PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 11 Oktober 2012

INDONESIAKU SAYANG INDONESIAKU MALANG1

Indonesia, Islam atau Kafir ?


Bagi sementara kalangan, bahkan mungkin bagi mayoritas umat Islam, penjatuhan vonis murtad dan kafir kepada pemerintah Indonesia hari ini merupakan suatu hal yang sangat membingungkan dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin para penguasa yang beragama Islam, sholat, zakat, shaum, haji berkali-kali dan menampakkan amal-amal sholih lainnya bisa dijatuhi vonis kafir murtad ? Tak ayal, sebagian ulama pun menuduh orang-orang yang memvonis para penguasa ini dengan vonis murtad ; sebagai kelompok takfiriyun, khawarij, ahlul ahwa’ wal bida’, hizbiyyun, Islam fundamentalis dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Namun bila diadakan kajian syar’i, berdasar Al Qur’an, As Sunah dan ijma’ menurut pemahaman salaful ummah, dengan mengkaji dhawabitu takfir, qiyamul hujjah dan mawani’u takfir, setiap muslim yang bertauhid akan sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah baik salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini, termasuk di antaranya Indonesia. Hal ini bukan hanya sekedar karena kebencian yang membabi buta atau berfikir kolot dan kaku. Namun coba kita renungi dan evaluasi kembali perjalanan para penguasa negeri ini dengan akal sehat dan hati nurani yang tulus berdasarkan kesadaran penuh untuk menggali nilai-nilai kebenaran Islam yang terpampang jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mendengarkan secara seksama bagaimana para ulama’ salaf dan muta’akhirin menjelaskan sebuah kenyataan yang sangat urgen ini dalam rangka menilai secara obyektif untuk selanjutnya menentukan sikap yang jelas.
Sungguh setelah kita mengkaji secara serius, kita akan mendapatkan bahwasanya pemerintah Indonesia hari ini telah melakukan banyak hal yang membatalkan keislaman, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah sehingga hujjah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi. Seandainya mereka melakukan salah satunya saja tentu mereka kafir, lalu bagaimana jika mereka telah melakukan kekafiran yang sangat beragam dan banyak sekali. Di bawah ini beberapa alasan kenapa para ulama menjatuhkan vonis murtad kepada para penguasa mayoritas negeri-negeri kaum muslimin hari ini.

I. MENGAPA PEMERINTAH INDONESIA MURTAD?

Kami katakan pemerintah Indonesia telah kafir dan berlaku hukum-hukum murtad bagi mereka karena alasan-alasan di antaranya sebagai berikut:

Pertama: Indonesia membuat Undang-Undang Negara sendiri sebagai dasar hukum dan tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum.

Kedudukan Pancasila dalam negara RI:
Kegunaan dan penerapan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika selain memiliki fungsi utama sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Pancasila juga mendapat sebutan/predikat antara lain :
3. Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa, berarti Pancasila memberikan corak yang khas bagi bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Nilai-nilai Pancasila mungkin saja dimiliki bangsa-bangsa di dunia ini, tetapi kelima sila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
4. Sebagai tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil.
5. Sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, berarti Pancasila disetujui oleh wakil-wakil rakyat menjelang dan sesudah proklamasi. Disetujui karena digali dari nilai luhur budaya bangsa, sesuai dengan kepribadian bangsa dan telah teruji kebenarannya.
6. Sebagai idiologi nasional.
7. Sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dasar hukum Pancasila sebagai Dasar Negara adalah Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, sedang dasar hukum Pancasila sebagai sumber segala sumberhukum yang tertinggi adalah Tap MPR No. III/MPR/2000.
Sedangkan bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 ialah sebagai berikut:
3. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945,
4. Ketetapan MPR,
5. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
6. Peraturan Pemerintah,
7. Keputusan Presiden dan
8. Peraturan-peratiran lainnya seperti
Peraturan Menteri
Intruksi Menteri dan lain-lain.
Sesuai dengan sistim seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan authentik Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 adalah bentuk peraturan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber dari semua peraturan-Perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.
Dalil-dalil atas kufurnya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya nash-nash syari’at telah menunjukkan bahwa siapa yang menetapkan undang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum dengannya, ia telah melakukan kafir akbar dan keluar dari milah, berdasarkan beberapa dalil berikut ini :

1. Di antaranya firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيـــــلاً
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di an-tara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [QS. An Nisa' :59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan Rasul-Nya --sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim--, "Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan Rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…"
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya kembalikanlah perselisihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah Rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan " Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir". Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir."
Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin mengatakan, "Perhatikanlah ayat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata nakirah yaitu "perkara" dalam konteks syarat yaitu firman Allah "Jika kalian berselisih" yang menunjukkan keumuman (sehingga artinya menjadi segala perkara-pent.)…lalu perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan hal, ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firman-Nya "Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir."
Lalu apa yang dilakukan oleh para penguasa kita hari ini? Apakah mereka setiap kali berselisih pendapat mereka selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah? Ataukah mereka lebih mempercayai dan mentaati undang-undang yang mereka buat sendiri sesuai dengan kemauan mereka dan kadar kebodohan mereka. ?


2. Di antaranya juga adalah firman Allah:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." [QS. An Nisa' :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang sama mau berhukum dengan selain syari’at Allah. Ibnu Qayyim berkata, "Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan bahwa siapa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut. Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghutnya setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka mentaatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah."
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan dalam tafsirnya," Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisihan ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshor berselisih dengan seorang yahudi. Si Yahudi berkata, "Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad." Si shahabat Anshar berkata, " Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka'ab bin Al Asyraf." Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafiq yang menampakkan keislaman mereka namun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur'an dan As Sunah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini."
Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi mengatakan, "Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemudian berpaling dan berhukum kepada selain Rasul shallallahu 'alaihi wa salam dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya."
Lalu bagaimana dengan negara kita ? apakah setiap kali ada permasalahan atau yang lain mereka berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ? ataukah mereka kembali kepada hukum yang mereka buat sendiri. Jawabannya jelas dan kesimpulannya pun sangat jelas.

3. Di antaranya juga adalah firman Allah;
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." [QS. An Nisa': 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan Syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan ada-tu nafyi dan dengan sumpah.
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya," Allah Ta'ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin."
Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini :
“Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehing-ga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, na-mun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan."

4. Firman Allah Ta'ala :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?" [QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu perundang-undangan dan sistem jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syari’at dan sistem Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur'an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunah?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka:
“Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
“Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari sistem perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak mau pun sedikit.”
Tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar 'Alamah Syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Ketika berhukum dengan Ilyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Ilyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, "Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…"
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, “Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka Syaikh Taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu'awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya."
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat, "Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku."
Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Ilyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, Syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam.

5. Firman Allah Ta’ala :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءٌ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan (menetapkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" [QS. Asy Syura :21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat dirinya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini, "Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyari’atkan Allah. Namun mereka mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa pengharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak."

6. Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani :
اِتَّـــخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمــــَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمـــَّا يُشْرِكُوْنَ
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." [QS. At Taubah : 31].
Sudah sama-sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mereka dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan, "Mereka tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendeta menghalalkan sesuatu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya." Imam Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A'yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits."
Hadits ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa VII/67 dan Syaikh Nashirudin Al Albani dalam Ghayatul Maram halaman 20, sementara sebagian ulama lain melemahkannya. Apapun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Pengarang Fathul Majid mengatakan tentang ayat ini, "Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan Rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah mengangkat orang tersebut sebagai rabb, sesembahan dan menjadikannya sebagai sekutu Allah…"

7. Di antara dalil lainnya adalah firman Allah :
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُـــمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musyrikin berkata kepada kaum muslimin,"Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata, "Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syari’atnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan undang-undang selain-Nya atas syari’at-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah," Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah..."
Tidak diragukan lagi mengikuti Undang-Undang Dasar ‘45 yang menihilkan syari’at Allah merupakan sikap berpaling dari syari’at dan ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia. Syaikh Syanqithi dalam tafsirnya saat menafsirkan firman Allah:

وَلاَ يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهِ أَحَدًا
"Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan." [QS. Al Kahfi :26].
Beliau berkata, "Dipahami dari ayat ini "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan" bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain apa yang disyari’atkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah :

وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri' (peraturan-peraturan) yang menyelisihi syari’at Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَن لاَّتَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus." [QS. Yasin :60-61]."

8. Telah menjadi ijma' ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :
"Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma' kaum muslimin."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dinul Islam atau mengikuti syari’at (perundang-undangan) selain syari’at nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para Rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ..." {QS. An Nisa' :150}.
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa," Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syari’at Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama."
Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akan hal ini. Insya Allah.
Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan dalam menafsirkan firman Allah, "Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik." Ini adalah sumpah Allah Ta'ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma' kaum muslimin."
Abdul Qadir Audah mengatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin."
Demikianlah…nash-nash Al Qur'an yang tegas ini disertai ijma' yang telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syari’at Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas bahwa berhukum dengan selain hukum Allah adalah kafir duna kafir (kafir asghar) tidak berlaku atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha' (menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syari’at Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syari’at Islam.

Fatwa para ulama kontemporer

3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, "Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Allah :

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيــــــلاً
"…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…" [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].

Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, "Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur'an dan As Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qur'an dan As Sunah yang lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat "Muhammad adalah utusan Allah" mana lagi yang lebih besar dari hal ini?"
4. Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang IlYasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di depan, "Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al Hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum Ilyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya….Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri."
Beliau juga mengatakan :
“ UUD yang ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum muslimin.. pada hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka membuatnya sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang bersih dan mulia, karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD tersebut, mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU tersebut, mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya terbiasa dikatakan melalui lisan dan tulisan kalimat-kalimat " Pensakralan UUD", " Kewibawaan lembaga peradilan " dan kalimat-kalimat semisal. Lalu mereka menyebut UUD dan aturan-aturan ini dengan kata "fiqih dan faqih" "tasyri' dan musyari' " dan kalimat-kalimat semisal yang dipakai ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama syariah."
5. Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam tafsirnya ketika menafsirkan firman Allah, "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan." [QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, "Dengan nash-nash samawi yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Allah syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka."
Syaikh Al Syinqithi juga berkata :
" Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Allah dan tasyri' selain tasyri' Allah adalah seperti orang yang menyembah berhala dan sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan dari satu sisi sekalipun,. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah."
6. Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni', yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma'rifati Dalil, mengatakan, "…Berhukum dengan hukum-hukum positif yang menyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran, kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam secara keseluruhannya ; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya. Berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti berhukum dengan hukum-hukum thaghut…tak ada bedanya antara ahwal sakhsiah (masalah nikah,cerai, ruju'--pent) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang Maha Agung."
7. Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau "Naqdu Al Qaumiyah Al 'Arabiyah " (Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, "Alasan keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab : seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur'an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah ridha bila Al Qur'an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur'an . Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad."
8. Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, "Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan hukum Allah ; berarti telah keluar dari milah dan kafir."
9. Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam komentar beliau atas Fathul Majid mengatakan, "Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang dtetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syari’at Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya. Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…"
Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Ilyasiq, "Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat ba-ginya…".
8- Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, "Barang siapa tidak berhukum de-ngan hukum yang diturunkan Allah karena menganggap hukum Allah itu sepele, atau me-remehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syari’at Islam, supaya menjadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-unda-ngan yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi askioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan."
9- Syaikh Abu Shuhaib Abdul Aziz bin Shuhaib Al Maliki sendiri telah mengumpulkan fatwa lebih dari 200 ulama salaf dan kontemporer yang menyatakan murtadnya pemerintahan yang menetapkan undang-undang positif sebagai pengganti dari syariah Islam, dalam buku beliau Aqwaalu Aimmah wa Du’at fi Bayaani Riddati Man Baddala Syariah Ninal Hukkam Ath Thughat.


Kedua: Indonesia berpaham Demokrasi Pancasila yang mana kekuasaan tertinggi yang diakui oleh Indonesia adalah kekuasaan rakyat yang diwakili oleh MPR.

Di dalam buku pelajaran PPKn untuk MA dan SMU kelas tiga semester satu yang sesuai dengan kurikulum 1994 pada Bab 4 masalah ketaatan disebutkan:
“Ketaatan adalah kesadaran melaksanakan peraturan yang dilandasi etika baik, keikhlasan hati, kejujuran dan tanggung jawab.
Konsensus adalah kesepakatan atau permufakatan bersama yang dicapai melalui kebulatan pendapat. Consensus di negara kita berdasar demokrasi pancasila yang norma dasarnya adalah UUD 1945. untuk mendapatkan consensus yang bermutu tinggi maka yang diutamakan adalah hikmat kebijaksanaan, penalaran pikiran yang sehat, prinsip kebenaran dan keadilan serta kepentingan rakyat.
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. (Abraham Lincoln).
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dijiwai oleh dan diintegrasikan dengan keseluruhan sila-sila pancasila. Dalam demokrasi Pancasila, suatu keputusan tidak harus berdasrkan kemenangan atas dasar jumlah suara, tidak ditentukan oleh kekuatan yang lebih besar tetapi yang diutamakan adalah hikmat kebijaksanaan, penalaran pikiran yang sehat, atau kebulatan yang berdasarkan kepada kesepakatan atau konsensus.
Berkata Yahya Muhaimin dalam makalah yang bertema Pembinaan Demokrasi di Indonesia :” Rasionalitas dan Demokrasi pada prinsipnya merupakan sifat yang universal dari setiap system yang demokratis, implikasi dari karakteristik ini adalah perundang-undangan dan hukum disamping operasinal juga supreme dan otonom untuk mengatur hubungan antara penguasa dengan anggota masyarakat, dan untuk membatasi beraneka ragam kepentingan didalam masyarakat, lemahnya dimensi yang rasional ini akan menyebabkan Demokrasi kehilangan eksistensinya yang hakiki, dilain segi kerikatan system demokrasi pada nilai cara berpikir dan pandangan anggota masyarakat akan menjadikan sebagai satu system yang operasinal. Dia akan merupakan satu mekanisme yang efektif dan bahkan efisien dalam meneentukan bagaimana tujuan bersama itu hendak dicapai, siapa yanga selayaknya melakukannya, dan kelompok mana saja yang kepentingannya dan saran – sarannya pada suatu saat tertentu paling relevan untuk dipertimbangkan dalam struktur politik kehidupan bangsa Indonesia dan nilai-nilai kemasyarakatannya, maka operasionalisasi dan aktualisasinya demokrasi di Indonesia mendasarkan diri disamping pada kerangka berpikir dan pola tingkah laku anggota masyaraka Indonesia juga pada undang-undang dasar 1945 yang kesemuanya secara garis besar dan sangat umum tercakup dalam pancasila”.
Dasar hukum bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi adalah:
3. Pancasila sila keempat
4. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat
5. Batang tubuh UUD 1945 pasal 1 ayat 2
6. Penjelasan UUD 1945, pokok pikiran ketiga.
Pancasila sila keempat berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Batang tubuh UUD 1945 pasal 1 ayat 2 berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.”
Yang kemudian di dalam penjelasannya dikatakan :”MPR adalah penyelenggara negara yang tertinggi. Majlis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara.
Penjelasan UUD 1945, pokok pikiran ketiga diantaranya berbunyi:”Kekuasaan Negara yang tertinggi ditangan MPR. Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan bernama Majlis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majlis ini menetapkan Undang Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar halaun negara.”
Dan juga dalam pasal 2 ayat 3 yang berbunyi: “Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.”
Sesungguhnya perbedaan Islam dengan demokrasi adalah perbedaan yang sangat prinsip. Demokrasi adalah sebuah dien, sebagaimana Yahudi, Nasrani, Komunisme, Hindu, Budha dan lainnya. Kesyirikan dan kekufuran demokrasi nampak jelas bila ditimbang dengan timbangan Islam.

3- Demokrasi tertolak sejak dari sumbernya.
Konsep demokrasi muncul dari masyarakat Yunani Kuno, yaitu ketika filosof Pericles mencetuskan konsep ini pada tahun 431 SM. Beberapa filosof lain seperti Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero ikut menyempurnakan konsep ini. Meski demikian selama ratusan tahun konsep ini tidak laku. Demokrasi baru diterima dunia Barat 17 abad kemudian, yaitu pada masa Renaisance dipelopori oleh filosof Machiaveli (1467-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), Montesquie (1689-17550 dan Jean Jackues Rousseau (1712-1778) sebagai reaksi atas keotoriteran monarki dan gereja.
Sumber demokrasi jelas para filosof bangsa penyembah berhala yang tidak mengenal Allah dan Rasulullah. Konsep ini baru diterima manusia 1700 tahun semenjak kelahirannya, juga melalui para filosof Nasrani Eropa. Dari sini jelas, Islam menolak demokrasi karena konsep ini lahir semata-mata dari akal orang-orang kafir, sama sekali tidak berlandaskan wahyu dari Allah Ta’ala.
Islam adalah satu-satunya dienul haq. Keberadaannya telah menasakh (menghapus) syariat yang dibawa oleh para nabi terdahulu. Dengan demikian, setiap manusia wajib memeluk Islam dan mengikuti syariat Rasulullah. Suatu hari Rasulullah marah besar karena melihat Umar masih membawa-bawa dan mempelajari Taurat :
وَالَّذِِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ لَا يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّتِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya. Tak seorangpun dari umat ini yang mendengarku (dakwahku), tidak Yahudi tidak pula Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan risalah yang aku diutus dengannya kecuali ia menjadi penduduk neraka.” [HR. Muslim, Silsilah Ahadist Shahihah no. 157, Shahih Jami’ Shaghir no. 7063].
(لَوْ نَزَلَ مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي لَضَلَلْتُمْ ).
“ Seandainya Musa turun dan kalian mengikutinya serta meninggalkanku pastilah kalian tersesat.” [HR. Ahmad, dihasankan syaikh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no 5308 dan Irwaul Ghalil no. 1589].
Mempelajari kitab samawi wahyu Allah saja dimarahi, lantas bagaimana dengan mempelajari, menganut dan memperjuangkan system demokrasi yang murni hasil otak kaum penyembah berhala ? Jika syariah Nasrani dan Yahudi telah dinasakh dengan kehadiran Islam, bukankah ajaran jahiliyah penyembah berhala yang bernama demokrasi ini lebih dinasakh lagi ? Tak diragukan lagi, mereka yang mengikuti ajaran jahiliyah ini dengan penuh kerelaan dan kebanggaan merupakan orang yang paling dimurkai Allah Ta’ala :
أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَاِم سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَلِّبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِحَقٍّ لِيُهْرِيْقَ دَمَّهُ.
“ Manusia yang paling dibenci Allah ada tiga ; Orang yang senantiasa berusaha berbuat haram, orang yang mencari sunah (jalan/sistem) dalam Islam dan orang yang menuntut darah orang lain tanpa alasan yang benar demi menumpahkan darahnya. » [HR. Bukhari dalam At Tarikh dan Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 778].
لَيْسَ مِنَّا مَنْ عَمِلَ بِسُنَّةِ غَيْرِنَا
“ Bukan termasuk golongan kami orang yang beramal dengan sunah (jalan) selain kami.”[HR. Ad Dailami dan Ath Thabrani. Dihasankan syaikh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 5439 dan Silsilah Ahadits Shahihah no. 2194].
2. Menerima demokrasi berarti mendustakan Al Qur’an, As Sunah dan ijma’ kaum muslimin yang tegas menyatakan kesempurnaan Islam.
Al Qur’an secara tegas telah menyatakan Islamlah satu-satunya dienul haq yang diridhoi Allah Ta’ala (QS. Ali Imran :19,83,85, Al Maidah:3), Al Qur’an telah memuat dan menjelaskan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka (QS. An Nahl :89) dan Al Qur’an sama sekali tidak memuat kebatilan (QS. Al Fushilat :42). Shahabat Ibnu Abbas berkata saat menafsirkan QS. Al Maidah ayat 3,” Itulah Islam.Allah mengkabarkan kepada nabi-Nya dan kaum mukmin bahwa Ia telah menyempurnakan syariat iman maka mereka tidak membutuhkan lagi tambahan untuk selama-lamanya. Allah telah menyempurnakannya maka Allah tidak akan menguranginya selama-lamanya. Allah telah meridhainya maka Allah tidak akan membencinya selama-lamanya.”
Rasulullah juga telah menerangkan segala kebajikan dan keburukan secara detail. Beliau telah memberi petunjuk dan tauladan di segala bidang kehidupan, sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali, sejak dari urusan negara yang rumit hingga urusan WC yang kelihatannya remeh.
عن أبي ذر ( تَرَكَنَا رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم وَمَا مِنْ َطائِرٍ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ).

Abu Dzar berkata,” Rasulullah meninggalkan kami dan tak ada seekor burung yang menggepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya kepada kami. Beliau bersabda,” Tak tersisa suatu perkara pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian.” [HR. Ath Thabrani, Al Bazzar dan Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 1803].
(قَدْ َتَركْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا سَوَاءٌ لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ)
“ Aku telah meninggalkan kalian diatas jalan yang terang. Malamnya sama dengan siangnya. Tak ada seorangpun yang menyeleweng dari jalanku kecuali ia akan binasa (tersesat).” [HR. Ibnu Majah. Dishahihkan syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 41, Silsilah Ahadits Shahihah no. 937, Shahih At targhib wa Tarhib no.58].
Alangkah memilukannya jika sebagian ulama dan aktivitas Islam mempelopori umat Islam untuk memperjuangkan Islam dengan demokrasi. Sungguh, ini pertanda goyahnya keimanan kepada Al Qur’an dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam. Sungguh, ini tuduhan tersembunyi bahwa Allah dan Rasulullah tidak memberi petunjuk tentang masalah system kenegaraan dan politik. Amat memilukan, berjuang demi Islam namun meragukan kesempurnaan Islam yang diperjuangkannya. Imam Abu Hibatullah Ismail bin Ibrahim Al Khathib Al Azhari berkata :
“ Siapa mengira bahwa syariat yang sempurna ini ---di mana tidak pernah ada di dunia ini syariat yang lebih sempurna darinya --- kurang (tidak) sempurna, memerlukan system lain dari luar yang melengkapinya, maka ia seperti orang yang mengira bahwa umat manusia memerlukan rasul selain rasul mereka (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam) yang menghalalkan untuk mereka apa yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka hal-hal yang keji.”
3. Demokrasi membatalkan Tauhid.
Tauhid Rububiyyah : Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi mutlak berada di tangan rakyat melalui wakilnya (MPR/parlemen). Halal adalah apa yang dihalalkan wakil rakyat, haram adalah apa yang diharamkan oleh wakil rakyat. Rakyat melalui wakilnya menjadi rabb yang ditaati selain Allah dari sisi tasyri, tahlil dan tahrim. Wakil rakyat menetapkan undang-undang yang mengatur kehidupan manusia dan mempunyai kekuatan mengikat. Siapa melanggar akan dihukum. Ini jelas kesyirikan dan merampas hak rububiyah Allah Ta’ala. (QS. Yusuf :40, Al Kahfi :26, Asy Syura :10,21, Al An’am :118, Al Maidah :59, AT Taubah:31). Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“ Siapa meminta untuk ditaati bersama Allah maka berarti ia telah menginginkan manusia mengangkatnya menjadi tandingan selain Allah yang dicintai sebagaimana mereka mencintai Allah, padahal Allah telah memerintahkan untuk tidak beribadah kecuali kepada-Nya dan dien hanyalah hak Allah semata.”
Tauhid Asma’ wa Sifat. Di antara nama Allah Ta’ala yang husna (indah) adalah Al hakam (Yang Maha Memutuskan dengan keadilan). Allah Ta’ala adalah hakim yang paling berkuasa dan paling adil (Qs. Al A’raaf: 87, At Tiin:8). Mengimani nama Allah yang agung ini menuntut setiap muslim untuk mentauhidkan Allah dalam hal tasyri’, tahlil dan tahrim serta berhukum dengan syariat Islam semata. Demokrasi menghancurkan kaedah tauhid asma’ wa sifat ini :
Wakil rakyat mempunyai kemerdekaan penuh untuk menetapkan hukum tanpa berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunah. Ia bebas mengharamkan hal yang dihalalkan ijma’ dan menghalalkan hal yang keharamannya telah ditetapkan ijma’. Halal dan haram, wajib dan dilarang berada ditangan wakil rakyat. Dengan demikian, wakil rakyat bebas mau menjalankan atau menolak syariat Allah. Nasib hukum Allah berada ditangan para wakil rakyat dan menjadi bahan permainan dan ejekan mereka. Dengan demikian, wakil rakyat adalah raja di atas raja, penguasa di atas penguasa.
إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ الله رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ لَا مَالِكَ إِلَّا الله
“ Sesunggguhnya nama yang paling dibenci Allah adalah seorang laki-laki yang menamakan dirinya raja di atas raja. Tidak ada raja kecuali Allah.” [HR. Bukhari no. 6206 dan Muslim no. 2143].
Tauhid Uluhiyah : Tauhid uluhiyah menuntut setiap individu untuk mentaati hukum Allah dan mengikuti manhaj-Nya. Demokrasi menghalangi manusia untuk mentaati hukum Allah dan memaksa manusia untuk mentaati segala aturan wakil rakyat dalam masalah tahlil dan tahrim. Manusia diperbudak untuk beribadah kepada rabb-rabb baru bernama wakil rakyat, sebagaimana ketaatan orang Yahudi dan Nasrani kepada aturan para pendeta mereka. Manusia digiring untuk berbuat syirik dalam masalah hukum. Dalam hal ini, syaikh Syanqithi berkata :
“ Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya. Orang yang mengikuti perundang-undangan selain hukum Allah dan tasyri’ selain tasyri’ Allah adalah seperti orang yang menyembah dan sujud kepada berhala. Antara keduanya tidak ada persebdaan sama sekali dari satu sisi sekalipun. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya musyrik kepada Allah.”
Borok-borok demokrasi lainnya masih banyak, seperti ; kaburnya aqidah wala’ dan bara’, ta’thil (menihilkan) hukum-hukum jihad dan hukum atas ahli dzimah, meninggalkan manhaj nabawi dalam asalibu taghyir (metode merubah kondisi) dan banyak lainnya. Yang jelas, demokrasi adalah sebuah dien ; rabbnya adalah rakyat (MPR/parlemen), kitab sucinya adalah teori kontrak sosial dan trias politika, sementara nabinya adalah Pericles, Montesquie dan Jean Jackues Roeuseu. Mustahil Islam bertemu dengan demokrasi.
Demokrasi jelas-jelas merupakan sebuah system yang bertentangan dengan Islam. Karena itu, para ulama sepakat menyatakannya sebagai sebuah dien kafir yang bertolak belakang dengan Islam. Dalam hal ini, para ulama telah nmengarang banyak buku, seperti : Syaikh Abdul Ghani bin Muhammad bin Ibrahim Ar Rahhal dalam bukunya Al Islamiyyun wa Sarabu Dimuqrathiyah ( Muassasatul Mu’taman, 1409 H ). Syaikh Abdul Mun’im Musthafa Halimah dalam beberapa bukunya antara lain Hukmul Islami Fil Dimuqrathiyati wa At Ta’adudiyyati Al Hizbiyyati (Al Markazu Ad Dauli Lid Dirasat Al Islamiyyah, 1420 H), Dr. Sholah Showi dalam beberapa bukunya antara lain Ats Tsawabit wal Mutaghayirat fi Masiratil ‘Amal Al Islamy Al Muashir ( Al Muntada Al Islamy, 1414 H ), Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi dalam beberapa bukunya seperti Ad Dimuqrathiyatu Dienun, Syaikh Sa’id Abdul Adzim dalam bukunya Ad Dimuqrathiyatu fil Mizan ( Daarul Furqan), Syaikh Muhammad Syarif Syakir dalam bukunya Haqiqatu Ad Dimuqrathiyah (Daarul Wathan, 1412 H) dan banyak ulama lainnya.

Ketiga: Indonesia meletakkan hukum Wala’ (loyalitas) bersarkan negara bukan atas dasar keimanan.
Dalam permasalah loyalitas, negara Indonesia berfaham nasionalis yang menyesatkan. Semua penduduk Indonesia mempunyai status yang sama, baik yang beragama Islam maupun yang beragama yang lain. Mereka semuanya mempunyai hak yang sama dan wajib mengadakan kerukunan. Sebagaimana yang sering didengng-dengungkan ada tiga kerukunan yang harus diwujudkan yaitu:
• Kerukunan hidup intern umat beragama
• Kerukunan antarumat beragama, dan
• Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Hal ini dapat disimpulkan dari :
3. Lambang garuda pancasila tertulis semboyan yang berbunyi :”Bhinneka Tunggal Ika.” Yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua. Meskipun beda suku, beda ras dan begitu pula beda agama namun tetap satu jua, yaitu selama sama-sama warga negara Indonesia, maka tidak ada bedanya dalam hak dan kewajiban. Semuanya sama di hadapan hukum tanpa terkecuali.
4. Pancasila sila ke-3 yang berbunyi:” Persatuan Indonesia.”
5. Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi :”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
6. Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi:”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
7. Pasal 28 ayat 3 yang berbunyi:”Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Hal ini menunjukkan bahwasanya agama dan keimanan tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam hak dan kewajiban seseorang. Siapapun orangnya dan apapun agamanya asalkan ia warga negara Indonesia maka ia mempunyai hak yang sama dan kedudukan yang sama pula dihadapan hukum. Dan hal ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam dan dapat membatalkan Islam seseorang yang beridiologi seperti ini.
Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى اْلإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (At-Taubah; 23)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah :52).
At-Thobari berkata: Barangsiapa berwala’ dan menolong mereka dalam memusuhi orang-orang beriman maka ia termasuk penganut agama mereka sesungguhnya tidak ada seorangpun yang berloyal kepada orang lain kecuali ia bersamanya dan menganut agama dia serta rela terhadapnya.sedangkan jika ia rela kepadanya dan kepada agamanya maka ia telah memusuhi apa yang menyelisihi, memusuhi dan membencinya. Maka secara hukum ia sama dengan orang yang ia berwala’ kepadanya.
Al Qurtubi berkata : Barang siapa diantara kalian berwala’ kepada mereka, maka kalian telah membantu mereka dalam memusuhi kaum Muslimin. Sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, Alloh menerangkan bahawasanya secara hukum ia sama dengan mereka, dengan hal ini menjadikan tidak berhak mendapatkan warisan dari perang murtad, hukum ini terus-menerus berlaku sampai hari qiamat, diantara orang yang termasuk dalam golongan mereka adalah Abdulloh bin Ubay.
Ibnu Hazm berkata : Benarlah bahwasanya maksud dari firman Allah : Barang siapa diantara kalian yang berwala’ kepada mereka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” adalah sebagaimana dhohirnya yaitu sesungguhnya dia kafir dan termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Perkataan ini adalah haq dan tidak ada yang memperselisihankannya di kalangan kaum Muslimin.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: Para ulama’ Islam telah berijma’ bahwasanya barang siapa membantu dan menolong orang-orang kafir dalam memusuhi orang Islam dengan bentuk apapun, maka ia telah kafir seperti mereka. Sebagai mana firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah :52).
Diantara ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini adalah:
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلآَّ أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (QS. Ali Imron : 28).
فَمَالَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللهُ أَرْكَسَهُم بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَن تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللهُ وَمَن يُضْلِلِ اللهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً، وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَآءً فَلاَ تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَلاَتَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيرًا
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka pada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah Barangsiapa yang telah disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,” (QS. An Nisaa’ :88-89).
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. (QS. An Nisa’: 138-139).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِم مَّاهُم مِّنكُمْ وَلاَمِنْهُمْ وَيَحْلِفُونَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ يَعْلَمُونَ، أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا إِنَّهُمْ سَآءَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Tidaklah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman. Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka.Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka azab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al Mujadalah: 14-15).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلاَنُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab:"Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu".Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (QS. Al Hasyr: 11).

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَنيَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani), seraya berkata:"Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”. (ََQS. Al Maidah:53).
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujadilah : 22)
Alloh berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ إْلاَّ قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ ِلأَبِيهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآأَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ مِن شَىْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata):"Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, “ (Al-Mumtahanah: 4)
Alloh berfirma:
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.“ (Al-Mujadalah:22)

Keempat: Mereka menganut paham sekuler dan mempraktekkan sekulerisme.

Para ulama sepakat menyatakan bahwa sekulerisme merupakan paham kekafiran. Barang siapa menganutnya, ia telah kafir keluar dari Islam. Dalam hal ini, beberapa ulama telah menulis buku khusus tentang kafirnya orang-orang sekuler, seperti syaikh Muhammad Syakir Syarif dalam bukunya Al Ilmaniyatu wa Tsimaruha Al Khabitsah, Syaikh Muhammad Abdul Hadi Al Mishri dalam bukunya Mauqifu Ahli Sunah Minal Ilmaniyah ‘Awa’iqu Inthilaqah Al Kubra, syaikh Muhammad Quth dalam bukunya Al Ilmaniyatu, Syaikh Safar Abdurahman Al Hawali dalam bukunya Al Ilmaniyatu dan banyak ulama lainnya.
Syaikh Muhammad Syakir Syarif menyebutkan dua bentuk sekulerisme hari ini, yaitu sekulerisme atheis (mengingkari adanya Allah Ta’ala) dan sekulerisme non atheis. Setelah menerangkan masing-masing bentuk, beliau mengatakan :
والخلاصة : أن العلمانية بصورتيها السابقتين كفر بواح لاشك فيها ولا ارتياب ، وأن من آمن بأي صورة منها وقبلها فقد خرج من دين الإسلام والعياذ بالله ، وذلك أن الإسلام دين شامل كامل ، له في كل جانب من جوانب الإنسان الروحية ، والسياسية ، والاقتصادية ، والأخلاقية ، والاجتماعية ، منهج واضح وكامل ، ولا يقبل ولا يُجيز أن يشاركه فيه منهج آخر ، قال الله تعالى مبينًا وجوب الدخول في كل مناهج الإسلام وتشريعاته : يا أيها الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة . وقال تعالى مبينًا كفر من أخذ بعضًا من مناهج الإسلام ، ورفض البعض الآخر ، أفتؤمنون ببعض الكتاب وتكفرون ببعض فما جزاء من يفعل ذلك منكم إلا خزي في الحياة الدنيا ويوم القيامة يردون إلى أشد العذاب وما الله بغافل عما تعملون .

“ Kesimpulannya : Sekulerisme dengan kedua bentuknya tadi merupakan sebuah kekafiran yang sangat nyata, tak ada keraguan sedikitpun tentang hal ini. Dan bahwasanya siapa pun yang mempercayai salah satu dari kedua bentuk ini, berarti telah keluar dari Islam --naudzu billah---. Hal ini karena Islam merupakan sebuah dien yang syamil. Islam mempunyai manhaj yang jelas dan sempurna dalam seluruh aspek kehidupan manusia baik aspek ruhani, politik, ekonomi, moral dan social. Islam tidak membolehkan dan tidak pula menerima adanya saingan manhaj lain yang mengatur (aspek kehidupan manusia). Allah ta’ala berfirman tentang wajibnya masuk dalam seluruh manhaj dan tasyri’ Islam (QS. Al Baqarah ;208). Allah Ta’ala juga berfirman tentang kafirnya orang yang menerima sebagian manhaj Islam dan menolak sebagian manhaj Islam lainnya (QS. Al Baqarah ;85).”
والأدلة الشرعية كثيرة جدًا في بيان كفر وضلال من رفض شيئًا محققًا معلومًا أنه من دين الإسلام ، ولو كان هذا الشيء يسيرًا جدًا ، فكيف بمن رفض الأخذ بكل الأحكام الشرعية المتعلقة بسياسة الدنيا - مثل العلمانيين - من فعل ذلك فلاشك في كفره .
والعلمانييون قد ارتكبوا ناقضًا من نواقض الإسلام ، يوم أن اعتقدوا أن هدي غير النبي - - أكمل من هديه ، وأن حكم غيره أفضل من حكمه .
“ Dalil-dalil syar’i banyak sekali yang menerangkan kafir dan sesatnya orang yang menolak satu saja dari bagian yang ma’lum mina dien bi dharurah, sekalipun hal yang ditolak ini sangat remeh sekali. Maka bagaimana lagi dengan orang yang menolak untuk mengambil seluruh hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan mengatur dunia ---seperti orang-orang sekuler ini---. Siapa melakukannya, tak diragukan lagi ia telah kafir.
Orang-orang sekuler telah melakukan sebuah pembatal-dari pembatal-pembatal keislaman, ketika mereka meyakini selain petunjuk Rasulullah lebih sempurna dari petunjuk Rasulullah, dan selain hukum Rasulullah lebih baik (utama) dari hukum Rasulullah.”
Dr. Sholah Showi menyatakan :
" Sesungguhnya thaghut-thaghut manusia sejak dulu dan kini telah merampas hak Allah untuk memerintah, melarang dan tasyri' (membuat UU) tanpa izin Allah. Para pendeta dan ahli ibadah mengakuinya sebagai hak mereka maka mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dengannya mereka memperbudak manusia dan menjadi tuhan-tuhan selain Allah. Lalu para raja merebut hak ini dari tangan mereka sampai akhirnya para raja berbagai hak ini dengan para pendeta dan ahli ibadah itu, lalu datanglah orang-orang sekuler yang merampas hak ini dari para raja dan pendeta, mereka pindahkan hak itu kepada lembaga yang mewakili rakyat yang mereka beri nama Parlemen atau Majleis Perwakilan (MPR/DPR)."
UUD yang menjadi UUD kebanyakan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim saat ini—berdasar penelitian terhadap UUD tersebut ---- sudah keluar dari aqidah mengesakan Allah dalam masalah tasyri’, di mana hak tasyri’ dan kekuasaan tertinggi (kedaulatan) diserahkan kepada rakyat atau bangsa. Barangkali UUD ini juga menjadikan penguasa (badan eksekutif) juga ikut sebagai sekutu dalam hak membuat UU ini, namun juga terkadang hanya badan legislative saja yang berhak membuat UU. Ini semua merupakan pembangkangan terhadap Islam yang mewajibkan tunduk patuh dan menerima dien Allah. Wallahul Musta’anu.
Dr. Sholah Showi berkata lagi tentang pemerintah sekuler :
“ Sesungguhnya kondisi yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat kita saat ini adalah (a) kondisi pengingkaran terhadap kenyataan bahwa Islam mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan, dari (b) sejak awal, syariah Islam dicegah untuk mengatur berbagai aspek kehidupan dalam negara dan (c) kondisi di mana hak mutlak untuk membuat UU dalam aspek-aspek kehidupan ini ditetapkan untuk parlemen dan Majelis Permusyawaratan.
Kita saat ini berada di hadapan suatu kaum yang meyakini kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dan hak mutlak membuat UU berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Halal adalah apa yang dinyatakan halal oleh MPR, haram adalah apa yang dinyatakan haram oleh MPR, wajib adalah apa yang diwajibkan oleh MPR, UU adalah apa yang ditetapkan oleh MPR. Suatu perbuatan tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan kecuali bila melanggar UU yang ditetapkan MPR, tidak dihukum kecuali berdasar UU ketetapan MPR, dan tidak ada dasar hukum kecuali bunyi teks-teks UU yang dikeluarkan oleh MPR.
Ujian yang kita alami hari ini, di mana untuk memperbaikinya tidak bisa dengan sekedar membuang sebagian pasal-pasalnya, atau sebagian teksnya saja, namun kondisi ini hanya akan menjadi baik dengan cara kita mulai dengan menetapkan kekuasaan mutlak dan hak membuat undang-undang tertinggi berada di tangan syariah Islam, dan menetapkan secara tegas bahwa setiap UU atau ketetapan yang bertentangan dengan syariah Islam dianggap batil.”
Setelah menjelaskan tentang hakiket sekulerisme, tauhid dan jahiliyah, Syaikh Abdul Hadi Al Mishri mengatakan :
إن العلمانية باختصار " نظام طاغوتي جاهلي كافر" يتنافى ويتعارض تماماً مع شهادة "لا إله إلا الله" من ناحيتين أساسيتين متلازمتين:
الأولى: من ناحية كونها - أي العلمانية - حكما بغير ما أنزل الله.
الثانية: من ناحية كونها شركاً في عبادة الله.
إن العلمانية تعني - بداهة- الحكم بغير ما أنزل الله وتحكيم غير شريعة الله وقبول الحكم والتشريع والطاعة والاتباع من طواغيت من دون الله. فهذا معنى قيام الحياة على غير الدين أو بعبارة أخرى فصل الدين عن الدولة، أو فصل الدين عن السياسة، ومن ثم فهي- بالبديهة أيضا- نظام جاهلي لا مكان لمعتقده ولا لنظامه ولا لشرائعه في دائرة الإسلام. بل هو نظام كافر بنص القرآن الكريم {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون} [المائدة: 44].
“ Secara ringkas, sesungguhnya sekulerisme adalah system (pemerintahan) thaghut jahiliyah dan kafir, keberadaannya meniadakan dan bertolak belakang dengan syahadat laa ilaa illa Allahu dari dua segi asasi yang saling berkaitan :
Pertama. Karena sekulerisme berarti berhukum dengan selain hukum Allah.
Kedua. Karena sekulerisme berarti syirik dalam beribadah.
Sekulerisme berarti menetapkan keputusan dengan selain hukum Allah, menjadikan selain syariah Allah sebagai undang-undang, menerima al hukmu (memutuskan perkara), tasyri’ (menetapkan undang-undang), tha’at dan ittiba’ kepada thaghut. Inilah makna dari tegaknya aspek kehidupan manusia di atas dasar selain dien, atau dengan bahasa lain memisahkan negara dari dien, atau denga bahasa lain memisahkan agama dari politik. Dengan demikian, sekulerisme adalah pemerintahan jahiliyah. Sama sekali tidak ada tempat dalam Islam bagi para penganut sekulerisme, system sekulerisme dan perundang-undangan sekuler. Bahkan sekulerisme adalah pemerintahan kafir dengan nash Al Qur’an (QS. Al Maidah ;44).
Syaikhul Azhar, syaikh Muhammad Khidir Husain berkata :
فصل الدين عن السياسة هدم لمعظم حقائق الدين ولا يقدم عليه المسلمون إلاّ بعد أن يكونوا غير مسلمين
“ Memisahkan dien dari politik merupakan penghancuran terhadap sebagian besar ajaran dien dan hal itu tidak mungkin dilakukan oleh kaum muslimin kecuali setelah mereka tidak beragama Islam lagi (murtad terlebih dahulu).”
Di bawah judul “memisahkan dien dari negara”, Syaikh Abdurahman bin Hasan berkata :
«معناها عند من ينادي به: أنّ الدين ليس له علاقة بتسيير أمور الناس، ولا بسياسة الدولة، فهو محصور في الشعائر التعبّدية فقط دون أن يُعمَلَ به ويُطبّق في واقع الحياة، وهذه النظريّة الشيطانيّة والتي تُعرَف اليوم بالعلمانيّة نصّ الأئمّة والعلماء على كفر من يعتقدها، أو يعمل بها ويفضّل الحكم بالقوانين العلمانيّة الجاهليّة على شرع ربّ البريّة، لأنّ ذلك يناقض الإيمان، ويضادّ كلمة التوحيد».
“ Maknanya menurut orang yang menyerukan slogan ini adalah dien tidak mempunyai (hak) hubungan sama sekali dalam mengatur urusan manusia dan mengatur negara. Dien hanya terbatas dalam urusan ritual ibadah semata, tanpa dipraktekkan dalam realita kehidupan. Teori setan yang hari ini dikenal dengan nama sekulerisme ini, para ulama telah menyatakan kafirnya orang yang menganut paham ini atau mempraktekkannya dan mengutamakan menghukumi dengan undang-undang positif jahiliyah atas syariah Allah, karena hal itu membatalkan iman dan kalimat tauhid.”

Kelima: Mereka tidak mengkufuri thaghut.

Kalau kita tanyakan kafirkah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, apa kiranya jawaban mereka ? apakah mereka akan mengkafirkan orang-orang Kristen dan Katolik ? apakah mereka akan mengkafirkan orang-orang Hindu dan Budha ? Ataukah mereka mengakui dan memelihara keberadaan mereka ? Ataukah mereka menganggap sama antara orang Islam dengan orang selain Islam ? Akankah mereka mereka akan mengatakan sebagaimana yang Alloh katakan:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فيِ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَآ أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah: 5)
Aataukah mereka akan mengatakan bahwa semua agama itu sama ?
Para ulama sepakat bahwasanya iman tidak sah bila tidak disertai dengan sikap kufur kepada thaghut. Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi mengatakan :

ومعلوم أن هؤلاء الحكام لا يكفرون بطواغيت الشرق والغرب ولا يتبرؤون منهم بل هم بهم مؤمنون تولّوهم وتحاكموا إليهم في فضِّ الخصومة والنزاع وارتضوا أحكامهم الكفرية وقوانينهم الدولية في ظل هيئة اللمم (الأمم) ومحكمتها الكفرية.
“ Sudah sama diketahui bahwa para penguasa itu tidak kufur kepada para thaghut timur dan barat dan tidak berlepas diri dari mereka. Justru, para penguasa tersebut beriman dan berwala’ kepada mereka (para thaghut), menjadikan mereka sebagai pemutus persoalan yang diperselisihkan, dan ridho dengan hukum-hukum kafir dan perundang-undangan internasional mereka di bawah naungan PBB dan peradilan PBB yang kafir.
فإن كان أمر طواغيت العرب مشتبه على من في عينه رمد فإن أمر طواغيت الكفر الغربيين والشرقيين من نصارى وبوذيين وشيوعيين وهندوس ونحوهم لا يخفى والله إلا على العميان ، ومع ذلك فهم لهم أخوة وأحباء لم يكفروا بهم بل تجمع بينهم روابط الأخوة والصداقة والمودة ويجمع بينهم ميثاق الأمم المتحدة!! الكفري ويحتكمون عند الخصومة إلى محكمتها الكفرية التي مقرها في لاهاي .
Jika perkara para thaghut (pemeritah negara-negara) arab masih samar-samar bagi orang yang dimatanya ada lumpur, maka sesungguhnya perkara para thaghut Timur dan Barat yang Nasrani, Budha, komunis, Hindu dan lainnya tidak tersembunyi lagi kecuali bagi orang yang buta. Mereka (thaghut timur dan barat) malah menjadi kawan dan orang-orang yang dicintai, tidak mereka kufuri. Bahkan mereka dikumpulkan oleh ikatan persaudaraan dan persahabatan, oleh ikatan piagam kafir …”
فهم ما حققوا ركن التوحيد الأول والمهم (الكفر بالطاغوت) حتى يكونوا مسلمين هذا إذا سلمنا جدلاً أنهم قد جاءوا بالركن الآخر (الإيمان بالله) فكيف إذا أضيف إلى ذلك أنهم هم أنفسهم أيضاً طواغيت يُعبدون من دون الله فيشرِّعون للناس من الدين ما لم يأذن به الله ويدعون الناس ويأطرونهم أطرا ويقصرونهم قصراً على متابعة تشريعاتهم الباطلة هذه.
Mereka (para penguasa PBB) tidak merealisasikan rukun tauhid yang pertama dan penting yaitu (kufur kepada thaghut). Ini jika kita bisa menerima pernyataan bahwa mereka melaksanakan rukun tauhid yang pertama (beriman kepada Allah). Lantas bagaimana lagi jika (tidak kufurnya kepada thaghut) masih ditambah dengan kenyataan bahwa mereka sendiri juga merupakan para thaghut yang diibadahi selain Allah ? Mereka menetapkan untuk rakyat undang-undang yang tidak mendapat izin Allah Ta’ala…”

Keenam : Mereka tolong menolong dan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam memerangi Islam dan kaum muslimin.

Kalau kita menengok lagi bagimana bagaiman sikap mereka terhadap PBB yang jelas-jelas memihak Amerika atas dukungannya terhadap para penjajah Yahudi ? Apa pula sikap mereka terhadap perang melawan teroris yang dikampanyekan oleh Amereka, sedangkan yang dimaksudkan dengan teroris adalah orang-orang Islam yang menentang dan memerangi Amerika ? kenapa dimunculkan Undang-Undang anti teroris. Kenapa ikut-ikutan memburu jaringan Al-Qo’idah yang sangat keras penentangannya terhadap Amerika ? Lalu lihatlah bagaimana mereka mengadakan penangkapan-penagkapan terhadap umat Islam yang mereka curigai secara membabi buta. Lihat pula bagaimana mereka menangkap Ustadz abu Bakar Ba’asyir –hafidzohulloh- !
Lalu lihat pula sejarah perjalan yang menyedihkan di Ambon dan Poso. Lihatlah apa sikap mereka ketika umat Islam dibantai pada awal-awal kerusuhan. Kemudian bandingkan bagaimana ketika umat Islam mulai meraih kemenangan. Disitu akan nampak jelah keberfihakan mereka terhadap orang-orang kafir di dalam memerangi umat Islam.
Menjadikan orang-orang kafir sebagai musuh (bara') dan menjadikan orang-orang mukmin sebagai kawan (wala') merupakan ciri orang beriman. Ketika sifat ini tidak ada, keimanan hilang dan seseorang telah keluar dari Islam alias murtad.
Rasulullah bersabda :
أوثق عرى الإيمان الحب في الله و البغض في الله
" Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." [HR. Ahmad dan Al Hakim, Silsilah Ahadits Shahihah no. 1728].
Syaikh Hamad bin 'Atiq dalam bukunya An Najatu wal Fikaku Min Muwalatil Murtadien wa Ahlil Isyrak mengatakan," Adapun perihal memusuhi orang-orang kafir dan musyrik, maka ketahuilah sesungguhnya Allah telah mewajibkan hal itu dan menekankan kewajiban ini dan Allah mengharamkan berwali kepada mereka dan menegaskan keharamannya. Sehingga dalam Kitabullah tidak ada hukum yang lebih banyak dalilnya dan lebih gamblang penjelasannya setelah wajibnya tauhid dan haramnya syirik melebihi masalah ini."
Jadi, masalah wala’ dan bara’ merupakan masalah terpenting setelah tauhid. Para ulama telah sepakat bahwa bekerja sama dan tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam rangka memerangi Islam dan kaum muslimin merupakan perbuatan yang menyebabkan pelakunya murtad.
Ketika AS dibantu sekutu-sekutunya melakukan invasi dan agresi militer ke Afghanistan, Iraq, dan melancarkan perang melawan teroris, tak satupun penguasa di negeri-negeri kaum muslimin yang menyatakan pembelaan dan berdiri di belakang kaum muslimin Afghanistan, Iraq dan kaum muslimin yang dituduh oleh persekutuan salibis-zionis-komunis-musyrikin internasional sebagai teroris. Justru, mereka dengan bergegas menyatakan dukungan dan bantuannya dalam memerangi teroris (baca :umat Islam). Lewat penyediaan informasi, dana, pangkalan militer, penangkapan orang-orang Islam yang dituduh teroris, pembekuan asset mereka, penutupan lembaga-lembaga pendidikan mereka, ekstradisi orang-orang yang diinginkan AS dan sekutunya, penetapan UU anti teroris dan segudang bentuk bekerja sama dengan orang-orang kafir lainnya dalam memerangi Islam dan kaum muslimin. Ini semua jelas sebuah perbuatan yang menyebabkan mereka keluar dari Islam.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Bin Muhammad pengarang buku Taisirul Azizil Hamid Syarhu Kitabit Tauhid, dalam risalah beliau yang berjudul Hukmu Muwalati Ahli Syirki menyebutkan 21 dalil dari Al Qur'an dan As Sunah yang menegaskan keharaman membantu dan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam rangka memusuhi umat Islam. Di antara dalil-dalil tersebut adalah :


3. Firman Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin kalian….[QS. Al Maidah :51].
Imam Ath Thabari ketika menafsirkan ayat ini berkata," Siapa menjadikan mereka sebagai (wali) pemimpin dan sekutu dan membantu mereka dalam melawan kaum muslimin, maka ia adalah orang yang sedien dan semilah dengan mereka. Karena tak ada seorangpun yang menjadikan orang lain sebagai walinya kecuali ia ridho dengan diri orang itu, diennya, dan kondisinya. Bila ia telah ridho dengan diri dan dien walinya itu, berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga hukumnya (kedudukan dia) adalah (seperti) hukum walinya."
Al Qurtubi berkata : Barang siapa diantara kalian berwala’ kepada mereka, maka kalian telah membantu mereka dalam memusuhi kaum Muslimin. Sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, Alloh menerangkan bahawasanya secara hukum ia sama dengan mereka, dengan hal ini menjadikan tidak berhak mendapatkan warisan dari perang murtad, hukum ini terus-menerus berlaku sampai hari qiamat, diantara orang yang termasuk dalam golongan mereka adalah Abdulloh bin Ubay.
Ibnu Hazm berkata : Benarlah bahwasanya maksud dari firman Allah : Barang siapa diantara kalian yang berwala’ kepada mereka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka” adalah sebagaimana dhohirnya yaitu sesungguhnya dia kafir dan termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Perkataan ini adalah haq dan tidak ada yang memperselisihankannya di kalangan kaum Muslimin.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: Para ulama’ Islam telah berijma’ bahwasanya barang siapa membantu dan menolong orang-orang kafir dalam memusuhi orang Islam dengan bentuk apapun, maka ia telah kafir seperti mereka. Sebagai mana firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah :52).
Penjelasan Imam Ath Thabari ini juga ditegaskan lagi oleh para ahli tafsir lain seperti Imam Al Qurthubi (Al Jami' liahkamil Qur'an 6/217), Asy Syaukani (Fathul Qadir 2/50), Al Qasimi (Mahasinu Ta'wil 6/240) dan Ibnu Hazm (Al Muhala 13/35) , juga disebutkan oleh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Abdulathif dalam disertasinya, Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal 'Amaliyah, sebagai pembatal keimanan dan penyebab kemurtadan.
4. Firman Allah :

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ
" Kamu melihat orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit (kemunafikan) bersegera mendekati orang-orag (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata," Kami takut akan mendapat bencana (krisis)." Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan kepada Rasul-Nya atau suatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu orang-orang yang berpenyakit hati akan menyesal terhadap apa yanag mereka arahasiakan dalam diri mereka." [QS. Al Maidah :52].
Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata, "Allah menyebutkan bahwa berwala' (loyal) kepada orang-orang kafir meniadakan iman kepada Allah, Rasul-Nya dan kitab yang ditrunkan kepadanya. Allah lalu menyebutkan sebab hal itu adalah karena banyak di antara mereka yang fasiq. Allah tidak membedakan antara yang takut kepada bencana maupun tidak. Demikianlah kondisi orang-orang murtad tadi sebelum mereka murtad, kebanyakan mereka yang fasiq, maka kefasikan mereka menyeret kepada berwala' kepada orang-orang kafir dan murtad dari Islam. Naudzu Billahi min dzalika.”
5. Firman Allah :

لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

" Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara atau kerabat mereka sendiri.." [QS. Al Mujadalah 22].
Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata," Allah mengkhabarkan bahwa engkau tak akan mendapati orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir itu mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun ia kerabat terdekatnya, dan Allah menerangkan bahwa sikap mencintai musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya ini meniadakan iman. Sikap ini tak mungkin berkumpul dengan iman kecuali seperti berkumpulnya air dengan api."
6. Firman Allah :

لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلآَّ أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ

" Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya ia terlepas dari pertolongan Allah …." [QS. Ali Imran :28].
Imam Ath Thabari berkata," Barang siapa berbuat demikian, niscaya ia terlepas dari pertolongan Allah " maknanya ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya karena ia telah murtad dari diennya dan masuk ke dalam kekufuran."
7. Firman Allah :

مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ {106} ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى اْلأَخِرَةِ وَأَنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ {107} أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“ Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (107) Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” [QS. An Nahl :106-107].
Ketika seorang muslim dipaksa untuk kafir melalui berbagai siksaan keras seperti yang dialami shahabat Amar bin Yasir, lalu ia menuruti kemauan mereka dengan mengucapkan kalimat kekufuran secara lisan namun hatinya tetap beriman, maka ia tidak kafir dan ia diampuni Allah. Namun apabila hal itu dikerjakan secara sukarela tanpa ada paksaan maka ia kafir.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata," Allah menetapkan hukum yang tak akan berubah bahwa orang yang kembali kepada kekufuran (murtad) berarti telah kafir, baik ia punya udzur ---seperti takut atas nyawa atau harta atau keluarga-atau tidak punya udzur. Sama saja apakah ia kafir dari batinnya atau kafir dari lahirnya saja tanpa batinnya. Sama saja apakah ia kafir dari perbuatan dan pekataan atau dengan salah satu dari keduanya. Sama saja apakah ia mengharapkan keuntungan duniawi dari orang musyrik atau tidak. Ia tetap kafir apapun keadaannya, kecuali orang yang dipaksa. Jika seseorang dipaksa untuk kafir dengan dikatakan kepadanya," Kafirlah, kalau tidak kamu kami siksa atau kami bunuh," atau orang-orang musyrik mengambilnya dan menyiksanya dan ia tak mungkin bisa selamat kecuali dengan menuruti perintah mereka, maka boleh baginya untuk menuruti secara dhahir saja dengan syarat hatinaya tetap mantap beriman, maksudnya tetap kokoh dengan keyakinan dan imannya. Adapun jika ia menuruti mereka dalam hatinya, maka ia tetap kafir sekalipun dipaksa."
Beliau meneruskan," Allah lalu menerangkan bahwa sebab kafirnya mereka bukan karena mereka berkeyakinan syirik atau tak mengetahui tauhid atau membenci agama atau mencintai kekafiran, namun sebabnya adalah karena (mencari) keuntungan duniawi lalu mengutamakan keuntungan duniawi atas agama dan ridho Rab semesta Alam." .
Di antara ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini adalah:
فَمَالَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللهُ أَرْكَسَهُم بِمَا كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَن تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللهُ وَمَن يُضْلِلِ اللهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً، وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَآءً فَلاَ تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَلاَتَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيرًا
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka pada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah Barangsiapa yang telah disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,” (QS. An Nisaa’ :88-89).
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. (QS. An Nisa’: 138-139).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِم مَّاهُم مِّنكُمْ وَلاَمِنْهُمْ وَيَحْلِفُونَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ يَعْلَمُونَ، أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا إِنَّهُمْ سَآءَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Tidaklah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman. Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka.Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka azab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al Mujadalah: 14-15).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلاَنُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab:"Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu".Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (QS. Al Hasyr: 11).

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَنيَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani), seraya berkata:"Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”. (ََQS. Al Maidah:53).
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujadilah : 22)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan pembatal keislaman yang kedelapan adalah membantu dan tolong menoolong dengan orang-orang kafir dalam memusuhi umat Islam, dengan dalil QS. Al Maidah :51.
Syaikh Shalih Fauzan berkata,"Membantu dan saling menolong dengan orang kafir dalam memusuhi orang Islam, memuji dan membela orang kafir. Ini adalah salah satu pembatal keislaman dan penyebab kemrtadan. Naudzu Billahi min Dzalika." Hal ini juga ditegaskan Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam buku beliau, Aqidah Shahihah versus Aqidah Bathilah dan pembatal-pembatal Islam.

II. MEREKA YANG MASUK DALAM KATEGORI KAFIR

Kalau kita katakan sebuah negara itu telah murtad dikarenakan telah mengganti hukum Alloh dengan hukum kafir, maka mereka yang bertanggung jawab atas dosa ini menurut Syaikh Ahmad Syakir ada tiga golongan, yaitu:
3. Dewan legislatif negara tersebut yang menyusun perundang-undangan tersebut {MPR/DPR}. Dan yang paling bertanggung jawab adalah pemimpin tertinggi negara {Presiden} tersebut, yang telah memerintahkan untuk membuat undang-undang kafir. Syaikh Ahmad Syakir berkata:” Sesungguhnya di dalam membuat undang-undang tersebut ia berkeyakinan atas kebenaran undang-undang tersebut dan apa yang ia kerjakan, maka dalam hal ini masalahnya sudah jelas walaupun ia puasa, sholat dan menyangka bahwa dirinya seorang muslim.”(Lihat: Ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad, VI/303)
4. Para pembela yang memperjuangkan dan mempertahankan undang-undang tersebut {TNI dan POLRI }. Beliau berkata tentang mereka:”Sesungguhnya ia membela kebatilan dari kebenaran, maka apabila dalam membela kebatilan yang bertentangan dengan Islam ia berkeyakinan bahwa yang ia bela itu benar maka ia hukumnya seperti temannya yang membuat undang-undang tersebut, dan kalau ia tidak mempunyai keyakinan seperti itu maka ia adalah munafiq murni walaupun ia beralasan bahwa ia hanya melaksanakan kewajiban dia sebagai penjaga undang-undang tersebut.” (Lihat: Ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad, VI/305).
5. Pelaksana hukum tersebut {lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif } yaitu para hakim yang memutuskan perkara dengan berpedoman dengan undang-undang tersebut dan dalam hal ini termasuk yang paling bertanggung jawab adalah presiden, karena dia adalah mandataris MPR. Beliau berkata:” Mungkin ia mempunyai alasan ketika memutuskan perkara dengan berpedoman undang-undang tersebut yang sesuai dengan hukum Islam, walaupun setelah diteliti dengan detail, alasan ini tidak berarti sama sekali. Adapun jika ia memutuskan perkara dengan hukum yang tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah-Sunnah, maka jelas-jelas ia masuk kedalam maksud hadits:

و على المرء السمع و الطاعة فيما أحب أو كره إلا أن يؤمر بمعصية فلا سمع و لا طاعة
“Kewajiban seseorang adalah mendengar dan taat pada perintang yang ia sukai atau ia benci kecuali kalau diperintah untuk berbuat maksiyat, maka tidak ada kata mendengar dan taat.”
Sesungguhnya dia telah diperintahkan untuk tidak mentaati undang-undang yang menurutnya ia harus mentaatinya itu, karena undang-undang tersebut menyuruhnya untuk bermaksiat, bahkan lebih dari hanya sekedar maksiat yaitu menyelisihi kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, maka dalam hal ini tidak ada istilah mendengar dan taat, apabila dia mendengar dan taat maka dosanya sama dengan yang meme, yang telah membuat undang-undang tersebut. .”(Lihat: Ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad, VI/305)
Umar bin Mahmud Abu Umar barkata:” Sebab kekafiran mereka adalah pada masalah perundang-undangan, maka pembuat undang-undang batil ini, hakim yang berpedoman dengan undang-undang ini, pembelanya, penyeru kepada undang-undang tersebut dan yang mengindah-indahkannya, merekalah yang kita katakan kelompok murtad itu.”

Status Penduduk Negeri Tersebut.

Hal ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang status negara Maridin , sebuah wilayah yang semula berhukum dengan hukum Islam kemudian dikuasai oleh orang kafir dan menerapkan hukum kafir, apakah negara tersebut Daarul Harbi atau Darus Silmi (Daaru Islam) dan apakah kaum muslimin yang tinggal di negeri tersebut harus hijroh ke negeri Islam atau tidak ? (Bagaimana ketentuannya) Kalau ia wajib hijroh atau tidak hijroh, serta (apa hukum) memberi bantuan kepada musuh-musuh kaum muslimin apakah dengan demikian ia berdosa ? Apakah orang yang menuduhnya sebagai orang munafik atau mencelanya berdosa?.
Beliau menjawab:
Al-hamdulillah, harta dan darah kaum muslimin haram di mana saja mereka berada, baik di Maridin maupun di tempat lain. Dan memberi bantuan kepada orang-orang yang keluar dari syariat Islam adalah haram, baik mereka itu penduduk Mardin maupun yang lain. Orang yang tinggal di Mardin kalau tidak mampu melaksanakan agamanya maka ia wajib hijroh kalau ia mampu. Kalau tidak mampu berhijrah maka tidak wajib hijroh. Adapun memberi bantuan kepada musuh kaum muslimin baik dengan harta atau nyawa hukumnya haram dan mereka wajib menghindar dari hal tersebut dengan cara apapun yang memungkinkan seperti sembunyi atau berpaling atau berpura-pura dan kalau hal itu tidak mungkin kecuali harus hijroh maka ia wajib hijroh. Dan tidak halal mencela dan menuduh mereka dengan munafik secara umum akan tetapi celaan dan tuduhan munafik itu tertuju kepada orang yang memiliki sifat-sifat yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang (bisa saja) terdapat pada penduduk Mardin dan penduduk negara lain. Adapun negara tersebut Daarul Harbi atau Daarus Silmi maka negara tersebut adalah negara yang mencakup arti dua negara tersebut : bukan seperti Daarus Silmi yang berlaku di dalamnya hukum Islam karena tentaranya adalah kaum muslimin, dan juga tidak seperti Daarul Harbi yang mana penduduknya orang kafir. Akan tetapi negara tersebut adalah negara ketiga, orang muslim diperlakukan sebagaimana mestinya dan orang-orang yang keluar dari syari'at Islam diperangi sebagaimana mestinya.”
Ringkasnya, menghukumi seorang mukallaf berdasar dhahirnya. Siapa menampakkan keislaman, maka dihukumi sebagai seorang muslim dan siapa menampakkan kekafiran maka dihukumi sebagai seorang kafir setelah terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidanya penghalang (mawani’).
3- Tanda-Tanda Keislaman Yang Sah
Maksudnya, tanda-tanda yang hanya dimiliki oleh umat Islam saja. Bila seseorang telah memilikinya, maka tak perlu diteliti terlebih dahulu untuk meyakinkan keislaman orang tersebut. Adapun identitas Islam yang syah secara syar’i adalah:
3. Mengucapkan dua kalimat Syahadat.
Dalilnya adalah sabda Rosululloh:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ. فَمَنْ قَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ عُصِمَ مِنِّي مَالُهُ وَ نَفْسُهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda,” Aku diutus untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan laa ilaaha illalloh. Maka siapa telah mengucapkan laa ilaaha illalloh, berarti ia telah menjaga harta dan nyawanya dariku. Kecuali yang menjadi haknya, dan hisabnya terserah Alloh.”
Ibnu Rajab Al Hambali berkata,” Sudah diketahui secara dharuri bahwa nabi menerima setiap orang yang datang kepada beliau untuk masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan ucapan itu, ia menjaga darahnya dan menjadi seorang muslim dan nabi telah mengingkari Usamah bin Zaid ketika membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illa Allah saat pedang Usamah sudah di atas kepalanya, dan pengingkaran beliau kepada Usamah dalam hal itu sangat keras. Nabi juga tidak mensyaratkan orang yang datang masuk Islam untuk melazimi sholat dan zakat. Bahkan, telah diriwayatkan bahwa beliau menerima keislaman sebuah kaum padahal mereka mensyaratkan tidak akan membayar zakat. Dalam musnad Ahmad :
عَنْ جَابِرٍ : اِشْتَرَطَتْ ثَقِيْفُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ أَنْ لَا صَدَقَةَ عَلَيْهَا وَلَاجِهَادَ وَأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : سَيَصَدَّقُوْنَ وَ يُجَاهِدُوْنَ.
Dari Jabir ia berkata,” Bani Tsaqif mensyaratkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk tidak bershadaqah dan berjihad. Maka Rasulullah bersabda,” Nanti mereka akan bershadaqah dan berjihad.”
Juga dari Nashr bin Ashim Al Laitsy dari seorang bani Tsaqif bahwa ia datang kepada nabi dan masuk Islam dengan mensyaratkan idak akan sholat kecuali dua kali sholat saja. Maka beliau menerima syarat tersebut.”
Dengan hadits-hadits inilah imam Ahmad berpendapat dan mengatakan,” Keislaman shah meski dengan syarat yang rusak. Lalu ia diwajibkan dengan seluruh syariat Islam.” Beliau juga berdalil dengan Hakim bin Hizam yang mengatakan,” Saya membaiat Nabi untuk tidak sujud kecuali dalam keadaan berdiri.” Imam Ahmad mengatakan,” Maknanya ia sujud tanpa membungkukkan badan.”
Dengan keterangan yang kami tetapkan ini nampaklah pengkompromian antara berbagai hadits dalam bab ini dan nampaklah bahwa semua hadits ini benar. Sesungguhnya hanya dengan dua kalimat syahadat saja sudah menjaga orang yang mengucapkannya dan menjadikannya seorang muslim. Jika ia telah masuk Islam, jika ia sholat, zakat, dan melaksanakan syariat-syariat Islam, maka ia mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kaum muslimin. Jika ia meninggalkan salah satu rukun ini, jika mereka sebuah kelompok yang mempunyai kekuatan, maka mereka diperangi.
Ibnu Hajar berkata,” Dalam hadits ini adalah larangan membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illalloh walaupun tidak ada tambahannya sedikitpun, akan tetapi apakah hanya dengan hal itu ia menjadi seorang muslim? Yang benar adalah tidak akan tetapi tidak boleh kita bunuh sampai teruji pernyataannya tersebut.”
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ :بَعَثَنَا رَسُوْلُ اللهِ اِلَى الْحَرْقَةَ مِنْ جُهَيْنَةَ فَصَبَّحْنَا الْقَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ وَلَحِقْتُ اَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَاِر رَجُلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا غَشَيْنَاهُ قَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ. فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارُ وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَى قَتَلْتُهُ. فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ليِ : يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ؟ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا. قَالَ : أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ ؟ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ.
Dari Usamah bin Zaid ia berkata,” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami ke Huroqoh dari Juhainah. Lalu kami menyergap mereka di waktu pagi dan mengalahkan mereka. Lalu saya bersama orang anshor mengejar seseorang dari mereka. Setelah kami menguasainya, ia mengucapkan laa ilaaha illalloh. Orang anshor tersebut tidak menahan dirinya (tidak membunuhnya), maka kutusuk ia dengan tombakku sampai mati. Ketika kami sampai di Madinah dan berita itu sampai kepada Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda kepadaku:“Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?” Lalu kujawab,” Wahai Rosululloh, ia mengatakannya hanya untuk melindungi dirinya.” Beliau bersabda lagi,” Wahai Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam terus mengulang-ulangnya sampai-sampai saya berangan-angan seandainya aku tidak masuk Islam sebelum hari itu.
Dalam riwayat Muslim :
أَقَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَقَتَلْتَهُ ؟ قُلْتُ :بَا رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ. قَالَ : أََفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا.
“ Apakah ia sudah mengucapkan laa ilaaha illalloh lalu tetap kamu bunuh ?” Usamah menjawab,”Ya Rasulullah, ia mengucapkannya karena takut kepada senjata.” Rasulullah bersabda,” Apakah sudah kau belah dadanya sehingga kamu mengetahui ia mengatakanmnya atau tidak.”
Hadits ini adalah dalil bahwasanya barang siapa mengucapkan laa ilaaha illalloh, maka ia adalah seorang muslim yang darahnya terjaga, tidak boleh dibunuh dan dihalalkan darahnya kecuali ia melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menjadikan ia kafir.
4. Pengakuan seseorang bahwa ia seorang muslim atau ia berkata aku beriman kepada Alloh atau perkataan yang senada dengan hal itu.
Dalilnya adalah :
عَنِ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدَ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ : أَر‍َأَيْتَ إِنْ لَقِيْتُ رَجُلًا مِنَ الْكُفَّارِ فَاقْتَتَلْنَا فَضَرَبَ إِحْدَى يَدَيَّ بِالسَّيْفِ فَقَطََعَهَا ثُمَّ لَاذَ مِنِّي بِشَجَرَةٍ فَقَالَ : أَسْلَمْتُ لِلَّهِ! أَقَتَلْتُهُ يَا رَسُولَ اللهِ بَعْدَ أَنْ قَالَهَا ؟ فََقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لَا تَقْتُلْهُ فَإِنْ قَتَلْتَهُ فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَتِكَ قَبْلَ أَنْ تَقْتُلَهُ وَإِنَّكَ بِمَنْزِلَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَقُوْلَ كَلِمَتِهِ الَّتِى قَالَ.
Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad ra. ia berkata,” Wahai Rosululloh. Apa pendapatmu kalau saya bertemu dengan orang kafir lalu kami berperang dan ia memotong salah satu tanganku dengan pedangnya, lalu ia berlindung dengan sebuah pohon dan berkata,” Saya masuk Islam.” Apakah saya boleh memeranginya setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut ?” Maka Rasulullah menjawab,” Jangan kau bunuh dia. Jika kamu bunuh dia, maka sesungguhnya status dia adalah status kamu sebelum kamu membunuhnya dan status kamu adalah status dia sebelum dia mengucapkan kalimat yang diucapkannya.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ اِلَى بَنِي جُذَيْمَةَ فَدَعَاهُمْ اِلَى الْإِسْلَامِ فَلَمْ يُحْسِنُوا أَنْ يَقُوْلُوْا أَسْلَمْنَا. فَجَعَلُوا يَقُوْلُوْنَ صَبَأْنَا صَبأْنَا. فَجَعَلَ خَالِدٌ يَقْتُلُ فِيْهِمْ وَ يَأْسِرُ وَدَفَعَ اِلَى كُلِّ رَجُلٍ مِنَّا أَسِيْرَهُ. حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمٌ أَمَرَ خَالِدٌ أَنْ يَقْتُلَ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا أَسِيْرَهُ. فَقُلْتُ : وَاللهِ لَا أَقْتُلُ أُسِيْرِي وَلَا يَقْتُلُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِي أَسِيْرَهُ حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِي فَذَكَرْنَاهُ. فَرَفَعَ النَّبِي يَدَيْهِ فَقَالَ : اَللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خاَلِدٌ.
Dari Abdullah Ibnu Umar ra. Ia berkata,” Rasulullah mengutus Kholid bin Al-Walid ke Bani Judzaimah. Ia mengajak mereka untuk masuk Islam.Mereka tidak bisa mengucapkan أسلمنا (Kami masuk Islam), Mereka hanya bisa mengucapkan ”صبأنا صبأنا “. Maka Khalid membunuh sebagian mereka dan menawan sebagian lainnya. Ia menyerahkan seorang tawanan kepada masing-masing kami. Suatu hari Khalid memerintahkan setiap kami untuk membunuh tawanan masing-masing, namun kukatakan,” Demi Allah, saya tidak akan membunh tawananku dan setiap sahabatku tak akan membunuh tawanannya.” (Perkara itu kami tangguhkan) hingga kami datang kepada nabi dan kami menceritakannya kepada beliau. Ketika itu Rosululloh mengangkat kedua tangannya dan berdoa,” Ya Allah. Aku berlepas diri dari perbuatan Khalid.”
5. Sholat.
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rosulilloh shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيْحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِى لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَلَا تَحْقِرُوا اللهَ فِي ذِمَّتِهِ.
“ Barangsiapa yang sholat sebagaimana sholat kita, menghadap ke arah kiblat kita dan memakan smbelihan kita, maka dia adalah seorang muslim, dia mendapat perlindungan Alloh dan Rosul-Nya. Maka janganlah kalian menghinakan orang yang telah mendapatkan perlindungan Alloh.”
Ibnu Hajar berkata,” Berdasar hadits ini bahwasanya urusan manusia itu dibawa kepada dhahirnya. Siapa menampakkan syiar-syiar dien maka diberlakukan atasnya hukum-hukum pemeluk dien selama belum nampak darinya hal yang bertntangan dengan hal itu (pembatal-pembatal keislaman—ed).”
Juga dari Ubaidullah bin ‘Adi bin Khiyar radhiyallahu ‘anhu ia berkata,” Ketika Rasulullah sedang duduk-duduk di antara manusia, datang seorang laki-laki yang berbisik kepada beliau sehingga kami tidak mengetahui ia berbisik apa. Maka Rasulullah menjawab dengan keras, ternyata orang itu meminta izin untuk membunuih seorang munafiq. Rasulullah bersabda ketika beliau berbicara dengan keras :
أَلَيْسَ يَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ؟
“ Bukankah ia bersaksi tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah ?” Laki-laki itu menjawab,” Ya, tapi tidak ada syahadat atasnya.” Rasulullah bertanya lagi :
أَلَيْسَ يُصَلِّي
“ Bukankah ia sholat ?” Laki-laki itu menjawab,” Ya, tapi tak ada sholat baginya.” Maka Rasulullah bersabda :
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ نَهَانِي اللهُ عَنْ قَتْلِهِمْ
“ Mereka itulah orang-orang yang Allah melarangku utnuk membunuhnya.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنِّي نُهِيْتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّيْنَ.
Dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda,” Sesungguhnya aku dilarang untuk membunuh orang-orang yang mengerjakan sholat.”
6. Adzan.
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يُغِيْرُ عِنْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَ يَسْتَمِعُ فَإِذَا سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَ إِلَّا أَغَارَ, رواه أبو داود. وفي رواية مسلم : كَانَ رَسُولُ الله إِنَّمَا يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَ كَانَ يَسْتَمِعُ الْأَذَانَ. فَإِذَا سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَ إِلَّا أَغَار. فَسَمِعَ رَجُلًا يَقُوْلُ : ألله أَكْبَرُ ألله أَكْبَرُ. فَقَالَ رَسُوْلُ الله : عَلَى الْفِطْرَةِ. ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله. فَقَالَ رَسُوْلُ الله: خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ. فَنَظَرُوا فَإِذَا هُوَ رَاعِي مَعْزًى.
Dari Anas radiyallahu ‘anhu., beliau berkata:” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam biasa menyerang pada waktu sholat Shubuh. Beliau menunggu sampai terdengar adzan. Jika mendengar adzan beliau tidak jadi emnyerang dan bila tidak terdengar adzan, beliau menyerang.” [HR. Abu Daud]. Dalam riwayat Muslim,” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam biasanya menyerang sebuah kaum jika telah terbir fajar. Beliau menunggu sampai terdengar adzan. Apabila beliau mendengar adzan, beliau batalkan dan apabila tidak terdengar adzan maka beliau sergap setelah subuh. (Suatu kali) beliau mendengar seorang mengumandangkan adzan (dari daerah yang akan diserang),” Allahu Akbar…Allahu Akbar.” Maka Rasulullah menjawab,” Di atas fitrah.” Kemudian terdengar lagi,” Asyhadu An Laa Ilaaha Ila Allah..2x.” Maka beliau menjawab,” Engkau keluar dari neraka.” Pasukan Rasulullah melihat orang tersebut, ternyata seorang penggembala kambing.”
7. Masjid.
8. Suara takbir.
عَنْ عِصَامِ المَزْنِي قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا بَعَثَ جَيْشًا أَوْ سَرِيَّةً يَقُوْلُ لَهُمْ : إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا أَوْ سَمِعْتُمْ مُؤَذِّنًا فَلاَ تَقْتُلُوْا أَحَدًا.
Dari ‘Ashim Al-Muzani, ia berkata,” Adalah Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam bila mengirim sebuah pasukan atau sebuah regu bersabda kepada anggota pasukan,” Apabila kalian melihat masjid atau mendengar suara adzan, janganlah kalian membunuh seorangpun.”
As-Syaukani berkata:” Hadits ini adalah dalil bahwasanya masjid di sebuah negeri adalah cukup sebagai tanda bahwasanya penduduk negeri tersebut adalah muslim, walaupun tidak terdengar adzan dri mereka, karena Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam menyuruh pasukannya untuk memilih salah satu dari dua tersebut yaitu: masjid atau suara adzan.”
Asy-Syaukani berkata,” Sabda beliau على الفطرة menunjukkan bahwasanya takbir termasuk dari ciri-ciri khusus orang Islam, dan sah untuk dijadikan patokan bahwa penduduk suatu negeri yang terdengar suara takbir itu beragama Islam.
Orang yang kita ketahui terdapat salah satu atau lebih dari tanda-tanda di atas, maka kita hukumi dia sebagai orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana hak kaum muslimin lainnya dan mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban kaum muslimin lainnya. Kita harus memberikan hak dia sebagai orang Islam, seperti kecintaan, perwalian, pertolongan dan hak-hak yang lain.
Abdullah bin Muhammad Al Qarni mengatakan,” Dengan melihat kepada keseluruhan hadits-hadits ini, kita mengetahui bahwa hadits-hadits ini menunjukkan satu hal yaitu sifat Islam tetap (berlaku) pada diri seseorang meski hanya dengan iqrar (pengakuan)nya, baik : (a) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seperti ditunjukan oleh hadits Usamah bin Zaid, atau (b) hal lain yang menempati posisinya seperti disebut dalam hadits Miqdad bin Al Aswad bahwasanya orang yang mengatakan “aslamtu lillah” dihukumi sebagai seorang muslim. Bahkan dalam hal iqrar ini sudah cukup dengan hal minimal yang menunjukkan ke arah itu, sekalipun orang itu salah dalam mengungkapkan iqrarnya seperti dalam kisah Khalid bin Walid yang membunuh orang-orang yang mengucapkan “shaba’na…shaba’na”, maksud mereka adalah Islam. Dengan demikian, iqrar tidak mempunyai shighah dan kaifiyah yang khusus, ia terealisir dengan segala hal yang menunjukkan seseorang itu menerima Islam dan ingin masuk Islam, tanpa syarat yang lain.
Inilah yang dimaksudkan oleh para ulama salaf bahwa Islam adalah iqrar. Seperti Imam Az Zuhri yang mengatakan,” Kami mengatakan Islam adalah iqrar sedang iman itu amal. Iman adalah perkataan dan perbuatan, salah satu dari keduanya tak bermanfaat bila tak disertai yang lainnya.” Demikian juga imam Ahmad mengatakan,” Iman adalah ucapan dan perbuatan, sedang Islam itu iqrar.”
Ibnu Taimiyah berklata,” Islam adalah kau beribadah kepada Allah tak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dengan mengikhlaskan dien (ketaatan dan ketundukan ) kepada-Nya…dengan diutusnya para rasul kepada kita, maka tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan apa yang diperintahkan oleh para rasul…Maka tidak akan menjadi seorang muslim kecuali orang yang bersaksi tiada ilah yang berhka diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Kalimat ini, siapa mengucapkannya berarti telah masuk Islam. Maka barang siapa mengatakan Islam adalah kalimat (mengucapkan), maksud dia adalah kalimat ini (siapa mengucapkan dua kalimat syahadat masuk Islam—ed), maka ia telah berkata benar.”
2- Qarinah Yang Menunjukkan Keislaman
Selain tanda-tanda di atas, ada beberapa hal yang menunjukkan keislaman seseorang namun ia tidak dihukumi sebagai seorang muslim kecuali setelah diadakan tatsabut (diteliti lebih lanjut, ricek). Hal-hal tersebut adalah:
c) Mengucapkan salam.
Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي َسِبيلِ اللهِ فَتَبَيَّنُوا وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةُُ كَذَلِكَ كُنتُمْ مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“ Wahai orang –orang yang beriman, apabila kamu pergi berperang dijalan Alloh, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: “ kamu bukan seorang mukmin “ dengan maksud mencari harta benda didunuia, karena disisi Aloh ada harta yang banyak. Begitu juga kedadaan kamu dahulu kemudian Alloh menganugerahkan nikmatnya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 94).
Dalam as sunah disebutkan mengenai sebab turunnya ayat ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : لَقِيَ نَاسٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ رَجُلًا فِي غَنِيْمَةٍ لَهُ فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ, فَقَتَلُوهُ وَ أَخَذُوا تِلْكَ الْغَنِيْمَةِ, فَنَزَلَتْ (وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا) وَقَرَأَهَا ابْنُ عَبَاسٍ: السلام. متفق عليه. وفي الترمذي : ( مَرَّ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَعَهُ غَنَمٌ لَهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا : مَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا لِيَتَعَوَّذَ مِنْكُمْ. فَقَامُوا فَقَتَلُوْهُ. وَ أَخَذُوا غَنَمَهُ فَأَتَوْا بِهَا رَسُوْلُ اللهِ فَأَنْزَلَ اللهُ الآيَةَ.
Dari Ibnu Abbas bahwasanya serombongan kaum muslimin bertemu dengan seseorang yang membawa kambingnya. Laki-laki itu mberkata,” As Salaamu ‘alaikum.” Tetapi rombongan kaum muslimin membunuhnya dan mengambil kambing tersebt. Maka turunlah ayat (artinya) “janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu,“ kamu bukan seorang mukmin”. Ibnu Abbas membaca “ As Salaama” (memanjangkan laam).” Muttafaq ‘alaihi. Dalam riwayat Tirmidzi,” Seorang laki-laki dari bani Sulaim bmelewati sekelompok shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Lak-laki itu membawa kambing dan mengucapkan salam kepada mereka. Maka para shahabat berkata,” Ia tidak mengucapkan salam kepada kalian kecuali karena ingi berlindaung dari kalian.” Mereka berdiri dan membunuhnya serta mengambil kambingnya. Mereka lalu membawa kambing tersebut kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini.”
Al Bazzar meriwayatkan dari sanad lain dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah mengirim ekspidisi Miqdad bin Al Aswad, ketika mereka mendatangi kaum yang dimaksud, ternyatakaum itu telah lari tunggang langgang. Ada seoranglaki-laki kaya yang tidak ikut lari dan ia mengucapkan laa iaaha illa Allah, maka Miqdad membunuhnya. Maka Rasulullah bersabda,” Bagaimana keadaanmu besok (hari kiamat—ed) dengan orang yang mengucapkan laa ilaaha illa Allah ?”
Ibnu Hajar berkata,”Ayat tersebut adalah dalil, bahwasanya orang yang menunjukan tanda-tanda keislaman darahnya tidak halal sampai dia diuji, karena salam itu adalah penghormatan (sesama) kaum muslimin, sedangkan penghormatan jahiliyyah dahulu tidak seperti itu. Maka penghormatan (dengan salam-ed) ini adalah tanda keislaman.Adapun dengan dibaca as salamu atau as silmu, maknanya adalah inqiyad (menyerah) dan termasuk tanda keislaman.”
d) Terdapat tanda-tanda yang biasanya hanya digunakan orang Islam, namun secara syar’i tidak menjadi identitas sah keislaman pelakunya, seperti memakai pakaian kaum muslimin, memanjangkan jenggot dan rambut, memakai sorban, peci, dan lain-lain.
Pengarang “As-Sairul Kabir” mengatakan,” Apabila kaum muslimin memasuki kampung dari perkampungan orang muyrik secara mendadak, maka mereka tidak mengapa untuk membunuh laki-laki yang mereka temui, kecuali yang memiliki tanda-tanda orang Islam atau ahlu Dzimmah, maka ketika itu mereka harus meneliti sampai jelas statusnya.”
Adapun penduduk negeri jika ia rela dengan para penguasa tersebut dan mengikunya maka penduduk yang semacam ini juga termasuk golongan para penguasa tersebut. Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Duamiji ketika memaparkan pendapat Syaikh Ahmad Syakir diatas beliau menambahkan bagian keempat yaitu:
Rakyat yang rela dan mengikuti undang-undang kafir tersebut. Rakyat hendaknya tidak berhukum kepada undang-undang tersebut, memberikan keterangan bahwasanya hal itu haram, dan ia harus berusaha untuk menumbangkannya dan berhukum dengan syariat Allah semampu dia dan Allah tidaklah memberikan beban kecuali yang mampu dipikul. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya Rasululloh bersabda:

إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون و تنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع
“Sesungguhnya kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang melakukan kemungkaran, maka barangsiapa membenci ia terbebas dari dosa, dan barngsiapa mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi yang mendapat dosa adalah orang yang rela dan mengikuti.”
Adapun dalam keadaan terpaksa dan darurat yang diperbolehkan secara syar’I, maka setiap keadaan darurat diberikan kelonggaran sesuai dengan kadar daruratnya.
Kewajiban setiap muslim ketika melihat kemungkaran adalah mengingkarinya baik dengan hati, lisan maupun tangan atau kekuatan, sebagaimana sabda Rosululloh:

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فأن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان
" Barang siapa melihat kemungkaran haruslah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Dalam hal ini Ibnu Rojab mengatakan:” Adapun mengingkari kemungkaran dengan hati adalah suatu keharusan, maka ketika seorang sudah tidak mengingkarinya dengan hatinya hal ini menunjukkan bahwa imannya telah hilang dari hatinya.” Adapun mengingkarinya dengan lisan dan tangan beliau mengatakan:” Dan adapun mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan adalah sesuai dengan kemampuan.”
Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Duamiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad:”Hal ini juga merupakan suatau kesepakatan yaitu memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya, adapun jika tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka harus mencari jalan yang paling tercepat untuk menggulingkannya, dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah terseebut walaupun harus bersusah payah, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi yaitu :

…. و ألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
“….. dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.” (Mutafaq ‘alaihi)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:” Jika pemerintah melakuakan kekafiran yang nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya, sebagaimana yang tersebdalam hadits ini. (Yaitu hadits Ubadah yang tersebut di atas). (Fathul Bari XIII/7)
Dan beliau berkta pada halaman yang lain:”Sesungguhnya seorang pemerintah kafir itu harus dipecat menurut ijma’. Kaum muslimin harus melakukan hal itu, barang siapa yang mampu mengerjakannya ia mendapat pahala dan bagi yang memberikan toleransi mendapatkan dosa dan bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.” (Fathul Bari XIII/123)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar