Terus Murjiatul ‘Ashr sengaja mengambil ucapan yang dinisbatkan
kepada Ibnu Abbas dan yang serupa dengannya dari ucapan-ucapan lain yang
bersumber dari sebagian tabi’in seperti Thawus, anaknya dan Abu Miqdaz,
yang mana semuanya tentang Khawarij, dan mereka berlari girang
dengannya, untuk mereka tempatkannya secara dusta dan mengada-ada pada
tempat yang bukan tempatnya, realita yang bukan realitanya dan kondisi
yang yang bukan kondisinya, dengan dalil bahwa lafadh yang dijadikan
hujjah oleh mereka ini di dalamnya ada ucapan Ibnu Abbas sembari sambil
mengkhithabi orang-orang tertentu tentang kejadian tertentu:
“Sesungguhnya ia bukan kekafiran yang kalian yakini” maka kalimat “Yang
kalian yakini” adalah khithab terhadap khawarij dan orang-orang yang
mengikuti mereka pada zamannya dalam kasus yang ma’lum lagi ma’ruf, jadi
ucapannya bukan dalam penafsiran ayat, namun dalam manath yang keliru
yang dikomentari oleh Khawarij sembari keliru di dalamnya, dengan dalil
bahwa ayat ini pada dasarnya berbicara tentang kufur yang mengganti
aturan Allah, baik mereka itu Yahudi atau yang lainnya, dan akan datang
rincian ini. Maka apakah masuk akal bila Ibnu Abbas atau yang lainnya
dari kalangan ahlul islam berkata tentang penggantian orang-orang Yahudi
atau yang lainnya akan hukum atau had dari hududullah – seperti diyat
atau had zina – adalah pada manath yang bathil yang mana Khawarij ingin
menempatkannya di dalamnya, dan ia bukan dalam penjelasan dan penafsiran
ayat itu ... maka perhatianlah dan janganlah kamu terperdaya dengan
talbis-talbis kaum sesat.
Al-‘Allamah As Salafy Ahmad Muhammad Syakir berkata dalam catatan
kakinya terhadapUmdatut tafsir tentang atsar ini: “dan atsar-atsar –
dari Ibnu Abbas dan yang lainnya – ini tergolong apa yang dipermainkan
oleh orang-orang yang menyesatkan pada zaman kita ini dari kalangan yang
intisab kepada ilmu dan kalangan lainnya yang telah berani terhadap
dien ini: mereka menjadikannya sebagai udzur atau pelegalan bagi
undang-undang berhala jadi-jadian yang telah diterapkan secara aniaya di
atas negeri Islam.” 4/156
Dan beliau rh dalam tempat itu juga menukil ta’liq saudaranya Mahmud
Syakir terhadap atsat-atsar yang serupa, di dalamnya Abu Mijlaz sedang
beliau adalah dari kalangan tabi’in mengkritisi sebagian kalangan
Khawarij di zamannya, Ath Thabariy menuturkannya dalam tafsirnya 10/348,
berkata: ya Allah, saya berlepas diri di hadapan-Mu dari kesesatan, wa
ba’du: sesungguhnya kalangan penebar keraguan dan fitnah dari kalangan
yang tampil berbicara di zaman kita ini, dia telah mencari-cari alasan
pengudzur buat para penguasa dalam sikapnya meninggalkan al hukmu bimaa
anzalallah dan dalam memberikan keputusan berkenaan dengan darah,
kehormatan dan harta dengan syariat Allah yang telah Dia turunkan dalam
kitab-Nya, serta dalam sikap mereka menjadikan qanun ahli kufri sebagai
syariat (aturan yang berlaku) di negeri Islam. Dan tatkala dia
mendapatkan dua atsar ini maka dia menjadikannya sebagai pendapat yang
dengannya dia memandang kebenaran putusan hukum dalam hal harta dan
kehormatan juga darah dengan selain apa yang telah Allah turunkan dan
bahwa menyelisihi syariat Allah adalah dalam al qadla al ‘aam
(putusan/hukum yang umum) adalah tidak membuat kafir orang yang ridla
dengannya dan yang mengamalkan di atasnya..”
Dan beliau menuturkan munasabah atsar-atsar ini dan bahwa ia itu
adalah munadharah bersama khawarij yang ingin mengkafirkan para penguasa
zaman mereka dengan maksiat yang tidak sampai pada kekafiran, kemudian
ia berkata: Jadi pertanyaan mereka itu bukan tentang apa yang dijadikan
hujjah oleh ahli bid’ah zaman kita, berupa putusan hukum dalam hal
harta, kehormatan, dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi ahlu
islam dan bukan pada dalam hal pengguliran qanun (UU) yang mesti
diterapkan terhadap ahlul islam dengan cara merujuk hukum kepada hukum
selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya saw.
Perbuatan ini adalah keberpalungan dari hukum Allah, bentuk kebencian
akan dien-Nya, dan sikap lebih mengedepankan hukum-hukum orang kafir
terhadap hukum Allah swt, sedangkan ini adalah kekafiran yang tidak
seorang pun dari ahlu kiblat dengan berbagai ragamnya ragu akan
kekafiran orang yang mengatakannya dan yang mengajak kepadanya.”
Selesai.
Bila orang obyektif yang diberikan taufiq untuk mencari al haq telah
mengetahui ini semua serta paham penempatan ucapan yang dinisbatkan
kepada Ibnu Abbas dan kalangan salaf lainnya itu(1), serta (paham) akan
realita (waqi’) yang mana ucapan itu dilontarkan, juga (mengetahui) ciri
orang-orang yang mana ucapan itu dierahkan terhadap mereka dan bentuk
ucapan-ucapan mereka itu, terus dia melihat dengan mata bashirah
terhadap realita yang kita ada di dalamnya berupa pembuatan hukum yang
tidak Allah izinkan dan menjadikan hukum-hukum yang rendah berupa sampah
undang-undang buatan dan hawa nafsu manusia sebagai pengganti
hukum-hukum Allah, aturan-aturan-Nya serta hudud-Nya yang suci, maka
pasti mengetahui kebobrokan talbis yang besar dan penyesatan yang nyata
itu yang dilakukan oleh Murjiatul ‘Ashr dengan menempatkan nushush itu
pada realita-realita yang sangat berbeda dengan realita yang mana
nushush itu dilontarkan, sebagai bentuk penutupan akan kebijakan yang
dilakukan di zaman ini dan para pelakunya.
Apakah Muawiyah, Ali dan para sahabat yang bersama mereka di hari
saat kaum khawarij menghadang mereka dengan hujjah-hujjahnya itu, mereka
mengklaim memiliki wewenang membuat hukum di samping Allah? Atau apakah
mereka itu membuat undang-undang dan UUD kafir yang menegaskan bahwa
(kekuasaan legislatif/pembuatan hukum) itu berada dengan amir dan
majelis rakyat (baca MPR/DPR) sesuai undang-undang dasar(2) sebagaimana
itu realita pada negara-negara yang disebut islam pada hari ini?
Sungguh jauh sekali para sahabat dari berbuat ini, dan sangat-sangat
tidak mungkin mereka melakukan itu, bahkan jauh sekali Murjiah zaman
mereka dari kekafiran yang nyata ini.
Catatan kaki:
(1) Karena sesungguhnya banyak dari salaf seperti Al Imam Ahmad,
saat mereka berbicara tentang firman Allah ta’ala: “Dan siapa yang tidak
memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah
orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) mereka menukil apa yang masyhur
seputar ayat ini berupa ucapan sahabat dan tabi’in dan mereka
menafsirkannya dengan ungkapan-ungkapan itu, karena mereka mengetahui
manath (tempat ruang lingkup penerapan) yang mana ungkapan-ungkapan itu
dikatakan di dalamnya, terus mereka mengakui ungkapan-ungkapan itu dan
memberikan bukti dengannya pada manathnya atau yang serupa dengannya,
maka tidak halal menukil ucapan-ucapan mereka dan isytisyhadnya pada
selain manathnya, karena itu adalah dusta atas nama mereka dan
penisbatan terhadap mereka apa yang tidak pernah mereka katakan, kecuali
dengan dalil dari ucapan mereka yang menunjukkan bahwa mereka itu dari
pemahaman-pemahaman yang sakit ini, namun demikian tidak ada yang
ma’shum setelah Nabi saw, kemudian bila terjadi hak seperti itu dari
salah seorang di antara mereka, maka kami akan mengatakan: “setiap orang
diambil dan ditolak dari ucapannya kecuali Nabi saw.”
(2) Materi ini adalah ayat 51 dari UUD Kuwait, dan saudaranya yang
tidak syar’i UUD Mesir no. 86 dan dengan lafadh: Majelis rakyat memegang
kekuasaan legislatif”, dan saudaranya dalam UUD Yordania no. 25 dan
dengan lafadh: Kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Rakyat dan
Raja...” Ini tergolong apa yang ada di tangan saya saat ini berupa UUD
mereka, dan siapa yang ingin tambahan silakan merujuknya.
Catatan kaki selesai.
Dan kemudian apakah para sahabat membuat undang-undang menurut hukum
rakyat dab keinginan mereka atau mengikuti keinginan mayoritas dan
menjadikan hal itu sebagai pengganti hudud Allah ta’ala yang tinggi lagi
suci...?
Jauh sekali sahabat dari hal itu dan bahkan jauh sekali orang-orang
dungu, orang-orang gila, para pengekor dan kalangan awam pada zaman itu
dari kekafiran nyata macam ini. Mana mungkin hal seperti itu terbayang
ada pada mereka, sedangkan mereka itulah orang-orang yang telah
menyirami tanah dengan darah mereka yang suci dalam rangka kejayaan dan
kemenangan syariat dienullah.
Dan kami hannya mengatakan, seandainya seseorang melakukan hal
seperti itu pada masa itu, tentulah Khawarij tidak menghujjahkannya
dengan nash-nash yang tidak sharih dalam bab tasyri’, seperti firman-Nya
ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah
turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) Dan
tatkala mereka meninggalkan nash-nash lain yang tegas dan qath’iy
dilalahnya(1) terhadap kekafiran para pembuat hukum/UU/UUD (musyarri’in)
dan bahwa mereka itu thawaghut dan arbab yang diibadati selain Allah,
seperti firman-Nya ta’ala: “Bila kalian menuruti mereka maka
sesungguhnya kalian itu orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121) dan
firman-Nya ta’ala: “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang
mensyariatkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.”
(Asy Syura: 21), dan firmannya ta’ala: “Dan Dia tidak menyertakan
seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26) dan ayat lain yang serupa
yang tidak mungkin samar atas para sahabat yang mana para sahabat
meremehkan bacaan Al Qur’annya bila dibandingkan dengan bacaan Khawarij
itu, atau firman-Nya ta’ala: “Dan sebagian kita tidak menjadikan
sebagian yang lain sebagai arbab selain Allah.” (Ali Imran: 64), dan
firman-Nya ta’ala: “mereka (Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan alim
ulama dan rahin-rahib mereka sebagai arbab selain Allah.” (At Taubah:
31) dan yang lainnya, namun ternyata mereka tidak menyebutkan satu pun
dari itu, karena tidak satupun darinya yang bisa pas diterapkan kepada
kasus mereka itu. Dan tidak mungkin hal seperti ini samar terhadap Ibnu
Abbas seandainya kasus mereka berkisar seputar itu – bagaimana sedangkan
beliau adalah habrul Qur’an dan perawi sebab nuzul firman-Nya ta’ala: “
Dan bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu adalah
orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121)
Al Hakim telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari beliau ra,
bahwa ia berkata: (Sesungguhnya sekelompok dari kaum musyrikin mendebat
kaum muslimin dalam masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka
berkata: “Kalian makan dari (daging hewan) yang kalian bunuh dan kalian
tidak makan dari (daging hewan) yang Allah bunuh? Maka Allah ta’ala:
“Dan bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu adalah
orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121). Maka ini menunjukkan bahwa
pembuatan hukum/UU/UUD atau orang yang mengikuti hukum buatan selain
Allah walaupun dalam satu masalah adalah musyrik kafir terhadap Allah,
berbeda dengan hakim atau qadli yang aniaya yang tidak merujuk kepada
aturan dan dien (hukum) selain dien (hukum) Allah(2) dan tidak
menjadikan bagi dirinya atau bagi yang lainnya wewenang pembuatan hukum,
terus dia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan,
dengan makna dhalim, aniaya dan hawa nafsu bukan dengan makna tasyri’
(pembuatan hukum) dan penggantian hukum (istibdal), maka ini tidak lebih
dari statusnya sebagai hakim yang dhalim lagi aniaya, dan tidak menjadi
kafir walau memutuskan dengan gambaran seperti ini seratus kali selama
tidak menghalalkannya...)
Seandainya kasus mereka ini seperti bencana kita ini, tentulah beliau
ra dan para sahabat lainnya tidak akan pernah sungkan dalam takfier
orang yang melakukannya. Karena mengetahui benar kalau tasyri’
(pembuatan/penetapan hukum) walau dalam satu kasus atau satu masalah
pada hal yang tidak boleh kecuali bagi Allah adalah syirik akbar
terhadap Allah, kufrun fauqa kufrin, dhulmun fauqa dhulmin, dan fisqun
fauqa fisqin, bahkan sesungguhnya sekedar memalingkan haq tasyri’ atau
mengklaimnya bagi seseorang dari makhluk ini (amir atau presiden atau
raja atau rakyat atau MPR) adalah syirik dan kufur akbar, sama saja baik
ia membuat hukum atau tidak, dan sama saja apakah orang yang
memalingkan hal itu mengikuti hukum buatan mereka ataupun tidak ...
sehingga nampaklah bahwa realita mereka itu berbeda dengan realita kita
dan fitnah mereka berbeda dengan fitnah yang menimpa kita, maka
pahamilah perbedaan antara dua realita dan dua kasus, dan hati-hatilah
dari pencampurbauran dan talbis yang menghantarkan kepada ridla thaghut
dan iblis.
Catatan kaki:
(1) Nash qath’iy dilalah: adalah nash yang menunjukkan kepada mana
tertentu yang dia pahami darinya dan tidak mengandung takwil dan tidak
ada peluang untuk memahami makna lainnya darinya, sedangkan Dhanniy
dilalah: adalah nash yang menunjukkan kepada suatu makna namun ada
kemungkinan untuk ditakwil dan dipalingkan dari makna ini serta
dimaksudkan darinya makna yang lain.
(2) Dan untuk makna seperti ini Abu Mijlaz telah mengisyaratkan
dalam ucapannya tentang syari’at Allah: “Ia adalah dien mereka yang
mereka amalkan.” Dalam munadlarahnya bersama Khawarij seraya
mengisyaratkan kepada para penguasa zamannya yang tidak membuat dien
(hukum/UU) selain dienullah, dan mereka tidak mengganti dan tidak pula
menetapkan undang-undang, namun muncul dari mereka sebagian kesalahan
yang mana Khawarij ingin mengkafirkan mereka dengannya. Dan silakan
atsar-atsar dalam hakl itu ditafsir firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang
tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan....” (Al Maidah:
44) dari tafsir Ath Thabariy dan Ta’liqat Mahmud Syakir terhadapnya.
Catatan kaki selesai.
v Kehujjahan ucapan shahabiy
Ya taruhlah wahai saudara-saudara setauhid bahwa Ibnu Abbas – sedang
ia adalah manusia yang tidak ma’shum bisa benar dan bisa salah –
memaksudkan dengan ucapan yang dinisbatkan kepadanya realita kita ini –
dan itu adalah mustahil sebagaimana yang engkau ketahui karena saat itu
tidak ada hal yang serupa dengannya – maka apakah kita benturkan
perkataan Ibnu Abbas dengan firman Allah dan sabda Rasul serta dalam
suatu masalah dari masalah-masalah tauhid yang mana para Rasul semuanya
di atas dengannya, yaitu al kufru bitthaghut yang mana ia adalah separuh
kalimah tauhid?
Tidak ragu bahwa jawaban atas hal ini dipahami oleh para penuntut
ilmu yang masih dini apalagi orang yang intisab kepada ilmu, dakwah dan
du’at, karena tidak ada hujjah dalam dien kita selain firman Allah dan
sabda Rasul saw.
Bukankah Ibnu Abbas itu sendiri yang berkata sebagai bantahan
terhadap orang yang menghujjatinya dalam masalah Mut’atul Hajji (haji
tamattu’) dengan perbuatan Abu Bakar dan Umar, sedangkan mereka berdua
adalah mereka ra: Hampir saja turun menimpa kalian batu dari langit,
karena saya mengatakan Rasulullah telah mengatakannya, dan kalian malah
berkata: Abu Bakar berkata dan Umar berkata.”
Dan kami katakan berulang-ulang: Tidak mungkin Ibnu Abbas ngawur atau
rancu atau menyelisihi dalam hal inti dari inti-inti dien seperti ini,
sedangkan ia adalah Turjumanul qur’an, namun yang kami maksud adalah
mengingatkan bahwa ucapan shahaby itu bukan dien dan bukan hujjah dalam
dienullah saat ada perselisihan, maka apa gerangan bila dikira-kirakan
bahwa itu menyelisihi firman Allah atau sabda Rasulullah saw.
Namun yang mendesak kami untuk mengingatkan dengan hal-hal yang umum
diketahui adalah apa yang sering sekali kami mendengarnya dari Murjiah
zaman kita yang membela-bela para thaghut, yaitu berupa sikap
mendahulukan di hadapan Allah dan membenturkan firman-Nya yang nyata
jelas tentang syiriknya menjadikan makhluk sebagai arbab dengan bentuk
tasyri’, tahlil, dan tahlim dengan ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas itu (kufrun duna kufrin).
Catatan kaki:
(1) Dikecualikan ucapan shahabiy “dalam sebab nuzul” karena
hukumnya adalah hukum rafa’ (marfu’)
Dan serupa dengan setiap apa yang tidak mungkin diucapkan dari sisi
pendapat, sebagaimana yang ma’lum, tapi disyaratkan shahabiy itu bukan
tergolong orang yang banyak meriwayatkan dari Bani Israil.
Catatan kaki selesai.
Penjelasan Bahwa Al Hukmu Dengan Makna Tasyri Adalah
Kekafiran Denga Sendirinya Berbeda Dengan Al Hukmu
Dengan Makna Al Jaur (Aniaya) Dalam Vonis
Maka Ada Rincian Di Dalamnya
Dan Bahwa Kekafiran Para
Thaghut Dan Kaki Tangan
Mereka Pada Hari Ini
Adalah Termasuk
Macam Pertama
Dan dalam rangka menghabisi semua syubhat Murjiatul ‘Ashr dan para
penerus Jahm dan Bisyr Al Mirrisiy, tinggal kami mengingatkan al akh al
muwahhid terhadap makna al hukmu bighairi maaanzalallah yang mana Allah
ta’ala vonis pelakunya dengan vonis syirik dan kufur yang mengeluarkan
dari millah tanpa disebutkan bersamanya istihlal dan i’tiqad atau yang
lainnya sebagai qa’id (batasan) untuk hal itu, dan bahwa itu adalah
tasyri aam dan mulzam (yang mesti diterima) yang dijadikan para thaghut
masa kini sebagai hak mereka dan bagi para pengikut mereka dari kalangan
rakyat dengan perantaraan parlemen kafir mereka, dan ia adalah suatu
amalan dari amalan-amalan kekafiran murni yang pelakunya dikafirkan
tanpa dikatakan padanya apakah ia menghalalkan atau tidak, dan apakah ia
meyakini atau tidak, berbeda dengan al jaur dalam putusan dan vonis
sedang ia komitmen dengan Islam dan ajarannya serta tidak mengganti
suatu pun darinya, maka ini ada rincian yang masyhur lagi ma’lum di
dalamnya antara orang yang meyakini lagi menghalalkan atau orang yang
maksiat lagi mengikuti hawa nafsu atau syahwat dan yang lainnya. Dan
rincian yang akhir ini dijadikan talbis oleh Murjiatul ‘Ashr dan para
syaikhnya terhadap umat dan manusia dengan menempatkan rincian itu pada
macam pertama yang kufur yang muncul dari para thaghut masa kini, di
mana kaum Murjiatul ‘Ashr ini mengeluarkan kebejatan-kebejatan mereka
yang keji ini di hadapan mereka bahwa itu adalah maksiat yang mana para
pelakunya tidak kafir kecuali dengan istihlal dan juhud.
Maka engkau mesti mengetahui makna tasyri’ yang mana ia berkaitan
dengan syirik dan tauhid, serta engkau memahami perbedaan antara hal itu
dengan al hukmu yang berkaitan dengan al furu’ (cabang-cabang) supaya
hilang darimu talbis Murjiatul ‘Ashr dan isykal yang bisa terjadi pada
dirimu dalam ucapan sebagian salaf saat mereka menggabungkan antara al
hukmu bighairi maa anzalallah dengan sebagian dosa-dosa yang tidak
mengkafirkan yang mana Rasulullah telah menamainya sebagai kekafiran,
dan mereka menggolongkan sebagian itu semuanya dalam al kufru ashghar
yang pelkunya tidak dikafirkan kecuali dengan istihlal, maka
sesungguhnya mereka memaksudkan dengan al hukmu di sini maknanya yang
tidak mengeluarkan dari millah bukan makna tasyr’iy tabdiliy yang muncul
dari para thaghut masa kini. Dan dari jenis ini adalah ucapan Ibnul
Qoyyim hal (61) dan halaman lainnya dari Kitabushshalah: “Dan bila ia
memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, atau melakukan
apa yang dinamakan kekafiran oleh Rasulullah saw, sedangkan ia komitmen
dengan Islam dan ajaran-ajarannya, maka telah ada padanya kekafiran dan
keislaman.” Selesai. Perhatikan ucapannya “sedangkan ia komitmen dengan
islam dan ajaran-ajarannya”, tentu engkau mengetahui bahwa mereka tidak
memaksudkan dalam ungkapan-ungkapan semacam ini al hukmu bighairi maa
anzalallahu dengan gambarannya yang bersifat tasyri’i pada zaman kita
ini ...(1).
Kepada rincian dan pemilahan ini syaikh Sulaiman Ibnu Abdullah Ibnu
Muhammad Ibnu Acdil Wahhab telah mengisyaratkan dalam kitabnya (At
Taudlih ‘An Tauhidil Khallaq Fi Jawabil Ahlil Iraq) hal: 141, di mana
beliau membagi Al Hukmu bighairi ma anzalallah kepada dua macam ini.
Satu macam syirky yang tauhid dan satu macam lagi dalam al furu’
Catatan kaki:
(1) Dan ini dekat dengan pembagian gurunya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah akan dua macam al hukmu bi ghairi maa anzalallahu dalam
Minhajus Sunnah 5/131 pada firman-Nya ta’ala:
“Demi Tuhanmu, mereka itu tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu
hakim dalam apa yang mereka perselisihkan” di mana beliau berkata: siapa
yang tidak iltizam (konsisten) mengacu kepada Allah dan Rasul-Nya dalam
apa yang mereka perselisihkan, maka Allah telah bersumpah dengan
diri-Nya bahwa dia itu tidak beriman).
Dan berkata juga: (Dan siapa yang tidak iltizam hukum Allah dan
Rasul-Nya maka ia kafir). (Dan adapun orang yang iltizam dengan hukum
Allah dan Rasul-Nya lahir batin, namun dia maksiat dan mengikuti hawa
nafsunya, maka dia sama seperti orang-orang seperti dia dari kalangan
ahli maksiat). Selesai.
Catatan kaki selesai.
Dan beliau jelaskan bahwa macam pertama adalah kekafiran haqiqiy yang
tidak ada iman di dalamnya. Dan adapun macam kedua(1), maka beliau
menyebutkan rincian yang ma’ruf di dalamnya ada dua bentuk:
- Bila lain tidak mengakui dan hati tidak tunduk(2), maka ia
juga kekafiran haqiqy yang tidak ada keimanan karenanya.
- Dan adapun bila ia mengetahui dengan hatinya dengan
lisannya terhadap hukum Allah namun ia melaksanakan kebalikannya secara
dlahir dalam furu’ secara khusus, maka ia bukan kekafiran yang
memindahkan dari millah, dan ia menuturkan dalam hal ini atsar-atsar
yang di antaranya ucapan Thawus: “Al Hukmu (memutuskan) dalam furu’
dengan selain apa yang telah Allah turunkan disertai pengakuan akan
hukum-Nya serta mencintainya bukanlah hal yang mengeluarkan dari
millah.” Dan beliau menjelaskan macam ini di tempat lain dalam Kitabnya
hal: 143 dengan ucapan: “Tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah
turunkan dalam Al Furu’ yang bukan tergolong ashluddin disertai
pengakuan akan hukum Allah di dalam hatinya dan ucapannya, dan
(disertai) mencintainya, memilihnya, dan tunduk kepadanya di dalam
keduanya (hati dan lisannya).” Selesai.
Perhatikan pemilahan Murjiatul ‘Ashri mencampurkan antara keduanya
karena kejahilan, atau talbis dan tadlis, terus mereka menerapkan macam
yang terakhir terhadap para thaghut masa kini yang membuat hukum, maka
begitu juga Khawarij telah mencampurkan dan bermaksud menjadikan macam
terakhir seperti yang awal walaupun tidak disertai dengan istihlal atau
juhud, oleh sebab itu syaikh Sulaiman berkata dalam tempat yang pertama:
“Dan Khawarij telah cenderung kepada umum berdasarkan dhahir ayat, dan
mereka berkata sesungguhnya ia adalah nash bahwa setiap orang yang
memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka ia kafir,
sedangkan setiap orang yang telah berbuat dosa maka ia itu telah
memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, sehingga wajib
ia itu menjadi kafir. Dan telah terjalin ijma Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
atas pernyataan yang menyelisihi mereka, sedang kami tidak mengkafirkan
kecuali orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah
turunkan, berupa tauhid, justru dia malah memutuskan dengan lawannya,
dia melakukan syirik, muwalah kepada para pelakunya dan membantu mereka
atas kaum muwahhidin.” Selesai.
Catatan kaki:
(1) Dan ia adalah hal yang mana Khawarij dan Murjiah masa kini
ngawur di dalamnya.
(2) Dan ini adalah isyarat terhadap juhud, istihlal dan yang
lainnya.
Catatan kaki selesai.
Saya katakan: Dan begitu juga kami sesungguhnya orang-orang yang kami
kafirkan dengan sebab al hukmu bighairi maa anzalallah, kami tidak
mengkafirkan mereka karena putusan mereka dengan furu’ dengan arti
aniaya dalam vonis dan yang lainnya tanpa istihlal, sebagaimana ia
thariqh khawarij. Dan kami kafirkan mereka hanya karena putusan mereka
dengan selain apa yang telah Allah turunkan itu tergolong macam
tasyri’iy syirkiy yang bertentangan dengan ashluttauhid, dan karena
mereka mengikuti hakam (pemutus hukum) dan musyarri’ (pembuat hukum)
selain Allah ‘azza wa jalla, serta mencari dien (hukum) dan syari’at
(aturan) selain dien dan syari’at-Nya dan juga karena sikap tawalli
mereka terhadap ahlisysyirki dan para thaghutnya dengan berbagai
ragamnya, serta sikap dukungan terhadap mereka atas kaum muwahhidin.
Pahami ini dan jangan kamu termasuk orang yang terpengaruh oleh
talbis-talbis dan pengkaburan Murjiatul ‘Ashri dan bedakan antara apa
yang para Rasul dan para pengikutnya melakukan takfier dengannya, dengan
apa yang mana kaum Khawarij serta sebangsanya melakukan takfier
dengannya.
Kemudian ketahuilah bahwa tasyri’ dan istibdal adalah kekafiran murni
yang tidak boleh dikatakan di dalamnya, apakah dia istihlal, atau
meyakini atau juhud? Batasan-batasan ini hanyalah berlaku pada macam
terakhir yang mana Khawarij ngawur di dalamnya.
Ahlul Kitab yang tentang mereka Allah turunkan firman-Nya ta’ala:
“Mereka menjadikan alim ulama dan rahib-rahib mereka sebagai arbab
selain Allah,” (At Taubah: 31) telah kafir dengan sebab tasyri’ taat
kepada para pembuat hukum dalam hal itu serta mengikuti mereka terhadap
aturan-aturan/hukum-hukum/UU/UUD yang mereka buat, dan tidak boleh
dikatakan bahwa mereka kafir karena keyakinan mereka bahwa itu
diharamkan secara sebenarnya atau dibolehkan secara sebenarnya atau
bahwa mereka menghalalkan tasyri’ (istihlal qalby) atau bahwa mereka
meyakini bahwa mereka memiliki hak dalam uluhiyyah atau rububiyyah.
Syaikh Abdul Majid Asy Syadzily berkata dalam (Haddul Islam Wa
Haqiqatul Iman) hal: 431: Sesungguhnya makna “mereka menghalalkannya”
atau “mereka mengharamkannya” bukanlah maknanya (i’tiqad) dengan makna
ilmu (mengetahui) akan kebenaran sesuatu dan mengabarkan tentangnya,
akan tetapi mengamalkan sesuai dengan tuntunan pengharaman dan
penghalalan mereka berupa memutuskan dan merujuk hukum kepadanya..”
Dan orang-orang Yahudi tatkala mengganti had zina, dan mereka
bersepakat dan berijtima terhadap hukum selain hukum Allah, mereka tidak
meyakini kebolehan zina atau menghalalkannya, tetapi mereka tetap
meyakini keharamannya dengan pengharaman Allah terhadapnya, dan mereka
tidak juga mengklaim atau mengatakan bahwa hukum yang mereka buat itu
dari sisi Allah atau lebih adil, serta mereka tidak pula mereka
menegaskan sikap istihlal mereka terhadap tasyri’ atau bahwa mereka
meyakini bahwa mereka memiliki wewenang membuat hukum/UU (haq tasyri’)
atau hal serupa dengannya, namun justru mereka menjadi kafir dengan
sekedar kesepakatan mereka dan kemufakatannya terhadap suatu hukum dan
tasyri’ (aturan) selain hukum dan tasyri’ Allah, dan mereka itu menjadi
arbab bagi orang yang mentaati dan mengikuti mereka serta bersepakat
bersama mereka atas tasyri’ itu.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rh berkata dalam Kitabuttauhid:
“Siapa yang mentaati ulama dan umara dalam pengharaman apa yang Allah
halalkan atau dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan, maka ia
telah menjadikan mereka sebagai arbab selain Allah.” Selesai.
Orang yang mengikuti aturan para pembuat hukum yang bertentangan
dengan syari’at Allah adalah orang musyrik yang telah menjadikan tuhan
(rabb) selain Allah, sedangkan si pembuat hukum/UU/UUD itu sendiri
adalah thaghut kafir yang menyekutukan dirinya bersama dengan Allah
dalam uluhiyyah hukum dan tasyri’... Dia ta’ala berfirman: “Dan Dia
tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26) dan dalam
qiraah Ibnu ‘Amir sedang ia tergolong sab’ah: “Dan janganlah kamu
menyebutkan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26) dengan shighat
nahyi (bentuk karangan), sedangkan tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD) bisa
jadi penyekutuan atau isytirak (berserikat) bersama Allah dalam hukum,
dan keduanya adalah kekafiran murni.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam risalahnya “Tisiniyyah”:
Penetapan wajib dan tahrim tidak lain adalah bagi Allah dan Rasul-Nya,
siapa orangnya memberikan sanksi atas perbuatan atau (atas) meninggalkan
tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya serta dia menjadikan hal itu sebagai
dien (ajaran/pegangan/acuan), maka dia telah menjadikan bagi Allah
tandingan-tandingan bagi Allah serta sama dengan kaum murtaddin yang
beriman kepada Musailamah Al Kadzdzab, dan ia tergolong orang yang
dikatakan Allah “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan
bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.” Asy-Syura: 21.
(Hal: 14 dalam Majmu’ah Fatawa Ibnu Taimiyyah juz 5 cet. Darul Fikr)
Syaikh Asy Syinqithi rh berkata dalam Adlwaul Bayan juz 7 hal 169:
Dan tatkala tasyri’ (aturan) dan seluruh hukum, baik itu syar’iyyah
ataupun kauniyyah qadariyyah adalah termasuk wewenang khusus Rububiyyah
maka setiap orang yang mengikuti aturan selain aturan Allah maka ia
telah menjadikan si musyarri (pembuat hukum/UU/UUD/aturan) itu sebagai
rabb (tuhan) dan mempersekutukan dia bersama Allah.” Selesai.
Dan berkata hal 173: “Dan bagaimanapun keadaannya maka tidak ada
keraguan bahwa setiap orang yang mentaati selain Allah dalam aturan yang
menyelisihi dengan apa yang Allah syari’atkan maka ia telah
mempersekutukan dia bersama Allah.”
Dan berkata di tempat lain: Dan dipahami dari ayat-ayat ini, seperti
firman-Nya: “Dan Dia tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al
Kahfi: 26) bahwa orang-orang yang mengikuti aturan/hukum/UU/UUD produk
para musyari’in selain apa yang telah Allah tetapkan sesungguhnya mereka
itu musyrikun billah. Dan mafhum ini ada dijelaskan dalam ayat-ayat
lain, seperti firman-Nya tentang orang yang mengikuti aturan syaithan
dalam pembolehan bangkai, dengan klaim bahwa ia adalah sembelihan Allah:
“Dan janganlah kalian makan dari hewan yang tidak disebutkan nama Allah
atasnya, karena ia adalah fisq, dan sesungguhnya syaitan-syaitan
membisikkan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian. Dan
seandainya kalian menaati mereka maka sesungguhnya kalian adalah
orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121), dimana Dia tegaskan bahwa mereka
itu musyrikin dengan sebab menuruti mereka...” Selesai.
Dan dalam firman-firman-Nya ta’ala: “Apa engkau tidak memperhatikan
orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa
yang diturunkan terhadapmu dan (kepada) apa yang diturunkan sebelummu,
mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka telah
diperintahkan untuk kafir terhadapnya, dan syaitan ingin menyesatkan
mereka dengan kesesatan yang jauh” (An Nisaa’: 60) beliau berkata juz 4
hal 83: Dan dengan nushash samawiyyah yang telah kami sebutkan ini
nampaklah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti
qawanin wadl’iyyah yang disyari’atkan syaithan lewat lisan wali-walinya
seraya menyelisihi apa yang disyari’atkan Allah ‘Azza wa Jalla lewat
lisan Rasul-Nya saw adalah tidak ada yang meragukan kekafiran dan
kemusyrikan mereka kecuali orang yang telah Allah hapus bashirahnya dan
Dia butakan dari cahaya wahyu, seperti mereka.” Selesai.
Abdul Majid Asy Syadziliy berkata dalam kitabnya (Haddul Islam Wa
Haqiqatul Iman)(1): “Dan tidak ada bedanya dalam tasyri’ (pembuatan
hukum/UU) ini antara ibahah (pembolehan) dengan yang lainnya. Di mana si
pembuat hukum/UU tidaklah memerintahkan untuk minum atau menghalalkan
minum, namun itu kembali kepada dien (keyakinan/agama) setiap individu
di masyarakat, sedangkan si pembuat hukum itu memisahkan antara dien
dengan negara dan dia itu pembuat hukum negara, sedang agama (dien)
dalam pandangan dia adalah hubungan antara hamba dengan Tuhannya,
sehingga taat kepada dia dalam hal itu tidak ada urusannya dengan
perbuatan dan tidak pula dengan istihlal namun dalam sikap si anggota
masyarakat menghormati pembolehan ini serta mengakui akan haq dia dalam
pelaksanaan tugasnya.
Dan tidak ada pula urusannya dengan keyakinan dengan arti mengetahui
akan perintah, karena kaum Yahudi saat bersepakat atas sanksi dera dan
pencorengan wajah sebaga ganti rajam, mereka itu tetap merasa berdosa
dengan sebab itu sehingga mereka mencari jalan keluar fiqh baginya, dan
karenanya mereka berkata: “Pergilah kepada Nabi ini, karena sesungguhnya
dia telah diutus dengan bawa peringanan, kemudian bila dia memberi
fatwa kalian dengan dera dan tahmim maka ia adalah hujjah bagi kalian di
sisi Allah,” dan bila kalian tidak diberi hal itu maka hati-hatilah.”
(Al Maidah: 41)
Berkata dalam kitabnya “Haqiqatul Iman” hal: 95 seputar sebab turun
firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang
Allah turunkan maka merekalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)
sungguh tergolong yang maklum dalam sebab nuzul ayat ini adalah bahwa
kaum Yahudi hanyalah merubah hukum yang ada dalam taurat tanpa
membuangnya darinya, dan tanpa meyakini bahwa di sana ada hukum baru
yang turun dari sisi Allah, namun mereka hanya merubahnya dengan tetap
membiarkan hukum yang asli ada, dan itu terjadi karena sekedar terasa
berat hal itu atas mereka dan ketidakmampuan mereka untuk
melaksanakannya karena sebab kefasikan mereka. Ath Thabari berkata dalam
Tafsir firman-Nya ta’ala: “Dan bagaimana mereka menjadikan kamu sebagai
hakim, sedangkan di sisi mereka ada Taurat.” (Al Maidah: 43): “Dan di
sisi mereka ada Taurat yang telah Aku turunkan kepada Musa, dan yang
mereka akui, dan bahwa apa yang ada di dalamnya berupa hukum maka ia
tergolong hukum-Ku. Mereka mengetahui hal itu sembari tidak merasa asing
dengannya dan tidak bisa mengingkarinya, dan mereka mengetahui bahwa
hukum-Ku di dalamnya terhadap pezina muhshan adalah rajam. Dan mereka
padahal mengetahui akan hal itu namun mereka berpaling.” Dia berkata:
“Mereka meninggalkan memutuskan hukun dengannya setelah mengetahui akan
hukum Aku di dalamnya sebagai bentuk kelancangan terhadap-Ku dan
pembangkangan terhadap-Ku.”
Dan al haq bahwa pendapat ini dalam masalah ini tidak mengandung
mukabarah, karena dalam manthuq ungkapan dan dalam mafhumnya tidak ada
sedikitpun syarat terhadap apa yang mereka klaim bahwa ia adalah al haq
al ilahiy yang sesuai tuntutannya sebagian nashara dan Yahudi merubah
hukum hukum berdasarkan apa yang mereka yakini pada para alim ulama
mereka bahwa wahyu masih senantiasa turun kepada mereka supaya mereka
merubah apa yang ada pada mereka dengan keinginan Allah. Ini adalah
suatu hal sedangkan apa yang datang tantang kekafiran orang yang merubah
hukum-hukum ini disertai mengakuinya adalah hal lain.” Selesai.
(1) Hal 383 Terbitan Universitas Ummul Qura
(2) Dan ini adalah hal yang sumpah terhadapnya anggota Parlemen
syirik dan para menteri dalam sumpah serta kepada UUD yang syirik yang
mereka lakukan sebelum memegang jabatan.
Lihat ayat 91 dan 126 dari UUD Kuwait dan ayat 43, 79 dan UUD
Yordania.
Catatan kaki selesai.
Dan dekat darinya macam yang telah disebutkan Syaikhul Islam
Ash-Sharimul Maslul hal 521 saat beliau berbicara tentang macam-macam
istihlal: Dan terkadang dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan
dia mengetahui bahwa Rasul hanyalah mengharamkan apa yang telah Allah
haramkan, kemudian dia menolak dari komitmen dengan tahrim ini dan dia
i’nad (membangkang)(1) terhadap yang mengharamkan, maka ini lebih
dahsyat kekafirannya dari orang yang sebelumnya.” Selesai.
Catatan kaki:
(1) “I’nad dan tafdlil” adalah kata-kata yang dipermainkan
Murjiatul ‘Ashri untuk melariskan keislaman para thaghut pembuat hukum
saat mereka terang-terangan menyatakan dalam waktu yang mana mereka
memerangi dien dan merobohkannya dengan segenap sarana dan cara yang
mereka mampu di dalamnya, mereka mengatakan: “Tidak ragu bahwa hukum
Allah adalah yang paling utama dan kami berharap bisa memberlakukannya,
dan kalian berdoalah buat kami dan bantulah kami.” Dan talbis-talbis
mereka lainnya yang diwahyukan (dibisikkan) kepada mereka oleh
syaithan-syaithan jin dan manusia dari kalnagan para penasehat
(mustasyar) thaghut yang mengetahui benar kependiran dan kedunguan
Murjiah masa kini yang tampil untuk dakwah dan sebagai du’at, karena
mayoritas para penasehat thaghut itu seandainya engkau menelusuri
sejarah mereka tentulah engkau dapatkan mereka itu memiliki akar/latar
belakang bersama jama’ah-jama’ah irja ini, dan tidak ada yang
menghantarkan mereka kepada jabatan-jabatan mereka ini kecuali madzhab
irja dan istihsan serta istihlah (penilaian maslahat)
jama’ah-jama’ahnya. Dan saya bertanya tentang gambaran realita yang kita
rasakan langsung saja, demi Allah Tuhan kalin, apakah di sana ada yang
lebih besar ‘inad, dan sikap pemerangannya terhadap dien ini dan
syari’at-Nya, serta lebih pengutamaannya akan hukum thaghut terhadap
syari’at-Nya daripada orang yang mengetahui dan mengenal serta
terang-terangan menyatakan bahwa dia mengetahui dan mengenal bahwa hukum
Allah dan syari’at-syari’at-Nya lebih utama dari hukum thaghut, namun
bersama pengetahuan dia dan penegasannya ini, dia tidak memilih kecuali
hukum thaghut dan syari’at-Nya, dan ia bukanlah sekedar pilihan yang
bersifat pribadi murni, namun dia justru mengharuskan manusia untuk
mengikutinya dan masuk di dalamnya serta memberi hukuman kepada orang
yang meninggalkannya dan melanggar batasan-batasannya, disertai
pelanggaran dia terhadap batasan-batasan Allah siang malam, pelegalannya
dan ajakannya bahkan perintahnya kepada manusia untuk melanggarnya
dengan pintu-pintu dan berbagai sarana. Bila hal seperti ini bukan i’nad
maka di dunia ini seluruhnya tidak ada i’nad, oleh sebab itu engkau
akan melihat dari ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab setelah ini
bahwa beliau memvonis i’nad terhadap orang yang meninggalkan tauhid
setelah mengetahuinya dan beliau menjadikan dia seperti Fir’aun dan
iblis, maka bagaimana gerangan dengan orang yang memerangi tauhid dan
berupaya untuk menghancurkannya padahal dia menegaskan akan
pengetahuannya, sehingga orang yang meninggalkan inti tauhid bisa saja
kafir mu’ridl (yang berpaling) atau a’lim mu’anid, sedangkan mu’nid itu
tidak mesti muharib dalam semua kondisinya, namun di sana ada mu’anid
muharib (yang memerangi) dan di sana ada mu’anid (yang berpaling lagi
komit dengan kebalikannya), dan tidak ragu bahwa para thaghut itu
tergolong mu’anidin muharibin demi Tuhan Ka’bah, serta hal ini tidak
samar kecuali atas orang-orang buta. Dan begitu juga tafdlil dengan
lisan, dan ia lebih nyata dengan perbuatan, sedangkan tafdlil itu tidak
lain adalah memilih suatu yang lebih utama, mengikutinya dan
memegangnya.
Catatan kaki selesai.
Dan begitu juga Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam
Kasyfusy Syubuhat hal (28): “Tidak ada perselisihan bahwa tauhid itu
mesti terbukti dengan hati, lisan, dan amal. Bila sesuatu darinya lenyap
maka orang itu bukanlah muslim, kemudian bila dia mengenal tauhid dan
tidak mengamalkannya maka dia itu kafir mu’anid seperti Fir’aun, iblis
dan yang serupa dengannya. Dan ini banyak manusia keliru di dalamnya,
mereka mengatakan: ini haq dan kami paham ini serta kami bersaksi bahwa
inilah kebenaran, namun kami tidak kuasa melakukannya, dan tidak boleh –
yaitu tidak diterima dan tidak bisa berjalan – pada penduduk negeri
kami kecuali orang yang sejalan dengan mereka serta alasan-alasan
lainnya. Dan orang miskin ini tidak tahu bahwa keumuman tokoh-tokoh
kekafiran mengetahui al haq dan mereka tidak meninggalkannya kecuali
karena sesuatu dari alasan-alasam itu, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit” (At Taubah:
9) dan ayat-ayat lainnya.” Selesai.
Dan serupa dengan ini atau bahkan lebih dahsyat apa yang diklaim oleh
sebagian para thaghut masa kini bahwa mereka itu mengakui syari’at
Allah dan dien-Nya dan bahwa ialah yang paling afdhal, paling sempurna,
paling baik dan wajib diberlakukan serta yang lainnya, terus mereka
menjadikan bagi mereka wewenang pembuatan hukum/UU/UUD sebagaimana yang
telah lalu dari UUD-UUD mereka, dan mereka mengganti hududullah dan
hukum-hukum-Nya dengan undang-undang dan aturan-aturan mereka yang
busuk. Mereka itu mengklaim bahwa mereka beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya serta kepada apa yang diturunkan kepada beliau dan kepada apa
yang diturunkan sebelumnya, terus mereka menempatkan diri mereka sebagai
arbab yang membuat hukun dan thaghut-thaghut yang memperhamba manusia
terhadap mereka dan mengharuskan mereka untuk mengikuti aturan-aturan
mereka yang bersebrangan dengan syari’at Allah dan mentaatinya serta
mereka menghalangi pemberlakukan syari’at Allah. Maka perbuatan mereka
ini pada bentuknya adalah perbuatan dan amalan kekafiran yang
mengeluarkan dari millatul islam, dan kita tidak mencari di dalamnya
tentang i’tiqad dan istihlal.
Al Imam Ibnu Hazm berkata dalamm Al Fashl 3/245 dalam penjelasan
firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu
adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan
dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa
yang diharamkan Allah. (Syetan) menjadikan mereka memandang baik
perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.” (At Taubah: 37). Dan sesuai ketentuan bahasa
yang mana Al Qur’an turun dengannya bahwa ziyadah (tambahan) dalam
sesuatu itu tidak terjadi kecuali darinya bukan dari selainnya.
Sehingga sahlah bahwa penangguhan bulan itu adalah kekafiran, sedang
ia adalah tergolong perbuatan, yaitu penghalalan apa yang Allah ta’ala
haramkan.
Siapa yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan sedang dia
mengetahui bahwa Allah ta’ala telah mengharamkannya maka ia kafir dengan
perbuatan itu sendiri....” Selesai.
Perhatikan ucapannya: “Sedangkan ia adalah tergolong perbuatan” dan
ucapannya” siapa yang menghalalkan apa yang Allah haramkan sedang dia
mengetahui bahwa Allah ta’ala telah mengharamkannya maka ia kafir dengan
perbuatan itu sendiri” dari mana merembes kepadanya syubhar i’tiqad.
Dan dalam hal ini ada faidah, yaitu bahwa istihlal sebagaimana ia
terjadi dengan i’tiqad tanpa amalan sesekali dan dengan i’tiqad bersama
amalan pada kali yang lain, maka sesungguhnya ia terjadi juga dengan
sekedar amalan.(1)
Catatan kaki:
(1) dan tergolong bab ini pemilahan ahlul ilmi antara orang yang
berzina dengan mahramnya wal’iyadzu billah dengan orang yang menikahi
salah seorang mahramnya, di mana dia melakukan akad nikah terhadapnya,
silakan rujuk Tahdzibul Atsar karya Ath Thabariy 3/441, Zadul Ma’ad dan
yang lainnya, di mana mereka menuturkan dalam hal ini apa yang
diriwayatkan Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, Abu Dawud, An Nasai dan yang
lainnya, dan ia adalah shahih dari Al Bara bahwa Nabi saw mengirim paman
Al Bara’ kepada laki-laki yang menikahi (mantan) istri bapaknya (ibu
tirinya) untuk membunuhnya,” dan dalam riwayat dari Mu’awiyah Ibnu
Qurrah dari bapaknya (bahwa beliau membagi lima hartanya)... maka ini
menunjukkan bahwa dia dibunuh sebagai orang kafir, sedang semua riwayat
menuturkan bahwa mereka meggusur dia keluar dan memenggal lehernya dan
mereka tidak menanyakannya, apakah dia menikahinya seraya meyakini
kehalalan hal itu atau tidak meyakini .... sehingga sahlah bahwa
istihlal itu bisa berbentuk amalan.
Catatan kaki selesai.
Jadi i’tiqad dalam hal istihlal atau tahlil bukanlah batasan dalam
kekafiran, namun ia adalah tambahan di dalamnya. Tidak ragu bahwa minum
khamr atau jatuh dalam zina atau makan riba, semua ini tidak sama dengan
membuat hukum untuk hal itu dengan cara menetapkan UU, kepres, dan
aturan-aturan yang menggantikan hududullah atau yang memperenteng lagi
mempermudah khamr dan zina atau yang melegalkan lagi membolehkan riddah
dan riba dengan disertai penjagaan hal itu, perlindungannya,
kesepakatan, persekongkolan atasnya dan kemufakatannya sebagai sistem
bagi pemerintahan. Yang pertama adalah hal yang dikatakan saat berbicara
tentang takfir, apakah ia menganggap halal atau tidak, karena ia adalah
dosa-dosa yang tidak mengkafirkan.
Adapun yang kedua, maka ia adalah kekafiran tasyri’, tahlil dan
tahrim, dan di dalamnya tidak usah menghiraukan keyakinan walaupun
pelakunya bersumpah sejuta kali bahwa ia tidak menganggap halal, kami
katakan kepadanya: “Jangan kalian mencari-cari alasan, sebab kalian
telah kafir.” (At Taubah: 66) dan Allah telah mendustakan kalian dan
menamakan iman kalian yang kalian klaim sebagai pengakuan.
Karena sungguh perbedaan yang sangat-sangat besar antara orang yang
bermu’amalah riba seraya merasa berdosa sembari mengharap kenikmatan
dunia dengan orang yang melegalkan riba bagi manusia, dia buatkan UU
untuknya, dia melindungi yayasan-yayasan dan bersepakat dan bermufakat
terhadapnya.
Dan juga perbedaan yang besar antara orang yang minum khamr seraya
merasa berdosa dengan orang yang melegalkan meminumnya bagi manusia, dia
memberi izin bar-bar untuk menjualnya, melindunginya, serta mengganti
had Allah dalam khamr dengan hukum-hukum dan UU yang rendah.
Dan perbedaan besar juga antara orang yang berzina seraya merasa
berdosa karena lebih mementingkan kehinaan dengan orang yang mengganti
had zina dan melegalkan pelacuran dengan UU yang menjadikan zina sebagai
pidana saja pada haq suami dan ditanyanya dan bila suami ridla maka
tidak ada pidana dan sanksi, namun ia boleh menurut mereka...(1)
Tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD) dan tahrimul halal atau tahlilul
haram sebagaimana yang telah engkau pahami adalah perbuatan kekafiran
murni dan bukan seperti dosa-dosa lain yang disyaratkan di dalamnya
keyakinan penganggapan halal, dan terkadang ditambahkan kepadanya
i’tiqad, sehingga menjadi kufur murakkab dan tambahan dalam kekafiran,
dan ia itu bukan batasan atau syarat bagi kekufuran di sini, karena kaum
musyrikin yang menghalalkan bulan-bulan haram dengan cara menukarnya
dengan waktu-waktu lain, mereka itu mengetahui dan meyakini dalam benak
jiwa mereka bahwa bulan-bulan haram di sisi Allah adalah bulan-bulan
yang pertama itu bukan yang mereka ada-adakan dan bukan yang mereka
tetapkan serta bukan yang merek ganti. Dan begitu juga inilah keyakinan
Yahudi saat mereka (mengganti) had zina atau (mereka sepakat) atau
(mereka kompromi) atau (mereka bersekongkol)(2) atas suatu hukum lain
dari diri mereka sendiri, dan mereka itu tidak menghalalkan zina dan
tidak menyatakan atas istihlal qalbiy mereka terhadap tasyri’ dan
tabdil, jadi kekafiran atau sebabnya di sini adalah perbuatan tabdil
atau tasyri’ atau ittifaq atau ijtima’ atau kompromi atau kemufakatan
atas hukum bukan syari’at Allah ta’ala. Sama saja baik mereka mengatakan
kami mengakui dalam hati kami atau mengingkari bahwa bulan-bulan yang
Allah haramkan adalah yang benar atau bahwa had zina yang telah Allah
turunkan ialah yang benar, atau tidak mengatakan, maka keyakinan itu
tidak ada guna untuk menyebutkannya di sini kecuali dalam rangka
penambahan dalam kekafiran, karena perbuatan mereka itu dengan
sendirinya adalah kekafiran dan penyekutuan bersama Allah dalam
hukum-Nya, sedangkan siapa yang menyekutukan dirinya bersama Allah dalam
tasyri’ (pembuatan hukum) maka ia telah merampas/menggugat Allah,
sedangkan para pengikutnya, ansharnya dan para penyokongnya atas itu
adalah orang-orang yang beribadah kepadanya.
Catatan kaki:
(1) Untuk mengenal contoh-contoh atas hal itu dalam undang-undang
mereka yang busuk, silakan rujuk kitab kami “Kasyfu Niqab ‘An Syari’atil
Ghab”.
(2) Ini adalah kata-kata yang mana sebab kekafiran dikaitkan
dengan dalam hadits-hadits yang datang tentang urusan kaum Yahudi dan
kekafiran mereka karena sebab mengganti hukum Allah, dan ia adalah
manath (sebab) vonis dengan kekafiran, serta dalam hadits-hadits itu
tidak ada penuturan akan i’tiqad atau juhud atau istihlal, silakan rujuk
hadits-hadits itu dan hafallah supaya dengannya engkau membungkam
mulut-mulut Murjiatul ‘Ashr.
Dan persis seperti ini adalah apa yang diisyaratkan oleh Syaikh Abdul
Majid Asy Syadziliy dalam “Haddul Islam Wa Haqiqatul Iman” hal: 428
dalam kata-kata yang disifati di dalamnya orang yang menjadikan alim
ulama dan para rahib sebagai arbab, dan dia sekutukan mereka bersama
Allah dalam tahlil dan tahrim, pada jalan-jalan hadits ‘Addiy, di mana
disebutkan: “maka mereka mengikutinya” maka mereka menurutinya. “Kalian
mengambil ucapan mereka” “maka mereka mengharamkannya dan
menghalalkannya” dan yang serupa dengannya, dan tidak ada dalam satu
riwayatpun “maka mereka meyakini bahwa ia halal” namun yang dimaksud
hanyalah komitmen mereka terhadap tahrim dan tahlil mereka, kompromi dan
bermufakat atasnya dan menjadikannya sebagai undang-undang dan hukum.
Karena kompromi, bermufakat dan bersepakat terhadap suatu aturan
selain aturan Allah serta komitmen dengannya walau dalam satu had atau
satu hukum adalah berbeda dengan sekedar taat kepada pembuat hukum atau
kepada yang lainnya dalam maksiat terhadap Allah walaupun itu berbilang,
dan yang disebutkan di dalamnya batasan istihlal atau i’tiqad, keduanya
adalah dua amalan yang berbeda yang mana Murjiatul ‘Ashri ngawur di
dalamnya. Dan bisa jadi mereka itu beralasan dengan sebagian ucapan
Syaikhul Islam yang mana beliau menetapkan di dalamnya syarat itu dalam
kekafiran orang-orang yang mengikuti para pembuat hukum dalam
maksiat-maksiat saja dan ini adalah haq (benar) tidak ada keraguan di
dalamnya, akan tetapi ia adalah hal di luar kemufakatan dan kesepakatan
atas suatu hukum atau had atau ajaran selain ajaran Allah yang dilakukan
oleh Yahudi dan mereka kafir dengannya tanpa penyebutan i’tiqad, dan ia
adalah yang dipraktekkan oleh para thaghut dan budak-budaknya hari ini.
Adapun orang yang meyakini tahrim apa yang diharamkan oleh para pembuat
hukum, maka ia itu musyrik kafir baik ia komitmen dengannya ataupun
tidak, sedang ini tidak ada kaitannya dengan materi kita. Dan perlu
diingat bahwa perincian beliau 7/70 adalah tentang status para pengikut
bukan orang-orang yang diikuti, dan bahasan ini telah kami paparkan
dalam tulisan kami “Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah tentang tahdzir dari
Akhthaauttakfir”, itu dikarenakan orang yang taat kepada musyarri’ tidak
mesti dia itu mengikuti produk hukumnya lagi bermufakat terhadapnya
serta komitmen dengannya dalam setiap keadaan, namun terkadang dia
ditaati oleh sebagian ahli maksiat dalam maksiat kepada Allah saja, maka
perbuatan mereka itu bukan kekafiran kecuali disertai istihlal,
sehingga wajib melakukan rincian dalam status para pengikut karena
adanya keadaan-keadaan seperti ini dan karena adanya ihtimal. Adapun
para pembuat hukum yang menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah,
terus mereka memberikan kepada diri mereka dan yang lainnya dari
kalangan anggota dewan/majelis suatu hak khusus dari hak-hak khusus
ketuhanan (tasyri’/penetapan hukum), sehingga tergolong kebodohan
sebagaimana yang telah lalu menempatkan rincian itu terhadap orang-orang
macam mereka, apakah mereka menganggap halal atau meyakini!?
Ketahuilah sesungguhnya para thaghut itu telah mengumpulkan antara
dua kekafiran besar, mereka sebagai pembuat hukum dan dalam waktu yang
sama mereka juga sebagai pengikut para pembuat hukum internasional,
mereka bermufakat dan bersepakat terhadap hukum/ajaran-ajarannya serta
berkumpul bersama mereka di atasnya ... sungguh mereka telah
mengumpulkan kekafiran di atas kekafiran dan kegelapan satu saman lain
di atas yang lainnya.
Catatan kaki selesai.
Syubhat Atau Fitnah
Bahwa Umar (Tidak Memutuskan Dnegan Apa Yang Telah Allah
Turunkan) Dengan Menggugurkan Had Pencurian Dari Sebagian Orang-Orang
Yang Terdesak Pada Tahun Ramadah
Inilah... sungguh saya telah melihat dari sebagian orang yang telah
Allah kunci mati pendengaran dan penglihatannya dan Dia jadikan lebih
sesat dari binatang ternak dengan sebab ia berpaling dan menyibukkan
diri dari mempelajari ashli diennya dan tauhidnya dengan kehidupan dunia
dan perhiasannya, fariyyah (tuduhan dusta/fitnah) dan ucapan yang saya
tidak sudi berbicara panjang di dalamnya, yang intinya bahwa “Al Faruq
ra tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan di hari beliau
menelantarkan pengamalan had pencurian di tahuan ramadah”
Maka saya katakan sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahlul
ilmi: sesungguhnya mengetahuinya orang mu’min yang mengenal dienullah
akan kesesatan-kesesatan dan kejahilan-kejahilan murakkab ini, di
dalamnya terkandung pengingatan baginya akan nikmat Allah terhadapnya,
serta dorongan untuk mensyukuri nikmat tauhid, Islam dan paham akan
dienullah, Allah ta’ala berfirman: “Dan siapa yang diberi hikmah, maka
telah diberi kebaikan yang banyak.” (Al Baqarah: 269), sebagian salaf
berkata: Siapa yang telah diberi (pemahaman akan) al qur’an terus dia
memandang bahwa ada seseorang di atasnya maka dia tidak mengetahui
nikmat Allah atasnya.
Kemudian saya katakan dengan ringkas: Telah kami rinci di hadapan
anda pada uraian yang lalu bahwa al hukmu bi ghairi maa anzalallah itu
dilontarkan terhadap dua makna: yang pertama tasyri’iy istibdaliy
kufriy, sedang yang satu lagu berupa aniaya dalam putusan dan vonis
karena hawa nafsu dan syahwat tanpa istihlal.
Dan perbaitan Umar Al Faruq sama sekali tidak ada kaitannya dengan
kedua macam itu, sedangkan berbicara dalam hal itu dan merincinya pada
hakikatnya ia adalah penyia-nyiaan akan waktu, bahkan ia adalah
pelecehan terhadap pembaca dan meremehkan akalnya dengan mengajak
berbicara tentang penjelasan suatu yang jelas dan penjabaran suatu yang
sudah gamblang, dan itu tidak dilakukan kecuali terhadap orang-orang
dungu.
Adapun perbuatan beliau ra di tahun ramadah adalah ijtihad murni yang
tepat sasaran lagi mendapatkan dua pahala di dalamnya insya Allah. Dan
ia secara pasti lagi tidak ada keraguan tergolong al hukmu bimaa
anzalallah serta sama sekali tidak keluar darinya, karena ia adalah
penggunaan akan maqashidusysyari’at yang mana Rasul saw diutus dengannya
dan Al Kitab diturunkan serta hudud syari’at ditetapkan dalam rangka
merealisasikannya, yaitu menjaga kepentingan-kepentingan manusia yang
inti lagi syar’i, meraih kepentingannya yang paling besar dan menolak
kerusakan darinya.
Dan mashalih syar’iyyah itu diikat dan diketahui dengan istiqra
nushush syari’at, dan ia bukan mengikuti hawa nafsu dan
anggapan-anggapan baik sebagimana yang diduga oleh banyak Ruwaibidlah
yang dungu.
Di antara mashalih (kepentingan-kepentingan) itu ada yang dlaruriy
(penting sekali harus ada) dan diantaranya ada yang bersifat haajiy
(sekunder) dan yang lainnya adalah taksiniy takmiliy (pelengkap).
Adapun dlaruriyyat, maka ia itu ada enam: “Dien, jiwa, akal, nasab
(keturunan), kehormatan dan harta”. Dan ia adalah
kepentingan-kepentingan yang paling urgen secara muthlaq, sedang yang
tinggi dan paling agung adalah dien (tauhid). Bila
kepentingan-kepentingan dlaruriyyat bertentangan atau salah satunya
dengan maslahat haajiyyah atau takmiliyyah maka dlaruriyyat didahulukan
tanpa perbedaan.
Adapun bila dua mashlahat dlaruriyyah bersebrangan yang dikedepankan
adalah yang paling penting dan paling besar dari keduanya, sebagai
bentuk meraih mashlahat terbesar dari dua mashlahat yang berbenturan
dengan menggugurkan yang paling rendah di antara keduanya atau menolak
kerusakan terbesar dari dua kerusakan dengan melakukan yang paling
rendah diantara keduanya.
Dan ini adalah pintu yang besar dari bab-bab fiqh, dan ia tergolong
tujuan-tujuan syari’at Allah, hukumnya dan kaidah-kaidah yang paling
agung. Dan siapa yang diberikan taufiq untuk memahaminya dan
mengetahuinya maka ia telah diberi petunjuk untuk memahami banyak dari
rahasia-rahasia syari’at dan hikmah-hikmahnya.
Memahami bab ini dan menerapkannya pada waqi’ (realita), ia adalah
tidak ragu tergolong ushul syariat dan tergolong al hukmu bi maa
azalallah. Dan ijtihad Umar ra di tahun ramadah tidak lain adalah
tergolong hal ini, di mana beliau mendahulukan mashlahat jiwa dan
penjagaannya terhadap mashlahat harta dan penjagaannya saat keduanya
bertentangan, sungguh orang-orang saat itu dalam kelaparan yang dahsyat,
sedangkan dlarurat itu menghalalkan yang dilarang, sehingga memakan
harta curian adalah seperti memakan bangkai dalam kondisi-kondisi itu,
dibolehkan, bahkan wajib menurut sebagian ulama bila yakin binasa, dan
orang yang meninggalkannya dalam hal seperti itu maksiat kepada Allah
lagi membunuh diri sendiri sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm dan
beliau berdalil dengan firman-Nya ta’ala: “Dan jangan kalian membunuh
diri kalian.” (An Nisaa: 29) dan ia adalah umum bagi setiap yang
dituntut oleh lafadhnya.” Kata beliau(1)
Beliau ra menolak sekuat kemampuan mafsadah yang paling besar dari
dua mafsadah dengan memikul yang paling rendah dari keduanya, dan beliau
menjaga mashlahat yang paling rendah dari keduanya (harta-harta mereka)
karena keduanya bentrok dalam kondisi-kondisi seperti itu. Dan ini
tergolong kefaqihan beliau ra dalam dienullah ini, yaitu merujuk pada
maqashidusysyari’at dan menjaga mashlahat-mashlahat dan dlaruriyyatnya
yang mana hudud pada dasarnya tidak ditetapkan kecuali untuk
melindunginya dan meraihnya serta menjauhkan mafsadah darinya. Oleh
sebab itu Ibnul Qayyim berkata di dalamnya: “Dan ini adalah tuntutan
kaidah-kaidah syari’at”(2)
Jadi ia adalah pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan dan
bukan seperti apa yang telah ditalbiskan oleh musuh-musuh Allah. Dan ini
adalah jelas lagi gamblang, serta jauh sekali antara hal itu dengan al
hukmu bighairi maa anzalallah dengan bentuk macamnya yang paling minimal
keburukannya, maka bagaimana dengan yang paling dahsyat?
Demi Allah keduanya tidak sama dan tidak akan bertemu
Sampai kepada gagak beruban
Dan tidak menisbatkan Al Faruq kepada selain hal ini atau menuduhnya
dengan memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan kecuali
orang kafir zindiq atau rafidlah yang buruk yang dongkol dengan keadilan
dan kesalihan Al Faruq.
Catatan kaki:
(1) Al Muhalla dalam Had Pencurian
(2) A’lamul Muwaqqi’in 3/11 dalam “perubahan fatwa dengan perubahan
zaman dan tempat” pasal “gugurnya had pencurian di musim kelaparan” dan
di dalamnya beliau tuturkan atsar Umar: Bahwa budak-budak Hathib
mencuri unta milik seorang laki-laki dari Muzamah dan mengakui perbuatan
mereka itu, maka Umar berkata: Hai Katsir Ibnu Ash Shalt pergilah dan
potong tangan-tangan mereka.” Kemudian tatkala ia pergi membawa mereka,
maka Umar mengembalikan mereka, terus berkata: Demi Allah seandainya
saya tidak mengetahui bahwa kalian memperkerjakan mereka dan membiarkan
mereka kelaparan sampai sesungguhnya salah seorang di antara mereka
seandainya makan apa yang diharamkan terhadapnya tentu halal baginya,
tentulah saya potong tangan-tangan mereka, dan demi Allah karena saya
tidak melakukannya tentu saya menetapkan atas kamu ganti rugi yang
membuat kamu jera,” terus Umar berkata: Hao Muzanniy berapa harga unta
kamu? Ia menjawab: Empat ratus.” Umar berkata: Pergilah kemudian beri
dia delapan ratus” dan Ibnul Qayyim menyebutkan madzhab Ahmad rh tentang
gugurnya had di musim kelaparan dan pelipatgandaan ganti rugi atas
orang yang mana had dan hukuman dihindarkan darinya karena sebab
syar’iy.
Catatan kaki selesai.
Syubhat
Bahwa Nabi Saw Dan Sebagian Sahabatnya Telah Mengharamkan
Beberapa Hal Atas Diri Mereka
Sendiri
Dan sebelum kami meninggalkan tempat ini ke syubhat yang lain dari
syubhat-syubhat mereka, kami ingin mengingatkan akhat-tauhid kepada dua
makna tahrim selain makna tasyri’iy yang lawannya adalah tahrim, salah
satunya ‘urfi (makna adat yang biasa dipahami masyarakat) sedang yang
lainnya adalah lughawiy (bahasa).
Sungguh Murjiatul ‘Ashrio telah mempermainkan keduanya dan berupaya
mengaburkan keduanya di hadapanmu dengan tasyri’ dan tabdil yang
dilakoni dan dianut oleh para thaghut mereka(1).
‘Urfi: adalah kata “tahrim” yang dipergunakan manusia dan mereka
memaksudkan dengannya al yamin (sumpah), maka tidak boleh dikatakan
tentang orang yang mendhihar istrinya dan berkata: “Kamu haram atasku
seperti punggung ibuku” umpamanya, bahwa ia itu musyarri atau telah
mengganti hukum Allah, namun itu menurut para fuqaha adalah sumpah yang
dilontarkan seorang laki-laki dan dia pastikan atas dirinya untuk
menjauhi istrinya dan tidak menggaulinya, karena marah atau sangsi atau
yang lainnya, dan Allah ta’ala telah mencelanya serta menetapkan padanya
kaffarat yang paling berat, yaitu memerdekakan budak, kemudian siapa
yang tidak mendapatkannya maka ia shaum dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya berhubungan badan, kemudian siapa yang tidak mampu maka ia
memberi makan enam puluh orang miskin, maka ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan tahrim di sini adalah yamin (sumpah), karena tasyri’ itu
tidak ada kaffarat yamin baginya wahai orang-orang yang berakal.(2)
Catatan kaki:
(1) Dan ini adalah ungkapan yang shahih, kami tidak mengada-ada
atas mereka dan kami tidak mendzalimi mereka atau memfitnah mereka
dengannya, karena kami di sini mengkhithabi secara khusus mereka
orang-orang yang membela-bela para thaghut, yang mana mereka itu selalu
terang-terangan menyatakan tidak bara’ dari mereka, bahkan mereka itu
buat para thaghut adalah sebagai anshar dan tentara yang selalu siap
lagi sukarela membela mereka dan melindunginya di setiap tempat dan
pertemuan, dan bahkan mereka memvonis sebagai khawarij orang yang
mengkafirkan para thaghut itu!!! Dan dari ini engkau mengetahui bahwa
mensetarakan mereka dengan Murjiah dahulu adalah dzalim kepada para
pendahulu, dan kami berlindung kepada Allah dari mensetarakan mereka
dengannya, akan tetapi penyerupaan mereka itu hanya dalam hal nama, dari
pintu syubuhat-syubuhat yang mereka warisi darinya, dan oleh sebab itu
kami bedakan mereka dengan menisbatkan mereka kepada zaman kita.
(2) Tidak ada kaffarat baginya kecuali satu kaffarat saja, yaitu
kaffarat riddah “kembali kepada islam dan taubat” dan kalau tidak maka
pedang....
Catatan kaki selesai.
Kemudian di sana ada perbedaan yang membedakan macam tahrim ini dari
tahrim tasyri’iy yang berlawanan dengan tahlil dan ibahah (pembolehan)
dan yang dilakukan kaum musyrikun menandingi Allah, yaitu apa yang
dituturkan Asy Syathibiy dalam Al I’tisham bahwa orang yang mengharamkan
dengan yamin, dia tidak memestikan dengan tahrim ini kecuali dirinya
sendiri dan tahrim ini tidak merembet kepada orang lain. Sebagaimana
keberadaan dalam tahrim kufriy yang disepakati oleh kaum musyrikin,
mereka bersekongkol, bermufakat dan mengharuskan dengannya orang yang
ada dalam kekuasaan mereka. Kemudian yamin tahrimiyyah (sumpah
pengharaman) ini hanya berkaitan dengan pelarangan/pencegahan saja dan
tidak memiliki hubungan dengan tahlil dan ibahah (pembolehan), berbeda
dengan tasyri’ yang mencakup tahlil dan ibahah sebagaimana ia mencakup
tahrim, dan ini hal yang jelas lagi nyata.
Dan termasuk macam ini – yaitu tahrim dengan yamin – adalah ucapan
Nabi saw yang diriwayatkan dalam shahihul Bukhari bahwa beliau berkata
kepada sebagian istrinya: “Saya telah minum madu di sisi Zainab maka
saya tidak akan mengulanginya dan saya telah bersumpah” ucapannnya saw
“maka saya tidak akan mengulanginya” adalah makna yang dikenal manusia
berupa (tahrim) dalam makna yamin pada ucapan mereka: “Ini haram atas
diri saya” atau ucapan: “haram atas saya ini dan itu bila saya tidak
melakukan itu”. Dalam ucapan macam ini dan dalam ucapan Nabi saw: saya
tidak akan mengulanginya” tidaklah terkandung tasyri’, tabdil, dan
taqnin (pengguliran UU/UUD), juga tidak ada kompromi, atau pemufakatan
atau kesepakatan sebagaimana yang dituturkan oleh musuh-musuh Allah
dalam ilzamat mereka, karena tentang ucapan ini turunlah firman Allah
ta’ala: “Hai Nabi kenapa kamu mengharamkan apa yang Allh telah halalkan
bagimu...”(At Tahrim: 1) hingga firman-Nya: “Sungguh Allah telah
mensyari’atkan bagi kamu untuk menghalalkan sumpah-sumpah kamu (dengan
kaffarah),” (At Tahrim: 2). Dan bila penghalalan hal seperti ini adalah
kaffarah, maka diketahui bahwa tahrimnya itu adalah yamin bukan tasyri’
dan tabdil.
Dan setelah ini kita tidak usah menghiraukan talbisat Murjiatul
‘Ashri dan ilzamat mereka yang kufur lagi rusak saat engkau mendebat
mereka tentang kekafiran para thaghut mereka yang membuat hukum, di mana
mereka berdalih dengan semacam ayat-ayat ini dan berkata: Rasul telah
mengharamkan, maka apakah beliau kafir??? (Sungguh besar sekali ucapan
yang keluar dari mulut-mulut mereka, mereka tidak mengucapkan kecuali
kebohongan) “Al Kahfi: 5)” dan engkau telah mengetahui dari uraian yang
lalu bahwa ini bukan tasyri’, serta tidak mungkin Nabi saw melakukan
tasyri’ karena beliau bukanlah musyarri’ (pembuat hukum) dan tidaklah
halal hal itu bagi beliau.... tidak lain ia adalah wahyu yang
diwahyukan, dan beliau tidak lain adalah pemberi peringatan dan yang
menyampaikan dari Dzat Pembuat Hukum Yang Esa.
Dan maknanya yang lain: adalah (tahrim) yang datang dan dimaksudkan
dengannya maknanya yang lughawi (bersifat bahasa) murni, bukan isthilahi
syar’iy tasyri’iy, dan ia adalah imtina’ mujarrad (menolak yang
bersifat sekedar), di antara model ini adalah ucapan Imruul Qais:
Ia berjaulah untuk mengalahkanku, maka aku berkata kepadanya:
“Hentikanlah”
Sesungguhnya aku adalah orang orang yang haram atasmu mengalahkanku.”
(haram) yaitu tercegah, dan ucapan yang lain:
haram atas kedua mataku mencicipi kesenangan
dan bergembira sampai aku menemuimu wahai Hindun
(Haram di sini) yaitu “terlarang atas dua mataku”..... Ini meskipun
tidak dimaksudkan yamin dengannya, namun tergabung dengan makna ‘urfi
yang pertama.
Dan Allah ta’ala berfirman: “Dan Kami menghalanginya dari menyusuimu
sebelumnya” (Al Qashash: 12)
Yang dimaksud di sini bukanlah tahrim tasyri’iy, namun al man’u
(menghalangi) saja. Al Qurthubi berkata: “Yaitu Kami halangi/cegah dia
dari menyusui” dan berkata: “Dan ini adalah tahrim man’i bukan tahrim
syar’iy.” Selesai.
Dan serupa dengannya firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya ia diharamkan
atas mereka empat puluh tahun.” (Al Maidah: 27) Al Qurthuby berkata:
Makna diharamkan: yaitu bahwa mereka dihalangi dari memasukinya” dan
berkata juga di tempat ini juga: Maka ia adalah tahrim man’i bukan
tahrim syar’iy.” Selesai
Maka perhatikanlah makna ini dan ketahuilah bahwa ia selain makna
tasyri’ yang ditetapkan oleh para thaghut hari ini sebagai bagian dari
wewenang, hak, dan kekuasaan mereka dan para pengikut serta parlemen
mereka, terus mereka berkompromi, bermufakat dan bersepakat atasnya,
kemudian bila datang kepadamu sebagian wali-wali mereka dari kalangan
Murjiatul ‘Ashri yang membela-bela mereka dengan firman Allah ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengharamkan hal-hal baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (Al Maidah: 87) ... dan mereka
berkata: “Mereka telah membuat hukum namun demikian Allah mengkhithabi
mereka dengan nida (panggilan iman)..!
Maka katakan kepada mereka: Yang dimaksud dengan ini hai musuh diri
kalian sendiri adalah tahrim dengan makna lughawi murninya bukan
tasyri’iy yang dipraktekkan oleh para thaghut kalian, dan yang makna ia
adalah sejawat tahlil dan saudaranya.
Yang dimaksud adalah mencegah diri dari sebagian thayyibat yang telah
Allah halalkan kepada hamba-hamba-Nya, dalam rangka nadzar, atau upaya
hidup susah atau kependetaan, dengan dalil bahwa ayat itu turun dengan
sebab jama’ah dari sahabat Nabi saw ingin menjauhkan diri dari
mengkonsumsi sebagian thayyibat sebagai bentuk zuhud di dunia dan hidup
kasar, mereka itu tidak membuat hukum, tidak pula mengganti dan tidak
juga menggulirkan undang-undang. Atau dibawa kepada makna yang lalu
yaitu yamin sebagaimana disebutkan para mufassirin dalam ayat ini, dan
ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang ingin
menjauhkan diri dari sebagian thayyibat itu mereka sungguh telah
bersumpah atas hal itu, kemudian tatkala turun ayat ini maka mereka
berkata: Apa yang harus kami perbuat dengan sumpah kamu? Maka Allah
ta’ala langsung menurunkan setelahnya: “Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah).” (Al
Maidah: 89)
Dan dengannya Asy Syafi’i rh berdalil atas ucapannya bahwa sumpah dan
janji tidak berkaitan dengan tahrimul halal dan bahwa tahrimul halal
adalah laghwun (sia-sia/tidak dianggap), sehingga menurut beliau dan
Malik rh tidak ada kaffarat atas orang yang mengatakan hal seperti itu.
Sama saja baik yang benar itu makna ini atau itu maka keduanya tetap
bukan termasuk tasyri’ sama sekali.
Bisa saja tergolong nadzar, seperti orang yang mengharamkan atas
dirinya duduk dan berbicara sementara waktu dengan cara dia nadzar shaum
sambil berjemur di terik matahari sambil diam tidak berbicara, maka
Nabi saw melarangnya dan menyuruh dia sempurnakan shaumnya. Dan
tergolong hal ini Firman Allah swt tentang Nabiyullah Ya’qub: “Semua
makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan
oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum taurat diturunkan.”
(Ali Imran: 93)
Sungguh telah ada dalam tafsirnya bahwa beliau sakit terus nadzar
atas dirinya bila Allah telah menyembuhakannya ia tidak akan makan
makanan paling enak menurutnya, maka ia pun mengharamkan daging unta
atas dirinya, dan itu sebelum Taurat diturunkan, kemudian belaiupun
tidak dilarang dari hal seperti itu, dan dahulu mereka bila mengharamkan
sesuatu atas diri mereka dengan nadzar atau dengan sumpah maka tidak
boleh bagi mereka melakukan sesuatu itu, kemudian Allah menasakh
(menghapus) hal itu dan kaffarah sumpahpun turun. Jadi ini juga termasuk
jenis sumpah atau nadzar dan bukan tergolong tasyri’ sama sekali, oleh
sebab itu Asy Syathibiy menukil dalam Al I’tisham ucapannya Al Qadli
Ismail: Dan hal-hal ini dan yang serupa dengannya termasuk syari’at yang
ada nasikh dan mansukh di dalamnya, sedangkan nash penghapus (nasikh)
adalah firman-Nya ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
haramkan thayyibat yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (Al Maidah:
87), kemudian tatkala ada larangan maka tidak boleh bagi seseorang untuk
mengatakan: Makanan ini haram bagi saya,” dan ucapan serupa itu,
kemudian bila seseorang mengatakan sesuatu dari hal itu maka ucapannya
itu bathil, dan bila ia sumpah atas hal itu dengan nama Allah maka
baginya melakukan suatu yang lebih baik dan dia mengkaffarati
sumpahnya.” Selesai.
Maka janganlah Murjiatul ‘Ashri mentalbis kamu dengan ucapan mereka:
“Ini Nabiyyullah telah membuat hukum dari dirinya dan tanpa ada perintah
dari Allah, maka apakah dia kafir??? Sungguh ini bukan tahrim tasyri’,
dan seandainya seperti itu tentulah penghapusnya tidak akan ayat ini
yang tentang sumpah atau nadzar atau penghindaran murni dalam rangka
zuhud dan taqasysyuf (menghindari yang enak-enak), kemudian dari uraian
yang lalu engkau telah mengetahui bahwa pengesaan Allah dalam tasyri’
(pembuatan hukum) dan tidak menyekutukan seorangpun bersamanya dalam hal
itu adalah tergolong ushuluttauhid yang disepakati oleh semua ajaran
(para Nabi/Rasul), sedangkan pencorengan terhadap inti (al ashlu) ini
adalah tergolong mukaffirat yang dengannya Allah kafirkan Yahudi dan
Nashara sebagaimana yang telah engkau ketahui. Dan ashlu (inti) seperti
ini sama sekali tidak masuk dalam bab-bab mansukh sebagaimana ia ma’lum
dalam al ushul, sehingga sahlah bahwa hal seperti ini bukan tasyri’ dari
Nabiyullah Ya’qub secara yaqin.
Dan serupa itu apa yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim tentang
sekelompok orang yang bertanya kepada para istri Nabi saw tentang ibadah
beliau ... terus sebagian mereka berkata: saya akan shaum tiap hari
(dahri) dan tidak akan buka” yang lain berkata: “ saya akan jauhi wanita
dan tidak akan nikah selamanya” hingga akhir ucapan mereka. Meskipun
Nabi saw telah mengingkari mereka atas hal itu dan berkata: Siapa yang
benci akan tuntunanku maka ia bukan termasuk (golongan)ku.”.. namun
sesungguhnya semua ini tidak ada kaitannya dengan tasyri’ atau tabdil
sebagaimana yang telah engkau ketahui. Mereka itu tidak membuat hukum
dan tidak seorangpun di antara mereka mengklaim bahwa ia memiliki
wewenang pembuatan hukum (sulthah tasyri’iyyah) sebagaimana ia adalah
realita para thaghut masa kini, maka janganlah terpukau dengan
syubhat-syubhat yang rendah seperti ini, karena sesungguhnya ini
semuanya ada di suatu lembah dan realita para thaghut masa kini ada di
lembah lain.
Ia berjalan menuju timur sedang aku berjalan menuju barat.
Sungguh jauh antara ke timur dengan yang ke arah barat
Sesungguhnya masalahnya hari ini adalah seperti apa yang dikatakan
oleh Syaikh Abdul Madjid Asy Syadziliy dalam kitabnya (Haddul Islam dan
Haqiqatul Iman) hal: 376 tentang realita kita setelah beliau menuturkan
teks-teks undang-undang buatan (qawanin wadl’iyyah) dan hakikat seputar
UUD-nya serta teks-teksnya.
Beliau berkata: Dan sekarang ... realita ini telah melampaui batasan
tasyri’ muthlaq sampai pengakuan yang tegas terhadap wewenang tasyri’
bagi selain Allah. Di mana nushush syariat tidak mendapat keabsahan
sebagai undang-undang – menurut mereka – seandainya mereka ingin
mengamalkannya kecuali bila muncul dari pihak yang memiliki wewenang
penetapan hukum/UU – di tengah mereka – sebagai bentuk ungkapan dari
keinginannya. Ini sajalah yang memberikan nushush syari’at sifat
keabsahan qanun, dan status nushush syari’at dalam hal itu adalah
seperti status yang lainnya berupa ‘urf (adat) atau undang-undang
perancis atau pendapat fuqaha al qanun (para pakar UU) atau apa yang
telah diberlakukan oleh mahkamah-mahkamah.
Adapun munculnya dari Allah swt maka itu tidak memberikan sifat
keabsahan qanun, karena Allah – bagi mereka – bukanlah sumber kedaulatan
dan tasyri’ (pembuatan hukum) bukanlah termasuk hak Allah.” Selesai.
Dan berkata hal 367: Realita ini telah melampaui tingkatan maksiat
atau bid’ah bahkan telah melampaui tasyri’ muthlaq sampai ke belakang
hal itu, bagaimana terkabur masalah maksiat dengan masalah tasyri’
padahal di antara keduanya ada perbedaan yang sangat jauh?
“Dan bila saja bid’ah terbedakan dari maksiat dengan banyak sekali
pembedaan yang jelas, dan itu tidak lain karena penetapannya atas
penyerupaan tasyri’, maka apa tidak jelas perbedaan antara maksiat
dengan tasyri’ muthlaq?” Selesai.
Dan mungkin bagi kami untuk mengatakan dalam khulashah tempat ini
bahwa kata “tahrim” adalah kata musytarak seperti lafadh-lafadh lainnya
mengandung banyak makna, sebagian maknanya lughawiy atau ‘urfiy dan
sebagian lainnya syar’iy, seperti lafadh iman sesungguhnya ia menurut
bahasa adalah tashdiq, namun Allah ta’ala memindahkannya kepada penamaan
dan makna syar’iy selain makna lughawiy, di mana Dia menambahkannya
ucapan lisan dan amal hati dan jawarih. Begitu juga kufur, sebagaimana
al kufru itu memiliki makna lughawiy dan asalnya adalah penutupan
sesuatu, sehingga masuk di dalamnya kufranul ‘asyir (mengingkari jasa
suami), kufur nikmat dan yang lainnya berupa amalan-amalan yang mana
Allah melabelkan padanya kata kufur namun tidak dimaksudkan dengannya
kufur yang mengeluarkan dari millah, dan diantarnya – sebagaimana yang
engkau ketahui – adalah suatu yang mengeluarkan dari millah.
Dan begitu juga keadaannya dengan kata tahrim ini, sesungguhnya ia
digunakan untuk banyak makna – meskipun ia adalah tercela yang mana Allh
ta’ala telah melarangnya – namun ia tidak sampai kepada syirik dan
kufur, seperti imtina’ dari sebagian thayyibat yang telah Allah ta’ala
halalkan, baik dengan sumpah atau dalam rangka zuhud, taqasysyuf (hidup
susah) dan rahbaniyyah(1), dan begitu juga digunakan untuk makna tasyri’
yang mana bila dipalingkan kepada selain Allah ta’ala maka ia adalah
syirik dan kufur akbar yang mengeluarkan dari millatul islam.
Allah Azza wa Jalla menamakan apa yang dia kehendaki dengan apa yang
dia kehendaki, sedang kita tidak memiliki hak sedikitpun di dalamnya
kecuali kita mengatakan: “Kami mendengar dan kami ta’at, ampunan-Mu
(yang kami harapkan) Ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Ibnu Hazm rh berkata dalam Al Fashl 3/229: “Sesungguhnya kita dalam
syariat ini tidak menamakan suatu nama kecuali bila Allah ta’ala
memerintahkan kita untuk menamainya atau Allah membolehkan bagi kita
dengan nash untuk menamainya, karena kita tidak mengetahui maksud Allah
‘azza wa jalla dari kita kecuali dengan wahyu yang datang dari sisi-Nya,
oleh sebab itu Allah ‘azza wa jalla berfirman seraya mengingkari orang
yang menamakan dalam syari’at ini sesuatu tanpa izin-Nya ‘azza wa jalla:
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu
mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk
(menyembah)-Nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan,
dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah
datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. Atau apakah manusia
akan mendapat segala yang dicita-citakannya” (An Najm: 23-24)
Maka sahlah bahwa tidak ada pemberian nama yang dibolehkan bagi
malaikat dan Nabi tanpa (izin) Allah ta’ala. Dan siapa yang menyelisihi
ini maka ia telah mengada-ada kedustaan terhadap Allah ‘azza wa jalla
dan menyelisihi Al Quran...” Selesai.
Catatan kaki:
(1) Bisa jadi penggunaan kata tahrim pada perbuatan mereka itu
dalam rangka tanfir dari perbuatan tercela ini dan menganggapnya sebagai
hal besar, serta tanfir dari menyerupai jalan kaum musyrikin dan
tuhan-tuhan mereka yang membuat undang-undang, persis seperti penggunaan
Allah ta’ala akan kata kufur lewat lisan Nabi-Nya saw tentang status
banyak dari dosa-dosa yang tidak mengeluarkan dari millah sebagai bentuk
tanfier darinya dan penganggapan besar akan dosanya, sehingga sebagian
salaf tidak mau berbicara dalam takwilnya dari dhahirnya supaya lebih
mengena dalam membuat orang kapok dan jera, karena maksiat yang Allah
namakan sebagai kekafiran tidaklah seperti yang lainnya.”
Catatan kaki selesai.
Syubhat
Bahkan (Dusta) Bahwa Al Hajjaj Itu Membuat Hukum Namun
Salaf Tidak Mengkafirkannya
Musibah Murjiatul ‘Ashri adalah bahwa mereka berpaling dari mengenal
waqi’mereka yang mana mereka hidup di dalamnya serta mereka berpaling
dari mempelajarinya – bahkan mereka menganggap hal itu sebagai
penyia-nyian waktu – sehingga mereka buta, tuli, dan sesat dan
menyesatkan dengan sikap mereka menempatkan hukum-hukum bukan pada
tempatnya dan (menempatkan) ucapan-ucapan yang sama sekali tidak ada
kaitan dengan waqi’ dan kondisi, sampai engkau melihat kami secara
terpaksa berbicara dalam hal-hal yang sudah diterima di kalangan umum
dan berbicara panjang dalam hal yang tidak butuh berbicara panjang di
dalamnya, itu tidak lain adalah apa yang kami dapatkan dan kami dengar
dari kebodohan akal mereka dan dalih-dalihnya.
Sampai-sampai sesungguhnya telah sampai berita kepada saya beberapa
hari sebelum koreksi ulang lembaran-lembaran ini dari salah seorang di
antara mereka – sedang dia itu tergolong tokoh yang suka membela-bela
para thaghut dan menutupi kekafiran-kekafiran mereka, dan dia
mengumpulkan di sekelilingnya di dalamnya sejumlah dari para pemuda
pengekor supaya ia mengkaburkan atas mereka dien mereka dan taihidnya
dan menggembosi mereka dari para thaghut masa kini serta dari bara’ah
dari mereka – bahwa ia berkata dalam rangka membantah orang yang
berhujjah atas takfir mereka dengan sebab undang-undang kafir mereka:
“Sesungguhnya Al Hajjaj Ibnu Yusuf telah mengirim satu surat kepada
salah seorang panglimanya: “Bunuhlah si fulan – yang muslim – “ ini
adalah tasyri’! Namun demikian tidak seorang salaf pun
mengkafirkannya...!!!(1)
Catatan kaki:
(1) Cara yang rusak yang ditempuh oleh mereka itu dalam rangka
menutupi (kekafiran) para thaghut dan wali-wali mereka ini
memperkenalkan kepadamu sejauh mana syaitan telah mempermainkan mereka
dan bahwa mereka itu bukanlah para pencari kebenaran, karena yang wajib
menurut ahlul haq bahwa perujukan dalam seluruh urusan hanyalah kepada
al kitab dan as sunnah bukan kepada penyimpangan-penyimpangan dan
kesalahan-kesalahan atau kekeliruan-kekeliruan atau kepada hal-hal yang
samar dari ucapan-ucapan ulama. Bila saja pendapat para ulama dan
ijtihad-ijtihad mereka bahkan sahabat sekalipun tidak harus diterima dan
ia bukan hujjah dalam dienullah ta’ala, maka apa gerangan dengan ucapan
dan perbuatan orang-orang yang di bawah mereka, dan apa gerangan bila
hal itu adalah kekeliruan dan kesalahan dan bukan sekedar pendapat, maka
apakah boleh menuturkannya di tempat sengketa apalagi bila
mengungkapkannya dalam rangka pengkaburan al haq dengan al bathil dan
cahaya dengan kegelapan dan dalam rangka menutupi (kemusyrikan) kaum
musyrikin dan auliya’nya?? Dan tidak ragu bahwa ini termasuk jalan-jalan
ahlul hawa dahulu dan sekarang yang mereka warisi sebagian mereka dari
sebagian yang lain. Rafidlah umpamanya mereka mengutarakan terhadap
kalangan awam dari ahlus sunnah sebagian nushush al kitab dan as sunnah
yang dhahirnya ta’arudl dan isykal supaya mereka membuat kalangan awam
itu ragu akan dien mereka yang haq dan membenarkan madzhab syi’ah yang
rusak, dan bisa saja mereka mencari-cari kekeliruan dan ijtihad yang
salah dari sebagian sahabat – sedangkan mereka itu manusia biasa yang
tidak ma’shum – untuk mendapatkan jalan mencela mereka dan berlepas diri
dari mereka. Bisa jadi mereka datang kepadamu dan berkata terhadapmu:
Apa pendapatmu tentang orang yang melarang apa yang diperintahkan Nabi
saw, bukankah ia sesat, bukankah begitu?? Kemudian mereka mendatangkan
hadits-hadits yang di dalamnya sebagian sahabat melarang haji tamattu’
dan yang lainnya .... Dan bisa jadi mereka berkata: Apa pendapatmu
tentang orang yang mensifati Nabi saw bahwa beliau dan bisa jadi mereka
mentahrifnya menjadi , maka engkau pub berkata: A’udzubillah ini
kesesatan” dan bisa jadi engkau berkata: Ini kekafiran.”
Mereka menuturkan kepadamu ucapan Umar ra tentang Nabi saw saat
beliau berada di tempat pembaringan kematian. Begitulah padahal semua
ini tidak dilontarkan oleh ahlul ilmi dan tidak sulit atas pencari al
haq untuk merujuk kepadanya serta untuk memahami kondisi-kondisinya dari
tempatnya. Dan sejalan dengan alur ini adalah ahlul irja di zaman kita
ini, sesungguhnya mereka mencari-cari kesalahan dan kekeliruan sebagian
ahlul ilmi untuk membenarkan dengannya madzhab mereka yang rusak dan
untuk menutupi kemusyrikan para thaghut atau auliyanya, di mana mereka
mengatakan: Apa pendapatmu tentang orang yang membolehkan tabarruk
dengan Nabi saw setelah dia meninggal, dan apa pendapatmu tentang orang
yang merubah fatwa atau mendlaifkan hadits karena penguasa.” Mungkin
kamu menganggap dia sesat atau membid’ahkannya, kemudian mereka langsung
menimpalimu dengan ucapannya: Al Imam Ahmad mengatakan begini dan Ibnul
Madini melakukan ini ... maka katakan kepada mereka: Hai orang-orang
sesat, bukan terhadap hal seperti ini perujukan hukum saat terjadi
perselisihan, apakah ini adalah thariqah salaf dan ahlul hadits yang
kalian klaim? Apakah ini bayyinah dan barahin, dalil-dalil dan
hujjah-hujjah yang kalian berhujjah dengannya? Apakah ini ayat-ayat dan
hadits-hadits sehingga perselisihan dikembalikan kepadanya? Kemudian
katakan kepada mereka: Ini semuanya adalah salah dan kebatilan, siapa
saja yang mengatakannya, dan itu tidak bisa berubah dengan keberadaan si
pembicara berlevel ahlul ilmi dan dien.. ini adalah masalah yang nyata
lagi nyata.
Sebagaimana kita menerima al haq walau bersumber dari orang terhina
dan terbodoh sekalipun, maka begitu juga kami menolak al batil walau
bersumber dari orang teragung dan teralim sekalipun, jadi apa yang
kalian inginkan dengan lontaran-lontaran ini wahai musuh diri kalian
sendiri? Apakah kalian ingin membolehkannya? Atau apakah kalian ingin
memadamkan cahaya Allah dan menutupi (kekafiran) para thaghut dan
budak-budak mereka dengan menganggap sepele kekafiran mereka serta
menyetarakannya dengan kesalahan-kesalahan dan
penyimpangan-penyimpangan.... Sungguhlah senang musuh-musuh Allah dengan
diri kalian dan dengan sikap kalian menutupi kekafiran (tarqi’aat).....
Maka sungguh jauh sekali antara dalih-dalih yang kalian lontarkan ini
(iiraadaat) dengan apa yang dianut oleh para thaghut hari ini berupa
kekafiran yang nyata, dan seandainya pencari al haq mencari-carinya di
tempatnya tentulah dengan mudah ia mengetahui kebatilan penyetaraan hal
itu dengan keadaan para thaghut sekarang. Di antaranya ada yang
tergolong furu’ dan dzara’i bukan dalam masalah yang sedang kami bantah
berupa ashluddin wa qa’idatuhu, di antaranya ada yang cacat dalam
penisbatannya kepada orang-orang mulia itu atau mereka itu dipaksa
melakukannya dan bila mereka itu tidak dipaksa maka apakah boleh
mempertentangkan al haq dan mengkaburkannya dengan ucapan ulama, apalagi
kalau mempertentangkannya dan mengkaburkannya dengan
kekeliruan-kekeliruan mereka, sedangkan mereka itu tidak ma’shum dan
bukan pembuat hukum sehingga ucapan dan perbuatan mereka itu hujjah
dalam masalah yang lebih rendah dari masalah yang menjadi perseteruan
kita, dan seandainya kekafiran itu muncul dari mereka atau dari
orang-orang yang seperti mereka maka apakah itu bisa merubah al haq
sedikit pun? Atau apakah itu engkau lihat bisa merubah sesuatu dari
qawaid dien kita dan ushulnya? Allah ta’ala berfirman: “Dan siapa yang
kembali kepada kekafiran, maka ia tidak akan merugikan Allah
sedikitpun.” (Ali Imran: 144)
Dan berfirman: “Dan Musa berkata: “Bila kalian dan manusia yang ada
di muka bumi ini semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji” Dan bisa saja mereka menuturkan kepadamu dari
macam ini nushush yang terpotong lagi terputus sesuai thariqah ahlil
ahwa, mereka menuturkan darinya suatu yang menyelarasi hawa nafsu
mereka, sebagaimana yang dilakukan salah seorang mereka terhadap
sebagian ikhwan kami, di mana ia menuturkan terhadap mereka sering
sekali ucapan Abu Hanifah: Seandainya seorang mengibadati sandal ini
dalam rangka taqarrub kepada Allah dengannya, tentulah saya memandang
tidak apa-apa.” Begini dia menuturkan secara terpotong.....Dan saya
tidak mengetahui apa maksud dari penuturan dengan seukuran ini? Apakah
ia pembolehan kufur dan peribadatan kepada selain Allah? Atau merintangi
orang dari mengkafirkan para thaghut, anshar mereka dan budak-budak
mereka dengan mengilzam kami untuk mengkafirkan Abu Hanifah dan
menakut-nakuti kami dengan menyelisihi mayoritas dari kalangan awam dan
para pengekor dalam hal itu??? Ini adalah dienullah yang tidak
bermudahanah kepada seorangpun, siapa saja yang kekafirannya tsabit
dengan dalil maka kami mengkafirkannya bila mawani’ takfier tidak
terbukti padanya, dan dalil itu tidak basa-basi dengan Abu Hanifah dan
yang lainnya, sedangkan komentar tentang Abu Hanifah adalah diserahkan
kepada para imam zamannya yang hidup di masanya, dan sungguh telah
tsabit dengan isnad-isnad yang shahih dalam Tarikh Baghdad dan Al
Majruhin karya Ibnu Hibban, Al Ma’rifah Wat Tarikh karya Al Fasawi dari
Sufyan Ats Tsauri dan yang lainnya bahwa Abu Hanifah pernah diistitabah
dari kekafiran dua kali. Baik Abu Hanifah atau yang lainnya telah kafir
atau tidak kafir, maka ini tidak mengganggu al haq dan tidak merubah
sedikitpun darinya. Dan yang kami katakan di sini adalah bahwa ucapan
yang dituturkan oleh orang Murjiah ini adalah kekafiran baik muncul dari
Abu Hanifah ataupun yang lainnya(*) Dan Al Fasawiy telah
meriwayatkannya dalam Al Ma’rifah wat Tarikh 3/784, Al Khathib
2/375-377, dan Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 3/73, sedang di dalamnya
ada tambahan yang disembunyikan oleh si Murjiah ini, karena tambahan ini
merusak syubhat dan ilzam dia, yaitu ucapan Sa’id Ibnu Abdil Aziz di
akhir riwayat itu: (Inilah kekafiran yang nyata) Hati-hatilah akan
talbis-talbis mereka dan jangan terperdaya dengan syubhat-syubhat
mereka, karena tidak ada yang mengikuti hal seperti ini dan berdalil
dengannya kecuali orang yang telah bangkrut dari dalil-dalil dan
hujjah-hujjah syar’iyyah, terus dia malah berlindung kepada tarqi’at
(upaya penutupan kekafiran) dan talbisat macam ini yang dengannya ia
menghadang nash-nash yang jelas lagi tegas. Dan tidaklah dianggap aneh
dan tidak dianggap ganjil bila al haq terkabur dengan al bathil di
hadapan orang yang buta bashirahnya, sebagaimana siang terkabur dengan
malam di hadapan orang yang buta pandangannya, celakalah mereka maka apa
mereka tidak bertaubat? Demi Allah bila mereka tidak bertaubat dari hal
ini maka kelak mereka akan mengetahui dengan talbis-talbis dan
syubhat-syubhat mereka ini, siapa yang mereka bela-bela dan untuk apa
mereka menutupi? Dan di barisan maka mereka berdiri? Dan siapa yang
mereka perangi? Dan orang-orang zalim akan mengetahui tempat apa yang
akan mereka tempati.
(*) Ketahuilah sesunggunya sebagian orang yang kecil pengetahuannya
dari kalangan Murjiatul ‘Ashri telah memanfaatkan ucapan ini, di mana
mereka mengada-ada atas nama kami dan mereka mengklaim bahwa kami
mengkafirkan Abu Hanifah An-Nukman. Dan ini dusta dan mengada-ada yang
bersumber bisa jadi kedengkian, hasud dan buruknya iradah, atau dari
kejahilan, kedangkalan dan ketidakpahaman terhadap ucapan para ulama
serta makna-makna lafadh, karena sesungguhnya orang yang memperhatikan
ucapam kami mengatahui bahwa yang kami sebutkan di sini hanyalah
i’tiradl (sikap memprotes) sebagian afrakhul murjiah atas takfir kami
terhadap para thaghut dengan ungkapan yang disebutkan dari Abu Hanifah,
sembari dengan hal itu mereka ingin menakut-nakuti kami dari takfier
secara muthlaq dan menghalang-halangi kami dari takfier para thaghut,
atau mengilzam kami dengan takfier Abu Hanifah. Maka ringkasan bantahan
kami sebagaimana yang anda lihat adalah kami jelaskan bahwa ini bukan
termasuk thariqah Ahlul Haq dalam istidlal, dan bahwa apa yang mereka
inginkan untuk mengilzam kami dengannya adalah tidak lazim atas kami,
meskipun ungkapan itu adalah kekafiran baik muncul dari Abu Hanifah
ataupun yang lainyya.”
Dan setiap orang yang memiliki ma’rifah akan ungkapan para ulama
mengetahui makna ungkapan ini, dan bahwa ia tidak berarti takfier Abu
Hanifah, karena sudah maklum di kalangan shighar thalabatil ilmi
perbedaan antara vonis terhadap ungkapan dengan vonis terhadap orangnya.
Vionis terhadap ungkapan bahwa ia kekafiran adalah mudah lagi tidak
butuh untuk memperhatikan mawani’ takfier, beda halnya dengan vonis
terhadap orangnya, maka ini harus melihat mawani’, di mana seseorang
terhadap mengucapkan kalimat kekafiran namun ia tidak menjadi kafir,
karena ada suatu penghalang (mani’) dari mawani’ takfier pada dirinya.
Dan kami hanya berlepas diri dari ungkapan itu dan vonis terhadapnya
siapa saja orang yang mengucapkannya, persis seperti ucapan Sa’id
tentangnya “Inilah kekafiran yang nyata.” Baik kami maupun Sa’id
tidaklah dalam dhahir ucapannya memandang takfier Abu Hanifah, akan
tetapi permusuhan dan perseteruan serta dengki yang mengajak pada sikap
mengada-ada, membutakan dari kejujuran dan menghalang-halangi dari
objektivitas. Karena setiap orang yang mengenal kami atau membaca
tulisan-tulisan kami, dia mengetahui bahwa kami telah bersumpah untuk
tidak menyibukkan diri dengan takfier seorangpun dari kalangan yang
intisab kepada ilmu di zaman kami walaupun mereka menyelisihi dakwah
kami, bahkan banyak dari mereka mencerca kami dan mengada-ada atas nama
kami. Namun suatupun dari hal itu tidaklah mebyibukkan kami atau
memalingkan kami dari apa yang selalu kami dengung-dengungkan dan kami
vokuskan berupa takfier para thaghut atau anshar mereka.
Maka bagaimana masuk akal setelah ini kami menyibukkan diri dengan
takfier semacam Abu Hanifah dari kalangan yang telah menjumpai apa yang
telah mereka kerjakan, dan sama sekali tidak ada faidah yang diharapkan
di balik itu. Kami tidak merasa sungkan dari mengingkari kebatilan dan
menolaknya siapapun orang yang melontarkannya, ini disertai pengetahuan
kami terhadap apa yang dimuat oleh buku-buku tarikh berupa hal dlaif dan
dusta, serta pengetahuan kami akan perseteruan di antara pengikut
madzhab-madzhab serta pengetahuan kami terhadap apa yang ditetapkan oleh
para ulama tentang jarh (penilaian negatif) antara sejawat satu sama
lain.
Kemudian bila sebagian orang tidak mau kecuali dusta dan mengada
serta fitnah maka di sisi Allah seluruh yang berseteru akan berkumpul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar