Indonesia, Islam atau Kafir ?
Bagi sementara kalangan, bahkan mungkin bagi mayoritas umat Islam,
penjatuhan vonis murtad dan kafir kepada pemerintah Indonesia hari ini
merupakan suatu hal yang sangat membingungkan dan tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin para penguasa yang beragama Islam, sholat, zakat,
shaum, haji berkali-kali dan menampakkan amal-amal sholih lainnya bisa
dijatuhi vonis kafir murtad ? Tak ayal, sebagian ulama pun menuduh
orang-orang yang memvonis para penguasa ini dengan vonis murtad ;
sebagai kelompok takfiriyun, khawarij, ahlul ahwa’ wal bida’, hizbiyyun,
Islam fundamentalis dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Namun bila diadakan kajian syar’i, berdasar Al Qur’an, As Sunah dan
ijma’ menurut pemahaman salaful ummah, dengan mengkaji dhawabitu takfir,
qiyamul hujjah dan mawani’u takfir, setiap muslim yang bertauhid akan
sampai pada kesimpulan yang ditarik oleh para ulama yang tsiqah baik
salaf maupun kontemporer, yaitu jatuhnya vonis murtad bagi para penguasa
negeri-negeri kaum muslimin hari ini, termasuk di antaranya Indonesia.
Hal ini bukan hanya sekedar karena kebencian yang membabi buta atau
berfikir kolot dan kaku. Namun coba kita renungi dan evaluasi kembali
perjalanan para penguasa negeri ini dengan akal sehat dan hati nurani
yang tulus berdasarkan kesadaran penuh untuk menggali nilai-nilai
kebenaran Islam yang terpampang jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta mendengarkan secara seksama bagaimana para ulama’ salaf dan
muta’akhirin menjelaskan sebuah kenyataan yang sangat urgen ini dalam
rangka menilai secara obyektif untuk selanjutnya menentukan sikap yang
jelas.
Sungguh setelah kita mengkaji secara serius, kita akan mendapatkan
bahwasanya pemerintah Indonesia hari ini telah melakukan banyak hal yang
membatalkan keislaman, sehingga kemurtadan mereka berasal dari banyak
hal. Artinya, kemurtadan mereka adalah kemurtadan yang sangat parah
sehingga hujjah tentang murtadnya mereka tidak terbantahkan lagi.
Seandainya mereka melakukan salah satunya saja tentu mereka kafir, lalu
bagaimana jika mereka telah melakukan kekafiran yang sangat beragam dan
banyak sekali. Di bawah ini beberapa alasan kenapa para ulama
menjatuhkan vonis murtad kepada para penguasa mayoritas negeri-negeri
kaum muslimin hari ini.
I. MENGAPA PEMERINTAH INDONESIA MURTAD?
Kami katakan pemerintah Indonesia telah kafir dan berlaku hukum-hukum
murtad bagi mereka karena alasan-alasan di antaranya sebagai berikut:
Pertama: Indonesia membuat Undang-Undang Negara sendiri sebagai dasar
hukum dan tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber
hukum.
Kedudukan Pancasila dalam negara RI:
Kegunaan dan penerapan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang ber-Bhinneka Tunggal Ika selain memiliki fungsi utama sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa Pancasila juga mendapat
sebutan/predikat antara lain :
3. Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa, berarti Pancasila memberikan
corak yang khas bagi bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Nilai-nilai
Pancasila mungkin saja dimiliki bangsa-bangsa di dunia ini, tetapi
kelima sila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan
itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
4. Sebagai tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yaitu
masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil.
5. Sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, berarti Pancasila
disetujui oleh wakil-wakil rakyat menjelang dan sesudah proklamasi.
Disetujui karena digali dari nilai luhur budaya bangsa, sesuai dengan
kepribadian bangsa dan telah teruji kebenarannya.
6. Sebagai idiologi nasional.
7. Sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dasar hukum Pancasila sebagai Dasar Negara adalah Pembukaan UUD 1945
alinea keempat, sedang dasar hukum Pancasila sebagai sumber segala
sumberhukum yang tertinggi adalah Tap MPR No. III/MPR/2000.
Sedangkan bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia
menurut UUD 1945 ialah sebagai berikut:
3. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945,
4. Ketetapan MPR,
5. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
6. Peraturan Pemerintah,
7. Keputusan Presiden dan
8. Peraturan-peratiran lainnya seperti
Peraturan Menteri
Intruksi Menteri dan lain-lain.
Sesuai dengan sistim seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan
authentik Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 adalah bentuk peraturan yang tertinggi, yang menjadi
dasar dan sumber dari semua peraturan-Perundangan yang berlaku, yang
lebih tinggi tingkatnya.
Dalil-dalil atas kufurnya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya nash-nash syari’at telah menunjukkan bahwa siapa yang
menetapkan undang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan
mereka untuk berhukum dengannya, ia telah melakukan kafir akbar dan
keluar dari milah, berdasarkan beberapa dalil berikut ini :
1. Di antaranya firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيـــــلاً
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah
Rasul(-Nya), dan ulil amri di an-tara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya." [QS. An Nisa' :59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk
mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena
ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan Rasul-Nya
--sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim--, "Sebagai tuntutan dan
kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan Rasul-Nya
ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum
(akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal
ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah
pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…"
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya
kembalikanlah perselisihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada
kitabullah dan sunah Rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas
persoalan yang kalian perselisihkan " Jika kalian beriman kepada Allah
dan hari akhir". Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada
Al Qur'an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika
terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga
beriman kepada hari akhir."
Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah tahkimul qawanin
mengatakan, "Perhatikanlah ayat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata
nakirah yaitu "perkara" dalam konteks syarat yaitu firman Allah "Jika
kalian berselisih" yang menunjukkan keumuman (sehingga artinya menjadi
segala perkara-pent.)…lalu perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan hal,
ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan
firman-Nya "Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir."
Lalu apa yang dilakukan oleh para penguasa kita hari ini? Apakah
mereka setiap kali berselisih pendapat mereka selalu merujuk kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah? Ataukah mereka lebih mempercayai dan mentaati
undang-undang yang mereka buat sendiri sesuai dengan kemauan mereka dan
kadar kebodohan mereka. ?
2. Di antaranya juga adalah firman Allah:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا
بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن
يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ
َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya
telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." [QS. An
Nisa' :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang
sama mau berhukum dengan selain syari’at Allah. Ibnu Qayyim berkata,
"Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan bahwa siapa saja yang
berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah,
berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut.
Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal
yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghutnya setiap kaum adalah
sesuatu yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya, atau
sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan
dari Allah atau mereka mentaatinya dalam hal yang mereka tidak
mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah."
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan dalam tafsirnya,"
Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman
kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi
terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisihan ia
mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana
disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini ; seorang shahabat anshor
berselisih dengan seorang yahudi. Si Yahudi berkata, "Pemutus
perselisihanku denganmu adalah Muhammad." Si shahabat Anshar berkata, "
Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka'ab bin Al Asyraf." Ada juga
yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafiq
yang menampakkan keislaman mereka namun mau berhukum kepada para
pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini.
Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini
mencela orang yang berpaling dari Al Qur'an dan As Sunah dan malahan
berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut
dalam ayat ini."
Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi mengatakan, "Maka barang siapa
bersaksi laa ilaaha illa Allah kemudian berpaling dan berhukum kepada
selain Rasul shallallahu 'alaihi wa salam dalam persoalan-persoalan yang
diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya."
Lalu bagaimana dengan negara kita ? apakah setiap kali ada
permasalahan atau yang lain mereka berhukum kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah ? ataukah mereka kembali kepada hukum yang mereka buat
sendiri. Jawabannya jelas dan kesimpulannya pun sangat jelas.
3. Di antaranya juga adalah firman Allah;
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." [QS.
An Nisa': 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah
sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan
tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan ada-tu
nafyi dan dengan sumpah.
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya," Allah Ta'ala bersumpah
dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman
sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang
diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan
batin."
Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini :
“Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri
hamba-hamba-Nya sehing-ga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus
segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara
yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup
sebagai tanda adanya iman, na-mun lebih dari itu Allah menyatakan tidak
adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat
dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini
cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan
sepenuh penerimaan dan ketundukan."
4. Firman Allah Ta'ala :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ
حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih
baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?" [QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu
perundang-undangan dan sistem jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah,
yaitu syari’at dan sistem Allah. Jika syari’at Allah adalah apa yang
dibawa oleh Al Qur'an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu
kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunah?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Perhatikanlah ayat yang
mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja.
Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian
jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang
jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka
lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang
jahiliyah tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara
para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa
Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman
mengenai orang-orang seperti mereka:
“Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan
bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
“Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam
yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian
malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa
nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa
bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut
jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari sistem
perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat
undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan
perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti
sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya
juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan
hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh
keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas
berhukum kepada Al Qur'an dan As Sunah . Barang siapa berbuat demikian
maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada
hukum Allah dan Rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik
dalam masalah yang banyak mau pun sedikit.”
Tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini,
justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar,
sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar 'Alamah Syaikh Ahmad
Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Ketika berhukum dengan Ilyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi
ketika mereka berhukum dengan Ilyasiq ini dan mendahulukannya atas
kitabullah dan sunah Rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan
mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu
Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H, "Pada tahun itu kaisar
Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam
dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah.
Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan
menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam.
Ia berganti nama Mahmud…"
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, “Terjadi perdebatan
tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan
keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang
yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka
Syaikh Taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka termasuk jenis Khawarij
yang keluar dari Ali dan Mu'awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak
memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin
lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam
kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal
yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam
lainnya."
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa
Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat, "Jika
kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf,
maka bunuhlah aku."
Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak
benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan
Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh
memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu
tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan
wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan
Ilyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan
undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri
umat Islam. Karena itu, Syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini
dengan istilah Ilyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam.
5. Firman Allah Ta’ala :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءٌ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ
يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyari’atkan (menetapkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah?" [QS. Asy Syura :21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti
telah mengangkat dirinya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berkata
dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini, "Maksudnya mereka tidak
mengikuti dien yang lurus yang disyari’atkan Allah. Namun mereka
mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia
mereka, berupa pengharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta
penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan
lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan,
pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak."
6. Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani :
اِتَّـــخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ
اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمــــَآأُمِرُوْا إِلاَّ
لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ
عَمـــَّا يُشْرِكُوْنَ
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih
putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha
Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan." [QS. At Taubah : 31].
Sudah sama-sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada
para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mereka
dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Hal ini telah
diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi
(3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani
dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan,
"Mereka tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendeta menghalalkan
sesuatu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta
mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya." Imam
Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali
dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A'yun, ia tidak dikenal
dalam dunia hadits."
Hadits ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu'
Fatawa VII/67 dan Syaikh Nashirudin Al Albani dalam Ghayatul Maram
halaman 20, sementara sebagian ulama lain melemahkannya. Apapun
keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan
pendapat dalam hal ini. Pengarang Fathul Majid mengatakan tentang ayat
ini, "Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati
selain Allah dan Rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan
As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan
apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah
dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah
mengangkat orang tersebut sebagai rabb, sesembahan dan menjadikannya
sebagai sekutu Allah…"
7. Di antara dalil lainnya adalah firman Allah :
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُـــمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka
tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musyrikin berkata kepada kaum
muslimin,"Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian
memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh
Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang
Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir
berkata, "Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syari’atnya
kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan
undang-undang selain-Nya atas syari’at-Nya, maka ini adalah syirik.
Sebagaimana firman Allah," Mereka menjadikan para pendeta dan ahli
ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah..."
Tidak diragukan lagi mengikuti Undang-Undang Dasar ‘45 yang
menihilkan syari’at Allah merupakan sikap berpaling dari syari’at dan
ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif
tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia. Syaikh Syanqithi dalam
tafsirnya saat menafsirkan firman Allah:
وَلاَ يُشْرِكُ فِيْ حُكْمِهِ أَحَدًا
"Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan
keputusan." [QS. Al Kahfi :26].
Beliau berkata, "Dipahami dari ayat ini "Dan tidak mengambil
seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan" bahwa
orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain
apa yang disyari’atkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah.
Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah
tentang orang yang mengikuti tasyri' (aturan-aturan) setan yang
menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah :
وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ
لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama
Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasiqan. Dan
sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka
tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik." [QS. Al An'am :121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat
keputusan yang menyelisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah
ketaatan dan mengikuti tasyri' (peraturan-peraturan) yang menyelisihi
syari’at Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam
ayat,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَابَنِي ءَادَمَ أَن لاَّتَعْبُدُوا
الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا
صِرَاطٌ مُّسْتَقِيمٌ
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam
supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan? Sesungguhnya
setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku.
Inilah jalan yang lurus." [QS. Yasin :60-61]."
8. Telah menjadi ijma' ulama bahwa menetapkan undang-undang selain
hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir
akbar yang mengeluarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang
Ilyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar :
"Barang siapa meninggalkan syari’at yang telah muhkam yang diturunkan
kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada
syari’at-syari’at lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka
ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada
Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah? Siapa melakukan hal itu
berarti telah kafir menurut ijma' kaum muslimin."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Sudah menjadi pengetahuan
bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum
muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dinul Islam
atau mengikuti syari’at (perundang-undangan) selain syari’at nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti
kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al Kitab dan mengkafiri
sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya
orang-orang yang kafir dengan Allah dan para Rasul-Nya dan bermaskud
membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya ..."
{QS. An Nisa' :150}.
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa," Manusia kapan saja
menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan
hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syari’at Allah yang
telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama."
Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya
telah disepakati? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang
kehalalannya telah disepakati? Orang yang melihat kondisi mereka akan
mengerti betul akan hal ini. Insya Allah.
Syaikh Syanqithi dalam Adhwaul Bayan dalam menafsirkan firman Allah,
"Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik." Ini
adalah sumpah Allah Ta'ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang
mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan
kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma' kaum
muslimin."
Abdul Qadir Audah mengatakan, "Tidak ada perbedaan pendapat di antara
para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa
tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta
dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati
seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud,
meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak
diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari
penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin."
Demikianlah…nash-nash Al Qur'an yang tegas ini disertai ijma' yang
telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang
bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada
selain syari’at Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah.
Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas bahwa berhukum dengan
selain hukum Allah adalah kafir duna kafir (kafir asghar) tidak berlaku
atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha'
(menetapkan vonis atas sebuah kasus), jadi kafir asghar terjadi pada
menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti
hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap
mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum
Allah atas syari’at Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka
selain syari’at Islam.
Fatwa para ulama kontemporer
3. Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin,
"Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan
undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh
ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan
dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia
dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman
Allah :
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيــــــلاً
"…Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…"
[Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].
Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama,
"Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat
di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat
bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara
mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur'an dan As Sunah,
dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para
hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan
segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui
keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari
hal ini? Penentangan mana lagi terhadap Al Qur'an dan As Sunah yang
lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat
"Muhammad adalah utusan Allah" mana lagi yang lebih besar dari hal
ini?"
4. Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang
IlYasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di
depan, "Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari Al Hafidz
Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif
yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian
melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah?
Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum Ilyasiq
hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat
Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat
ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat
Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam
ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Ilyasiq yang ditetapkan oleh
seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya….Sesungguhnya
urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong,
yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada
yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya
muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya.
Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya
sendiri."
Beliau juga mengatakan :
“ UUD yang ditetapkan musuh-musuh Islam dan mereka wajibkan atas kaum
muslimin.. pada hakekatnya tak lain adalah agama baru, mereka
membuatnya sebagai ganti dari agama kaum muslimin yang bersih dan mulia,
karena mereka telah mewajibkan kaum muslimin mentaati UUD tersebut,
mereka menanamkan dalam hati kaum muslimin rasa cinta kepada UU
tersebut, mensakralkannya dan fanatisme dengannya sampai akhirnya
terbiasa dikatakan melalui lisan dan tulisan kalimat-kalimat "
Pensakralan UUD", " Kewibawaan lembaga peradilan " dan kalimat-kalimat
semisal. Lalu mereka menyebut UUD dan aturan-aturan ini dengan kata
"fiqih dan faqih" "tasyri' dan musyari' " dan kalimat-kalimat semisal
yang dipakai ulama Islam untuk syariah Islam dan para ulama syariah."
5. Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam tafsirnya ketika
menafsirkan firman Allah, "Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu
Allah dalam menetapkan keputusan." [QS. Al Kahfi :26] dan setelah
menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan
undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata,
"Dengan nash-nash samawi yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa
orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh
setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Allah
syari’atkan melalui lisan Rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan
kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah
hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka."
Syaikh Al Syinqithi juga berkata :
" Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik
dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tak ada perbedaan
antara keduanya. Orang yang mengikuti UU selain UU Allah dan tasyri'
selain tasyri' Allah adalah seperti orang yang menyembah berhala dan
sujud kepada berhala, antara keduanya sama sekali tidak ada perbedaan
dari satu sisi sekalipun,. Keduanya satu (sama saja) dan keduanya
musyrik kepada Allah."
6. Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas
Zadul Mustaqni', yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma'rifati
Dalil, mengatakan, "…Berhukum dengan hukum-hukum positif yang
menyelisihi syari’at Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran,
kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan
hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam
secara keseluruhannya ; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya
dan aturan-aturannya. Berhukum dengan selain hukum Allah berarti
berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti
berhukum dengan hukum-hukum thaghut…tak ada bedanya antara ahwal
sakhsiah (masalah nikah,cerai, ruju'--pent) dengan hukum-hukum bagi
individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga
hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang
Maha Agung."
7. Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau "Naqdu Al Qaumiyah
Al 'Arabiyah " (Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, "Alasan
keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab : seruan
kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme
arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur'an.
Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah
ridha bila Al Qur'an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para
pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang
menyelisihi hukum Al Qur'an . Hukum positif tersebut menyamakan
kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal
ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang
besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad."
8. Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, "Siapa menetapkan
undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan
hukum Allah ; berarti telah keluar dari milah dan kafir."
9. Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam komentar beliau atas Fathul
Majid mengatakan, "Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf
bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan
menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya…Tidak diragukan lagi, termasuk dalam
kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar
syari’at Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang dtetapkan oleh
manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk
menihilkan syari’at Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba,
zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini
menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya.
Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana
orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…"
Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid saat mengomentari perkataan
Ibnu katsir tentang Ilyasiq, "Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk
lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang
mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas
kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah
kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada
hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan
lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya,
sama sekali tak bermanfaat ba-ginya…".
8- Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, "Barang siapa
tidak berhukum de-ngan hukum yang diturunkan Allah karena menganggap
hukum Allah itu sepele, atau me-remehkannya, atau meyakini bahwa selain
hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir
dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk dalam golongan
ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan
yang menyelisihi syari’at Islam, supaya menjadi sistem
perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-unda-ngan
yang menyelisihi syari’at Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa
perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah
menjadi askioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling
dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini
kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan."
9- Syaikh Abu Shuhaib Abdul Aziz bin Shuhaib Al Maliki sendiri telah
mengumpulkan fatwa lebih dari 200 ulama salaf dan kontemporer yang
menyatakan murtadnya pemerintahan yang menetapkan undang-undang positif
sebagai pengganti dari syariah Islam, dalam buku beliau Aqwaalu Aimmah
wa Du’at fi Bayaani Riddati Man Baddala Syariah Ninal Hukkam Ath
Thughat.
Kedua: Indonesia berpaham Demokrasi Pancasila yang mana kekuasaan
tertinggi yang diakui oleh Indonesia adalah kekuasaan rakyat yang
diwakili oleh MPR.
Di dalam buku pelajaran PPKn untuk MA dan SMU kelas tiga semester
satu yang sesuai dengan kurikulum 1994 pada Bab 4 masalah ketaatan
disebutkan:
“Ketaatan adalah kesadaran melaksanakan peraturan yang dilandasi
etika baik, keikhlasan hati, kejujuran dan tanggung jawab.
Konsensus adalah kesepakatan atau permufakatan bersama yang dicapai
melalui kebulatan pendapat. Consensus di negara kita berdasar demokrasi
pancasila yang norma dasarnya adalah UUD 1945. untuk mendapatkan
consensus yang bermutu tinggi maka yang diutamakan adalah hikmat
kebijaksanaan, penalaran pikiran yang sehat, prinsip kebenaran dan
keadilan serta kepentingan rakyat.
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. (Abraham Lincoln).
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dijiwai oleh dan
diintegrasikan dengan keseluruhan sila-sila pancasila. Dalam demokrasi
Pancasila, suatu keputusan tidak harus berdasrkan kemenangan atas dasar
jumlah suara, tidak ditentukan oleh kekuatan yang lebih besar tetapi
yang diutamakan adalah hikmat kebijaksanaan, penalaran pikiran yang
sehat, atau kebulatan yang berdasarkan kepada kesepakatan atau
konsensus.
Berkata Yahya Muhaimin dalam makalah yang bertema Pembinaan Demokrasi
di Indonesia :” Rasionalitas dan Demokrasi pada prinsipnya merupakan
sifat yang universal dari setiap system yang demokratis, implikasi dari
karakteristik ini adalah perundang-undangan dan hukum disamping
operasinal juga supreme dan otonom untuk mengatur hubungan antara
penguasa dengan anggota masyarakat, dan untuk membatasi beraneka ragam
kepentingan didalam masyarakat, lemahnya dimensi yang rasional ini akan
menyebabkan Demokrasi kehilangan eksistensinya yang hakiki, dilain segi
kerikatan system demokrasi pada nilai cara berpikir dan pandangan
anggota masyarakat akan menjadikan sebagai satu system yang operasinal.
Dia akan merupakan satu mekanisme yang efektif dan bahkan efisien dalam
meneentukan bagaimana tujuan bersama itu hendak dicapai, siapa yanga
selayaknya melakukannya, dan kelompok mana saja yang kepentingannya dan
saran – sarannya pada suatu saat tertentu paling relevan untuk
dipertimbangkan dalam struktur politik kehidupan bangsa Indonesia dan
nilai-nilai kemasyarakatannya, maka operasionalisasi dan aktualisasinya
demokrasi di Indonesia mendasarkan diri disamping pada kerangka berpikir
dan pola tingkah laku anggota masyaraka Indonesia juga pada
undang-undang dasar 1945 yang kesemuanya secara garis besar dan sangat
umum tercakup dalam pancasila”.
Dasar hukum bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi adalah:
3. Pancasila sila keempat
4. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat
5. Batang tubuh UUD 1945 pasal 1 ayat 2
6. Penjelasan UUD 1945, pokok pikiran ketiga.
Pancasila sila keempat berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Batang tubuh UUD 1945 pasal 1 ayat 2 berbunyi: “Kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.”
Yang kemudian di dalam penjelasannya dikatakan :”MPR adalah
penyelenggara negara yang tertinggi. Majlis ini dianggap sebagai
penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara.
Penjelasan UUD 1945, pokok pikiran ketiga diantaranya
berbunyi:”Kekuasaan Negara yang tertinggi ditangan MPR. Kedaulatan
Rakyat dipegang oleh suatu badan bernama Majlis Permusyawaratan Rakyat,
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majlis ini menetapkan
Undang Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar halaun negara.”
Dan juga dalam pasal 2 ayat 3 yang berbunyi: “Segala putusan MPR
ditetapkan dengan suara terbanyak.”
Sesungguhnya perbedaan Islam dengan demokrasi adalah perbedaan yang
sangat prinsip. Demokrasi adalah sebuah dien, sebagaimana Yahudi,
Nasrani, Komunisme, Hindu, Budha dan lainnya. Kesyirikan dan kekufuran
demokrasi nampak jelas bila ditimbang dengan timbangan Islam.
3- Demokrasi tertolak sejak dari sumbernya.
Konsep demokrasi muncul dari masyarakat Yunani Kuno, yaitu ketika
filosof Pericles mencetuskan konsep ini pada tahun 431 SM. Beberapa
filosof lain seperti Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero ikut
menyempurnakan konsep ini. Meski demikian selama ratusan tahun konsep
ini tidak laku. Demokrasi baru diterima dunia Barat 17 abad kemudian,
yaitu pada masa Renaisance dipelopori oleh filosof Machiaveli
(1467-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704),
Montesquie (1689-17550 dan Jean Jackues Rousseau (1712-1778) sebagai
reaksi atas keotoriteran monarki dan gereja.
Sumber demokrasi jelas para filosof bangsa penyembah berhala yang
tidak mengenal Allah dan Rasulullah. Konsep ini baru diterima manusia
1700 tahun semenjak kelahirannya, juga melalui para filosof Nasrani
Eropa. Dari sini jelas, Islam menolak demokrasi karena konsep ini lahir
semata-mata dari akal orang-orang kafir, sama sekali tidak berlandaskan
wahyu dari Allah Ta’ala.
Islam adalah satu-satunya dienul haq. Keberadaannya telah menasakh
(menghapus) syariat yang dibawa oleh para nabi terdahulu. Dengan
demikian, setiap manusia wajib memeluk Islam dan mengikuti syariat
Rasulullah. Suatu hari Rasulullah marah besar karena melihat Umar masih
membawa-bawa dan mempelajari Taurat :
وَالَّذِِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ
هَذِهِ الْأُمَّةِ لَا يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ
وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّتِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَهْلِ
النَّارِ
“Demi Dzat yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya. Tak seorangpun
dari umat ini yang mendengarku (dakwahku), tidak Yahudi tidak pula
Nasrani, kemudian dia mati dan tidak beriman dengan risalah yang aku
diutus dengannya kecuali ia menjadi penduduk neraka.” [HR. Muslim,
Silsilah Ahadist Shahihah no. 157, Shahih Jami’ Shaghir no. 7063].
(لَوْ نَزَلَ مُوْسَى فَاتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِي
لَضَلَلْتُمْ ).
“ Seandainya Musa turun dan kalian mengikutinya serta meninggalkanku
pastilah kalian tersesat.” [HR. Ahmad, dihasankan syaikh Al Albani dalam
Shahih Jami’ Shaghir no 5308 dan Irwaul Ghalil no. 1589].
Mempelajari kitab samawi wahyu Allah saja dimarahi, lantas bagaimana
dengan mempelajari, menganut dan memperjuangkan system demokrasi yang
murni hasil otak kaum penyembah berhala ? Jika syariah Nasrani dan
Yahudi telah dinasakh dengan kehadiran Islam, bukankah ajaran jahiliyah
penyembah berhala yang bernama demokrasi ini lebih dinasakh lagi ? Tak
diragukan lagi, mereka yang mengikuti ajaran jahiliyah ini dengan penuh
kerelaan dan kebanggaan merupakan orang yang paling dimurkai Allah
Ta’ala :
أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى الله ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ
وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَاِم سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَلِّبُ دَمِ
امْرِئٍ بِغَيْرِحَقٍّ لِيُهْرِيْقَ دَمَّهُ.
“ Manusia yang paling dibenci Allah ada tiga ; Orang yang senantiasa
berusaha berbuat haram, orang yang mencari sunah (jalan/sistem) dalam
Islam dan orang yang menuntut darah orang lain tanpa alasan yang benar
demi menumpahkan darahnya. » [HR. Bukhari dalam At Tarikh dan Al
Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 778].
لَيْسَ مِنَّا مَنْ عَمِلَ بِسُنَّةِ غَيْرِنَا
“ Bukan termasuk golongan kami orang yang beramal dengan sunah
(jalan) selain kami.”[HR. Ad Dailami dan Ath Thabrani. Dihasankan syaikh
Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 5439 dan Silsilah Ahadits
Shahihah no. 2194].
2. Menerima demokrasi berarti mendustakan Al Qur’an, As Sunah dan
ijma’ kaum muslimin yang tegas menyatakan kesempurnaan Islam.
Al Qur’an secara tegas telah menyatakan Islamlah satu-satunya dienul
haq yang diridhoi Allah Ta’ala (QS. Ali Imran :19,83,85, Al Maidah:3),
Al Qur’an telah memuat dan menjelaskan segala hal yang dibutuhkan
manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka (QS. An Nahl :89) dan
Al Qur’an sama sekali tidak memuat kebatilan (QS. Al Fushilat :42).
Shahabat Ibnu Abbas berkata saat menafsirkan QS. Al Maidah ayat 3,”
Itulah Islam.Allah mengkabarkan kepada nabi-Nya dan kaum mukmin bahwa Ia
telah menyempurnakan syariat iman maka mereka tidak membutuhkan lagi
tambahan untuk selama-lamanya. Allah telah menyempurnakannya maka Allah
tidak akan menguranginya selama-lamanya. Allah telah meridhainya maka
Allah tidak akan membencinya selama-lamanya.”
Rasulullah juga telah menerangkan segala kebajikan dan keburukan
secara detail. Beliau telah memberi petunjuk dan tauladan di segala
bidang kehidupan, sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali, sejak
dari urusan negara yang rumit hingga urusan WC yang kelihatannya remeh.
عن أبي ذر ( تَرَكَنَا رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم وَمَا مِنْ
َطائِرٍ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا
مِنْهُ عِلْمًا. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : مَا بَقِيَ
شَيْءٌ يُقَرِّبُ إِلَى الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ عَنِ النَّارِ إِلَّا
وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ).
Abu Dzar berkata,” Rasulullah meninggalkan kami dan tak ada seekor
burung yang menggepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau
menyebutkan ilmunya kepada kami. Beliau bersabda,” Tak tersisa suatu
perkara pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali
telah diterangkan kepada kalian.” [HR. Ath Thabrani, Al Bazzar dan
Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 1803].
(قَدْ َتَركْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا سَوَاءٌ
لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ)
“ Aku telah meninggalkan kalian diatas jalan yang terang. Malamnya
sama dengan siangnya. Tak ada seorangpun yang menyeleweng dari jalanku
kecuali ia akan binasa (tersesat).” [HR. Ibnu Majah. Dishahihkan syaikh
Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 41, Silsilah Ahadits
Shahihah no. 937, Shahih At targhib wa Tarhib no.58].
Alangkah memilukannya jika sebagian ulama dan aktivitas Islam
mempelopori umat Islam untuk memperjuangkan Islam dengan demokrasi.
Sungguh, ini pertanda goyahnya keimanan kepada Al Qur’an dan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salam. Sungguh, ini tuduhan tersembunyi bahwa
Allah dan Rasulullah tidak memberi petunjuk tentang masalah system
kenegaraan dan politik. Amat memilukan, berjuang demi Islam namun
meragukan kesempurnaan Islam yang diperjuangkannya. Imam Abu Hibatullah
Ismail bin Ibrahim Al Khathib Al Azhari berkata :
“ Siapa mengira bahwa syariat yang sempurna ini ---di mana tidak
pernah ada di dunia ini syariat yang lebih sempurna darinya --- kurang
(tidak) sempurna, memerlukan system lain dari luar yang melengkapinya,
maka ia seperti orang yang mengira bahwa umat manusia memerlukan rasul
selain rasul mereka (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Salam) yang
menghalalkan untuk mereka apa yang baik-baik dan mengharamkan atas
mereka hal-hal yang keji.”
3. Demokrasi membatalkan Tauhid.
Tauhid Rububiyyah : Dalam demokrasi, kekuasaan tertinggi mutlak
berada di tangan rakyat melalui wakilnya (MPR/parlemen). Halal adalah
apa yang dihalalkan wakil rakyat, haram adalah apa yang diharamkan oleh
wakil rakyat. Rakyat melalui wakilnya menjadi rabb yang ditaati selain
Allah dari sisi tasyri, tahlil dan tahrim. Wakil rakyat menetapkan
undang-undang yang mengatur kehidupan manusia dan mempunyai kekuatan
mengikat. Siapa melanggar akan dihukum. Ini jelas kesyirikan dan
merampas hak rububiyah Allah Ta’ala. (QS. Yusuf :40, Al Kahfi :26, Asy
Syura :10,21, Al An’am :118, Al Maidah :59, AT Taubah:31). Dalam hal ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“ Siapa meminta untuk ditaati bersama Allah maka berarti ia telah
menginginkan manusia mengangkatnya menjadi tandingan selain Allah yang
dicintai sebagaimana mereka mencintai Allah, padahal Allah telah
memerintahkan untuk tidak beribadah kecuali kepada-Nya dan dien hanyalah
hak Allah semata.”
Tauhid Asma’ wa Sifat. Di antara nama Allah Ta’ala yang husna (indah)
adalah Al hakam (Yang Maha Memutuskan dengan keadilan). Allah Ta’ala
adalah hakim yang paling berkuasa dan paling adil (Qs. Al A’raaf: 87, At
Tiin:8). Mengimani nama Allah yang agung ini menuntut setiap muslim
untuk mentauhidkan Allah dalam hal tasyri’, tahlil dan tahrim serta
berhukum dengan syariat Islam semata. Demokrasi menghancurkan kaedah
tauhid asma’ wa sifat ini :
Wakil rakyat mempunyai kemerdekaan penuh untuk menetapkan hukum tanpa
berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunah. Ia bebas mengharamkan hal yang
dihalalkan ijma’ dan menghalalkan hal yang keharamannya telah ditetapkan
ijma’. Halal dan haram, wajib dan dilarang berada ditangan wakil
rakyat. Dengan demikian, wakil rakyat bebas mau menjalankan atau menolak
syariat Allah. Nasib hukum Allah berada ditangan para wakil rakyat dan
menjadi bahan permainan dan ejekan mereka. Dengan demikian, wakil rakyat
adalah raja di atas raja, penguasa di atas penguasa.
إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ الله رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ
لَا مَالِكَ إِلَّا الله
“ Sesunggguhnya nama yang paling dibenci Allah adalah seorang
laki-laki yang menamakan dirinya raja di atas raja. Tidak ada raja
kecuali Allah.” [HR. Bukhari no. 6206 dan Muslim no. 2143].
Tauhid Uluhiyah : Tauhid uluhiyah menuntut setiap individu untuk
mentaati hukum Allah dan mengikuti manhaj-Nya. Demokrasi menghalangi
manusia untuk mentaati hukum Allah dan memaksa manusia untuk mentaati
segala aturan wakil rakyat dalam masalah tahlil dan tahrim. Manusia
diperbudak untuk beribadah kepada rabb-rabb baru bernama wakil rakyat,
sebagaimana ketaatan orang Yahudi dan Nasrani kepada aturan para pendeta
mereka. Manusia digiring untuk berbuat syirik dalam masalah hukum.
Dalam hal ini, syaikh Syanqithi berkata :
“ Berbuat syirik kepada Allah dalam masalah hukum dan berbuat syirik
dalam masalah beribadah itu maknanya sama, sama sekali tidak ada
perbedaan di antara keduanya. Orang yang mengikuti perundang-undangan
selain hukum Allah dan tasyri’ selain tasyri’ Allah adalah seperti orang
yang menyembah dan sujud kepada berhala. Antara keduanya tidak ada
persebdaan sama sekali dari satu sisi sekalipun. Keduanya satu (sama
saja) dan keduanya musyrik kepada Allah.”
Borok-borok demokrasi lainnya masih banyak, seperti ; kaburnya aqidah
wala’ dan bara’, ta’thil (menihilkan) hukum-hukum jihad dan hukum atas
ahli dzimah, meninggalkan manhaj nabawi dalam asalibu taghyir (metode
merubah kondisi) dan banyak lainnya. Yang jelas, demokrasi adalah sebuah
dien ; rabbnya adalah rakyat (MPR/parlemen), kitab sucinya adalah teori
kontrak sosial dan trias politika, sementara nabinya adalah Pericles,
Montesquie dan Jean Jackues Roeuseu. Mustahil Islam bertemu dengan
demokrasi.
Demokrasi jelas-jelas merupakan sebuah system yang bertentangan
dengan Islam. Karena itu, para ulama sepakat menyatakannya sebagai
sebuah dien kafir yang bertolak belakang dengan Islam. Dalam hal ini,
para ulama telah nmengarang banyak buku, seperti : Syaikh Abdul Ghani
bin Muhammad bin Ibrahim Ar Rahhal dalam bukunya Al Islamiyyun wa Sarabu
Dimuqrathiyah ( Muassasatul Mu’taman, 1409 H ). Syaikh Abdul Mun’im
Musthafa Halimah dalam beberapa bukunya antara lain Hukmul Islami Fil
Dimuqrathiyati wa At Ta’adudiyyati Al Hizbiyyati (Al Markazu Ad Dauli
Lid Dirasat Al Islamiyyah, 1420 H), Dr. Sholah Showi dalam beberapa
bukunya antara lain Ats Tsawabit wal Mutaghayirat fi Masiratil ‘Amal Al
Islamy Al Muashir ( Al Muntada Al Islamy, 1414 H ), Syaikh Abu Muhammad
‘Ashim Al Maqdisi dalam beberapa bukunya seperti Ad Dimuqrathiyatu
Dienun, Syaikh Sa’id Abdul Adzim dalam bukunya Ad Dimuqrathiyatu fil
Mizan ( Daarul Furqan), Syaikh Muhammad Syarif Syakir dalam bukunya
Haqiqatu Ad Dimuqrathiyah (Daarul Wathan, 1412 H) dan banyak ulama
lainnya.
Ketiga: Indonesia meletakkan hukum Wala’ (loyalitas) bersarkan negara
bukan atas dasar keimanan.
Dalam permasalah loyalitas, negara Indonesia berfaham nasionalis yang
menyesatkan. Semua penduduk Indonesia mempunyai status yang sama, baik
yang beragama Islam maupun yang beragama yang lain. Mereka semuanya
mempunyai hak yang sama dan wajib mengadakan kerukunan. Sebagaimana yang
sering didengng-dengungkan ada tiga kerukunan yang harus diwujudkan
yaitu:
• Kerukunan hidup intern umat beragama
• Kerukunan antarumat beragama, dan
• Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
Hal ini dapat disimpulkan dari :
3. Lambang garuda pancasila tertulis semboyan yang berbunyi
:”Bhinneka Tunggal Ika.” Yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua.
Meskipun beda suku, beda ras dan begitu pula beda agama namun tetap
satu jua, yaitu selama sama-sama warga negara Indonesia, maka tidak ada
bedanya dalam hak dan kewajiban. Semuanya sama di hadapan hukum tanpa
terkecuali.
4. Pancasila sila ke-3 yang berbunyi:” Persatuan Indonesia.”
5. Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 27 ayat 1 yang berbunyi :”Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
6. Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi:”Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.”
7. Pasal 28 ayat 3 yang berbunyi:”Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Hal ini menunjukkan bahwasanya agama dan keimanan tidak ada
pengaruhnya sama sekali dalam hak dan kewajiban seseorang. Siapapun
orangnya dan apapun agamanya asalkan ia warga negara Indonesia maka ia
mempunyai hak yang sama dan kedudukan yang sama pula dihadapan hukum.
Dan hal ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam dan dapat membatalkan
Islam seseorang yang beridiologi seperti ini.
Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَتَّخِذُوا ءَابَآءَكُمْ
وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى
اْلإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa yang di antara kamu yang menjadikan
mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(At-Taubah; 23)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah :52).
At-Thobari berkata: Barangsiapa berwala’ dan menolong mereka dalam
memusuhi orang-orang beriman maka ia termasuk penganut agama mereka
sesungguhnya tidak ada seorangpun yang berloyal kepada orang lain
kecuali ia bersamanya dan menganut agama dia serta rela
terhadapnya.sedangkan jika ia rela kepadanya dan kepada agamanya maka ia
telah memusuhi apa yang menyelisihi, memusuhi dan membencinya. Maka
secara hukum ia sama dengan orang yang ia berwala’ kepadanya.
Al Qurtubi berkata : Barang siapa diantara kalian berwala’ kepada
mereka, maka kalian telah membantu mereka dalam memusuhi kaum Muslimin.
Sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, Alloh menerangkan bahawasanya
secara hukum ia sama dengan mereka, dengan hal ini menjadikan tidak
berhak mendapatkan warisan dari perang murtad, hukum ini terus-menerus
berlaku sampai hari qiamat, diantara orang yang termasuk dalam golongan
mereka adalah Abdulloh bin Ubay.
Ibnu Hazm berkata : Benarlah bahwasanya maksud dari firman Allah :
Barang siapa diantara kalian yang berwala’ kepada mereka sesungguhnya
dia termasuk golongan mereka” adalah sebagaimana dhohirnya yaitu
sesungguhnya dia kafir dan termasuk dalam golongan orang-orang kafir.
Perkataan ini adalah haq dan tidak ada yang memperselisihankannya di
kalangan kaum Muslimin.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: Para ulama’ Islam telah berijma’
bahwasanya barang siapa membantu dan menolong orang-orang kafir dalam
memusuhi orang Islam dengan bentuk apapun, maka ia telah kafir seperti
mereka. Sebagai mana firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah :52).
Diantara ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini adalah:
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ
إِلآَّ أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada
Allah kembali (mu). (QS. Ali Imron : 28).
فَمَالَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللهُ أَرْكَسَهُم بِمَا
كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَن تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللهُ وَمَن يُضْلِلِ
اللهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً، وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا
كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَآءً فَلاَ تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ
حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَلاَتَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا
وَلاَ نَصِيرًا
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi)
orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka pada
kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri Apakah kamu bermaksud memberi
petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah Barangsiapa
yang telah disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan
(untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi
kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama
(dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka
penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka
jika mereka berpaling, tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi
pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,” (QS. An Nisaa’ :88-89).
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat
siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu Maka sesungguhnya
semua kekuatan kepunyaan Allah”. (QS. An Nisa’: 138-139).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِم
مَّاهُم مِّنكُمْ وَلاَمِنْهُمْ وَيَحْلِفُونَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ
يَعْلَمُونَ، أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا إِنَّهُمْ سَآءَ
مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Tidaklah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang
dimurkai Allah sebagai teman. Orang-orang itu bukan dari golongan kamu
dan bukan (pula) dari golongan mereka.Dan mereka bersumpah untuk
menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan
bagi mereka azab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang
telah mereka kerjakan”. (QS. Al Mujadalah: 14-15).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإِخْوَانِهِمُ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ
لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلاَنُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن
قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munafik yang
berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli
kitab:"Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama
kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk
(menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu
kamu".Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar
pendusta”. (QS. Al Hasyr: 11).
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ
يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَنيَأْتِيَ
بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا
فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani),
seraya berkata:"Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah
akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan
dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa
yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”. (ََQS. Al Maidah:53).
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ
يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ
أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ
كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ
أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga
pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al
Mujadilah : 22)
Alloh berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا
بِاللهِ وَحْدَهُ إْلاَّ قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ ِلأَبِيهِ لأَسْتَغْفِرَنَّ
لَكَ وَمَآأَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ مِن شَىْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ
تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada
kaum mereka:"Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang
kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada
bapaknya:"Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku
tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim
berkata):"Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya
kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami
kembali, “ (Al-Mumtahanah: 4)
Alloh berfirma:
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ
يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ
أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.“
(Al-Mujadalah:22)
Keempat: Mereka menganut paham sekuler dan mempraktekkan sekulerisme.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa sekulerisme merupakan paham
kekafiran. Barang siapa menganutnya, ia telah kafir keluar dari Islam.
Dalam hal ini, beberapa ulama telah menulis buku khusus tentang kafirnya
orang-orang sekuler, seperti syaikh Muhammad Syakir Syarif dalam
bukunya Al Ilmaniyatu wa Tsimaruha Al Khabitsah, Syaikh Muhammad Abdul
Hadi Al Mishri dalam bukunya Mauqifu Ahli Sunah Minal Ilmaniyah ‘Awa’iqu
Inthilaqah Al Kubra, syaikh Muhammad Quth dalam bukunya Al Ilmaniyatu,
Syaikh Safar Abdurahman Al Hawali dalam bukunya Al Ilmaniyatu dan banyak
ulama lainnya.
Syaikh Muhammad Syakir Syarif menyebutkan dua bentuk sekulerisme hari
ini, yaitu sekulerisme atheis (mengingkari adanya Allah Ta’ala) dan
sekulerisme non atheis. Setelah menerangkan masing-masing bentuk, beliau
mengatakan :
والخلاصة : أن العلمانية بصورتيها السابقتين كفر بواح لاشك فيها ولا
ارتياب ، وأن من آمن بأي صورة منها وقبلها فقد خرج من دين الإسلام والعياذ
بالله ، وذلك أن الإسلام دين شامل كامل ، له في كل جانب من جوانب الإنسان
الروحية ، والسياسية ، والاقتصادية ، والأخلاقية ، والاجتماعية ، منهج واضح
وكامل ، ولا يقبل ولا يُجيز أن يشاركه فيه منهج آخر ، قال الله تعالى
مبينًا وجوب الدخول في كل مناهج الإسلام وتشريعاته : يا أيها الذين آمنوا
ادخلوا في السلم كافة . وقال تعالى مبينًا كفر من أخذ بعضًا من مناهج
الإسلام ، ورفض البعض الآخر ، أفتؤمنون ببعض الكتاب وتكفرون ببعض فما جزاء
من يفعل ذلك منكم إلا خزي في الحياة الدنيا ويوم القيامة يردون إلى أشد
العذاب وما الله بغافل عما تعملون .
“ Kesimpulannya : Sekulerisme dengan kedua bentuknya tadi merupakan
sebuah kekafiran yang sangat nyata, tak ada keraguan sedikitpun tentang
hal ini. Dan bahwasanya siapa pun yang mempercayai salah satu dari kedua
bentuk ini, berarti telah keluar dari Islam --naudzu billah---. Hal ini
karena Islam merupakan sebuah dien yang syamil. Islam mempunyai manhaj
yang jelas dan sempurna dalam seluruh aspek kehidupan manusia baik aspek
ruhani, politik, ekonomi, moral dan social. Islam tidak membolehkan dan
tidak pula menerima adanya saingan manhaj lain yang mengatur (aspek
kehidupan manusia). Allah ta’ala berfirman tentang wajibnya masuk dalam
seluruh manhaj dan tasyri’ Islam (QS. Al Baqarah ;208). Allah Ta’ala
juga berfirman tentang kafirnya orang yang menerima sebagian manhaj
Islam dan menolak sebagian manhaj Islam lainnya (QS. Al Baqarah ;85).”
والأدلة الشرعية كثيرة جدًا في بيان كفر وضلال من رفض شيئًا محققًا
معلومًا أنه من دين الإسلام ، ولو كان هذا الشيء يسيرًا جدًا ، فكيف بمن
رفض الأخذ بكل الأحكام الشرعية المتعلقة بسياسة الدنيا - مثل العلمانيين -
من فعل ذلك فلاشك في كفره .
والعلمانييون قد ارتكبوا ناقضًا من نواقض الإسلام ، يوم أن اعتقدوا أن
هدي غير النبي - - أكمل من هديه ، وأن حكم غيره أفضل من حكمه .
“ Dalil-dalil syar’i banyak sekali yang menerangkan kafir dan
sesatnya orang yang menolak satu saja dari bagian yang ma’lum mina dien
bi dharurah, sekalipun hal yang ditolak ini sangat remeh sekali. Maka
bagaimana lagi dengan orang yang menolak untuk mengambil seluruh
hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan mengatur dunia ---seperti
orang-orang sekuler ini---. Siapa melakukannya, tak diragukan lagi ia
telah kafir.
Orang-orang sekuler telah melakukan sebuah pembatal-dari
pembatal-pembatal keislaman, ketika mereka meyakini selain petunjuk
Rasulullah lebih sempurna dari petunjuk Rasulullah, dan selain hukum
Rasulullah lebih baik (utama) dari hukum Rasulullah.”
Dr. Sholah Showi menyatakan :
" Sesungguhnya thaghut-thaghut manusia sejak dulu dan kini telah
merampas hak Allah untuk memerintah, melarang dan tasyri' (membuat UU)
tanpa izin Allah. Para pendeta dan ahli ibadah mengakuinya sebagai hak
mereka maka mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal,
dengannya mereka memperbudak manusia dan menjadi tuhan-tuhan selain
Allah. Lalu para raja merebut hak ini dari tangan mereka sampai akhirnya
para raja berbagai hak ini dengan para pendeta dan ahli ibadah itu,
lalu datanglah orang-orang sekuler yang merampas hak ini dari para raja
dan pendeta, mereka pindahkan hak itu kepada lembaga yang mewakili
rakyat yang mereka beri nama Parlemen atau Majleis Perwakilan
(MPR/DPR)."
UUD yang menjadi UUD kebanyakan negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim saat ini—berdasar penelitian terhadap UUD tersebut ---- sudah
keluar dari aqidah mengesakan Allah dalam masalah tasyri’, di mana hak
tasyri’ dan kekuasaan tertinggi (kedaulatan) diserahkan kepada rakyat
atau bangsa. Barangkali UUD ini juga menjadikan penguasa (badan
eksekutif) juga ikut sebagai sekutu dalam hak membuat UU ini, namun juga
terkadang hanya badan legislative saja yang berhak membuat UU. Ini
semua merupakan pembangkangan terhadap Islam yang mewajibkan tunduk
patuh dan menerima dien Allah. Wallahul Musta’anu.
Dr. Sholah Showi berkata lagi tentang pemerintah sekuler :
“ Sesungguhnya kondisi yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat kita
saat ini adalah (a) kondisi pengingkaran terhadap kenyataan bahwa Islam
mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan, dari (b) sejak awal,
syariah Islam dicegah untuk mengatur berbagai aspek kehidupan dalam
negara dan (c) kondisi di mana hak mutlak untuk membuat UU dalam
aspek-aspek kehidupan ini ditetapkan untuk parlemen dan Majelis
Permusyawaratan.
Kita saat ini berada di hadapan suatu kaum yang meyakini kekuasaan
tertinggi (kedaulatan) dan hak mutlak membuat UU berada di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Halal adalah apa yang dinyatakan
halal oleh MPR, haram adalah apa yang dinyatakan haram oleh MPR, wajib
adalah apa yang diwajibkan oleh MPR, UU adalah apa yang ditetapkan oleh
MPR. Suatu perbuatan tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan kecuali
bila melanggar UU yang ditetapkan MPR, tidak dihukum kecuali berdasar UU
ketetapan MPR, dan tidak ada dasar hukum kecuali bunyi teks-teks UU
yang dikeluarkan oleh MPR.
Ujian yang kita alami hari ini, di mana untuk memperbaikinya tidak
bisa dengan sekedar membuang sebagian pasal-pasalnya, atau sebagian
teksnya saja, namun kondisi ini hanya akan menjadi baik dengan cara kita
mulai dengan menetapkan kekuasaan mutlak dan hak membuat undang-undang
tertinggi berada di tangan syariah Islam, dan menetapkan secara tegas
bahwa setiap UU atau ketetapan yang bertentangan dengan syariah Islam
dianggap batil.”
Setelah menjelaskan tentang hakiket sekulerisme, tauhid dan
jahiliyah, Syaikh Abdul Hadi Al Mishri mengatakan :
إن العلمانية باختصار " نظام طاغوتي جاهلي كافر" يتنافى ويتعارض تماماً
مع شهادة "لا إله إلا الله" من ناحيتين أساسيتين متلازمتين:
الأولى: من ناحية كونها - أي العلمانية - حكما بغير ما أنزل الله.
الثانية: من ناحية كونها شركاً في عبادة الله.
إن العلمانية تعني - بداهة- الحكم بغير ما أنزل الله وتحكيم غير شريعة
الله وقبول الحكم والتشريع والطاعة والاتباع من طواغيت من دون الله. فهذا
معنى قيام الحياة على غير الدين أو بعبارة أخرى فصل الدين عن الدولة، أو
فصل الدين عن السياسة، ومن ثم فهي- بالبديهة أيضا- نظام جاهلي لا مكان
لمعتقده ولا لنظامه ولا لشرائعه في دائرة الإسلام. بل هو نظام كافر بنص
القرآن الكريم {ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون} [المائدة:
44].
“ Secara ringkas, sesungguhnya sekulerisme adalah system
(pemerintahan) thaghut jahiliyah dan kafir, keberadaannya meniadakan dan
bertolak belakang dengan syahadat laa ilaa illa Allahu dari dua segi
asasi yang saling berkaitan :
Pertama. Karena sekulerisme berarti berhukum dengan selain hukum
Allah.
Kedua. Karena sekulerisme berarti syirik dalam beribadah.
Sekulerisme berarti menetapkan keputusan dengan selain hukum Allah,
menjadikan selain syariah Allah sebagai undang-undang, menerima al hukmu
(memutuskan perkara), tasyri’ (menetapkan undang-undang), tha’at dan
ittiba’ kepada thaghut. Inilah makna dari tegaknya aspek kehidupan
manusia di atas dasar selain dien, atau dengan bahasa lain memisahkan
negara dari dien, atau denga bahasa lain memisahkan agama dari politik.
Dengan demikian, sekulerisme adalah pemerintahan jahiliyah. Sama sekali
tidak ada tempat dalam Islam bagi para penganut sekulerisme, system
sekulerisme dan perundang-undangan sekuler. Bahkan sekulerisme adalah
pemerintahan kafir dengan nash Al Qur’an (QS. Al Maidah ;44).
Syaikhul Azhar, syaikh Muhammad Khidir Husain berkata :
فصل الدين عن السياسة هدم لمعظم حقائق الدين ولا يقدم عليه المسلمون
إلاّ بعد أن يكونوا غير مسلمين
“ Memisahkan dien dari politik merupakan penghancuran terhadap
sebagian besar ajaran dien dan hal itu tidak mungkin dilakukan oleh kaum
muslimin kecuali setelah mereka tidak beragama Islam lagi (murtad
terlebih dahulu).”
Di bawah judul “memisahkan dien dari negara”, Syaikh Abdurahman bin
Hasan berkata :
«معناها عند من ينادي به: أنّ الدين ليس له علاقة بتسيير أمور الناس،
ولا بسياسة الدولة، فهو محصور في الشعائر التعبّدية فقط دون أن يُعمَلَ به
ويُطبّق في واقع الحياة، وهذه النظريّة الشيطانيّة والتي تُعرَف اليوم
بالعلمانيّة نصّ الأئمّة والعلماء على كفر من يعتقدها، أو يعمل بها ويفضّل
الحكم بالقوانين العلمانيّة الجاهليّة على شرع ربّ البريّة، لأنّ ذلك يناقض
الإيمان، ويضادّ كلمة التوحيد».
“ Maknanya menurut orang yang menyerukan slogan ini adalah dien tidak
mempunyai (hak) hubungan sama sekali dalam mengatur urusan manusia dan
mengatur negara. Dien hanya terbatas dalam urusan ritual ibadah semata,
tanpa dipraktekkan dalam realita kehidupan. Teori setan yang hari ini
dikenal dengan nama sekulerisme ini, para ulama telah menyatakan
kafirnya orang yang menganut paham ini atau mempraktekkannya dan
mengutamakan menghukumi dengan undang-undang positif jahiliyah atas
syariah Allah, karena hal itu membatalkan iman dan kalimat tauhid.”
Kelima: Mereka tidak mengkufuri thaghut.
Kalau kita tanyakan kafirkah orang-orang yang tidak beriman kepada
Alloh dan Rosul-Nya, apa kiranya jawaban mereka ? apakah mereka akan
mengkafirkan orang-orang Kristen dan Katolik ? apakah mereka akan
mengkafirkan orang-orang Hindu dan Budha ? Ataukah mereka mengakui dan
memelihara keberadaan mereka ? Ataukah mereka menganggap sama antara
orang Islam dengan orang selain Islam ? Akankah mereka mereka akan
mengatakan sebagaimana yang Alloh katakan:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فيِ
نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَآ أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang
musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.Mereka
itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah: 5)
Aataukah mereka akan mengatakan bahwa semua agama itu sama ?
Para ulama sepakat bahwasanya iman tidak sah bila tidak disertai
dengan sikap kufur kepada thaghut. Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisi
mengatakan :
ومعلوم أن هؤلاء الحكام لا يكفرون بطواغيت الشرق والغرب ولا يتبرؤون
منهم بل هم بهم مؤمنون تولّوهم وتحاكموا إليهم في فضِّ الخصومة والنزاع
وارتضوا أحكامهم الكفرية وقوانينهم الدولية في ظل هيئة اللمم (الأمم)
ومحكمتها الكفرية.
“ Sudah sama diketahui bahwa para penguasa itu tidak kufur kepada
para thaghut timur dan barat dan tidak berlepas diri dari mereka.
Justru, para penguasa tersebut beriman dan berwala’ kepada mereka (para
thaghut), menjadikan mereka sebagai pemutus persoalan yang
diperselisihkan, dan ridho dengan hukum-hukum kafir dan
perundang-undangan internasional mereka di bawah naungan PBB dan
peradilan PBB yang kafir.
فإن كان أمر طواغيت العرب مشتبه على من في عينه رمد فإن أمر طواغيت
الكفر الغربيين والشرقيين من نصارى وبوذيين وشيوعيين وهندوس ونحوهم لا يخفى
والله إلا على العميان ، ومع ذلك فهم لهم أخوة وأحباء لم يكفروا بهم بل
تجمع بينهم روابط الأخوة والصداقة والمودة ويجمع بينهم ميثاق الأمم
المتحدة!! الكفري ويحتكمون عند الخصومة إلى محكمتها الكفرية التي مقرها في
لاهاي .
Jika perkara para thaghut (pemeritah negara-negara) arab masih
samar-samar bagi orang yang dimatanya ada lumpur, maka sesungguhnya
perkara para thaghut Timur dan Barat yang Nasrani, Budha, komunis, Hindu
dan lainnya tidak tersembunyi lagi kecuali bagi orang yang buta. Mereka
(thaghut timur dan barat) malah menjadi kawan dan orang-orang yang
dicintai, tidak mereka kufuri. Bahkan mereka dikumpulkan oleh ikatan
persaudaraan dan persahabatan, oleh ikatan piagam kafir …”
فهم ما حققوا ركن التوحيد الأول والمهم (الكفر بالطاغوت) حتى يكونوا
مسلمين هذا إذا سلمنا جدلاً أنهم قد جاءوا بالركن الآخر (الإيمان بالله)
فكيف إذا أضيف إلى ذلك أنهم هم أنفسهم أيضاً طواغيت يُعبدون من دون الله
فيشرِّعون للناس من الدين ما لم يأذن به الله ويدعون الناس ويأطرونهم أطرا
ويقصرونهم قصراً على متابعة تشريعاتهم الباطلة هذه.
Mereka (para penguasa PBB) tidak merealisasikan rukun tauhid yang
pertama dan penting yaitu (kufur kepada thaghut). Ini jika kita bisa
menerima pernyataan bahwa mereka melaksanakan rukun tauhid yang pertama
(beriman kepada Allah). Lantas bagaimana lagi jika (tidak kufurnya
kepada thaghut) masih ditambah dengan kenyataan bahwa mereka sendiri
juga merupakan para thaghut yang diibadahi selain Allah ? Mereka
menetapkan untuk rakyat undang-undang yang tidak mendapat izin Allah
Ta’ala…”
Keenam : Mereka tolong menolong dan bekerja sama dengan orang-orang
kafir dalam memerangi Islam dan kaum muslimin.
Kalau kita menengok lagi bagimana bagaiman sikap mereka terhadap PBB
yang jelas-jelas memihak Amerika atas dukungannya terhadap para penjajah
Yahudi ? Apa pula sikap mereka terhadap perang melawan teroris yang
dikampanyekan oleh Amereka, sedangkan yang dimaksudkan dengan teroris
adalah orang-orang Islam yang menentang dan memerangi Amerika ? kenapa
dimunculkan Undang-Undang anti teroris. Kenapa ikut-ikutan memburu
jaringan Al-Qo’idah yang sangat keras penentangannya terhadap Amerika ?
Lalu lihatlah bagaimana mereka mengadakan penangkapan-penagkapan
terhadap umat Islam yang mereka curigai secara membabi buta. Lihat pula
bagaimana mereka menangkap Ustadz abu Bakar Ba’asyir –hafidzohulloh- !
Lalu lihat pula sejarah perjalan yang menyedihkan di Ambon dan Poso.
Lihatlah apa sikap mereka ketika umat Islam dibantai pada awal-awal
kerusuhan. Kemudian bandingkan bagaimana ketika umat Islam mulai meraih
kemenangan. Disitu akan nampak jelah keberfihakan mereka terhadap
orang-orang kafir di dalam memerangi umat Islam.
Menjadikan orang-orang kafir sebagai musuh (bara') dan menjadikan
orang-orang mukmin sebagai kawan (wala') merupakan ciri orang beriman.
Ketika sifat ini tidak ada, keimanan hilang dan seseorang telah keluar
dari Islam alias murtad.
Rasulullah bersabda :
أوثق عرى الإيمان الحب في الله و البغض في الله
" Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci
karena Allah." [HR. Ahmad dan Al Hakim, Silsilah Ahadits Shahihah no.
1728].
Syaikh Hamad bin 'Atiq dalam bukunya An Najatu wal Fikaku Min
Muwalatil Murtadien wa Ahlil Isyrak mengatakan," Adapun perihal memusuhi
orang-orang kafir dan musyrik, maka ketahuilah sesungguhnya Allah telah
mewajibkan hal itu dan menekankan kewajiban ini dan Allah mengharamkan
berwali kepada mereka dan menegaskan keharamannya. Sehingga dalam
Kitabullah tidak ada hukum yang lebih banyak dalilnya dan lebih gamblang
penjelasannya setelah wajibnya tauhid dan haramnya syirik melebihi
masalah ini."
Jadi, masalah wala’ dan bara’ merupakan masalah terpenting setelah
tauhid. Para ulama telah sepakat bahwa bekerja sama dan tolong menolong
dengan orang-orang kafir dalam rangka memerangi Islam dan kaum muslimin
merupakan perbuatan yang menyebabkan pelakunya murtad.
Ketika AS dibantu sekutu-sekutunya melakukan invasi dan agresi
militer ke Afghanistan, Iraq, dan melancarkan perang melawan teroris,
tak satupun penguasa di negeri-negeri kaum muslimin yang menyatakan
pembelaan dan berdiri di belakang kaum muslimin Afghanistan, Iraq dan
kaum muslimin yang dituduh oleh persekutuan
salibis-zionis-komunis-musyrikin internasional sebagai teroris. Justru,
mereka dengan bergegas menyatakan dukungan dan bantuannya dalam
memerangi teroris (baca :umat Islam). Lewat penyediaan informasi, dana,
pangkalan militer, penangkapan orang-orang Islam yang dituduh teroris,
pembekuan asset mereka, penutupan lembaga-lembaga pendidikan mereka,
ekstradisi orang-orang yang diinginkan AS dan sekutunya, penetapan UU
anti teroris dan segudang bentuk bekerja sama dengan orang-orang kafir
lainnya dalam memerangi Islam dan kaum muslimin. Ini semua jelas sebuah
perbuatan yang menyebabkan mereka keluar dari Islam.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Bin Muhammad pengarang buku Taisirul
Azizil Hamid Syarhu Kitabit Tauhid, dalam risalah beliau yang berjudul
Hukmu Muwalati Ahli Syirki menyebutkan 21 dalil dari Al Qur'an dan As
Sunah yang menegaskan keharaman membantu dan bekerja sama dengan
orang-orang kafir dalam rangka memusuhi umat Islam. Di antara
dalil-dalil tersebut adalah :
3. Firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin kalian….[QS. Al
Maidah :51].
Imam Ath Thabari ketika menafsirkan ayat ini berkata," Siapa
menjadikan mereka sebagai (wali) pemimpin dan sekutu dan membantu mereka
dalam melawan kaum muslimin, maka ia adalah orang yang sedien dan
semilah dengan mereka. Karena tak ada seorangpun yang menjadikan orang
lain sebagai walinya kecuali ia ridho dengan diri orang itu, diennya,
dan kondisinya. Bila ia telah ridho dengan diri dan dien walinya itu,
berarti ia telah memusuhi dan membenci lawannya, sehingga hukumnya
(kedudukan dia) adalah (seperti) hukum walinya."
Al Qurtubi berkata : Barang siapa diantara kalian berwala’ kepada
mereka, maka kalian telah membantu mereka dalam memusuhi kaum Muslimin.
Sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, Alloh menerangkan bahawasanya
secara hukum ia sama dengan mereka, dengan hal ini menjadikan tidak
berhak mendapatkan warisan dari perang murtad, hukum ini terus-menerus
berlaku sampai hari qiamat, diantara orang yang termasuk dalam golongan
mereka adalah Abdulloh bin Ubay.
Ibnu Hazm berkata : Benarlah bahwasanya maksud dari firman Allah :
Barang siapa diantara kalian yang berwala’ kepada mereka sesungguhnya
dia termasuk golongan mereka” adalah sebagaimana dhohirnya yaitu
sesungguhnya dia kafir dan termasuk dalam golongan orang-orang kafir.
Perkataan ini adalah haq dan tidak ada yang memperselisihankannya di
kalangan kaum Muslimin.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz berkata: Para ulama’ Islam telah berijma’
bahwasanya barang siapa membantu dan menolong orang-orang kafir dalam
memusuhi orang Islam dengan bentuk apapun, maka ia telah kafir seperti
mereka. Sebagai mana firman Alloh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَيَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah :52).
Penjelasan Imam Ath Thabari ini juga ditegaskan lagi oleh para ahli
tafsir lain seperti Imam Al Qurthubi (Al Jami' liahkamil Qur'an 6/217),
Asy Syaukani (Fathul Qadir 2/50), Al Qasimi (Mahasinu Ta'wil 6/240) dan
Ibnu Hazm (Al Muhala 13/35) , juga disebutkan oleh Dr. Abdul Aziz bin
Muhammad bin Ali Abdulathif dalam disertasinya, Nawaqidhul Iman Al
Qauliyah wal 'Amaliyah, sebagai pembatal keimanan dan penyebab
kemurtadan.
4. Firman Allah :
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ
يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَن يَأْتِيَ
بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا
فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ
" Kamu melihat orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit
(kemunafikan) bersegera mendekati orang-orag (Yahudi dan Nasrani) seraya
berkata," Kami takut akan mendapat bencana (krisis)." Mudah-mudahan
Allah akan mendatangkan kemenangan kepada Rasul-Nya atau suatu keputusan
dari sisi-Nya. Maka karena itu orang-orang yang berpenyakit hati akan
menyesal terhadap apa yanag mereka arahasiakan dalam diri mereka." [QS.
Al Maidah :52].
Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata, "Allah menyebutkan bahwa
berwala' (loyal) kepada orang-orang kafir meniadakan iman kepada Allah,
Rasul-Nya dan kitab yang ditrunkan kepadanya. Allah lalu menyebutkan
sebab hal itu adalah karena banyak di antara mereka yang fasiq. Allah
tidak membedakan antara yang takut kepada bencana maupun tidak.
Demikianlah kondisi orang-orang murtad tadi sebelum mereka murtad,
kebanyakan mereka yang fasiq, maka kefasikan mereka menyeret kepada
berwala' kepada orang-orang kafir dan murtad dari Islam. Naudzu Billahi
min dzalika.”
5. Firman Allah :
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ
يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ
أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ
كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ
أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
" Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau
anak-anak atau saudara atau kerabat mereka sendiri.." [QS. Al Mujadalah
22].
Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata," Allah mengkhabarkan bahwa
engkau tak akan mendapati orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
itu mencintai orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun
ia kerabat terdekatnya, dan Allah menerangkan bahwa sikap mencintai
musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya ini meniadakan iman. Sikap ini tak
mungkin berkumpul dengan iman kecuali seperti berkumpulnya air dengan
api."
6. Firman Allah :
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ
إِلآَّ أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ
" Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya ia terlepas dari pertolongan Allah …." [QS. Ali Imran
:28].
Imam Ath Thabari berkata," Barang siapa berbuat demikian, niscaya ia
terlepas dari pertolongan Allah " maknanya ia telah berlepas diri dari
Allah dan Allah berlepas diri darinya karena ia telah murtad dari
diennya dan masuk ke dalam kekufuran."
7. Firman Allah :
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ
صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُُ {106}
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى اْلأَخِرَةِ
وَأَنَّ اللهَ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ {107} أُوْلاَئِكَ
الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ
وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“ Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah
menimpanya dan baginya azab yang besar. (107) Yang demikian itu
disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih
dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang kafir.” [QS. An Nahl :106-107].
Ketika seorang muslim dipaksa untuk kafir melalui berbagai siksaan
keras seperti yang dialami shahabat Amar bin Yasir, lalu ia menuruti
kemauan mereka dengan mengucapkan kalimat kekufuran secara lisan namun
hatinya tetap beriman, maka ia tidak kafir dan ia diampuni Allah. Namun
apabila hal itu dikerjakan secara sukarela tanpa ada paksaan maka ia
kafir.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah berkata," Allah menetapkan hukum yang
tak akan berubah bahwa orang yang kembali kepada kekufuran (murtad)
berarti telah kafir, baik ia punya udzur ---seperti takut atas nyawa
atau harta atau keluarga-atau tidak punya udzur. Sama saja apakah ia
kafir dari batinnya atau kafir dari lahirnya saja tanpa batinnya. Sama
saja apakah ia kafir dari perbuatan dan pekataan atau dengan salah satu
dari keduanya. Sama saja apakah ia mengharapkan keuntungan duniawi dari
orang musyrik atau tidak. Ia tetap kafir apapun keadaannya, kecuali
orang yang dipaksa. Jika seseorang dipaksa untuk kafir dengan dikatakan
kepadanya," Kafirlah, kalau tidak kamu kami siksa atau kami bunuh," atau
orang-orang musyrik mengambilnya dan menyiksanya dan ia tak mungkin
bisa selamat kecuali dengan menuruti perintah mereka, maka boleh baginya
untuk menuruti secara dhahir saja dengan syarat hatinaya tetap mantap
beriman, maksudnya tetap kokoh dengan keyakinan dan imannya. Adapun jika
ia menuruti mereka dalam hatinya, maka ia tetap kafir sekalipun
dipaksa."
Beliau meneruskan," Allah lalu menerangkan bahwa sebab kafirnya
mereka bukan karena mereka berkeyakinan syirik atau tak mengetahui
tauhid atau membenci agama atau mencintai kekafiran, namun sebabnya
adalah karena (mencari) keuntungan duniawi lalu mengutamakan keuntungan
duniawi atas agama dan ridho Rab semesta Alam." .
Di antara ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini adalah:
فَمَالَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ فِئَتَيْنِ وَاللهُ أَرْكَسَهُم بِمَا
كَسَبُوا أَتُرِيدُونَ أَن تَهْدُوا مَنْ أَضَلَّ اللهُ وَمَن يُضْلِلِ
اللهُ فَلَن تَجِدَ لَهُ سَبِيلاً، وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا
كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَآءً فَلاَ تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ
حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَلاَتَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا
وَلاَ نَصِيرًا
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi)
orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka pada
kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri Apakah kamu bermaksud memberi
petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah Barangsiapa
yang telah disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan
(untuk memberi petunjuk) kepadanya. Mereka ingin supaya kamu menjadi
kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama
(dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan diantara mereka
penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka
jika mereka berpaling, tawanlah dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun diantara mereka menjadi
pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,” (QS. An Nisaa’ :88-89).
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat
siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir
menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu Maka sesungguhnya
semua kekuatan kepunyaan Allah”. (QS. An Nisa’: 138-139).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللهُ عَلَيْهِم
مَّاهُم مِّنكُمْ وَلاَمِنْهُمْ وَيَحْلِفُونَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ
يَعْلَمُونَ، أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا إِنَّهُمْ سَآءَ
مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“Tidaklah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang
dimurkai Allah sebagai teman. Orang-orang itu bukan dari golongan kamu
dan bukan (pula) dari golongan mereka.Dan mereka bersumpah untuk
menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan
bagi mereka azab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang
telah mereka kerjakan”. (QS. Al Mujadalah: 14-15).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإِخْوَانِهِمُ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ
لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلاَنُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن
قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munafik yang
berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli
kitab:"Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama
kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk
(menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu
kamu".Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar
pendusta”. (QS. Al Hasyr: 11).
فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضُُ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ
يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةُُ فَعَسَى اللهُ أَنيَأْتِيَ
بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَآأَسَرُّوا
فِي أَنفُسِهِمْ نَادِمِينَ
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan Nasrani),
seraya berkata:"Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah
akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan
dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa
yang mereka rahasiakan dalam diri mereka”. (ََQS. Al Maidah:53).
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ
يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ
أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ
كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ
وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ
أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga
pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al
Mujadilah : 22)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan pembatal keislaman yang
kedelapan adalah membantu dan tolong menoolong dengan orang-orang kafir
dalam memusuhi umat Islam, dengan dalil QS. Al Maidah :51.
Syaikh Shalih Fauzan berkata,"Membantu dan saling menolong dengan
orang kafir dalam memusuhi orang Islam, memuji dan membela orang kafir.
Ini adalah salah satu pembatal keislaman dan penyebab kemrtadan. Naudzu
Billahi min Dzalika." Hal ini juga ditegaskan Syaikh Abdul Aziz bin Baz
dalam buku beliau, Aqidah Shahihah versus Aqidah Bathilah dan
pembatal-pembatal Islam.
II. MEREKA YANG MASUK DALAM KATEGORI KAFIR
Kalau kita katakan sebuah negara itu telah murtad dikarenakan telah
mengganti hukum Alloh dengan hukum kafir, maka mereka yang bertanggung
jawab atas dosa ini menurut Syaikh Ahmad Syakir ada tiga golongan,
yaitu:
3. Dewan legislatif negara tersebut yang menyusun perundang-undangan
tersebut {MPR/DPR}. Dan yang paling bertanggung jawab adalah pemimpin
tertinggi negara {Presiden} tersebut, yang telah memerintahkan untuk
membuat undang-undang kafir. Syaikh Ahmad Syakir berkata:” Sesungguhnya
di dalam membuat undang-undang tersebut ia berkeyakinan atas kebenaran
undang-undang tersebut dan apa yang ia kerjakan, maka dalam hal ini
masalahnya sudah jelas walaupun ia puasa, sholat dan menyangka bahwa
dirinya seorang muslim.”(Lihat: Ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad,
VI/303)
4. Para pembela yang memperjuangkan dan mempertahankan undang-undang
tersebut {TNI dan POLRI }. Beliau berkata tentang mereka:”Sesungguhnya
ia membela kebatilan dari kebenaran, maka apabila dalam membela
kebatilan yang bertentangan dengan Islam ia berkeyakinan bahwa yang ia
bela itu benar maka ia hukumnya seperti temannya yang membuat
undang-undang tersebut, dan kalau ia tidak mempunyai keyakinan seperti
itu maka ia adalah munafiq murni walaupun ia beralasan bahwa ia hanya
melaksanakan kewajiban dia sebagai penjaga undang-undang tersebut.”
(Lihat: Ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahad, VI/305).
5. Pelaksana hukum tersebut {lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif }
yaitu para hakim yang memutuskan perkara dengan berpedoman dengan
undang-undang tersebut dan dalam hal ini termasuk yang paling
bertanggung jawab adalah presiden, karena dia adalah mandataris MPR.
Beliau berkata:” Mungkin ia mempunyai alasan ketika memutuskan perkara
dengan berpedoman undang-undang tersebut yang sesuai dengan hukum Islam,
walaupun setelah diteliti dengan detail, alasan ini tidak berarti sama
sekali. Adapun jika ia memutuskan perkara dengan hukum yang tidak sesuai
dengan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah-Sunnah, maka
jelas-jelas ia masuk kedalam maksud hadits:
و على المرء السمع و الطاعة فيما أحب أو كره إلا أن يؤمر بمعصية فلا سمع
و لا طاعة
“Kewajiban seseorang adalah mendengar dan taat pada perintang yang ia
sukai atau ia benci kecuali kalau diperintah untuk berbuat maksiyat,
maka tidak ada kata mendengar dan taat.”
Sesungguhnya dia telah diperintahkan untuk tidak mentaati
undang-undang yang menurutnya ia harus mentaatinya itu, karena
undang-undang tersebut menyuruhnya untuk bermaksiat, bahkan lebih dari
hanya sekedar maksiat yaitu menyelisihi kitab Allah dan sunnah
Rasul-Nya, maka dalam hal ini tidak ada istilah mendengar dan taat,
apabila dia mendengar dan taat maka dosanya sama dengan yang meme, yang
telah membuat undang-undang tersebut. .”(Lihat: Ta’liq beliau terhadap
Musnad Imam Ahad, VI/305)
Umar bin Mahmud Abu Umar barkata:” Sebab kekafiran mereka adalah pada
masalah perundang-undangan, maka pembuat undang-undang batil ini, hakim
yang berpedoman dengan undang-undang ini, pembelanya, penyeru kepada
undang-undang tersebut dan yang mengindah-indahkannya, merekalah yang
kita katakan kelompok murtad itu.”
Status Penduduk Negeri Tersebut.
Hal ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang
status negara Maridin , sebuah wilayah yang semula berhukum dengan
hukum Islam kemudian dikuasai oleh orang kafir dan menerapkan hukum
kafir, apakah negara tersebut Daarul Harbi atau Darus Silmi (Daaru
Islam) dan apakah kaum muslimin yang tinggal di negeri tersebut harus
hijroh ke negeri Islam atau tidak ? (Bagaimana ketentuannya) Kalau ia
wajib hijroh atau tidak hijroh, serta (apa hukum) memberi bantuan kepada
musuh-musuh kaum muslimin apakah dengan demikian ia berdosa ? Apakah
orang yang menuduhnya sebagai orang munafik atau mencelanya berdosa?.
Beliau menjawab:
Al-hamdulillah, harta dan darah kaum muslimin haram di mana saja
mereka berada, baik di Maridin maupun di tempat lain. Dan memberi
bantuan kepada orang-orang yang keluar dari syariat Islam adalah haram,
baik mereka itu penduduk Mardin maupun yang lain. Orang yang tinggal di
Mardin kalau tidak mampu melaksanakan agamanya maka ia wajib hijroh
kalau ia mampu. Kalau tidak mampu berhijrah maka tidak wajib hijroh.
Adapun memberi bantuan kepada musuh kaum muslimin baik dengan harta atau
nyawa hukumnya haram dan mereka wajib menghindar dari hal tersebut
dengan cara apapun yang memungkinkan seperti sembunyi atau berpaling
atau berpura-pura dan kalau hal itu tidak mungkin kecuali harus hijroh
maka ia wajib hijroh. Dan tidak halal mencela dan menuduh mereka dengan
munafik secara umum akan tetapi celaan dan tuduhan munafik itu tertuju
kepada orang yang memiliki sifat-sifat yang telah disebutkan dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang (bisa saja) terdapat pada penduduk Mardin
dan penduduk negara lain. Adapun negara tersebut Daarul Harbi atau
Daarus Silmi maka negara tersebut adalah negara yang mencakup arti dua
negara tersebut : bukan seperti Daarus Silmi yang berlaku di dalamnya
hukum Islam karena tentaranya adalah kaum muslimin, dan juga tidak
seperti Daarul Harbi yang mana penduduknya orang kafir. Akan tetapi
negara tersebut adalah negara ketiga, orang muslim diperlakukan
sebagaimana mestinya dan orang-orang yang keluar dari syari'at Islam
diperangi sebagaimana mestinya.”
Ringkasnya, menghukumi seorang mukallaf berdasar dhahirnya. Siapa
menampakkan keislaman, maka dihukumi sebagai seorang muslim dan siapa
menampakkan kekafiran maka dihukumi sebagai seorang kafir setelah
terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidanya penghalang
(mawani’).
3- Tanda-Tanda Keislaman Yang Sah
Maksudnya, tanda-tanda yang hanya dimiliki oleh umat Islam saja. Bila
seseorang telah memilikinya, maka tak perlu diteliti terlebih dahulu
untuk meyakinkan keislaman orang tersebut. Adapun identitas Islam yang
syah secara syar’i adalah:
3. Mengucapkan dua kalimat Syahadat.
Dalilnya adalah sabda Rosululloh:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ :
أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوا أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ. فَمَنْ قَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ عُصِمَ مِنِّي مَالُهُ
وَ نَفْسُهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda,” Aku diutus untuk
memerangi manusia sampai mereka mengucapkan laa ilaaha illalloh. Maka
siapa telah mengucapkan laa ilaaha illalloh, berarti ia telah menjaga
harta dan nyawanya dariku. Kecuali yang menjadi haknya, dan hisabnya
terserah Alloh.”
Ibnu Rajab Al Hambali berkata,” Sudah diketahui secara dharuri bahwa
nabi menerima setiap orang yang datang kepada beliau untuk masuk Islam
hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja. Dengan ucapan itu,
ia menjaga darahnya dan menjadi seorang muslim dan nabi telah
mengingkari Usamah bin Zaid ketika membunuh orang yang mengucapkan laa
ilaaha illa Allah saat pedang Usamah sudah di atas kepalanya, dan
pengingkaran beliau kepada Usamah dalam hal itu sangat keras. Nabi juga
tidak mensyaratkan orang yang datang masuk Islam untuk melazimi sholat
dan zakat. Bahkan, telah diriwayatkan bahwa beliau menerima keislaman
sebuah kaum padahal mereka mensyaratkan tidak akan membayar zakat. Dalam
musnad Ahmad :
عَنْ جَابِرٍ : اِشْتَرَطَتْ ثَقِيْفُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ أَنْ لَا
صَدَقَةَ عَلَيْهَا وَلَاجِهَادَ وَأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ :
سَيَصَدَّقُوْنَ وَ يُجَاهِدُوْنَ.
Dari Jabir ia berkata,” Bani Tsaqif mensyaratkan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk tidak bershadaqah dan berjihad. Maka
Rasulullah bersabda,” Nanti mereka akan bershadaqah dan berjihad.”
Juga dari Nashr bin Ashim Al Laitsy dari seorang bani Tsaqif bahwa ia
datang kepada nabi dan masuk Islam dengan mensyaratkan idak akan sholat
kecuali dua kali sholat saja. Maka beliau menerima syarat tersebut.”
Dengan hadits-hadits inilah imam Ahmad berpendapat dan mengatakan,”
Keislaman shah meski dengan syarat yang rusak. Lalu ia diwajibkan dengan
seluruh syariat Islam.” Beliau juga berdalil dengan Hakim bin Hizam
yang mengatakan,” Saya membaiat Nabi untuk tidak sujud kecuali dalam
keadaan berdiri.” Imam Ahmad mengatakan,” Maknanya ia sujud tanpa
membungkukkan badan.”
Dengan keterangan yang kami tetapkan ini nampaklah pengkompromian
antara berbagai hadits dalam bab ini dan nampaklah bahwa semua hadits
ini benar. Sesungguhnya hanya dengan dua kalimat syahadat saja sudah
menjaga orang yang mengucapkannya dan menjadikannya seorang muslim. Jika
ia telah masuk Islam, jika ia sholat, zakat, dan melaksanakan
syariat-syariat Islam, maka ia mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana
kaum muslimin. Jika ia meninggalkan salah satu rukun ini, jika mereka
sebuah kelompok yang mempunyai kekuatan, maka mereka diperangi.
Ibnu Hajar berkata,” Dalam hadits ini adalah larangan membunuh orang
yang mengucapkan laa ilaaha illalloh walaupun tidak ada tambahannya
sedikitpun, akan tetapi apakah hanya dengan hal itu ia menjadi seorang
muslim? Yang benar adalah tidak akan tetapi tidak boleh kita bunuh
sampai teruji pernyataannya tersebut.”
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ :بَعَثَنَا رَسُوْلُ اللهِ اِلَى
الْحَرْقَةَ مِنْ جُهَيْنَةَ فَصَبَّحْنَا الْقَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ
وَلَحِقْتُ اَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَاِر رَجُلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا
غَشَيْنَاهُ قَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ. فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارُ
وَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَى قَتَلْتُهُ. فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ
ذَلِكَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ليِ : يَا أُسَامَةُ
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ؟ قُلْتُ : يَا
رَسُولَ اللهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا. قَالَ : أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ
مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ ؟ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى
تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ.
Dari Usamah bin Zaid ia berkata,” Rosululloh shalallahu ‘alaihi
wasallam mengutus kami ke Huroqoh dari Juhainah. Lalu kami menyergap
mereka di waktu pagi dan mengalahkan mereka. Lalu saya bersama orang
anshor mengejar seseorang dari mereka. Setelah kami menguasainya, ia
mengucapkan laa ilaaha illalloh. Orang anshor tersebut tidak menahan
dirinya (tidak membunuhnya), maka kutusuk ia dengan tombakku sampai
mati. Ketika kami sampai di Madinah dan berita itu sampai kepada
Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda kepadaku:“Wahai
Usamah, apakah kau bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha
illalloh?” Lalu kujawab,” Wahai Rosululloh, ia mengatakannya hanya untuk
melindungi dirinya.” Beliau bersabda lagi,” Wahai Usamah, apakah kau
bunuh padahal dia telah mengucapkan laa ilaaha illalloh?” Rosululloh
shalallahu ‘alaihi wasallam terus mengulang-ulangnya sampai-sampai saya
berangan-angan seandainya aku tidak masuk Islam sebelum hari itu.
Dalam riwayat Muslim :
أَقَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَقَتَلْتَهُ ؟ قُلْتُ :بَا رَسُولَ
اللهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ. قَالَ : أََفَلَا
شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا.
“ Apakah ia sudah mengucapkan laa ilaaha illalloh lalu tetap kamu
bunuh ?” Usamah menjawab,”Ya Rasulullah, ia mengucapkannya karena takut
kepada senjata.” Rasulullah bersabda,” Apakah sudah kau belah dadanya
sehingga kamu mengetahui ia mengatakanmnya atau tidak.”
Hadits ini adalah dalil bahwasanya barang siapa mengucapkan laa
ilaaha illalloh, maka ia adalah seorang muslim yang darahnya terjaga,
tidak boleh dibunuh dan dihalalkan darahnya kecuali ia melakukan
perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menjadikan ia kafir.
4. Pengakuan seseorang bahwa ia seorang muslim atau ia berkata aku
beriman kepada Alloh atau perkataan yang senada dengan hal itu.
Dalilnya adalah :
عَنِ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدَ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ :
أَرَأَيْتَ إِنْ لَقِيْتُ رَجُلًا مِنَ الْكُفَّارِ فَاقْتَتَلْنَا
فَضَرَبَ إِحْدَى يَدَيَّ بِالسَّيْفِ فَقَطََعَهَا ثُمَّ لَاذَ مِنِّي
بِشَجَرَةٍ فَقَالَ : أَسْلَمْتُ لِلَّهِ! أَقَتَلْتُهُ يَا رَسُولَ اللهِ
بَعْدَ أَنْ قَالَهَا ؟ فََقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لَا تَقْتُلْهُ فَإِنْ
قَتَلْتَهُ فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَتِكَ قَبْلَ أَنْ تَقْتُلَهُ وَإِنَّكَ
بِمَنْزِلَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَقُوْلَ كَلِمَتِهِ الَّتِى قَالَ.
Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad ra. ia berkata,” Wahai Rosululloh. Apa
pendapatmu kalau saya bertemu dengan orang kafir lalu kami berperang dan
ia memotong salah satu tanganku dengan pedangnya, lalu ia berlindung
dengan sebuah pohon dan berkata,” Saya masuk Islam.” Apakah saya boleh
memeranginya setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut ?” Maka
Rasulullah menjawab,” Jangan kau bunuh dia. Jika kamu bunuh dia, maka
sesungguhnya status dia adalah status kamu sebelum kamu membunuhnya dan
status kamu adalah status dia sebelum dia mengucapkan kalimat yang
diucapkannya.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ اِلَى بَنِي جُذَيْمَةَ فَدَعَاهُمْ
اِلَى الْإِسْلَامِ فَلَمْ يُحْسِنُوا أَنْ يَقُوْلُوْا أَسْلَمْنَا.
فَجَعَلُوا يَقُوْلُوْنَ صَبَأْنَا صَبأْنَا. فَجَعَلَ خَالِدٌ يَقْتُلُ
فِيْهِمْ وَ يَأْسِرُ وَدَفَعَ اِلَى كُلِّ رَجُلٍ مِنَّا أَسِيْرَهُ.
حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمٌ أَمَرَ خَالِدٌ أَنْ يَقْتُلَ كُلُّ رَجُلٍ
مِنَّا أَسِيْرَهُ. فَقُلْتُ : وَاللهِ لَا أَقْتُلُ أُسِيْرِي وَلَا
يَقْتُلُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِي أَسِيْرَهُ حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى
النَّبِي فَذَكَرْنَاهُ. فَرَفَعَ النَّبِي يَدَيْهِ فَقَالَ : اَللَّهُمَّ
إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خاَلِدٌ.
Dari Abdullah Ibnu Umar ra. Ia berkata,” Rasulullah mengutus Kholid
bin Al-Walid ke Bani Judzaimah. Ia mengajak mereka untuk masuk
Islam.Mereka tidak bisa mengucapkan أسلمنا (Kami masuk Islam), Mereka
hanya bisa mengucapkan ”صبأنا صبأنا “. Maka Khalid membunuh sebagian
mereka dan menawan sebagian lainnya. Ia menyerahkan seorang tawanan
kepada masing-masing kami. Suatu hari Khalid memerintahkan setiap kami
untuk membunuh tawanan masing-masing, namun kukatakan,” Demi Allah, saya
tidak akan membunh tawananku dan setiap sahabatku tak akan membunuh
tawanannya.” (Perkara itu kami tangguhkan) hingga kami datang kepada
nabi dan kami menceritakannya kepada beliau. Ketika itu Rosululloh
mengangkat kedua tangannya dan berdoa,” Ya Allah. Aku berlepas diri dari
perbuatan Khalid.”
5. Sholat.
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rosulilloh shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ
ذَبِيْحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِى لَهُ ذِمَّةُ اللهِ
وَرَسُوْلِهِ فَلَا تَحْقِرُوا اللهَ فِي ذِمَّتِهِ.
“ Barangsiapa yang sholat sebagaimana sholat kita, menghadap ke arah
kiblat kita dan memakan smbelihan kita, maka dia adalah seorang muslim,
dia mendapat perlindungan Alloh dan Rosul-Nya. Maka janganlah kalian
menghinakan orang yang telah mendapatkan perlindungan Alloh.”
Ibnu Hajar berkata,” Berdasar hadits ini bahwasanya urusan manusia
itu dibawa kepada dhahirnya. Siapa menampakkan syiar-syiar dien maka
diberlakukan atasnya hukum-hukum pemeluk dien selama belum nampak
darinya hal yang bertntangan dengan hal itu (pembatal-pembatal
keislaman—ed).”
Juga dari Ubaidullah bin ‘Adi bin Khiyar radhiyallahu ‘anhu ia
berkata,” Ketika Rasulullah sedang duduk-duduk di antara manusia, datang
seorang laki-laki yang berbisik kepada beliau sehingga kami tidak
mengetahui ia berbisik apa. Maka Rasulullah menjawab dengan keras,
ternyata orang itu meminta izin untuk membunuih seorang munafiq.
Rasulullah bersabda ketika beliau berbicara dengan keras :
أَلَيْسَ يَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ ؟
“ Bukankah ia bersaksi tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah ?” Laki-laki itu menjawab,” Ya,
tapi tidak ada syahadat atasnya.” Rasulullah bertanya lagi :
أَلَيْسَ يُصَلِّي
“ Bukankah ia sholat ?” Laki-laki itu menjawab,” Ya, tapi tak ada
sholat baginya.” Maka Rasulullah bersabda :
أُولَئِكَ الَّذِيْنَ نَهَانِي اللهُ عَنْ قَتْلِهِمْ
“ Mereka itulah orang-orang yang Allah melarangku utnuk
membunuhnya.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنِّي
نُهِيْتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّيْنَ.
Dari Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda,” Sesungguhnya aku
dilarang untuk membunuh orang-orang yang mengerjakan sholat.”
6. Adzan.
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يُغِيْرُ عِنْدَ
صَلَاةِ الصُّبْحِ وَكَانَ يَسْتَمِعُ فَإِذَا سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَ
إِلَّا أَغَارَ, رواه أبو داود. وفي رواية مسلم : كَانَ رَسُولُ الله
إِنَّمَا يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَ كَانَ يَسْتَمِعُ الْأَذَانَ.
فَإِذَا سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَ إِلَّا أَغَار. فَسَمِعَ رَجُلًا
يَقُوْلُ : ألله أَكْبَرُ ألله أَكْبَرُ. فَقَالَ رَسُوْلُ الله : عَلَى
الْفِطْرَةِ. ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله.
أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله. فَقَالَ رَسُوْلُ الله: خَرَجْتَ
مِنَ النَّارِ. فَنَظَرُوا فَإِذَا هُوَ رَاعِي مَعْزًى.
Dari Anas radiyallahu ‘anhu., beliau berkata:” Rosululloh shalallahu
‘alaihi wasallam biasa menyerang pada waktu sholat Shubuh. Beliau
menunggu sampai terdengar adzan. Jika mendengar adzan beliau tidak jadi
emnyerang dan bila tidak terdengar adzan, beliau menyerang.” [HR. Abu
Daud]. Dalam riwayat Muslim,” Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam
biasanya menyerang sebuah kaum jika telah terbir fajar. Beliau menunggu
sampai terdengar adzan. Apabila beliau mendengar adzan, beliau batalkan
dan apabila tidak terdengar adzan maka beliau sergap setelah subuh.
(Suatu kali) beliau mendengar seorang mengumandangkan adzan (dari daerah
yang akan diserang),” Allahu Akbar…Allahu Akbar.” Maka Rasulullah
menjawab,” Di atas fitrah.” Kemudian terdengar lagi,” Asyhadu An Laa
Ilaaha Ila Allah..2x.” Maka beliau menjawab,” Engkau keluar dari
neraka.” Pasukan Rasulullah melihat orang tersebut, ternyata seorang
penggembala kambing.”
7. Masjid.
8. Suara takbir.
عَنْ عِصَامِ المَزْنِي قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
إِذَا بَعَثَ جَيْشًا أَوْ سَرِيَّةً يَقُوْلُ لَهُمْ : إِذَا رَأَيْتُمْ
مَسْجِدًا أَوْ سَمِعْتُمْ مُؤَذِّنًا فَلاَ تَقْتُلُوْا أَحَدًا.
Dari ‘Ashim Al-Muzani, ia berkata,” Adalah Rosululloh shalallahu
‘alaihi wasallam bila mengirim sebuah pasukan atau sebuah regu bersabda
kepada anggota pasukan,” Apabila kalian melihat masjid atau mendengar
suara adzan, janganlah kalian membunuh seorangpun.”
As-Syaukani berkata:” Hadits ini adalah dalil bahwasanya masjid di
sebuah negeri adalah cukup sebagai tanda bahwasanya penduduk negeri
tersebut adalah muslim, walaupun tidak terdengar adzan dri mereka,
karena Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam menyuruh pasukannya untuk
memilih salah satu dari dua tersebut yaitu: masjid atau suara adzan.”
Asy-Syaukani berkata,” Sabda beliau على الفطرة menunjukkan bahwasanya
takbir termasuk dari ciri-ciri khusus orang Islam, dan sah untuk
dijadikan patokan bahwa penduduk suatu negeri yang terdengar suara
takbir itu beragama Islam.
Orang yang kita ketahui terdapat salah satu atau lebih dari
tanda-tanda di atas, maka kita hukumi dia sebagai orang Islam. Ia
mempunyai hak sebagaimana hak kaum muslimin lainnya dan mempunyai
kewajiban sebagaimana kewajiban kaum muslimin lainnya. Kita harus
memberikan hak dia sebagai orang Islam, seperti kecintaan, perwalian,
pertolongan dan hak-hak yang lain.
Abdullah bin Muhammad Al Qarni mengatakan,” Dengan melihat kepada
keseluruhan hadits-hadits ini, kita mengetahui bahwa hadits-hadits ini
menunjukkan satu hal yaitu sifat Islam tetap (berlaku) pada diri
seseorang meski hanya dengan iqrar (pengakuan)nya, baik : (a) dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat seperti ditunjukan oleh hadits Usamah
bin Zaid, atau (b) hal lain yang menempati posisinya seperti disebut
dalam hadits Miqdad bin Al Aswad bahwasanya orang yang mengatakan
“aslamtu lillah” dihukumi sebagai seorang muslim. Bahkan dalam hal iqrar
ini sudah cukup dengan hal minimal yang menunjukkan ke arah itu,
sekalipun orang itu salah dalam mengungkapkan iqrarnya seperti dalam
kisah Khalid bin Walid yang membunuh orang-orang yang mengucapkan
“shaba’na…shaba’na”, maksud mereka adalah Islam. Dengan demikian, iqrar
tidak mempunyai shighah dan kaifiyah yang khusus, ia terealisir dengan
segala hal yang menunjukkan seseorang itu menerima Islam dan ingin masuk
Islam, tanpa syarat yang lain.
Inilah yang dimaksudkan oleh para ulama salaf bahwa Islam adalah
iqrar. Seperti Imam Az Zuhri yang mengatakan,” Kami mengatakan Islam
adalah iqrar sedang iman itu amal. Iman adalah perkataan dan perbuatan,
salah satu dari keduanya tak bermanfaat bila tak disertai yang lainnya.”
Demikian juga imam Ahmad mengatakan,” Iman adalah ucapan dan perbuatan,
sedang Islam itu iqrar.”
Ibnu Taimiyah berklata,” Islam adalah kau beribadah kepada Allah tak
menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dengan mengikhlaskan dien
(ketaatan dan ketundukan ) kepada-Nya…dengan diutusnya para rasul kepada
kita, maka tidak ada ibadah kepada Allah kecuali dengan apa yang
diperintahkan oleh para rasul…Maka tidak akan menjadi seorang muslim
kecuali orang yang bersaksi tiada ilah yang berhka diibadahi selain
Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Kalimat ini, siapa
mengucapkannya berarti telah masuk Islam. Maka barang siapa mengatakan
Islam adalah kalimat (mengucapkan), maksud dia adalah kalimat ini (siapa
mengucapkan dua kalimat syahadat masuk Islam—ed), maka ia telah berkata
benar.”
2- Qarinah Yang Menunjukkan Keislaman
Selain tanda-tanda di atas, ada beberapa hal yang menunjukkan
keislaman seseorang namun ia tidak dihukumi sebagai seorang muslim
kecuali setelah diadakan tatsabut (diteliti lebih lanjut, ricek).
Hal-hal tersebut adalah:
c) Mengucapkan salam.
Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي َسِبيلِ اللهِ
فَتَبَيَّنُوا وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ
لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِندَ اللهِ
مَغَانِمُ كَثِيرَةُُ كَذَلِكَ كُنتُمْ مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللهُ
عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“ Wahai orang –orang yang beriman, apabila kamu pergi berperang
dijalan Alloh, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang
yang mengucapkan salam kepadamu: “ kamu bukan seorang mukmin “ dengan
maksud mencari harta benda didunuia, karena disisi Aloh ada harta yang
banyak. Begitu juga kedadaan kamu dahulu kemudian Alloh menganugerahkan
nikmatnya kepadamu, maka telitilah. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 94).
Dalam as sunah disebutkan mengenai sebab turunnya ayat ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : لَقِيَ نَاسٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ رَجُلًا
فِي غَنِيْمَةٍ لَهُ فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ, فَقَتَلُوهُ وَ
أَخَذُوا تِلْكَ الْغَنِيْمَةِ, فَنَزَلَتْ (وَلاَ تَقُولُوا لِمَنْ
أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا) وَقَرَأَهَا ابْنُ
عَبَاسٍ: السلام. متفق عليه. وفي الترمذي : ( مَرَّ رَجُلٌ مِنْ بَنِي
سُلَيْمٍ عَلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
وَمَعَهُ غَنَمٌ لَهُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا : مَا سَلَّمَ
عَلَيْكُمْ إِلَّا لِيَتَعَوَّذَ مِنْكُمْ. فَقَامُوا فَقَتَلُوْهُ. وَ
أَخَذُوا غَنَمَهُ فَأَتَوْا بِهَا رَسُوْلُ اللهِ فَأَنْزَلَ اللهُ
الآيَةَ.
Dari Ibnu Abbas bahwasanya serombongan kaum muslimin bertemu dengan
seseorang yang membawa kambingnya. Laki-laki itu mberkata,” As Salaamu
‘alaikum.” Tetapi rombongan kaum muslimin membunuhnya dan mengambil
kambing tersebt. Maka turunlah ayat (artinya) “janganlah kamu mengatakan
kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu,“ kamu bukan seorang
mukmin”. Ibnu Abbas membaca “ As Salaama” (memanjangkan laam).” Muttafaq
‘alaihi. Dalam riwayat Tirmidzi,” Seorang laki-laki dari bani Sulaim
bmelewati sekelompok shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Lak-laki itu membawa kambing dan mengucapkan salam kepada mereka. Maka
para shahabat berkata,” Ia tidak mengucapkan salam kepada kalian kecuali
karena ingi berlindaung dari kalian.” Mereka berdiri dan membunuhnya
serta mengambil kambingnya. Mereka lalu membawa kambing tersebut kepada
Rasulullah, maka turunlah ayat ini.”
Al Bazzar meriwayatkan dari sanad lain dari Ibnu Abbas bahwa
Rasulullah mengirim ekspidisi Miqdad bin Al Aswad, ketika mereka
mendatangi kaum yang dimaksud, ternyatakaum itu telah lari tunggang
langgang. Ada seoranglaki-laki kaya yang tidak ikut lari dan ia
mengucapkan laa iaaha illa Allah, maka Miqdad membunuhnya. Maka
Rasulullah bersabda,” Bagaimana keadaanmu besok (hari kiamat—ed) dengan
orang yang mengucapkan laa ilaaha illa Allah ?”
Ibnu Hajar berkata,”Ayat tersebut adalah dalil, bahwasanya orang yang
menunjukan tanda-tanda keislaman darahnya tidak halal sampai dia diuji,
karena salam itu adalah penghormatan (sesama) kaum muslimin, sedangkan
penghormatan jahiliyyah dahulu tidak seperti itu. Maka penghormatan
(dengan salam-ed) ini adalah tanda keislaman.Adapun dengan dibaca as
salamu atau as silmu, maknanya adalah inqiyad (menyerah) dan termasuk
tanda keislaman.”
d) Terdapat tanda-tanda yang biasanya hanya digunakan orang Islam,
namun secara syar’i tidak menjadi identitas sah keislaman pelakunya,
seperti memakai pakaian kaum muslimin, memanjangkan jenggot dan rambut,
memakai sorban, peci, dan lain-lain.
Pengarang “As-Sairul Kabir” mengatakan,” Apabila kaum muslimin
memasuki kampung dari perkampungan orang muyrik secara mendadak, maka
mereka tidak mengapa untuk membunuh laki-laki yang mereka temui, kecuali
yang memiliki tanda-tanda orang Islam atau ahlu Dzimmah, maka ketika
itu mereka harus meneliti sampai jelas statusnya.”
Adapun penduduk negeri jika ia rela dengan para penguasa tersebut dan
mengikunya maka penduduk yang semacam ini juga termasuk golongan para
penguasa tersebut. Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Duamiji ketika
memaparkan pendapat Syaikh Ahmad Syakir diatas beliau menambahkan bagian
keempat yaitu:
Rakyat yang rela dan mengikuti undang-undang kafir tersebut. Rakyat
hendaknya tidak berhukum kepada undang-undang tersebut, memberikan
keterangan bahwasanya hal itu haram, dan ia harus berusaha untuk
menumbangkannya dan berhukum dengan syariat Allah semampu dia dan Allah
tidaklah memberikan beban kecuali yang mampu dipikul. Dalam hadits yang
diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya Rasululloh bersabda:
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون و تنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد
سلم ولكن من رضي وتابع
“Sesungguhnya kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang melakukan
kemungkaran, maka barangsiapa membenci ia terbebas dari dosa, dan
barngsiapa mengingkarinya maka ia telah selamat, akan tetapi yang
mendapat dosa adalah orang yang rela dan mengikuti.”
Adapun dalam keadaan terpaksa dan darurat yang diperbolehkan secara
syar’I, maka setiap keadaan darurat diberikan kelonggaran sesuai dengan
kadar daruratnya.
Kewajiban setiap muslim ketika melihat kemungkaran adalah
mengingkarinya baik dengan hati, lisan maupun tangan atau kekuatan,
sebagaimana sabda Rosululloh:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فأن لم يستطع
فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان
" Barang siapa melihat kemungkaran haruslah ia merubahnya dengan
tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka
dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Dalam hal ini Ibnu Rojab mengatakan:” Adapun mengingkari kemungkaran
dengan hati adalah suatu keharusan, maka ketika seorang sudah tidak
mengingkarinya dengan hatinya hal ini menunjukkan bahwa imannya telah
hilang dari hatinya.” Adapun mengingkarinya dengan lisan dan tangan
beliau mengatakan:” Dan adapun mengingkari kemungkaran dengan tangan dan
lisan adalah sesuai dengan kemampuan.”
Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Duamiji berkata tentang memberontak
kepada pemerintah kafir dan murtad:”Hal ini juga merupakan suatau
kesepakatan yaitu memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi
siapa saja yang mampu melakukannya, adapun jika tidak mempunyai
kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka harus mencari jalan
yang paling tercepat untuk menggulingkannya, dan membebaskan kaum
muslimin dari kekuasaan pemerintah terseebut walaupun harus bersusah
payah, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang
telah disebutkan tadi yaitu :
…. و ألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه
برهان
“….. dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran
nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.” (Mutafaq ‘alaihi)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:” Jika pemerintah melakuakan kekafiran
yang nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib
berjihad melawannya, sebagaimana yang tersebdalam hadits ini. (Yaitu
hadits Ubadah yang tersebut di atas). (Fathul Bari XIII/7)
Dan beliau berkta pada halaman yang lain:”Sesungguhnya seorang
pemerintah kafir itu harus dipecat menurut ijma’. Kaum muslimin harus
melakukan hal itu, barang siapa yang mampu mengerjakannya ia mendapat
pahala dan bagi yang memberikan toleransi mendapatkan dosa dan bagi yang
tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.” (Fathul
Bari XIII/123)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar