dari millah dengan sendirinya.
Kesimpulan: Bahwa sekedar kesengajaan meninggalkan putusan dengan apa yang telah Allah turunkan adalah kufur akbar. Jadi meninggalkan hukum adalah dosa yang mengkafirkan –keberadaanya dalam hal itu adalah seperti meninggalkan shalat atau menghina Allah dan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam– ini semua adalah dzunub mukaffirah yang pelakunya dikafirkan dengan sekedar melakukannya. Barangsiapa yang mensyaratkan juhud atau istihlal dengan takfir dengan dzunub mukaffirah ini maka ia telah menganut pendapat Ghulatul Murji-ah–yang telah dikafirkan salaf– baik dia mengetahui ataupun tidak.
Dan ketahuilah bahwa kesalahan yang Al Hudlaibiy terjatuh ke dalamnya, sungguh telah terjatuh pula ke dalamnya mayoritas orang-orang masa kini seraya taqlid dalam hal itu kepada Ibnu Abil ‘Izz dalam syarahnya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thawiyyah dan kepada Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, sedangkan ucapan-ucapan mereka itu semuannya tidak ada dasarnya dan tidak berdiri di atas dalil yang mu’tabar (dianggap), akan tetapi ia itu sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah –tentang orang yang mensyaratkan istihlal untuk takfir orang yang menghina Rasul–: (sesungguhnya pengkhianatan yang disebutkan dari para fuqaha bahwa bila dia itu menganggap halal maka kafir dan bila tidak maka tidak kafir, adalah tidak memiliki dasar, namun Al Qadli hanyalah menukilnya dari kitab sebagian mutakallimin yang menukilnya dari para fuqaha. Dan mereka itu menukil ucapan para fuqaha dengan apa yang mereka duga sejalan di atas ushul mereka, atau dengan apa yang telah mereka dengar dari sebagian orang-orang yang intishab kepada fiqh dari kalangan yang pendapatnya tidak dianggap sebagai pendapat) (Ash Sharimul Maslul:516). Dan dengan ini engkau mengetahui bahwa pernyataan bahwa yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan bila dia menghalalkan itu atau mengingkari hukum Allah maka ia kafir, adapun bila dia melakukannya karena syahwat atau hawa nafsu maka tidak kafir adalah pendapat yang rusak dan pembagian yang tidak Allah turunkan dalilnya, sedang ia adalah pendapat mayoritas orang-orang masa kini bila tidak seluruh mereka. Dan pembagian macam ini hanyalah dikatakan pada dzunub ghair mukaffirah bukan dosa-dosa yang sudah Allah tegaskan bahwa pelakunya adalah kafir dengan kufur akbar seperti meninggalkan putusan dengan apa yang Allah turunkan dan putusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.[2]
Ke tiga: Bahwa ayat ini umum mencakup setiap orang yang meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan karena ia dimulai dengan “man (barangsiapa)” yang bersifat syarat sedang ia adalah bentuk kalimat umum yang paling kuat sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah. (Lihat Al Majmu Al Fatawa: 15/82 dan 24/346).
Dengan ini engkau mengetahui bahwa makna yang benar firman-Nya ta’ala: “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir” adalah bahwa setiap orang yang menyengaja meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka ia itu kafir dengan kufur akbar, maka bagaimana gerangan bila sikap meninggalkan ini disertai dengan pemutusan dengan yang selainnya.
Ibul Qayyimrahimahullah berkata –tentang ayat ini–: “Dan di antara mereka ada yang mentakwilnya terhadap pemutusan dengan (putusan) yang menyelisihi nash secara sengaja tanpa kejahilan terhadapnya serta tanpa kesalahan dalam takwil, dihikayatkan oleh Al Baghawiy dari para ulama secara umum”. (Madarijus Salikin: 1/365, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah).
Dan Asy Syaukaniy berkata –tentang ayat yang sama–: “Ayat-ayat yang mulia ini mencakup setiap orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah putuskan” (Al Qaulul Mufid Fi Adillatil Ijtihad wat Taqlid, hal 47, dicetak dalam (Ar Rasaail As Salafiyyah), Asy Syaukani, terbitan  Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah).
Dalam vonis kufur akbar ini mencakup setiap orang yang meninggalkan dengan selainnya, baik pada dasarnya dia itu memutuskan dengan syari’at seperti para qadli syari’at,[3] ataupun pada dasarnya dia memutuskan dengan selain syari’at. Dan tidak dikecualikan dari hukum ini seorangpun[4] kecuali mujtahid yang keliru dari para qadli syari’at, maka sesungguhnya dosa terangkat darinya dengan nash hadits ‘Amr Ibn Ash secara marfu’: “Dan bila dia memutuskan terus ia ijtihad kemudian keliru, maka baginya satu pahala.”(Muttafaq ‘alaih).
Masuk secara pasti dalam hukum (kafir) ini adalah para hakim yang memutuskan dengan qawanin wadl’iyyah, karena sesungguhnya mereka itu komitmen sesuai keharusan UUD dan UU untuk meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan (yaitu) dengan qawanin wadl’iyyah. Mereka melakukan ini secara sengaja lagi sukarela dan pilihan dari mereka untuk berprofesi bidang ini, seraya mengetahui perselisihan apa yang menjadi acuan hukum mereka terhadap syari’at Allah, karena mereka pernah mempelajari syari’at di falkutas hukum dan yang lainnya, maka para qadli (hakim) itu adalah kafir dengan kufur akbar, dan kami memandang tidak adanya sedikitpun penghalang dari penghalang-penghalang takfir pada setiap individu mereka.[5] Inilah yang benar dalam masalah ini. Wallahu Ta’ala A’lam.
Inilah (uraian kami), dan akan datang bahasan masalah al hukmu bi ghairi ma anzallah dengan sedikit rincian di mabhats ke delapan dari bab ini Insya Allah ta’ala.
Wa Ba’du:
Inilah kekeliruan-kekeliruan yang tergolong terpenting dalam masalah takfier yang ingin saya ingatkan, yang mana karena sangatnya menyebar, hampir saja banyak dari para pencari ilmu dan kaum awam memandang inilah yang haq dan benar, karena mereka tidak mendapatkan selainnya dalam banyak buku-buku yang beredar.
Dan sepertinya kekeliruan yang paling berbahaya adalah kekeliruan-kekeliruan yang terpengaruh dengan bid’ah Irja itu, (yaitu) pensyaratan kekafiran hati dalam bentuk juhud atau istihlal atau keyakinan sebagai syarat menyendiri untuk takfir, dan begitu juga pencapuradukan antara kufur ‘amaliy dengan al kufru bil amal (kekafiran dengan sebab amal). Karena pengamalan terhadap kekeliruan-kekeliruan ini termasuk bid’ah yang menghacurkan umat Islam, karena ini menimbulkan ketidakdibedakannya orang muslim dari orang kafir sebagaimana ia menimbulkan realita di mana banyak orang-orang kafir dimasukkan ke dalam agama ini dan dianggap sebagai kaum muslimin. Dan tidak samar lagi kerusakan besar yang ditimbulkan karenanya, terutama bila orang-orang kafir itu adalah mereka orang-orang yang terpandang, para pemilik kekuasan serta para pemegang kepemimpinan dan pembinaan di negeri-negeri kaum muslimin. Dan di awal mabhats ini telah lalu penjelasan tentang pentingnya materi al iman dan al kufru sehingga tidak perlu diulang lagi.
Pada kesempatan ini saya tidak lupa untuk menghati-hatikan dari tulisan-tulisan banyak orang masa sekarang berkenaan dengan materi ini, karena mencari al haq dalam materi ini sudah sangat sulit, dan sesungguhnya banyak dari orang-orang yang dikira bahwa mereka itu meyakini pendapat Ahlis Sunnah di dalamnya, ternyata mereka itu menganut paham Ghulatul Murji-ah, dan keberadaan mereka itu seperti apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyahrahimahullah: (Dan banyak dari orang-orang mutaakhkhirin tidak bisa membedakan antara madzhab-madzhab salaf dengan pendapat-pendapat Murji-ah dan Jahmiyyah, karena berbaurnya ini dengan ini pada ucapan banyak dari mereka dari kalangan yang mana ia itu secara bathin manganut paham Jahmiyyah dan Murji-ah dalam hal iman, sedangkan dia itu mengagungkan salaf dan ahli hadits, sehingga dia mengira bahwa dia itu menggabungkan di antara keduanya, atau menggabungkan antara ucapan-ucapan orang semacam dia dengan ucapan salaf” (Majmu Al Fatawa: 7/364).
Dan dengan ini berarti kami mengakhiri pengisyaratan sekilas tentang materi takfir dan kekeliruan-kekeliruannya, sedangkan rincian materi dan jabarannya ada dalam kitab saya Al Hujjah Fi Ahkamil Millah Al Islamiyya
Selesai diterjemahkan: Kamis pagi 25 Jumada Al Ula 1427 H 22 Juni 2006 M
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
*****

[1] Dengan contoh ini Syaikh Abdul Qadir memaksudkan bahwa keadaan ini tetap kafir dengan kufur akbar dan tidak perlu kepada adanya juhud atau istihlal dan ini adalah al haq dan tidak seorang ulama sunnah pun baik dahulu maupun sekarang yang menyelisihi dalam hal ini. Namun yang keliru adalah saat Syaikh Abdul Qadir menduga bahwa gambaran itulah yang dimaksud oleh ulama-ulama sunnah saat mereka mensyaratkan adanya juhud, padahal gambaran tersebut menurut ulama Sunnah adalah termasuk berhukum dengan hukum thaghut yang pelakunya kafir tanpa harus ada juhud, Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy berkata dalam An Nukat Al Lawami’ saat mengoreksi contoh (yang disebutkan) Syaikh Abdul Qadir ini: [Akan tetapi yang benar adalah bahwa hakim semacam ini adalah tergolong hakim-hakim jahiliyyah dan termasuk para qadli thaghut, dan dia itu telah memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dan itu dengan pengamalannya terhadap materi undang-undang yang menegaskan bahwa tidak ada sanksi atau tidak ada tindak pidana kecuali dengan nash undang-undang, serta pemberian pembebasan yang ia lakukan bagi si peminum khamr di bar yang diberi izin operasi tidak lain adalah putusan hukum berdasarkan nash yang kafir ini. Karena putusan hukum itu kadang bisa jadi dengan penetapan sebagai terpidana dan kadang dengan pemberian kebebasan. Barangsiapa memberikan kebebasan atau menetapkan keterpidanaan menurut atau mengikuti selain hukum-hukum Allah, maka dia itu telah menjadikan thaghut sebagai hakim dan dia berhakim kepadanya.Qadli yang dijadikan contoh oleh penulis (Syaikh Abdul Qadir) itu adalah telah melakukan ~tanpa ragu lagi~ kejahatan meninggalkan hukum Allah dan kejahatan pemutusan dengan selain yang telah Allah turunkan, sedang dia itu tidak ragu lagi adalah kafir. Namun yang pantas dijadikan contoh bagi sikap meninggalkan hukum Allah saja adalah qadli yang memutuskan dengan syari’at Allah yang mana ia adalah ajarannya yang dia komitmen dengannya dan dia menjadikannya sebagai acuan -sebagaimana dalam ucapan salaf- dan bila dia menyelisihnya dalam suatu kasus hukum atau kejadian, maka dia mengetahui bahwa dia telah melakukan maksiat.
Umpamanya dia meninggalkan pemberlakuan had syar’iy terhadap kerabatnya atau orang yang memberi suap terhadapnya dengan (cara) si qadli itu berdusta dan memanipulasi fakta dan mengklaim bahwa pencurian itu umpamanya tidak terjadi dari tempat penyimpanan barang yang semestinya, hingga tidak divonis dengan potong (tangan) namun dengan ta’zir. Gambaran ini layak untuk dijadikan sebagai contoh bagi sikap meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan yang mana ia tergolong dosa-dosa besar dan maksiat, karena ia adalah sikap meninggalkan hukun Allah karena mengikuti hawa nafsu, pengkaburan bukti dan suap, bagi orang yang komitmen dalam inti ajarannya dan hukumnya daengan syariat Allah. Inilah gambaran yang salaf berselisih di dalamnya: sebagian mereka berpendapat sesuai zhahir ayat sehingga ia mengkafirkan pelakunya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, sedangkan mayoritas berpendapat bahwa itu kufrun duna kufrin, selagi tidak menghalalkan itu, statusnya seperti status dosa-dosa besar yang tidak mengakibatkan kufur akbar]
Jadi jelaslah bahwa yang dipahami Syaikh Abdul Qadir dari maksud gambaran yang diutarakan para ulama adalah keliru, sehingga dari kesalahpahaman inilah beliau menilai keliru ulama terdahulu dan sekarang dalam pensyaratan juhud atau istihlal pada gambaran seperti itu.
Padahal gambaran yang dimaksudkan salaf dengan pensyaratan juhud atau istihlal itu ~sebagaimana yang dicontohkan Al Maqdisiy tadi~ adalah justru apa yang diutarakan oleh Syaikh Abdul Qadir saat menuturkan contoh kezhaliman dalam vonis, setelah menuturkan bahwa sebab mukaffir dalam masalah pemutusan tidak pernah ada di generasi-generasi terbaik, terus beliau berkata: (Hal yang paling tinggi yang pernah terjadi dari para penguasa adalah kezhaliman dalam putusan dalam sebagian urusan dengan cara hilah (pemutarbalikan fakta) atau takwil yang bersamanya sulit menetapkan dosa baginya secara peradilan dunia meskipun dia berdosa secara dihadapan Allah, dan di antara hal ini adalah apa yang disebutkan Abu Hillal Al ‘Asykari dalam kitabnya “Al Awaail”, dia berkata: (Qadli pertama yang zhalim dalam putusan adalah Bilal Ibnu Abi Burdah; telah mengabarkan kepada kami Abu Ahmad dengan isnadnya, bahwa sesorang laki-laki menghadapkan kepada Bilal seorang laki-laki dalam kasus utang terhadapnya, kemudian si terdakwa itu mengakui hutangnya -sedang Bilal ini memiliki kepentingan dengan terdakwa itu-, maka si penuntut berkata: “Bila mau memberikan kepada saya hak saya atau engkau memenjarakannya dengan pengakuannya ini”, si qadli berkata: “Dia itu pailit”, si penuntut berkata: “Dia tidak menyebutkan kepailitannya”, si qadli berkata: “Dan apa kebutuhan dia untuk menuturkannya, sedang saya mengetahuinya? dan kalau kamu mau saya akan penjarakan dia, kemudian kami menanggung nafkah keluarganya”, (perawi) berkata: “Maka laki-laki itu pergi dan meninggalkan seterunya, sedang Bilal itu dikenal dengan kezhalimannya]. Selesai dari kitabnya [Al Awail hal. 246 terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1407 H dan dengan sebab kezhaliman macam inilah Khawarij mengkafirkan].Selesai ucapan Syaikh Abdul Qadir.
Di sini beliau katakan bahwa yang melakukan takfir dengan sebab itu adalah Khawarij. Sedangkan ulama-ulama sunnah yang beliau nilai keliru justru memaksudkan gambaran yang seperti ini, yang harus ada juhud atau istihlal untuk takfir dengannya. Dari sini Syaikh berada dalam dua kondisi kemungkinan:
Pertama : Beliau tidak memahami apa yang dimaksud ulama-ulama yang beliau persalahkan, seperti Ibnul Qayyim, Muhammad Ibnu Ibrahim dan yang lainnya, dengan bukti bahwa gambaran yang beliau kritik ternyata bukan yang di maksud oleh mereka dan gambaran qadli yang zhalim yang beliau utarakan itulah yang mereka maksudkan, serta Syaikh menganggap Khawarij-lah yang takfir dengannya.
Ke dua : Bisa jadi Syaikh jatuh dalam kontradiksi, dengan bukti bahwa pada gambaran tadi beliau anggap qadli itu zhalim yang dosa tidak kafir, padahal di tempat lain beliau hanya tetapkan dua keadaan: qadli kafir dan qadli mujtahid yang keliru lagi tidak berdosa, Syaikh berkata (dan tidak dikecualikan dari hukum (kafir akbar) ini seorangpun kecuali mujtahid yang keliru dari kalangan qadli syari’ah maka sesungguhnya dosa ditiadakan darinya…) selesai ucapan Syaikh. Wallahu a‘lam mana dari dua kemungkinan ini yang benar, yang jelas gambaran yang dimaksud Ibnul Qoyyim dan ulama lainnya itu adalah gambaran yang disepakati Syaikh dalam contoh qadli yang zhalim tadi.(Pent)
[2] Al Maqdisiy berkata dalan An Nukat Al Lawami: (penulis (Syaikh Abd Qadir,ed.) berkata (hal : 532) : “Dan kesimpulan bahwa sekedar kesengajaan meninggalkan  putusan dengan apa yang Allah turunkan adalah kufur akbar. Jadi, meninggalkan hukum adalah dosa yang mengkafirkan, keberadaannya dalam hal ini adalah seperti meninggalkan shalat…” Saya berkata, seandainya ia berkata: Bahwa keberpalingan dari pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan atau bersikap membelakangi dari pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan atau meninggalkan jenis pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan adalah dosa yang mengkafirkan, keberadaanya seperti meninggalkan jenis shalat atau berpaling dan membelakang darinya, tentulah itu adalah kekafiran dengan kesepakatan, karena ia adalah kufur tawalliy dan i’radl (keberpalingan), dan tentulah syaikh keluar dengan hal itu dari isykal (kesulitan) yang ia terjatuh di dalamnya, di mana ia secara terpaksa menyalahkan sejumlah ulama terdahulu dan sekarang agar ia membenarkan madzhabnya, yaitu pengkafirkan orang yang komitmen dengan syariat Allah yang tidak menganut paham kecuali Islam dan tidak memutuskan kecuali dengan payung hukum-hukumnya bila dia tergelincir atau maksiat terus dia meninggalkan hukum syar’iy dan tidak menerapkannya pada suatu kasus karena syahwat atau suap atau karabat sedang ia mengetahui bahwa ia dengan hal itu melakukan dosa tetapi ia memutuskan dengan ajaran lain. Dan ia adalah gambaran yang berulang-ulang dalam ucapan banyak ulama saat mereka mengutarakan cotoh bagi al hukmu bighairi ma anzalallah sebagai maksiat dan suatu dosa yang tidak mengkafirkan, karena ia meskipun sekedar meninggalkan hukum dan tidak ada di dalamnya tahakum kepada selain ajaran Allah, akan tetapi takala ia adalah pengacuan terhadap hawa nafsu, syahwat atau suap, maka bolehlah ia dinamakan pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, akan tetapi bukan dengan makna yang kafir yang bersifat mengganti dan membuat hukum, atau yang di dalamnya ada pemberlakuan dan pengacuan kepada thaghut, maka hal yang ini tidak berselisih ucapan-ucapan salaf bahwa ini adalah kufur akbar. Adapun macam yang pertama yang dibicarakan oleh penulis di sini maka sudah diketahui perselisihan salaf di dalamnya dan ia sendiri telah mengakui adanya perselisihan kemudian ia menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud. Dan tarjih yang ia tinggalkan ini menjadikannya menyalahkan setelah itu setiap orang yang menyelisihnya dari kalangan mutaqaddimin dan mutaakahirin. Dan di (hal: 533) Ia menganggap isykal ucapan Ibnul Qayyim yang didalamnya beliau menegaskan bahwa beliau berbicara tentang al hukmu bighairi ma anzalallah dalam suatu kasus, dimana si hakim berpaling dari putusan di dalamnya secara maksiat disertai pengakuannya bahwa ia berhak mendapatkan sangsi. Walaupun ucapan Ibnul Qayyim itu tegas lagi jelas meyatakan bahwa beliau memaksudkan hakim yang maksiat yang tidak berhakim kepada selain ajaran Allah, namun sesungguhnya penulis menganggap isykal kenapa Ibnul Qayyim menjadikan itu sebagai kufur ashghar, dimana ia  berkata hal 533: “Yang disebutkan Ibnul Qayyim tidaklah benar, karena ia menjadikan al hukmu bighairi ma anzalallah termasuk dzunub ghair mukaffirah seperti zina dan minum khamr, maka hal-hal ini adalah yang tidak dikafirkan pelakunya kecuali dengan juhud dan istihlal, dan beliau (Ibnul Qayyim) telah mensyaratkan juhud (pengingkaran) untuk mengkafirkan orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.” Selesai
Dan ucapan Ibnul Qayyim ini hanyalah menjadi isykal terhadap madzhab penulis karena ia menjadikan peninggalan putusan hukum dengan gambaran yang lalu yang dituturkan salaf sebagai kufur akbar seperti tahakum kepada undang-undang buatan. Adapun orang yang membedakan antara ini dan itu, maka dia tidak menganggap isykal ucapan Ibnul Qayyim dan yang lainnya, dan ia akan membawa ucapannya ini terhadap gambaran yang tidak mengkafirkan, dan kemudian ia tidak akan mengingkari pensyaratan juhud untuk takfir di dalamnya. Dan gambaran yang tidak mengkafirkan ini batasannya sebagaimana yang telah engkau ketahui adalah apa yang ada dalam ungkapan-ungkapan salaf (yaitu) keberadaan si orang itu komitmen dengan ajaran Allah, dan bahwa itu adalah ajaran yang selalu dia pegang, dan makna ini adalah bahwa ia saat meninggalkan hukum dalam kasus itu tidak bertahakum kepada selain ajaran  Allah, dan bahwa asal hukumnya dan keumumanya adalah hukum Allah, dan bahwa ia bila menyelisihi maka ia mengetahui bahwa ia telah melakukan dosa, dan makna itu adalah bahwa ia tidak meninggalkan jenis hukum Allah dan tidak membelakanginya atau berpaling darinya secara total, oleh sebab itu kami telah mengusulkan di awal pengingatan ini agar ia mengatakan: “Maka meninggalkan al hukmu bima anzalallah atau berpaling atau membelakang darinya adalah dosa yang mengkafirkan sama dengan meninggalkan jenis shalat atau berpaling atau membelakng darinya” agar dengan hal itu ia mengeluarkan qadli yang maksiat atau fasiq atau zhalim yang komitmen dengan hukum Allah dalam putusannya dan tidak meninggalkan atau melepaskan diri darinya, namun dia hanya meninggalkan penerapan hukum Allah dalam suatu kasus sebagai bentuk maksiat sekali-kali tanpa menerapkan hukum selain Allah. Dan inilah gambaran yang dijadikan contoh oleh salaf, dan dalam gambaran seperti inilah terjadi perselisihan itu, keadaan itu seperti keadaan seseorang yang meninggalkan shalat sampai waktunya lewat sedangkan pada dasarnya ia tergolong orang yang bisa shalat, dan pemilahan banyak dari salaf antara orang ini dengan orang yang meninggalkan jenis shalat secara total.
Dan di sini kami mengingatkan agar tidak disalahpahami, bahwa kami memaksudkan dengan meninggalkan jenis hukum bukanlah meninggalkan keumuman hukum-hukum dan hududnya….
Karena para thaghut hari ini sebagaimana yang bisa dikatakan oleh para penambal (kekafiran) mereka, mengklaim bahwa undang-undang mereka itu tidak kosong dari hal-hal yang sejalan dengan hukum Allah -atau diambil darinya seperti klaim mereka-, dan ini walaupun sebenarnya tidak dianggap karena sesungguhnya mereka tidaklah mengambil hal itu sebagai bentuk penerimaan terhadap hukum dan bukan pula sebagai bentuk ketundukan akan perintah-Nya, akan tetapi karena ia datang seraya selaras dengan hawa nafsu mereka dan karena UUD dan undang-undang telah menegaskan terhadapnya, sehingga mereka dengan hal itu mengikuti perintah UUD bukan perintah Allah. Dan kalau kenyataannya tidak demikian, tentulah mereka memberlakukan seluruh syari’at Allah kalau memang masalahnya tidak seperti itu.Kemudian sesungguhnya hukum-hukum yang mereka klaim bahwa itu berasal dari syari’at adalah di awal dan di akhir diatur oleh UUD yang mengendalikan undang-undang seluruhnya, dimana semua qawanin (undang-undang buatan) difahami dan dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip kafir UUD dan menurut garis-garis yang sekuler.
Saya katakan: Namun demikian, maksud kami dengan meninggalkan jenis hukum disini bukanlah meninggalkan keumuman hudud dan hukum-hukum syar’iyyah, akan tetapi barangsiapa meninggalkan satu jenis hukum atau satu had darinya, maka dia kafir dengan kufur keberpalingan dan pembelakangan atau (kufur) keengganan dan penolakan dari (melaksanakan) had itu keadaanya seperti keadaan orang yang meninggalkan satu jenis shalat, umpamanya seperti shalat Ashar, maka saya tidak mengira bahwa seorang dari salaf akan menyelisihi dalam kekafiran orang dalam gambaran ini. Dan darinya engkau mengetahui ketergesa-gesaan penulis di dalam ucapannya hal 523: “Kesalahan yang Al Hudlaibiy terjatuh ke dalamnya sungguh telah terjatuh pula di dalamnya mayoritas orang-orang masa kini secara taqlid dalam hal itu kepada Ibnu Abil ‘Izz dalam syarahnya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah dan kepada Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, sedangkan ucapan-ucapan mereka itu semuanya tidak ada dasarnya dan tidak berdiri di atas dalil yang mu’tabar (dianggap)”. Selesai.
Dan yang shahih adalah bahwa rincian para imam adalah benar pada tempatnya. Dan bahwa kesalahan yang terjatuh kedalamnya mayoritas orang-orang masa kini adalah pencampuradukan mereka terhadap ucapan-ucapan para imam tentang meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan dengan bentuk gambaran yang lalu, dengan bentuk gambaran pemutusan dengan selain apa yang Allah turunkan yang bersifat kethaghutan lagi pembuatan hukum pada zaman kita ini]. Selesai ucapan Al Maqdisiy. Jadi (kekeliruan,ed.) orang-orang masa kini adalah menerapkan syarat juhud pada gambaran yang mana salaf tidak mensyaratkannya, yaitu pemutusan dengan undang-undang buatan.(Pent)
(21), (22), lihat catatan kaki sebelumnya. Dan yang shahih adalah ada qadli yang ke tiga, yaitu yang fasiq lagi zhalim yang gambarannya sudah disebutkan di atas, bahkan penulis sendiri mengakui keberadaannya pada penuturan (tentang,ed.) qadli paling pertama yang aniaya yang pernah ada (pent.)
[5] Begitu pula jaksa penuntut hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar