PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 11 Oktober 2012

MEMBONGKAR SYUBHAT-SYUBHAT MURJIAH GAYA BARU (bagian 2)

Terus Murjiatul ‘Ashr sengaja mengambil ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan yang serupa dengannya dari ucapan-ucapan lain yang bersumber dari sebagian tabi’in seperti Thawus, anaknya dan Abu Miqdaz, yang mana semuanya tentang Khawarij, dan mereka berlari girang dengannya, untuk mereka tempatkannya secara dusta dan mengada-ada pada tempat yang bukan tempatnya, realita yang bukan realitanya dan kondisi yang yang bukan kondisinya, dengan dalil bahwa lafadh yang dijadikan hujjah oleh mereka ini di dalamnya ada ucapan Ibnu Abbas sembari sambil mengkhithabi orang-orang tertentu tentang kejadian tertentu: “Sesungguhnya ia bukan kekafiran yang kalian yakini” maka kalimat “Yang kalian yakini” adalah khithab terhadap khawarij dan orang-orang yang mengikuti mereka pada zamannya dalam kasus yang ma’lum lagi ma’ruf, jadi ucapannya bukan dalam penafsiran ayat, namun dalam manath yang keliru yang dikomentari oleh Khawarij sembari keliru di dalamnya, dengan dalil bahwa ayat ini pada dasarnya berbicara tentang kufur yang mengganti aturan Allah, baik mereka itu Yahudi atau yang lainnya, dan akan datang rincian ini. Maka apakah masuk akal bila Ibnu Abbas atau yang lainnya dari kalangan ahlul islam berkata tentang penggantian orang-orang Yahudi atau yang lainnya akan hukum atau had dari hududullah – seperti diyat atau had zina – adalah pada manath yang bathil yang mana Khawarij ingin menempatkannya di dalamnya, dan ia bukan dalam penjelasan dan penafsiran ayat itu ... maka perhatianlah dan janganlah kamu terperdaya dengan talbis-talbis kaum sesat.

Al-‘Allamah As Salafy Ahmad Muhammad Syakir berkata dalam catatan kakinya terhadapUmdatut tafsir tentang atsar ini: “dan atsar-atsar – dari Ibnu Abbas dan yang lainnya – ini tergolong apa yang dipermainkan oleh orang-orang yang menyesatkan pada zaman kita ini dari kalangan yang intisab kepada ilmu dan kalangan lainnya yang telah berani terhadap dien ini: mereka menjadikannya sebagai udzur atau pelegalan bagi undang-undang berhala jadi-jadian yang telah diterapkan secara aniaya di atas negeri Islam.” 4/156

Dan beliau rh dalam tempat itu juga menukil ta’liq saudaranya Mahmud Syakir terhadap atsat-atsar yang serupa, di dalamnya Abu Mijlaz sedang beliau adalah dari kalangan tabi’in mengkritisi sebagian kalangan Khawarij di zamannya, Ath Thabariy menuturkannya dalam tafsirnya 10/348, berkata: ya Allah, saya berlepas diri di hadapan-Mu dari kesesatan, wa ba’du: sesungguhnya kalangan penebar keraguan dan fitnah dari kalangan yang tampil berbicara di zaman kita ini, dia telah mencari-cari alasan pengudzur buat para penguasa dalam sikapnya meninggalkan al hukmu bimaa anzalallah dan dalam memberikan keputusan berkenaan dengan darah, kehormatan dan harta dengan syariat Allah yang telah Dia turunkan dalam kitab-Nya, serta dalam sikap mereka menjadikan qanun ahli kufri sebagai syariat (aturan yang berlaku) di negeri Islam. Dan tatkala dia mendapatkan dua atsar ini maka dia menjadikannya sebagai pendapat yang dengannya dia memandang kebenaran putusan hukum dalam hal harta dan kehormatan juga darah dengan selain apa yang telah Allah turunkan dan bahwa menyelisihi syariat Allah adalah dalam al qadla al ‘aam (putusan/hukum yang umum) adalah tidak membuat kafir orang yang ridla dengannya dan yang mengamalkan di atasnya..”

Dan beliau menuturkan munasabah atsar-atsar ini dan bahwa ia itu adalah munadharah bersama khawarij yang ingin mengkafirkan para penguasa zaman mereka dengan maksiat yang tidak sampai pada kekafiran, kemudian ia berkata: Jadi pertanyaan mereka itu bukan tentang apa yang dijadikan hujjah oleh ahli bid’ah zaman kita, berupa putusan hukum dalam hal harta, kehormatan, dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi ahlu islam dan bukan pada dalam hal pengguliran qanun (UU) yang mesti diterapkan terhadap ahlul islam dengan cara merujuk hukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya saw. Perbuatan ini adalah keberpalungan dari hukum Allah, bentuk kebencian akan dien-Nya, dan sikap lebih mengedepankan hukum-hukum orang kafir terhadap hukum Allah swt, sedangkan ini adalah kekafiran yang tidak seorang pun dari ahlu kiblat dengan berbagai ragamnya ragu akan kekafiran orang yang mengatakannya dan yang mengajak kepadanya.” Selesai.

Bila orang obyektif yang diberikan taufiq untuk mencari al haq telah mengetahui ini semua serta paham penempatan ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan kalangan salaf lainnya itu(1), serta (paham) akan realita (waqi’) yang mana ucapan itu dilontarkan, juga (mengetahui) ciri orang-orang yang mana ucapan itu dierahkan terhadap mereka dan bentuk ucapan-ucapan mereka itu, terus dia melihat dengan mata bashirah terhadap realita yang kita ada di dalamnya berupa pembuatan hukum yang tidak Allah izinkan dan menjadikan hukum-hukum yang rendah berupa sampah undang-undang buatan dan hawa nafsu manusia sebagai pengganti hukum-hukum Allah, aturan-aturan-Nya serta hudud-Nya yang suci, maka pasti mengetahui kebobrokan talbis yang besar dan penyesatan yang nyata itu yang dilakukan oleh Murjiatul ‘Ashr dengan menempatkan nushush itu pada realita-realita yang sangat berbeda dengan realita yang mana nushush itu dilontarkan, sebagai bentuk penutupan akan kebijakan yang dilakukan di zaman ini dan para pelakunya.
Apakah Muawiyah, Ali dan para sahabat yang bersama mereka di hari saat kaum khawarij menghadang mereka dengan hujjah-hujjahnya itu, mereka mengklaim memiliki wewenang membuat hukum di samping Allah? Atau apakah mereka itu membuat undang-undang dan UUD kafir yang menegaskan bahwa (kekuasaan legislatif/pembuatan hukum) itu berada dengan amir dan majelis rakyat (baca MPR/DPR) sesuai undang-undang dasar(2) sebagaimana itu realita  pada negara-negara yang disebut islam pada hari ini?

Sungguh jauh sekali para sahabat dari berbuat ini, dan sangat-sangat tidak mungkin mereka melakukan itu, bahkan jauh sekali Murjiah zaman mereka dari kekafiran yang nyata ini.
Catatan kaki:
(1)   Karena sesungguhnya banyak dari salaf seperti Al Imam Ahmad, saat mereka berbicara tentang firman Allah ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) mereka menukil apa yang masyhur seputar ayat ini berupa ucapan sahabat dan tabi’in dan mereka menafsirkannya dengan ungkapan-ungkapan itu, karena mereka mengetahui manath (tempat ruang lingkup penerapan) yang mana ungkapan-ungkapan itu dikatakan di dalamnya, terus mereka mengakui ungkapan-ungkapan itu dan memberikan bukti dengannya pada manathnya atau yang serupa dengannya, maka tidak halal menukil ucapan-ucapan mereka dan isytisyhadnya pada selain manathnya, karena itu adalah dusta atas nama mereka dan penisbatan terhadap mereka apa yang tidak pernah mereka katakan, kecuali dengan dalil dari ucapan mereka yang menunjukkan bahwa mereka itu dari pemahaman-pemahaman yang sakit ini, namun demikian tidak ada yang ma’shum setelah Nabi saw, kemudian bila terjadi hak seperti itu dari salah seorang di antara mereka, maka kami akan mengatakan: “setiap orang diambil dan ditolak dari ucapannya kecuali Nabi saw.”
(2)   Materi ini adalah ayat 51 dari UUD Kuwait, dan saudaranya yang tidak syar’i UUD Mesir no. 86 dan dengan lafadh: Majelis rakyat memegang kekuasaan legislatif”, dan saudaranya dalam UUD Yordania no. 25 dan dengan lafadh: Kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Rakyat dan Raja...” Ini tergolong apa yang ada di tangan saya saat ini berupa UUD mereka, dan siapa yang ingin tambahan silakan merujuknya.
Catatan kaki selesai.

Dan kemudian apakah para sahabat membuat undang-undang menurut hukum rakyat dab keinginan mereka atau mengikuti keinginan mayoritas dan menjadikan hal itu sebagai pengganti hudud Allah ta’ala yang tinggi lagi suci...?
Jauh sekali sahabat dari hal itu dan bahkan jauh sekali orang-orang dungu, orang-orang gila, para pengekor dan kalangan awam pada zaman itu dari kekafiran nyata macam ini. Mana mungkin hal seperti itu terbayang ada pada mereka, sedangkan mereka itulah orang-orang yang telah menyirami tanah dengan darah mereka yang suci dalam rangka kejayaan dan kemenangan syariat dienullah.
Dan kami hannya mengatakan, seandainya seseorang melakukan hal seperti itu pada masa itu, tentulah Khawarij tidak menghujjahkannya dengan nash-nash yang tidak sharih dalam bab tasyri’, seperti firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) Dan tatkala mereka meninggalkan nash-nash lain yang tegas dan qath’iy dilalahnya(1) terhadap kekafiran para pembuat hukum/UU/UUD (musyarri’in) dan bahwa mereka itu thawaghut dan arbab yang diibadati selain Allah, seperti firman-Nya ta’ala: “Bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121) dan firman-Nya ta’ala: “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.” (Asy Syura: 21), dan firmannya ta’ala: “Dan Dia tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26) dan ayat lain yang serupa yang tidak mungkin samar atas para sahabat yang mana para sahabat meremehkan bacaan Al Qur’annya bila dibandingkan dengan bacaan Khawarij itu, atau firman-Nya ta’ala: “Dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai arbab selain Allah.” (Ali Imran: 64), dan firman-Nya ta’ala: “mereka (Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan alim ulama dan  rahin-rahib mereka sebagai arbab selain Allah.” (At Taubah: 31) dan yang lainnya, namun ternyata mereka tidak menyebutkan satu pun dari itu, karena tidak satupun darinya yang bisa pas diterapkan kepada kasus mereka itu. Dan tidak mungkin hal seperti ini samar terhadap Ibnu Abbas seandainya kasus mereka berkisar seputar itu – bagaimana sedangkan beliau adalah habrul Qur’an dan perawi sebab nuzul firman-Nya ta’ala: “ Dan bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu adalah orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121)

Al Hakim telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari beliau ra, bahwa ia berkata: (Sesungguhnya sekelompok dari kaum musyrikin mendebat kaum muslimin dalam masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata: “Kalian makan dari (daging hewan) yang kalian bunuh dan kalian tidak makan dari (daging hewan) yang Allah bunuh? Maka Allah ta’ala: “Dan bila kalian menuruti mereka maka sesungguhnya kalian itu adalah orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121). Maka ini menunjukkan bahwa pembuatan hukum/UU/UUD atau orang yang mengikuti hukum buatan selain Allah walaupun dalam satu masalah adalah musyrik kafir terhadap Allah, berbeda dengan hakim atau qadli yang aniaya yang tidak merujuk kepada aturan dan dien (hukum) selain dien (hukum) Allah(2) dan tidak menjadikan bagi dirinya atau bagi yang lainnya wewenang pembuatan hukum, terus dia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dengan makna dhalim, aniaya dan hawa nafsu bukan dengan makna tasyri’ (pembuatan hukum) dan penggantian hukum (istibdal), maka ini tidak lebih dari statusnya sebagai hakim yang dhalim lagi aniaya, dan tidak menjadi kafir walau memutuskan dengan gambaran seperti ini seratus kali selama tidak menghalalkannya...)
Seandainya kasus mereka ini seperti bencana kita ini, tentulah beliau ra dan para sahabat lainnya tidak akan pernah sungkan dalam takfier orang yang melakukannya. Karena mengetahui benar kalau tasyri’ (pembuatan/penetapan hukum) walau dalam satu kasus atau satu masalah pada hal yang tidak boleh kecuali bagi Allah adalah syirik akbar terhadap Allah, kufrun fauqa kufrin, dhulmun fauqa dhulmin, dan fisqun fauqa fisqin, bahkan sesungguhnya sekedar memalingkan haq tasyri’ atau mengklaimnya bagi seseorang dari makhluk ini (amir atau presiden atau raja atau rakyat atau MPR) adalah syirik dan kufur akbar, sama saja baik ia membuat hukum atau tidak, dan sama saja apakah orang yang memalingkan hal itu mengikuti hukum buatan mereka ataupun tidak ... sehingga nampaklah bahwa realita mereka itu berbeda dengan realita kita dan fitnah mereka berbeda dengan fitnah yang menimpa kita, maka pahamilah perbedaan antara dua realita dan dua kasus, dan hati-hatilah dari pencampurbauran dan talbis yang menghantarkan kepada ridla thaghut dan iblis.
Catatan kaki:
(1)    Nash qath’iy dilalah: adalah nash yang menunjukkan kepada mana tertentu yang dia pahami darinya dan tidak mengandung takwil dan tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya darinya, sedangkan Dhanniy dilalah: adalah nash yang menunjukkan kepada suatu makna namun ada kemungkinan untuk ditakwil dan dipalingkan dari makna ini serta dimaksudkan darinya makna yang lain.
(2)    Dan untuk makna seperti ini Abu Mijlaz telah mengisyaratkan dalam ucapannya tentang syari’at Allah: “Ia adalah dien mereka yang mereka amalkan.” Dalam munadlarahnya bersama Khawarij seraya mengisyaratkan kepada para penguasa zamannya yang tidak membuat dien (hukum/UU) selain dienullah, dan mereka tidak mengganti dan tidak pula menetapkan undang-undang, namun muncul dari mereka sebagian kesalahan yang mana Khawarij ingin mengkafirkan mereka dengannya. Dan silakan atsar-atsar dalam hakl itu ditafsir firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan....” (Al Maidah: 44) dari tafsir Ath Thabariy dan Ta’liqat Mahmud Syakir terhadapnya.
Catatan kaki selesai.

v  Kehujjahan ucapan shahabiy
Ya taruhlah wahai saudara-saudara setauhid bahwa Ibnu Abbas – sedang ia adalah manusia yang tidak ma’shum bisa benar dan bisa salah – memaksudkan dengan ucapan yang dinisbatkan kepadanya realita kita ini – dan itu adalah mustahil sebagaimana yang engkau ketahui karena saat itu tidak ada hal yang serupa dengannya – maka apakah kita benturkan perkataan Ibnu Abbas dengan firman Allah dan sabda Rasul serta dalam suatu masalah dari masalah-masalah tauhid yang mana para Rasul semuanya di atas dengannya, yaitu al kufru bitthaghut yang mana ia adalah separuh kalimah tauhid?
Tidak ragu bahwa jawaban atas hal ini dipahami oleh para penuntut ilmu yang masih dini apalagi orang yang intisab kepada ilmu, dakwah dan du’at, karena tidak ada hujjah dalam dien kita selain firman Allah dan sabda Rasul saw.
Bukankah Ibnu Abbas itu sendiri yang berkata sebagai bantahan terhadap orang yang menghujjatinya dalam masalah Mut’atul Hajji (haji tamattu’) dengan perbuatan Abu Bakar dan Umar, sedangkan mereka berdua adalah mereka ra: Hampir saja turun menimpa kalian batu dari langit, karena saya mengatakan Rasulullah telah mengatakannya, dan kalian malah berkata: Abu Bakar berkata dan Umar berkata.”
Dan kami katakan berulang-ulang: Tidak mungkin Ibnu Abbas ngawur atau rancu atau menyelisihi dalam hal inti dari inti-inti dien seperti ini, sedangkan ia adalah Turjumanul qur’an, namun yang kami maksud adalah mengingatkan bahwa ucapan shahaby itu bukan dien dan bukan hujjah dalam dienullah saat ada perselisihan, maka apa gerangan bila dikira-kirakan bahwa itu menyelisihi firman Allah atau sabda Rasulullah saw.
Namun yang mendesak kami untuk mengingatkan dengan hal-hal yang umum diketahui adalah apa yang sering sekali kami mendengarnya dari Murjiah zaman kita yang membela-bela para thaghut, yaitu berupa sikap mendahulukan di hadapan Allah dan membenturkan firman-Nya yang nyata jelas tentang syiriknya menjadikan makhluk sebagai arbab dengan bentuk tasyri’, tahlil, dan tahlim dengan ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas itu (kufrun duna kufrin).
Catatan kaki:
(1)   Dikecualikan ucapan shahabiy “dalam sebab nuzul” karena hukumnya adalah hukum rafa’ (marfu’)
Dan serupa dengan setiap apa yang tidak mungkin diucapkan dari sisi pendapat, sebagaimana yang ma’lum, tapi disyaratkan shahabiy itu bukan tergolong orang yang banyak meriwayatkan dari Bani Israil.
Catatan kaki selesai.

Penjelasan Bahwa Al Hukmu Dengan Makna Tasyri Adalah
Kekafiran Denga Sendirinya Berbeda Dengan Al Hukmu
Dengan Makna Al Jaur (Aniaya) Dalam Vonis
Maka Ada Rincian Di Dalamnya
Dan Bahwa Kekafiran Para
Thaghut Dan Kaki Tangan
Mereka Pada Hari Ini
Adalah Termasuk
Macam Pertama

Dan dalam rangka menghabisi semua syubhat Murjiatul ‘Ashr dan para penerus Jahm dan Bisyr Al Mirrisiy, tinggal kami mengingatkan al akh al muwahhid terhadap makna al hukmu bighairi maaanzalallah yang mana Allah ta’ala vonis pelakunya dengan vonis syirik dan kufur yang mengeluarkan dari millah tanpa disebutkan bersamanya istihlal dan i’tiqad atau yang lainnya sebagai qa’id (batasan) untuk hal itu, dan bahwa itu adalah tasyri aam dan mulzam (yang mesti diterima) yang dijadikan para thaghut masa kini sebagai hak mereka dan bagi para pengikut mereka dari kalangan rakyat dengan perantaraan parlemen kafir mereka, dan ia adalah suatu amalan dari amalan-amalan kekafiran murni yang pelakunya dikafirkan tanpa dikatakan padanya apakah ia menghalalkan atau tidak, dan apakah ia meyakini atau tidak, berbeda dengan al jaur dalam putusan dan vonis sedang ia komitmen dengan Islam dan ajarannya serta tidak mengganti suatu pun darinya, maka ini ada rincian yang masyhur lagi ma’lum di dalamnya antara orang yang meyakini lagi menghalalkan atau orang yang maksiat lagi mengikuti hawa nafsu atau syahwat dan yang lainnya. Dan rincian yang akhir ini dijadikan talbis oleh Murjiatul ‘Ashr dan para syaikhnya terhadap umat dan manusia dengan menempatkan rincian itu pada macam pertama yang kufur yang muncul dari para thaghut masa kini, di mana kaum Murjiatul ‘Ashr ini mengeluarkan kebejatan-kebejatan mereka yang keji ini di hadapan mereka bahwa itu adalah maksiat yang mana para pelakunya tidak kafir kecuali dengan istihlal dan juhud.
Maka engkau mesti mengetahui makna tasyri’ yang mana ia berkaitan dengan syirik dan tauhid, serta engkau memahami perbedaan antara hal itu dengan al hukmu yang berkaitan dengan al furu’ (cabang-cabang) supaya hilang darimu talbis Murjiatul ‘Ashr dan isykal yang bisa terjadi pada dirimu dalam ucapan sebagian salaf saat mereka menggabungkan antara al hukmu bighairi maa anzalallah dengan sebagian dosa-dosa yang tidak mengkafirkan yang mana Rasulullah telah menamainya sebagai kekafiran, dan mereka menggolongkan sebagian itu semuanya dalam al kufru ashghar yang pelkunya tidak dikafirkan kecuali dengan istihlal, maka sesungguhnya mereka memaksudkan dengan al hukmu di sini maknanya yang tidak mengeluarkan dari millah bukan makna tasyr’iy tabdiliy yang muncul dari para thaghut masa kini. Dan dari jenis ini adalah ucapan Ibnul Qoyyim hal (61) dan halaman lainnya dari Kitabushshalah: “Dan bila ia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, atau melakukan apa yang dinamakan kekafiran oleh Rasulullah saw, sedangkan ia komitmen dengan Islam dan ajaran-ajarannya, maka telah ada padanya kekafiran dan keislaman.” Selesai. Perhatikan ucapannya “sedangkan ia komitmen dengan islam dan ajaran-ajarannya”, tentu engkau mengetahui bahwa mereka tidak memaksudkan dalam ungkapan-ungkapan semacam ini al hukmu bighairi maa anzalallahu dengan gambarannya yang bersifat tasyri’i pada zaman kita ini ...(1).
Kepada rincian dan pemilahan ini syaikh Sulaiman Ibnu Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Acdil Wahhab telah mengisyaratkan dalam kitabnya (At Taudlih ‘An Tauhidil Khallaq Fi Jawabil Ahlil Iraq) hal: 141, di mana beliau membagi Al Hukmu bighairi ma anzalallah kepada dua macam ini.
Satu macam syirky yang tauhid dan satu macam lagi dalam al furu’
Catatan kaki:
(1)    Dan ini dekat dengan pembagian gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah akan dua macam al hukmu bi ghairi maa anzalallahu dalam Minhajus Sunnah 5/131 pada firman-Nya ta’ala:
“Demi Tuhanmu, mereka itu tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim dalam apa yang mereka perselisihkan” di mana beliau berkata: siapa yang tidak iltizam (konsisten) mengacu kepada Allah dan Rasul-Nya dalam apa yang mereka perselisihkan, maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya bahwa dia itu tidak beriman).
Dan berkata juga: (Dan siapa yang tidak iltizam hukum Allah dan Rasul-Nya maka ia kafir). (Dan adapun orang yang iltizam dengan hukum Allah dan Rasul-Nya lahir batin, namun dia maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, maka dia sama seperti orang-orang seperti dia dari kalangan ahli maksiat). Selesai.
Catatan kaki selesai.
Dan beliau jelaskan bahwa macam pertama adalah kekafiran haqiqiy yang tidak ada iman di dalamnya. Dan adapun macam kedua(1), maka beliau menyebutkan rincian yang ma’ruf di dalamnya ada dua bentuk:
-          Bila lain tidak mengakui dan hati tidak tunduk(2), maka ia juga kekafiran haqiqy yang tidak ada keimanan karenanya.
-          Dan adapun bila ia mengetahui dengan hatinya dengan lisannya terhadap hukum Allah namun ia melaksanakan kebalikannya secara dlahir dalam furu’ secara khusus, maka ia bukan kekafiran yang memindahkan dari millah, dan ia menuturkan dalam hal ini atsar-atsar yang di antaranya ucapan Thawus: “Al Hukmu (memutuskan) dalam furu’ dengan selain apa yang telah Allah turunkan disertai pengakuan akan hukum-Nya serta mencintainya bukanlah hal yang mengeluarkan dari millah.” Dan beliau menjelaskan macam ini di tempat lain dalam Kitabnya hal: 143 dengan ucapan: “Tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan dalam Al Furu’ yang bukan tergolong ashluddin disertai pengakuan akan hukum Allah di dalam hatinya dan ucapannya, dan (disertai) mencintainya, memilihnya, dan tunduk kepadanya di dalam keduanya (hati dan lisannya).” Selesai.
Perhatikan pemilahan Murjiatul ‘Ashri mencampurkan antara keduanya karena kejahilan, atau talbis dan tadlis, terus mereka menerapkan macam yang terakhir terhadap para thaghut masa kini yang membuat hukum, maka begitu juga Khawarij telah mencampurkan dan bermaksud menjadikan macam terakhir seperti yang awal walaupun tidak disertai dengan istihlal atau juhud, oleh sebab itu syaikh Sulaiman berkata dalam tempat yang pertama: “Dan Khawarij telah cenderung kepada umum berdasarkan dhahir ayat, dan mereka berkata sesungguhnya ia adalah nash bahwa setiap orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka ia kafir, sedangkan setiap orang yang telah berbuat dosa maka ia itu telah memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, sehingga wajib ia itu menjadi kafir. Dan telah terjalin ijma Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atas pernyataan yang menyelisihi mereka, sedang kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, berupa tauhid, justru dia malah memutuskan dengan lawannya, dia melakukan syirik, muwalah kepada para pelakunya dan membantu mereka atas kaum muwahhidin.” Selesai.
Catatan kaki:
(1)    Dan ia adalah hal yang mana Khawarij dan Murjiah masa kini ngawur di dalamnya.
(2)    Dan ini adalah isyarat terhadap juhud, istihlal dan yang lainnya.
Catatan kaki selesai.
Saya katakan: Dan begitu juga kami sesungguhnya orang-orang yang kami kafirkan dengan sebab al hukmu bighairi maa anzalallah, kami tidak mengkafirkan mereka karena putusan mereka dengan furu’ dengan arti aniaya dalam vonis dan yang lainnya tanpa istihlal, sebagaimana ia thariqh khawarij. Dan kami kafirkan mereka hanya karena putusan mereka dengan selain apa yang telah Allah turunkan itu tergolong macam tasyri’iy syirkiy yang bertentangan dengan ashluttauhid, dan karena mereka mengikuti hakam (pemutus hukum) dan musyarri’ (pembuat hukum) selain Allah ‘azza wa jalla, serta mencari dien (hukum) dan syari’at (aturan) selain dien dan syari’at-Nya dan juga karena sikap tawalli mereka terhadap ahlisysyirki dan para thaghutnya dengan berbagai ragamnya, serta sikap dukungan terhadap mereka atas kaum muwahhidin.
Pahami ini dan jangan kamu termasuk orang yang terpengaruh oleh talbis-talbis dan pengkaburan Murjiatul ‘Ashri dan bedakan antara apa yang para Rasul dan para pengikutnya melakukan takfier dengannya, dengan apa yang mana kaum Khawarij serta sebangsanya melakukan takfier dengannya.
Kemudian ketahuilah bahwa tasyri’ dan istibdal adalah kekafiran murni yang tidak boleh dikatakan di dalamnya, apakah dia istihlal, atau meyakini atau juhud? Batasan-batasan ini hanyalah berlaku pada macam terakhir yang mana Khawarij ngawur di dalamnya.
Ahlul Kitab yang tentang mereka Allah turunkan firman-Nya ta’ala: “Mereka menjadikan alim ulama dan rahib-rahib mereka sebagai arbab selain Allah,” (At Taubah: 31) telah kafir dengan sebab tasyri’ taat kepada para pembuat hukum dalam hal itu serta mengikuti mereka terhadap aturan-aturan/hukum-hukum/UU/UUD yang mereka buat, dan tidak boleh dikatakan bahwa mereka kafir karena keyakinan mereka bahwa itu diharamkan secara sebenarnya atau dibolehkan secara sebenarnya atau bahwa mereka menghalalkan tasyri’ (istihlal qalby) atau bahwa mereka meyakini bahwa mereka memiliki hak dalam uluhiyyah atau rububiyyah.
Syaikh Abdul Majid Asy Syadzily berkata dalam (Haddul Islam Wa Haqiqatul Iman) hal: 431: Sesungguhnya makna “mereka menghalalkannya” atau “mereka mengharamkannya” bukanlah maknanya (i’tiqad) dengan makna ilmu (mengetahui) akan kebenaran sesuatu dan mengabarkan tentangnya, akan tetapi mengamalkan sesuai dengan tuntunan pengharaman dan penghalalan mereka berupa memutuskan dan merujuk hukum kepadanya..”
Dan orang-orang Yahudi tatkala mengganti had zina, dan mereka bersepakat dan berijtima terhadap hukum selain hukum Allah, mereka tidak meyakini kebolehan zina atau menghalalkannya, tetapi mereka tetap meyakini keharamannya dengan pengharaman Allah terhadapnya, dan mereka tidak juga mengklaim atau mengatakan bahwa hukum yang mereka buat itu dari sisi Allah atau lebih adil, serta mereka tidak pula mereka menegaskan sikap istihlal mereka terhadap tasyri’ atau bahwa mereka meyakini bahwa mereka memiliki wewenang membuat hukum/UU (haq tasyri’) atau hal serupa dengannya, namun justru mereka menjadi kafir dengan sekedar kesepakatan mereka dan kemufakatannya terhadap suatu hukum dan tasyri’ (aturan) selain hukum dan tasyri’ Allah, dan mereka itu menjadi arbab bagi orang yang mentaati dan mengikuti mereka serta bersepakat bersama mereka atas tasyri’ itu.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rh berkata dalam Kitabuttauhid: “Siapa yang mentaati ulama dan umara dalam pengharaman apa yang Allah halalkan atau dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan, maka ia telah menjadikan mereka sebagai arbab selain Allah.” Selesai.
Orang yang mengikuti aturan para pembuat hukum yang bertentangan dengan syari’at Allah adalah orang musyrik yang telah menjadikan tuhan (rabb) selain Allah, sedangkan si pembuat hukum/UU/UUD itu sendiri adalah thaghut kafir yang menyekutukan dirinya bersama dengan Allah dalam uluhiyyah hukum dan tasyri’... Dia ta’ala berfirman: “Dan Dia tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26) dan dalam qiraah Ibnu ‘Amir sedang ia tergolong sab’ah: “Dan janganlah kamu menyebutkan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26) dengan shighat nahyi (bentuk karangan), sedangkan tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD) bisa jadi penyekutuan atau isytirak (berserikat) bersama Allah dalam hukum, dan keduanya adalah kekafiran murni.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam risalahnya “Tisiniyyah”: Penetapan wajib dan tahrim tidak lain adalah bagi Allah dan Rasul-Nya, siapa orangnya memberikan sanksi atas perbuatan atau (atas) meninggalkan tanpa perintah Allah dan Rasul-Nya serta dia menjadikan hal itu sebagai dien (ajaran/pegangan/acuan), maka dia telah menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan bagi Allah serta sama dengan kaum murtaddin yang beriman kepada Musailamah Al Kadzdzab, dan ia tergolong orang yang dikatakan Allah “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan.” Asy-Syura: 21. (Hal: 14 dalam Majmu’ah Fatawa Ibnu Taimiyyah juz 5 cet. Darul Fikr)
Syaikh Asy Syinqithi rh berkata dalam Adlwaul Bayan juz 7 hal 169: Dan tatkala tasyri’ (aturan) dan seluruh hukum, baik itu syar’iyyah ataupun kauniyyah qadariyyah adalah termasuk wewenang khusus Rububiyyah maka setiap orang yang mengikuti aturan selain aturan Allah maka ia telah menjadikan si musyarri (pembuat hukum/UU/UUD/aturan) itu sebagai rabb (tuhan) dan mempersekutukan dia bersama Allah.” Selesai.
Dan berkata hal 173: “Dan bagaimanapun keadaannya maka tidak ada keraguan bahwa setiap orang yang mentaati selain Allah dalam aturan yang menyelisihi dengan apa yang Allah syari’atkan maka ia telah mempersekutukan dia bersama Allah.”
Dan berkata di tempat lain: Dan dipahami dari ayat-ayat ini, seperti firman-Nya: “Dan Dia tidak menyertakan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al Kahfi: 26) bahwa orang-orang yang mengikuti aturan/hukum/UU/UUD produk para musyari’in selain apa yang telah Allah tetapkan sesungguhnya mereka itu musyrikun billah. Dan mafhum ini ada dijelaskan dalam ayat-ayat lain, seperti firman-Nya tentang orang yang mengikuti aturan syaithan dalam pembolehan bangkai, dengan klaim bahwa ia adalah sembelihan Allah: “Dan janganlah kalian makan dari hewan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, karena ia adalah fisq, dan sesungguhnya syaitan-syaitan membisikkan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian. Dan seandainya kalian menaati mereka maka sesungguhnya kalian adalah orang-orang musyrik.” (Al An’am: 121), dimana Dia tegaskan bahwa mereka itu musyrikin dengan sebab menuruti mereka...” Selesai.
Dan dalam firman-firman-Nya ta’ala: “Apa engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa yang diturunkan terhadapmu dan (kepada) apa yang diturunkan sebelummu, mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya, dan syaitan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh” (An Nisaa’: 60) beliau berkata juz 4 hal 83: Dan dengan nushash samawiyyah yang telah kami sebutkan ini nampaklah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah yang disyari’atkan syaithan lewat lisan wali-walinya seraya menyelisihi apa yang disyari’atkan Allah ‘Azza wa Jalla lewat lisan Rasul-Nya saw adalah tidak ada yang meragukan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang telah Allah hapus bashirahnya dan Dia butakan dari cahaya wahyu, seperti mereka.” Selesai.
Abdul Majid Asy Syadziliy berkata dalam kitabnya (Haddul Islam Wa Haqiqatul Iman)(1): “Dan tidak ada bedanya dalam tasyri’ (pembuatan hukum/UU) ini antara ibahah (pembolehan) dengan yang lainnya. Di mana si pembuat hukum/UU tidaklah memerintahkan untuk minum atau menghalalkan minum, namun itu kembali kepada dien (keyakinan/agama) setiap individu di masyarakat, sedangkan si pembuat hukum itu memisahkan antara dien dengan negara dan dia itu pembuat hukum negara, sedang agama (dien) dalam pandangan dia adalah hubungan antara hamba dengan Tuhannya, sehingga taat kepada dia dalam hal itu tidak ada urusannya dengan perbuatan dan tidak pula dengan istihlal namun dalam sikap si anggota masyarakat menghormati pembolehan ini serta mengakui akan haq dia dalam pelaksanaan tugasnya.
Dan tidak ada pula urusannya dengan keyakinan dengan arti mengetahui akan perintah, karena kaum Yahudi saat bersepakat atas sanksi dera dan pencorengan wajah sebaga ganti rajam, mereka itu tetap merasa berdosa dengan sebab itu sehingga mereka mencari jalan keluar fiqh baginya, dan karenanya mereka berkata: “Pergilah kepada Nabi ini, karena sesungguhnya dia telah diutus dengan bawa peringanan, kemudian bila dia memberi fatwa kalian dengan dera dan tahmim maka ia adalah hujjah bagi kalian di sisi Allah,” dan bila kalian tidak diberi hal itu maka hati-hatilah.” (Al Maidah: 41)
Berkata dalam kitabnya “Haqiqatul Iman” hal: 95 seputar sebab turun firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan maka merekalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) sungguh tergolong yang maklum dalam sebab nuzul ayat ini adalah bahwa kaum Yahudi hanyalah merubah hukum yang ada dalam taurat tanpa membuangnya darinya, dan tanpa meyakini bahwa di sana ada hukum baru yang turun dari sisi Allah, namun mereka hanya merubahnya dengan tetap membiarkan hukum yang asli ada, dan itu terjadi karena sekedar terasa berat hal itu atas mereka dan ketidakmampuan mereka untuk melaksanakannya karena sebab kefasikan mereka. Ath Thabari berkata dalam Tafsir firman-Nya ta’ala: “Dan bagaimana mereka menjadikan kamu sebagai hakim, sedangkan di sisi mereka ada Taurat.” (Al Maidah: 43): “Dan di sisi mereka ada Taurat yang telah Aku turunkan kepada Musa, dan yang mereka akui, dan bahwa apa yang ada di dalamnya berupa hukum maka ia tergolong hukum-Ku. Mereka mengetahui hal itu sembari tidak merasa asing dengannya dan tidak bisa mengingkarinya, dan mereka mengetahui bahwa hukum-Ku di dalamnya terhadap pezina muhshan adalah rajam. Dan mereka padahal mengetahui akan hal itu namun mereka berpaling.” Dia berkata: “Mereka meninggalkan memutuskan hukun dengannya setelah mengetahui akan hukum Aku di dalamnya sebagai bentuk kelancangan terhadap-Ku dan pembangkangan terhadap-Ku.”
Dan al haq bahwa pendapat ini dalam masalah ini tidak mengandung mukabarah, karena dalam manthuq ungkapan dan dalam mafhumnya tidak ada sedikitpun syarat terhadap apa yang mereka klaim bahwa ia adalah al haq al ilahiy yang sesuai tuntutannya sebagian nashara dan Yahudi merubah hukum hukum berdasarkan apa yang mereka yakini pada para alim ulama mereka bahwa wahyu masih senantiasa turun kepada mereka supaya mereka merubah apa yang ada pada mereka dengan keinginan Allah. Ini adalah suatu hal sedangkan apa yang datang tantang kekafiran orang yang merubah hukum-hukum ini disertai mengakuinya adalah hal lain.” Selesai.
(1)   Hal 383 Terbitan Universitas Ummul Qura
(2)   Dan ini adalah hal yang sumpah terhadapnya anggota Parlemen syirik dan para menteri dalam sumpah serta kepada UUD yang syirik yang mereka lakukan sebelum memegang jabatan.
Lihat ayat 91 dan 126 dari UUD Kuwait dan ayat 43, 79 dan UUD Yordania.
Catatan kaki selesai.
Dan dekat darinya macam yang telah disebutkan Syaikhul Islam Ash-Sharimul Maslul hal 521 saat beliau berbicara tentang macam-macam istihlal: Dan terkadang dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya dan dia mengetahui bahwa Rasul hanyalah mengharamkan apa yang telah Allah haramkan, kemudian dia menolak dari komitmen dengan tahrim ini dan dia i’nad (membangkang)(1) terhadap yang mengharamkan, maka ini lebih dahsyat kekafirannya dari orang yang sebelumnya.” Selesai.
Catatan kaki:
(1)   “I’nad dan tafdlil” adalah kata-kata yang dipermainkan Murjiatul ‘Ashri untuk melariskan keislaman para thaghut pembuat hukum saat mereka terang-terangan menyatakan dalam waktu yang mana mereka memerangi dien dan merobohkannya dengan segenap sarana dan cara yang mereka mampu di dalamnya, mereka mengatakan: “Tidak ragu bahwa hukum Allah adalah yang paling utama dan kami berharap bisa memberlakukannya, dan kalian berdoalah buat kami dan bantulah kami.” Dan talbis-talbis mereka lainnya yang diwahyukan (dibisikkan) kepada mereka oleh syaithan-syaithan jin dan manusia dari kalnagan para penasehat (mustasyar) thaghut yang mengetahui benar kependiran dan kedunguan Murjiah masa kini yang tampil untuk dakwah dan sebagai du’at, karena mayoritas para penasehat thaghut itu seandainya engkau menelusuri sejarah mereka tentulah engkau dapatkan mereka itu memiliki akar/latar belakang bersama jama’ah-jama’ah irja ini, dan tidak ada yang menghantarkan mereka kepada jabatan-jabatan mereka ini kecuali madzhab irja dan istihsan serta istihlah (penilaian maslahat) jama’ah-jama’ahnya. Dan saya bertanya tentang gambaran realita yang kita rasakan langsung saja, demi Allah Tuhan kalin, apakah di sana ada yang lebih besar ‘inad, dan sikap pemerangannya terhadap dien ini dan syari’at-Nya, serta lebih pengutamaannya akan hukum thaghut terhadap syari’at-Nya daripada orang yang mengetahui dan mengenal serta terang-terangan menyatakan bahwa dia mengetahui dan mengenal bahwa hukum Allah dan syari’at-syari’at-Nya lebih utama dari hukum thaghut, namun bersama pengetahuan dia dan penegasannya ini, dia tidak memilih kecuali hukum thaghut dan syari’at-Nya, dan ia bukanlah sekedar pilihan yang bersifat pribadi murni, namun dia justru mengharuskan manusia untuk mengikutinya dan masuk di dalamnya serta memberi hukuman kepada orang yang meninggalkannya dan melanggar batasan-batasannya, disertai pelanggaran dia terhadap batasan-batasan Allah siang malam, pelegalannya dan ajakannya bahkan perintahnya kepada manusia untuk melanggarnya dengan pintu-pintu dan berbagai sarana. Bila hal seperti ini bukan i’nad maka di dunia ini seluruhnya tidak ada i’nad, oleh sebab itu engkau akan melihat dari ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab setelah ini bahwa beliau memvonis i’nad terhadap orang yang meninggalkan tauhid setelah mengetahuinya dan beliau menjadikan dia seperti Fir’aun dan iblis, maka bagaimana gerangan dengan orang yang memerangi tauhid dan berupaya untuk menghancurkannya padahal dia menegaskan akan pengetahuannya, sehingga orang yang meninggalkan inti tauhid bisa saja kafir mu’ridl (yang berpaling) atau a’lim mu’anid, sedangkan mu’nid itu tidak mesti muharib dalam semua kondisinya, namun di sana ada mu’anid muharib (yang memerangi) dan di sana ada mu’anid (yang berpaling lagi komit dengan kebalikannya), dan tidak ragu bahwa para thaghut itu tergolong mu’anidin muharibin demi Tuhan Ka’bah, serta hal ini tidak samar kecuali atas orang-orang buta. Dan begitu juga tafdlil dengan lisan, dan ia lebih nyata dengan perbuatan, sedangkan tafdlil itu tidak lain adalah memilih suatu yang lebih utama, mengikutinya dan memegangnya.
Catatan kaki selesai.
Dan begitu juga Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam Kasyfusy Syubuhat hal (28): “Tidak ada perselisihan bahwa tauhid itu mesti terbukti dengan hati, lisan, dan amal. Bila sesuatu darinya lenyap maka orang itu bukanlah muslim, kemudian bila dia mengenal tauhid dan tidak mengamalkannya maka dia itu kafir mu’anid seperti Fir’aun, iblis dan yang serupa dengannya. Dan ini banyak manusia keliru di dalamnya, mereka mengatakan: ini haq dan kami paham ini serta kami bersaksi bahwa inilah kebenaran, namun kami tidak kuasa melakukannya, dan tidak boleh – yaitu tidak diterima dan tidak bisa berjalan – pada penduduk negeri kami kecuali orang yang sejalan dengan mereka serta alasan-alasan lainnya. Dan orang miskin ini tidak tahu bahwa keumuman tokoh-tokoh kekafiran mengetahui al haq dan mereka tidak meninggalkannya kecuali karena sesuatu dari alasan-alasam itu, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit” (At Taubah: 9) dan ayat-ayat lainnya.” Selesai.
Dan serupa dengan ini atau bahkan lebih dahsyat apa yang diklaim oleh sebagian para thaghut masa kini bahwa mereka itu mengakui syari’at Allah dan dien-Nya dan bahwa ialah yang paling afdhal, paling sempurna, paling baik dan wajib diberlakukan serta yang lainnya, terus mereka menjadikan bagi mereka wewenang pembuatan hukum/UU/UUD sebagaimana yang telah lalu dari UUD-UUD mereka, dan mereka mengganti hududullah dan hukum-hukum-Nya dengan undang-undang dan aturan-aturan mereka yang busuk. Mereka itu mengklaim bahwa mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada apa yang diturunkan kepada beliau dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, terus mereka menempatkan diri mereka sebagai arbab yang membuat hukun dan thaghut-thaghut yang memperhamba manusia terhadap mereka dan mengharuskan mereka untuk mengikuti aturan-aturan mereka yang bersebrangan dengan syari’at Allah dan mentaatinya serta mereka menghalangi pemberlakukan syari’at Allah. Maka perbuatan mereka ini pada bentuknya adalah perbuatan dan amalan kekafiran yang mengeluarkan dari millatul islam, dan kita tidak mencari di dalamnya tentang i’tiqad dan istihlal.
Al Imam Ibnu Hazm berkata dalamm Al Fashl 3/245 dalam penjelasan firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syetan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (At Taubah: 37). Dan sesuai ketentuan bahasa yang mana Al Qur’an turun dengannya bahwa ziyadah (tambahan) dalam sesuatu itu tidak terjadi kecuali darinya bukan dari selainnya.
Sehingga sahlah bahwa penangguhan bulan itu adalah kekafiran, sedang ia adalah tergolong perbuatan, yaitu penghalalan apa yang Allah ta’ala haramkan.
Siapa yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan sedang dia mengetahui bahwa Allah ta’ala telah mengharamkannya maka ia kafir dengan perbuatan itu sendiri....” Selesai.
Perhatikan ucapannya: “Sedangkan ia adalah tergolong perbuatan” dan ucapannya” siapa yang menghalalkan apa yang Allah haramkan sedang dia mengetahui bahwa Allah ta’ala telah mengharamkannya maka ia kafir dengan perbuatan itu sendiri” dari mana merembes kepadanya syubhar i’tiqad.
Dan dalam hal ini ada faidah, yaitu bahwa istihlal sebagaimana ia terjadi dengan i’tiqad tanpa amalan sesekali dan dengan i’tiqad bersama amalan pada kali yang lain, maka sesungguhnya ia terjadi juga dengan sekedar amalan.(1)
Catatan kaki:
(1)   dan tergolong bab ini pemilahan ahlul ilmi antara orang yang berzina dengan mahramnya wal’iyadzu billah dengan orang yang menikahi salah seorang mahramnya, di mana dia melakukan akad nikah terhadapnya, silakan rujuk Tahdzibul Atsar karya Ath Thabariy 3/441, Zadul Ma’ad dan yang lainnya, di mana mereka menuturkan dalam hal ini apa yang diriwayatkan Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, Abu Dawud, An Nasai dan yang lainnya, dan ia adalah shahih dari Al Bara bahwa Nabi saw mengirim paman Al Bara’ kepada laki-laki yang menikahi (mantan) istri bapaknya (ibu tirinya) untuk membunuhnya,” dan dalam riwayat dari Mu’awiyah Ibnu Qurrah dari bapaknya (bahwa beliau membagi lima hartanya)... maka ini menunjukkan bahwa dia dibunuh sebagai orang kafir, sedang semua riwayat menuturkan bahwa mereka meggusur dia keluar dan memenggal lehernya dan mereka tidak menanyakannya, apakah dia menikahinya seraya meyakini kehalalan hal itu atau tidak meyakini .... sehingga sahlah bahwa istihlal itu bisa berbentuk amalan.
Catatan kaki selesai.
Jadi i’tiqad dalam hal istihlal atau tahlil bukanlah batasan dalam kekafiran, namun ia adalah tambahan di dalamnya. Tidak ragu bahwa minum khamr atau jatuh dalam zina atau makan riba, semua ini tidak sama dengan membuat hukum untuk hal itu dengan cara menetapkan UU, kepres, dan aturan-aturan yang menggantikan hududullah atau yang memperenteng lagi mempermudah khamr dan zina atau yang melegalkan lagi membolehkan riddah dan riba dengan disertai penjagaan hal itu, perlindungannya, kesepakatan, persekongkolan atasnya dan kemufakatannya sebagai sistem bagi pemerintahan. Yang pertama adalah hal yang dikatakan saat berbicara tentang takfir, apakah ia menganggap halal atau tidak, karena ia adalah dosa-dosa yang tidak mengkafirkan.
Adapun yang kedua, maka ia adalah kekafiran tasyri’, tahlil dan tahrim, dan di dalamnya tidak usah menghiraukan keyakinan walaupun pelakunya bersumpah sejuta kali bahwa ia tidak menganggap halal, kami katakan kepadanya: “Jangan kalian mencari-cari alasan, sebab kalian telah kafir.” (At Taubah: 66) dan Allah telah mendustakan kalian dan menamakan iman kalian yang kalian klaim sebagai pengakuan.
Karena sungguh perbedaan yang sangat-sangat besar antara orang yang bermu’amalah riba seraya merasa berdosa sembari mengharap kenikmatan dunia dengan orang yang melegalkan riba bagi manusia, dia buatkan UU untuknya, dia melindungi yayasan-yayasan dan bersepakat dan bermufakat terhadapnya.
Dan juga perbedaan yang besar antara orang yang minum khamr seraya merasa berdosa dengan orang yang melegalkan meminumnya bagi manusia, dia memberi izin bar-bar untuk menjualnya, melindunginya, serta mengganti had Allah dalam khamr dengan hukum-hukum dan UU yang rendah.
Dan perbedaan besar juga antara orang yang berzina seraya merasa berdosa karena lebih mementingkan kehinaan dengan orang yang mengganti had zina dan melegalkan pelacuran dengan UU yang menjadikan zina sebagai pidana saja pada haq suami  dan ditanyanya dan bila suami ridla maka tidak ada pidana dan sanksi, namun ia boleh menurut mereka...(1)
Tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD) dan tahrimul halal atau tahlilul haram sebagaimana yang telah engkau pahami adalah perbuatan kekafiran murni dan bukan seperti dosa-dosa lain yang disyaratkan di dalamnya keyakinan penganggapan halal, dan terkadang ditambahkan kepadanya i’tiqad, sehingga menjadi kufur murakkab dan tambahan dalam kekafiran, dan ia itu bukan batasan atau syarat bagi kekufuran di sini, karena kaum musyrikin yang menghalalkan bulan-bulan haram dengan cara menukarnya dengan waktu-waktu lain, mereka itu mengetahui dan meyakini dalam benak jiwa mereka bahwa bulan-bulan haram di sisi Allah adalah bulan-bulan yang pertama itu bukan yang mereka ada-adakan dan  bukan yang mereka tetapkan serta bukan yang merek ganti. Dan begitu juga inilah keyakinan Yahudi saat mereka (mengganti) had zina atau (mereka sepakat) atau (mereka kompromi) atau (mereka bersekongkol)(2) atas suatu hukum lain dari diri mereka sendiri, dan mereka itu tidak menghalalkan zina dan tidak menyatakan atas istihlal qalbiy mereka terhadap tasyri’ dan tabdil, jadi kekafiran atau sebabnya di sini adalah perbuatan tabdil atau tasyri’ atau ittifaq atau ijtima’ atau kompromi atau kemufakatan atas hukum bukan syari’at Allah ta’ala. Sama saja baik mereka mengatakan kami mengakui dalam hati kami atau mengingkari bahwa bulan-bulan yang Allah haramkan adalah yang benar atau bahwa had zina yang telah Allah turunkan ialah yang benar, atau tidak mengatakan, maka keyakinan itu tidak ada guna untuk menyebutkannya di sini kecuali dalam rangka penambahan dalam kekafiran, karena perbuatan mereka itu dengan sendirinya adalah kekafiran dan penyekutuan bersama Allah dalam hukum-Nya, sedangkan siapa yang menyekutukan dirinya bersama Allah dalam tasyri’ (pembuatan hukum) maka ia telah merampas/menggugat Allah, sedangkan para pengikutnya, ansharnya dan para penyokongnya atas itu adalah orang-orang yang beribadah kepadanya.
Catatan kaki:
(1)    Untuk mengenal contoh-contoh atas hal itu dalam undang-undang mereka yang busuk, silakan rujuk kitab kami “Kasyfu Niqab ‘An Syari’atil Ghab”.
(2)    Ini adalah kata-kata yang mana sebab kekafiran dikaitkan dengan dalam hadits-hadits yang datang tentang urusan kaum Yahudi dan kekafiran mereka karena sebab mengganti hukum Allah, dan ia adalah manath (sebab) vonis dengan kekafiran, serta dalam hadits-hadits itu tidak ada penuturan akan i’tiqad atau juhud atau istihlal, silakan rujuk hadits-hadits itu dan hafallah supaya dengannya engkau membungkam mulut-mulut Murjiatul ‘Ashr.
Dan persis seperti ini adalah apa yang diisyaratkan oleh Syaikh Abdul Majid Asy Syadziliy dalam “Haddul Islam Wa Haqiqatul Iman” hal: 428 dalam kata-kata yang disifati di dalamnya orang yang menjadikan alim ulama dan para rahib sebagai arbab, dan dia sekutukan mereka bersama Allah dalam tahlil dan tahrim, pada jalan-jalan hadits ‘Addiy, di mana disebutkan: “maka mereka mengikutinya” maka mereka menurutinya. “Kalian mengambil ucapan mereka” “maka mereka mengharamkannya dan menghalalkannya” dan yang serupa dengannya, dan tidak ada dalam satu riwayatpun “maka mereka meyakini bahwa ia halal” namun yang dimaksud hanyalah komitmen mereka terhadap tahrim dan tahlil mereka, kompromi dan bermufakat atasnya dan menjadikannya sebagai undang-undang dan hukum.
Karena kompromi, bermufakat dan bersepakat terhadap suatu aturan selain aturan Allah serta komitmen dengannya walau dalam satu had atau satu hukum adalah berbeda dengan sekedar taat kepada pembuat hukum atau kepada yang lainnya dalam maksiat terhadap Allah walaupun itu berbilang, dan yang disebutkan di dalamnya batasan istihlal atau i’tiqad, keduanya adalah dua amalan yang berbeda yang mana Murjiatul ‘Ashri ngawur di dalamnya. Dan bisa jadi mereka itu beralasan dengan sebagian ucapan Syaikhul Islam yang mana beliau menetapkan di dalamnya syarat itu dalam kekafiran orang-orang yang mengikuti para pembuat hukum dalam maksiat-maksiat saja dan ini adalah haq (benar) tidak ada keraguan di dalamnya, akan tetapi ia adalah hal di luar kemufakatan dan kesepakatan atas suatu hukum atau had atau ajaran selain ajaran Allah yang dilakukan oleh Yahudi dan mereka kafir dengannya tanpa penyebutan i’tiqad, dan ia adalah yang dipraktekkan oleh para thaghut dan budak-budaknya hari ini. Adapun orang yang meyakini tahrim apa yang diharamkan oleh para pembuat hukum, maka ia itu musyrik kafir baik ia komitmen dengannya ataupun tidak, sedang ini tidak ada kaitannya dengan materi kita. Dan perlu diingat bahwa perincian beliau 7/70 adalah tentang status para pengikut bukan orang-orang yang diikuti, dan bahasan ini telah kami paparkan dalam tulisan kami “Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah tentang tahdzir dari Akhthaauttakfir”, itu dikarenakan orang yang taat kepada musyarri’ tidak mesti dia itu mengikuti produk hukumnya lagi bermufakat terhadapnya serta komitmen dengannya dalam setiap keadaan, namun terkadang dia ditaati oleh sebagian ahli maksiat dalam maksiat kepada Allah saja, maka perbuatan mereka itu bukan kekafiran kecuali disertai istihlal, sehingga wajib melakukan rincian dalam status para pengikut karena adanya keadaan-keadaan seperti ini dan karena adanya ihtimal. Adapun para pembuat hukum yang menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah, terus mereka memberikan kepada diri mereka dan yang lainnya dari kalangan anggota dewan/majelis suatu hak khusus dari hak-hak khusus ketuhanan (tasyri’/penetapan hukum), sehingga tergolong kebodohan sebagaimana yang telah lalu menempatkan rincian itu terhadap orang-orang macam mereka, apakah mereka menganggap halal atau meyakini!?
Ketahuilah sesungguhnya para thaghut itu telah mengumpulkan antara dua kekafiran besar, mereka sebagai pembuat hukum dan dalam waktu yang sama mereka juga sebagai pengikut para pembuat hukum internasional, mereka bermufakat dan bersepakat terhadap hukum/ajaran-ajarannya serta berkumpul bersama mereka di atasnya ... sungguh mereka telah mengumpulkan kekafiran di atas kekafiran dan kegelapan satu saman lain di atas yang lainnya.
Catatan kaki selesai.












Syubhat Atau Fitnah
Bahwa Umar (Tidak Memutuskan Dnegan Apa Yang Telah Allah Turunkan) Dengan Menggugurkan Had Pencurian Dari Sebagian Orang-Orang Yang Terdesak Pada Tahun Ramadah

Inilah... sungguh saya telah melihat dari sebagian orang yang telah Allah kunci mati pendengaran dan penglihatannya dan Dia jadikan lebih sesat dari binatang ternak dengan sebab ia berpaling dan menyibukkan diri dari mempelajari ashli diennya dan tauhidnya dengan kehidupan dunia dan perhiasannya, fariyyah (tuduhan dusta/fitnah) dan ucapan yang saya tidak sudi berbicara panjang di dalamnya, yang intinya bahwa “Al Faruq ra tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan di hari beliau menelantarkan pengamalan had pencurian di tahuan ramadah”
Maka saya katakan sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahlul ilmi: sesungguhnya mengetahuinya orang mu’min yang mengenal dienullah akan kesesatan-kesesatan dan kejahilan-kejahilan murakkab ini, di dalamnya terkandung pengingatan baginya akan nikmat Allah terhadapnya, serta dorongan untuk mensyukuri nikmat tauhid, Islam dan paham akan dienullah, Allah ta’ala berfirman: “Dan siapa yang diberi hikmah, maka telah diberi kebaikan yang banyak.” (Al Baqarah: 269), sebagian salaf berkata: Siapa yang telah diberi (pemahaman akan) al qur’an terus dia memandang bahwa ada seseorang di atasnya maka dia tidak mengetahui nikmat Allah atasnya.
Kemudian  saya katakan dengan ringkas: Telah kami rinci di hadapan anda pada uraian yang lalu bahwa al hukmu bi ghairi maa anzalallah itu dilontarkan terhadap dua makna: yang pertama tasyri’iy istibdaliy kufriy, sedang yang satu lagu berupa aniaya dalam putusan dan vonis karena hawa nafsu dan syahwat tanpa istihlal.
Dan perbaitan Umar Al Faruq sama sekali tidak ada kaitannya dengan kedua macam itu, sedangkan berbicara dalam hal itu dan merincinya pada hakikatnya ia adalah penyia-nyiaan akan waktu, bahkan ia adalah pelecehan terhadap pembaca dan meremehkan akalnya dengan mengajak berbicara tentang penjelasan suatu yang jelas dan penjabaran suatu yang sudah gamblang, dan itu tidak dilakukan kecuali terhadap orang-orang dungu.
Adapun perbuatan beliau ra di tahun ramadah adalah ijtihad murni yang tepat sasaran lagi mendapatkan dua pahala di dalamnya insya Allah. Dan ia secara pasti lagi tidak ada keraguan tergolong al hukmu bimaa anzalallah serta sama sekali tidak keluar darinya, karena ia adalah penggunaan akan maqashidusysyari’at yang mana Rasul saw diutus dengannya dan Al Kitab diturunkan serta hudud syari’at ditetapkan dalam rangka merealisasikannya, yaitu menjaga kepentingan-kepentingan manusia yang inti lagi syar’i, meraih kepentingannya yang paling besar dan menolak kerusakan darinya.
Dan mashalih syar’iyyah itu diikat dan diketahui dengan istiqra nushush syari’at, dan ia bukan mengikuti hawa nafsu dan anggapan-anggapan baik sebagimana yang diduga oleh banyak Ruwaibidlah yang dungu.
Di antara mashalih (kepentingan-kepentingan) itu ada yang dlaruriy (penting sekali harus ada) dan diantaranya ada yang bersifat haajiy (sekunder) dan yang lainnya adalah taksiniy takmiliy (pelengkap).
Adapun dlaruriyyat, maka ia itu ada enam: “Dien, jiwa, akal, nasab (keturunan), kehormatan dan harta”. Dan ia adalah kepentingan-kepentingan yang paling urgen secara muthlaq, sedang yang tinggi dan paling agung adalah dien (tauhid). Bila kepentingan-kepentingan dlaruriyyat bertentangan atau salah satunya dengan maslahat haajiyyah atau takmiliyyah maka dlaruriyyat didahulukan tanpa perbedaan.
Adapun bila dua mashlahat dlaruriyyah bersebrangan yang dikedepankan adalah yang paling penting dan paling besar dari keduanya, sebagai bentuk meraih mashlahat terbesar dari dua mashlahat yang berbenturan dengan menggugurkan yang paling rendah di antara keduanya atau menolak kerusakan terbesar dari dua kerusakan dengan melakukan yang paling rendah diantara keduanya.
Dan ini adalah pintu yang besar dari bab-bab fiqh, dan ia tergolong tujuan-tujuan syari’at Allah, hukumnya dan kaidah-kaidah yang paling agung. Dan siapa yang diberikan taufiq untuk memahaminya dan mengetahuinya maka ia telah diberi petunjuk untuk memahami banyak dari rahasia-rahasia syari’at dan hikmah-hikmahnya.
Memahami bab ini dan menerapkannya pada waqi’ (realita), ia adalah tidak ragu tergolong ushul syariat dan tergolong al hukmu bi maa azalallah. Dan ijtihad Umar ra di tahun ramadah tidak lain adalah tergolong hal ini, di mana beliau mendahulukan mashlahat jiwa dan penjagaannya terhadap mashlahat harta dan penjagaannya saat keduanya bertentangan, sungguh orang-orang saat itu dalam kelaparan yang dahsyat, sedangkan dlarurat itu menghalalkan yang dilarang, sehingga memakan harta curian adalah seperti memakan bangkai dalam kondisi-kondisi itu, dibolehkan, bahkan wajib menurut sebagian ulama bila yakin binasa, dan orang yang meninggalkannya dalam hal seperti itu maksiat kepada Allah lagi membunuh diri sendiri sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm dan beliau berdalil dengan firman-Nya ta’ala: “Dan jangan kalian membunuh diri kalian.” (An Nisaa: 29) dan ia adalah umum bagi setiap yang dituntut oleh lafadhnya.” Kata beliau(1)
Beliau ra menolak sekuat kemampuan mafsadah yang paling besar dari dua mafsadah dengan memikul yang paling rendah dari keduanya, dan beliau menjaga mashlahat yang paling rendah dari keduanya (harta-harta mereka) karena keduanya bentrok dalam kondisi-kondisi seperti itu. Dan ini tergolong kefaqihan beliau ra dalam dienullah ini, yaitu merujuk pada maqashidusysyari’at dan menjaga mashlahat-mashlahat dan dlaruriyyatnya yang mana hudud pada dasarnya tidak ditetapkan kecuali untuk melindunginya dan meraihnya serta menjauhkan mafsadah darinya. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim berkata di dalamnya: “Dan ini adalah tuntutan kaidah-kaidah syari’at”(2)
Jadi ia adalah pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan dan bukan seperti apa yang telah ditalbiskan oleh musuh-musuh Allah. Dan ini adalah jelas lagi gamblang, serta jauh sekali antara hal itu dengan al hukmu bighairi maa anzalallah dengan bentuk macamnya yang paling minimal keburukannya, maka bagaimana dengan yang paling dahsyat?
Demi Allah keduanya tidak sama dan tidak akan bertemu
Sampai kepada gagak beruban
Dan tidak menisbatkan Al Faruq kepada selain hal ini atau menuduhnya dengan memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan kecuali orang kafir zindiq atau rafidlah yang buruk yang dongkol dengan keadilan dan kesalihan Al Faruq.
Catatan kaki:
(1)   Al Muhalla dalam Had Pencurian
(2)   A’lamul Muwaqqi’in 3/11 dalam “perubahan fatwa dengan perubahan zaman dan tempat” pasal “gugurnya had pencurian di musim kelaparan” dan di dalamnya beliau tuturkan atsar Umar: Bahwa budak-budak Hathib mencuri unta milik seorang laki-laki dari Muzamah dan mengakui perbuatan mereka itu, maka Umar berkata: Hai Katsir Ibnu Ash Shalt pergilah dan potong tangan-tangan mereka.” Kemudian tatkala ia pergi membawa mereka, maka Umar mengembalikan mereka, terus berkata: Demi Allah seandainya saya tidak mengetahui bahwa kalian memperkerjakan mereka dan membiarkan mereka kelaparan sampai sesungguhnya salah seorang di antara mereka seandainya makan apa yang diharamkan terhadapnya tentu halal baginya, tentulah saya potong tangan-tangan mereka, dan demi Allah karena saya tidak melakukannya tentu saya menetapkan atas kamu ganti rugi yang membuat kamu jera,” terus Umar berkata: Hao Muzanniy berapa harga unta kamu? Ia menjawab: Empat ratus.” Umar berkata: Pergilah kemudian beri dia delapan ratus” dan Ibnul Qayyim menyebutkan madzhab Ahmad rh tentang gugurnya had di musim kelaparan dan pelipatgandaan ganti rugi atas orang yang mana had dan hukuman dihindarkan darinya karena sebab syar’iy.
Catatan kaki selesai.






Syubhat
Bahwa Nabi Saw Dan Sebagian Sahabatnya Telah Mengharamkan
Beberapa Hal Atas Diri Mereka
Sendiri

Dan sebelum kami meninggalkan tempat ini ke syubhat yang lain dari syubhat-syubhat mereka, kami ingin mengingatkan akhat-tauhid kepada dua makna tahrim selain makna tasyri’iy yang lawannya adalah tahrim, salah satunya ‘urfi (makna adat yang biasa dipahami masyarakat) sedang yang lainnya adalah lughawiy (bahasa).
Sungguh Murjiatul ‘Ashrio telah mempermainkan keduanya dan berupaya mengaburkan keduanya di hadapanmu dengan tasyri’ dan tabdil yang dilakoni dan dianut oleh para thaghut mereka(1).
‘Urfi: adalah kata “tahrim” yang dipergunakan manusia dan mereka memaksudkan dengannya al yamin (sumpah), maka tidak boleh dikatakan tentang orang yang mendhihar istrinya dan berkata: “Kamu haram atasku seperti punggung ibuku” umpamanya, bahwa ia itu musyarri atau telah mengganti hukum Allah, namun itu menurut para fuqaha adalah sumpah yang dilontarkan seorang laki-laki dan dia pastikan atas dirinya untuk menjauhi istrinya dan tidak menggaulinya, karena marah atau sangsi atau yang lainnya, dan Allah ta’ala telah mencelanya serta menetapkan padanya kaffarat yang paling berat, yaitu memerdekakan budak, kemudian siapa yang tidak mendapatkannya maka ia shaum dua bulan berturut-turut sebelum keduanya berhubungan badan, kemudian siapa yang tidak mampu maka ia memberi makan enam puluh orang miskin, maka ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tahrim di sini adalah yamin (sumpah), karena tasyri’ itu tidak ada kaffarat yamin baginya wahai orang-orang yang berakal.(2)
Catatan kaki:
(1)   Dan ini adalah ungkapan yang shahih, kami tidak mengada-ada atas mereka dan kami tidak mendzalimi mereka atau memfitnah mereka dengannya, karena kami di sini mengkhithabi secara khusus mereka orang-orang yang membela-bela para thaghut, yang mana mereka itu selalu terang-terangan menyatakan tidak bara’ dari mereka, bahkan mereka itu buat para thaghut adalah sebagai anshar dan tentara yang selalu siap lagi sukarela membela mereka dan melindunginya di setiap tempat dan pertemuan, dan bahkan mereka memvonis sebagai khawarij orang yang mengkafirkan para thaghut itu!!! Dan dari ini engkau mengetahui bahwa mensetarakan mereka dengan Murjiah dahulu adalah dzalim kepada para pendahulu, dan kami berlindung kepada Allah dari mensetarakan mereka dengannya, akan tetapi penyerupaan mereka itu hanya dalam hal nama, dari pintu syubuhat-syubuhat yang mereka warisi darinya, dan oleh sebab itu kami bedakan mereka dengan menisbatkan mereka kepada zaman kita.
(2)   Tidak ada kaffarat baginya kecuali satu kaffarat saja, yaitu kaffarat riddah “kembali kepada islam dan taubat” dan kalau tidak maka pedang....
Catatan kaki selesai.
Kemudian di sana ada perbedaan yang membedakan macam tahrim ini dari tahrim tasyri’iy yang berlawanan dengan tahlil dan ibahah (pembolehan) dan yang dilakukan kaum musyrikun menandingi Allah, yaitu apa yang dituturkan Asy Syathibiy dalam Al I’tisham bahwa orang yang mengharamkan dengan yamin, dia tidak memestikan dengan tahrim ini kecuali dirinya sendiri dan tahrim ini tidak merembet kepada orang lain. Sebagaimana keberadaan dalam tahrim kufriy yang disepakati oleh kaum musyrikin, mereka bersekongkol, bermufakat dan mengharuskan dengannya orang yang ada dalam kekuasaan mereka. Kemudian yamin tahrimiyyah (sumpah pengharaman) ini hanya berkaitan dengan pelarangan/pencegahan saja dan tidak memiliki hubungan dengan tahlil dan ibahah (pembolehan), berbeda dengan tasyri’ yang mencakup tahlil dan ibahah sebagaimana ia mencakup tahrim, dan ini hal yang jelas lagi nyata.
Dan termasuk macam ini – yaitu tahrim dengan yamin – adalah ucapan Nabi saw yang diriwayatkan dalam shahihul Bukhari bahwa beliau berkata kepada sebagian istrinya: “Saya telah minum madu di sisi Zainab maka saya tidak akan mengulanginya dan saya telah bersumpah” ucapannnya saw “maka saya tidak akan mengulanginya” adalah makna yang dikenal manusia berupa (tahrim) dalam makna yamin pada ucapan mereka: “Ini haram atas diri saya” atau ucapan: “haram atas saya ini dan itu bila saya tidak melakukan itu”. Dalam ucapan macam ini dan dalam ucapan Nabi saw: saya tidak akan mengulanginya” tidaklah terkandung tasyri’, tabdil, dan taqnin (pengguliran UU/UUD), juga tidak ada kompromi, atau pemufakatan atau kesepakatan sebagaimana yang dituturkan oleh musuh-musuh Allah dalam ilzamat mereka, karena tentang ucapan ini turunlah firman Allah ta’ala: “Hai Nabi kenapa kamu mengharamkan apa yang Allh telah halalkan bagimu...”(At Tahrim: 1) hingga firman-Nya: “Sungguh Allah telah mensyari’atkan bagi kamu untuk menghalalkan sumpah-sumpah kamu (dengan kaffarah),” (At Tahrim: 2). Dan bila penghalalan hal seperti ini adalah kaffarah, maka diketahui bahwa tahrimnya itu adalah yamin bukan tasyri’ dan tabdil.
Dan setelah ini kita tidak usah menghiraukan talbisat Murjiatul ‘Ashri dan ilzamat mereka yang kufur lagi rusak saat engkau mendebat mereka tentang kekafiran para thaghut mereka yang membuat hukum, di mana mereka berdalih dengan semacam ayat-ayat ini dan berkata: Rasul telah mengharamkan, maka apakah beliau kafir??? (Sungguh besar sekali ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka, mereka tidak mengucapkan kecuali kebohongan) “Al Kahfi: 5)” dan engkau telah mengetahui dari uraian yang lalu bahwa ini bukan tasyri’, serta tidak mungkin Nabi saw melakukan tasyri’ karena beliau bukanlah musyarri’ (pembuat hukum) dan tidaklah halal hal itu bagi beliau.... tidak lain ia adalah wahyu yang diwahyukan, dan beliau tidak lain adalah pemberi peringatan dan yang menyampaikan dari Dzat Pembuat Hukum Yang Esa.
Dan maknanya yang lain: adalah (tahrim) yang datang dan dimaksudkan dengannya maknanya yang lughawi (bersifat bahasa) murni, bukan isthilahi syar’iy tasyri’iy, dan ia adalah imtina’ mujarrad (menolak yang bersifat sekedar), di antara model ini adalah ucapan Imruul Qais:
Ia berjaulah untuk mengalahkanku, maka aku berkata kepadanya: “Hentikanlah”
Sesungguhnya aku adalah orang orang yang haram atasmu mengalahkanku.”
(haram) yaitu tercegah, dan ucapan yang lain:
haram atas kedua mataku mencicipi kesenangan
dan bergembira sampai aku menemuimu wahai Hindun
(Haram di sini) yaitu “terlarang atas dua mataku”..... Ini meskipun tidak dimaksudkan yamin dengannya, namun tergabung dengan makna ‘urfi yang pertama.
Dan Allah ta’ala berfirman: “Dan Kami menghalanginya dari  menyusuimu sebelumnya” (Al Qashash: 12)
Yang dimaksud di sini bukanlah tahrim tasyri’iy, namun al man’u (menghalangi) saja. Al Qurthubi berkata: “Yaitu Kami halangi/cegah dia dari menyusui” dan berkata: “Dan ini adalah tahrim man’i bukan tahrim syar’iy.” Selesai.
Dan serupa dengannya firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya ia diharamkan atas mereka empat puluh tahun.” (Al Maidah: 27) Al Qurthuby berkata: Makna diharamkan: yaitu bahwa mereka dihalangi dari memasukinya” dan berkata juga di tempat ini juga: Maka ia adalah tahrim man’i bukan tahrim syar’iy.” Selesai
Maka perhatikanlah makna ini dan ketahuilah bahwa ia selain makna tasyri’ yang ditetapkan oleh para thaghut hari ini sebagai bagian dari wewenang, hak, dan kekuasaan mereka dan para pengikut serta parlemen mereka, terus mereka berkompromi, bermufakat dan bersepakat atasnya, kemudian bila datang kepadamu sebagian wali-wali mereka dari kalangan Murjiatul ‘Ashri yang membela-bela mereka dengan firman Allah ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengharamkan hal-hal baik yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (Al Maidah: 87) ... dan mereka berkata: “Mereka telah membuat hukum namun demikian Allah mengkhithabi mereka dengan nida (panggilan iman)..!
Maka katakan kepada mereka: Yang dimaksud dengan ini hai musuh diri kalian sendiri adalah tahrim dengan makna lughawi murninya bukan tasyri’iy yang dipraktekkan oleh para thaghut kalian, dan yang makna ia adalah sejawat tahlil dan saudaranya.
Yang dimaksud adalah mencegah diri dari sebagian thayyibat yang telah Allah halalkan kepada hamba-hamba-Nya, dalam rangka nadzar, atau upaya hidup susah atau kependetaan, dengan dalil bahwa ayat itu turun dengan sebab jama’ah dari sahabat Nabi saw ingin menjauhkan diri dari mengkonsumsi sebagian thayyibat sebagai bentuk zuhud di dunia dan hidup kasar, mereka itu tidak membuat hukum, tidak pula mengganti dan tidak juga menggulirkan undang-undang. Atau dibawa kepada makna yang lalu yaitu yamin sebagaimana disebutkan para mufassirin dalam ayat ini, dan ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang ingin menjauhkan diri dari sebagian thayyibat itu mereka sungguh telah bersumpah atas hal itu, kemudian tatkala turun ayat ini maka mereka berkata: Apa yang harus kami perbuat dengan sumpah kamu? Maka Allah ta’ala langsung menurunkan setelahnya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah).” (Al Maidah: 89)
Dan dengannya Asy Syafi’i rh berdalil atas ucapannya bahwa sumpah dan janji tidak berkaitan dengan tahrimul halal dan bahwa tahrimul halal adalah laghwun (sia-sia/tidak dianggap), sehingga menurut beliau dan Malik rh tidak ada kaffarat atas orang yang mengatakan hal seperti itu. Sama saja baik yang benar itu makna ini atau itu maka keduanya tetap bukan termasuk tasyri’ sama sekali.
Bisa saja tergolong nadzar, seperti orang yang mengharamkan atas dirinya duduk dan berbicara sementara waktu dengan cara dia nadzar shaum sambil berjemur di terik matahari sambil diam tidak berbicara, maka Nabi saw melarangnya dan menyuruh dia sempurnakan shaumnya. Dan tergolong hal ini Firman Allah swt tentang Nabiyullah Ya’qub: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum taurat diturunkan.” (Ali Imran: 93)
Sungguh telah ada dalam tafsirnya bahwa beliau sakit terus nadzar atas dirinya bila Allah telah menyembuhakannya ia tidak akan makan makanan paling enak menurutnya, maka ia pun mengharamkan daging unta atas dirinya, dan itu sebelum Taurat diturunkan, kemudian belaiupun tidak dilarang dari hal seperti itu, dan dahulu mereka bila mengharamkan sesuatu atas diri mereka dengan nadzar atau dengan sumpah maka tidak boleh bagi mereka melakukan sesuatu itu, kemudian Allah menasakh (menghapus) hal itu dan kaffarah sumpahpun turun. Jadi ini juga termasuk jenis sumpah atau nadzar dan bukan tergolong tasyri’ sama sekali, oleh sebab itu Asy Syathibiy menukil dalam Al I’tisham ucapannya Al Qadli Ismail: Dan hal-hal ini dan yang serupa dengannya termasuk syari’at yang ada nasikh dan mansukh di dalamnya, sedangkan nash penghapus (nasikh) adalah firman-Nya ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan thayyibat yang telah Allah halalkan bagi kamu.” (Al Maidah: 87), kemudian tatkala ada larangan maka tidak boleh bagi seseorang untuk mengatakan: Makanan ini haram bagi saya,” dan ucapan serupa itu, kemudian bila seseorang mengatakan sesuatu dari hal itu maka ucapannya itu bathil, dan bila ia sumpah atas hal itu dengan nama Allah maka baginya melakukan suatu yang lebih baik dan dia mengkaffarati sumpahnya.” Selesai.
Maka janganlah Murjiatul ‘Ashri mentalbis kamu dengan ucapan mereka: “Ini Nabiyyullah telah membuat hukum dari dirinya dan tanpa ada perintah dari Allah, maka apakah dia kafir??? Sungguh ini bukan tahrim tasyri’, dan seandainya seperti itu tentulah penghapusnya tidak akan ayat ini yang tentang sumpah atau nadzar atau penghindaran murni dalam rangka zuhud dan taqasysyuf (menghindari yang enak-enak), kemudian dari uraian yang lalu engkau telah mengetahui bahwa pengesaan Allah dalam tasyri’ (pembuatan hukum) dan tidak menyekutukan seorangpun bersamanya dalam hal itu adalah tergolong ushuluttauhid yang disepakati oleh semua ajaran (para Nabi/Rasul), sedangkan pencorengan terhadap inti (al ashlu) ini adalah tergolong mukaffirat yang dengannya Allah kafirkan Yahudi dan Nashara sebagaimana yang telah engkau ketahui. Dan ashlu (inti) seperti ini sama sekali tidak masuk dalam bab-bab mansukh sebagaimana ia ma’lum dalam al ushul, sehingga sahlah bahwa hal seperti ini bukan tasyri’ dari Nabiyullah Ya’qub secara yaqin.
Dan serupa itu apa yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim tentang sekelompok orang yang bertanya kepada para istri Nabi saw tentang ibadah beliau ... terus sebagian mereka berkata: saya akan shaum tiap hari (dahri) dan tidak akan buka” yang lain berkata: “ saya akan jauhi wanita dan tidak akan nikah selamanya” hingga akhir ucapan mereka. Meskipun Nabi saw telah mengingkari mereka atas hal itu dan berkata: Siapa yang benci akan tuntunanku maka ia bukan termasuk (golongan)ku.”.. namun sesungguhnya semua ini tidak ada kaitannya dengan tasyri’ atau tabdil sebagaimana yang telah engkau ketahui. Mereka itu tidak membuat hukum dan tidak seorangpun di antara mereka mengklaim bahwa ia memiliki wewenang pembuatan hukum (sulthah tasyri’iyyah) sebagaimana ia adalah realita para thaghut masa kini, maka janganlah terpukau dengan syubhat-syubhat yang rendah seperti ini, karena sesungguhnya ini semuanya ada di suatu lembah dan realita para thaghut masa kini ada di lembah lain.
Ia berjalan menuju timur sedang aku berjalan menuju barat.
Sungguh jauh antara ke timur dengan yang ke arah barat
Sesungguhnya masalahnya hari ini adalah seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Madjid Asy Syadziliy dalam kitabnya (Haddul Islam dan Haqiqatul Iman) hal: 376 tentang realita kita setelah beliau menuturkan teks-teks undang-undang buatan (qawanin wadl’iyyah) dan hakikat seputar UUD-nya serta teks-teksnya.
Beliau berkata: Dan sekarang ... realita ini telah melampaui batasan tasyri’ muthlaq sampai pengakuan yang tegas terhadap wewenang tasyri’ bagi selain Allah. Di mana nushush syariat tidak mendapat keabsahan sebagai undang-undang – menurut mereka – seandainya mereka ingin mengamalkannya kecuali bila muncul dari pihak yang memiliki wewenang penetapan hukum/UU – di tengah mereka – sebagai bentuk ungkapan dari keinginannya. Ini sajalah yang memberikan nushush syari’at sifat keabsahan qanun, dan status nushush syari’at dalam hal itu adalah seperti status yang lainnya berupa ‘urf (adat) atau undang-undang perancis atau pendapat fuqaha al qanun (para pakar UU) atau apa yang telah diberlakukan oleh mahkamah-mahkamah.
Adapun munculnya dari Allah swt maka itu tidak memberikan sifat keabsahan qanun, karena Allah – bagi mereka – bukanlah sumber kedaulatan dan tasyri’ (pembuatan hukum) bukanlah termasuk hak Allah.” Selesai.
Dan berkata hal 367: Realita ini telah melampaui tingkatan maksiat atau bid’ah bahkan telah melampaui tasyri’ muthlaq sampai ke belakang hal itu, bagaimana terkabur masalah maksiat dengan masalah tasyri’ padahal di antara keduanya ada perbedaan yang sangat jauh?
“Dan bila saja bid’ah terbedakan dari maksiat dengan banyak sekali pembedaan yang jelas, dan itu tidak lain karena penetapannya atas penyerupaan tasyri’, maka apa tidak jelas perbedaan antara maksiat dengan tasyri’ muthlaq?” Selesai.
Dan mungkin bagi kami untuk mengatakan dalam khulashah tempat ini bahwa kata “tahrim” adalah kata musytarak seperti lafadh-lafadh lainnya mengandung banyak makna, sebagian maknanya lughawiy atau ‘urfiy dan sebagian lainnya syar’iy, seperti lafadh iman sesungguhnya ia menurut bahasa adalah tashdiq, namun Allah ta’ala memindahkannya kepada penamaan dan makna syar’iy selain makna lughawiy, di mana Dia menambahkannya ucapan lisan dan amal hati dan jawarih. Begitu juga kufur, sebagaimana al kufru itu memiliki makna lughawiy dan asalnya adalah penutupan sesuatu, sehingga masuk di dalamnya kufranul ‘asyir (mengingkari jasa suami), kufur nikmat dan yang lainnya berupa amalan-amalan yang mana Allah melabelkan padanya kata kufur namun tidak dimaksudkan dengannya kufur yang mengeluarkan dari millah, dan diantarnya – sebagaimana yang engkau ketahui – adalah suatu yang mengeluarkan dari millah.
Dan begitu juga keadaannya dengan kata tahrim ini, sesungguhnya ia digunakan untuk banyak makna – meskipun ia adalah tercela yang mana Allh ta’ala telah melarangnya – namun ia tidak sampai kepada syirik dan kufur, seperti imtina’ dari sebagian thayyibat yang telah Allah ta’ala halalkan, baik dengan sumpah atau dalam rangka zuhud, taqasysyuf (hidup susah) dan rahbaniyyah(1), dan begitu juga digunakan untuk makna tasyri’ yang mana bila dipalingkan kepada selain Allah ta’ala maka ia adalah syirik dan kufur akbar yang mengeluarkan dari millatul islam.
Allah Azza wa Jalla menamakan apa yang dia kehendaki dengan apa yang dia kehendaki, sedang kita tidak memiliki hak sedikitpun di dalamnya kecuali kita mengatakan: “Kami mendengar dan kami ta’at, ampunan-Mu (yang kami harapkan) Ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Ibnu Hazm rh berkata dalam Al Fashl 3/229: “Sesungguhnya kita dalam syariat ini tidak menamakan suatu nama kecuali bila Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menamainya atau Allah membolehkan bagi kita dengan nash untuk menamainya, karena kita tidak mengetahui maksud Allah ‘azza wa jalla dari kita kecuali dengan wahyu yang datang dari sisi-Nya, oleh sebab itu Allah ‘azza wa jalla berfirman seraya mengingkari orang yang menamakan dalam syari’at ini sesuatu tanpa izin-Nya ‘azza wa jalla: “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)-Nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya” (An Najm: 23-24)
Maka sahlah bahwa tidak ada pemberian nama yang dibolehkan bagi malaikat dan Nabi tanpa (izin) Allah ta’ala. Dan siapa yang menyelisihi ini maka ia telah mengada-ada kedustaan terhadap Allah ‘azza wa jalla dan menyelisihi Al Quran...” Selesai.
Catatan kaki:
(1)    Bisa jadi penggunaan kata tahrim pada perbuatan mereka itu dalam rangka tanfir dari perbuatan tercela ini dan menganggapnya sebagai hal besar, serta tanfir dari menyerupai jalan kaum musyrikin dan tuhan-tuhan mereka yang membuat undang-undang, persis seperti penggunaan Allah ta’ala akan kata kufur lewat lisan  Nabi-Nya saw tentang status banyak dari dosa-dosa yang tidak mengeluarkan dari millah sebagai bentuk tanfier darinya dan penganggapan besar akan dosanya, sehingga sebagian salaf tidak mau berbicara dalam takwilnya dari dhahirnya supaya lebih mengena dalam membuat orang kapok dan jera, karena maksiat yang Allah namakan sebagai kekafiran tidaklah seperti yang lainnya.”
Catatan kaki selesai.





Syubhat
Bahkan (Dusta) Bahwa Al Hajjaj Itu Membuat Hukum Namun
Salaf Tidak Mengkafirkannya

Musibah Murjiatul ‘Ashri adalah bahwa mereka berpaling dari mengenal waqi’mereka yang mana mereka hidup di dalamnya serta mereka berpaling dari mempelajarinya – bahkan mereka menganggap hal itu sebagai penyia-nyian waktu – sehingga mereka buta, tuli, dan sesat dan menyesatkan dengan sikap mereka menempatkan hukum-hukum bukan pada tempatnya dan (menempatkan) ucapan-ucapan yang sama sekali tidak ada kaitan dengan waqi’ dan kondisi, sampai engkau melihat kami secara terpaksa berbicara dalam hal-hal yang sudah diterima di kalangan umum dan berbicara panjang dalam hal yang tidak butuh berbicara panjang di dalamnya, itu tidak lain adalah apa yang kami dapatkan dan kami dengar dari kebodohan akal mereka dan dalih-dalihnya.
Sampai-sampai sesungguhnya telah sampai berita kepada saya beberapa hari sebelum koreksi ulang lembaran-lembaran ini dari salah seorang di antara mereka – sedang dia itu tergolong tokoh yang suka membela-bela para thaghut dan menutupi kekafiran-kekafiran mereka, dan dia mengumpulkan di sekelilingnya di dalamnya sejumlah dari para pemuda pengekor supaya ia mengkaburkan atas mereka dien mereka dan taihidnya dan menggembosi mereka dari para thaghut masa kini serta dari bara’ah dari mereka – bahwa ia berkata dalam rangka membantah orang yang berhujjah atas takfir mereka dengan sebab undang-undang kafir mereka: “Sesungguhnya Al Hajjaj Ibnu Yusuf telah mengirim satu surat kepada salah seorang panglimanya: “Bunuhlah si fulan – yang muslim – “ ini adalah tasyri’! Namun demikian tidak seorang salaf pun mengkafirkannya...!!!(1)
Catatan kaki:
(1)    Cara yang rusak yang ditempuh oleh mereka itu dalam rangka menutupi (kekafiran) para thaghut dan wali-wali mereka ini memperkenalkan kepadamu sejauh mana syaitan telah mempermainkan mereka dan bahwa mereka itu bukanlah para pencari kebenaran, karena yang wajib menurut ahlul haq bahwa perujukan dalam seluruh urusan hanyalah kepada al kitab dan as sunnah bukan kepada penyimpangan-penyimpangan dan kesalahan-kesalahan atau kekeliruan-kekeliruan atau kepada hal-hal yang samar dari ucapan-ucapan ulama. Bila saja pendapat para ulama dan ijtihad-ijtihad mereka bahkan sahabat sekalipun tidak harus diterima dan ia bukan hujjah dalam dienullah ta’ala, maka apa gerangan dengan ucapan dan perbuatan orang-orang yang di bawah mereka, dan apa gerangan bila hal itu adalah kekeliruan dan kesalahan dan bukan sekedar pendapat, maka apakah boleh menuturkannya di tempat sengketa apalagi bila mengungkapkannya dalam rangka pengkaburan al haq dengan al bathil dan cahaya dengan kegelapan dan dalam rangka menutupi (kemusyrikan) kaum musyrikin dan auliya’nya?? Dan tidak ragu bahwa ini termasuk jalan-jalan ahlul hawa dahulu dan sekarang yang mereka warisi sebagian mereka dari sebagian yang lain. Rafidlah umpamanya mereka mengutarakan terhadap kalangan awam dari ahlus sunnah sebagian nushush al kitab dan as sunnah yang dhahirnya ta’arudl dan isykal supaya mereka membuat kalangan awam itu ragu akan dien mereka yang haq dan membenarkan madzhab syi’ah yang rusak, dan bisa saja mereka mencari-cari kekeliruan dan ijtihad yang salah dari sebagian sahabat – sedangkan mereka itu manusia biasa yang tidak ma’shum – untuk mendapatkan jalan mencela mereka dan berlepas diri dari mereka. Bisa jadi mereka datang kepadamu dan berkata terhadapmu: Apa pendapatmu tentang orang yang melarang apa yang diperintahkan Nabi saw, bukankah ia sesat, bukankah begitu?? Kemudian mereka mendatangkan hadits-hadits yang di dalamnya sebagian sahabat melarang haji tamattu’ dan yang lainnya .... Dan bisa jadi mereka berkata: Apa pendapatmu tentang orang yang mensifati Nabi saw bahwa beliau dan bisa jadi mereka mentahrifnya menjadi , maka engkau pub berkata: A’udzubillah ini kesesatan” dan bisa jadi engkau berkata: Ini kekafiran.”
Mereka menuturkan kepadamu ucapan Umar ra tentang Nabi saw saat beliau berada di tempat pembaringan kematian. Begitulah padahal semua ini tidak dilontarkan oleh ahlul ilmi dan tidak sulit atas pencari al haq untuk merujuk kepadanya serta untuk memahami kondisi-kondisinya dari tempatnya. Dan sejalan dengan alur ini adalah ahlul irja di zaman kita ini, sesungguhnya mereka mencari-cari kesalahan dan kekeliruan sebagian ahlul ilmi untuk membenarkan dengannya madzhab mereka yang rusak dan untuk menutupi kemusyrikan para thaghut atau auliyanya, di mana mereka mengatakan: Apa pendapatmu tentang orang yang membolehkan tabarruk dengan Nabi saw setelah dia meninggal, dan apa pendapatmu tentang orang yang merubah fatwa atau mendlaifkan hadits karena penguasa.” Mungkin kamu menganggap dia sesat atau membid’ahkannya, kemudian mereka langsung menimpalimu dengan ucapannya: Al Imam Ahmad mengatakan begini dan Ibnul Madini melakukan ini ... maka katakan kepada mereka: Hai orang-orang sesat, bukan terhadap hal seperti ini perujukan hukum saat terjadi perselisihan, apakah ini adalah thariqah salaf dan ahlul hadits yang kalian klaim? Apakah ini bayyinah dan barahin, dalil-dalil dan hujjah-hujjah yang kalian berhujjah dengannya? Apakah ini ayat-ayat dan hadits-hadits sehingga perselisihan dikembalikan kepadanya? Kemudian katakan kepada mereka: Ini semuanya adalah salah dan kebatilan, siapa saja yang mengatakannya, dan itu tidak bisa berubah dengan keberadaan si pembicara berlevel ahlul ilmi dan dien.. ini adalah masalah yang nyata lagi nyata.
Sebagaimana kita menerima al haq walau bersumber dari orang terhina dan terbodoh sekalipun, maka begitu juga kami menolak al batil walau bersumber dari orang teragung dan teralim sekalipun, jadi apa yang kalian inginkan dengan lontaran-lontaran ini wahai musuh diri kalian sendiri? Apakah kalian ingin membolehkannya? Atau apakah kalian ingin memadamkan cahaya Allah dan menutupi (kekafiran) para thaghut dan budak-budak mereka dengan menganggap sepele kekafiran mereka serta menyetarakannya dengan kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan.... Sungguhlah senang musuh-musuh Allah dengan diri kalian dan dengan sikap kalian menutupi kekafiran (tarqi’aat).....
Maka sungguh jauh sekali antara dalih-dalih yang kalian lontarkan ini (iiraadaat) dengan apa yang dianut oleh para thaghut hari ini berupa kekafiran yang nyata, dan seandainya pencari al haq mencari-carinya di tempatnya tentulah dengan mudah ia mengetahui kebatilan penyetaraan hal itu dengan keadaan para thaghut sekarang. Di antaranya ada yang tergolong furu’ dan dzara’i bukan dalam masalah yang sedang kami bantah berupa ashluddin wa qa’idatuhu, di antaranya ada yang cacat dalam penisbatannya kepada orang-orang mulia itu atau mereka itu dipaksa melakukannya dan bila mereka itu tidak dipaksa maka apakah boleh mempertentangkan al haq dan mengkaburkannya dengan ucapan ulama, apalagi kalau mempertentangkannya dan mengkaburkannya dengan kekeliruan-kekeliruan mereka, sedangkan mereka itu tidak ma’shum dan bukan pembuat hukum sehingga ucapan dan perbuatan mereka itu hujjah dalam masalah yang lebih rendah dari masalah yang menjadi perseteruan kita, dan seandainya kekafiran itu muncul dari mereka atau dari orang-orang yang seperti mereka maka apakah itu bisa merubah al haq sedikit pun? Atau apakah itu engkau lihat bisa merubah sesuatu dari qawaid dien kita dan ushulnya? Allah ta’ala berfirman: “Dan siapa yang kembali kepada kekafiran, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun.” (Ali Imran: 144)
Dan berfirman: “Dan Musa berkata: “Bila kalian dan manusia yang ada di muka bumi ini semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” Dan bisa saja mereka menuturkan kepadamu dari macam ini nushush yang terpotong lagi terputus sesuai thariqah ahlil ahwa, mereka menuturkan darinya suatu yang menyelarasi hawa nafsu mereka, sebagaimana yang dilakukan salah seorang mereka terhadap sebagian ikhwan kami, di mana ia menuturkan terhadap mereka sering sekali ucapan Abu Hanifah: Seandainya seorang mengibadati sandal ini dalam rangka taqarrub kepada Allah dengannya, tentulah saya memandang tidak apa-apa.” Begini dia menuturkan secara terpotong.....Dan saya tidak mengetahui apa maksud dari penuturan dengan seukuran ini? Apakah ia pembolehan kufur dan peribadatan kepada selain Allah? Atau merintangi orang dari mengkafirkan para thaghut, anshar mereka dan budak-budak mereka dengan mengilzam kami untuk mengkafirkan Abu Hanifah dan menakut-nakuti kami dengan menyelisihi mayoritas dari kalangan awam dan para pengekor dalam hal itu??? Ini adalah dienullah yang tidak bermudahanah kepada seorangpun, siapa saja yang kekafirannya tsabit dengan dalil maka kami mengkafirkannya bila mawani’ takfier tidak terbukti padanya, dan dalil itu tidak basa-basi dengan Abu Hanifah dan yang lainnya, sedangkan komentar tentang Abu Hanifah adalah diserahkan kepada para imam zamannya yang hidup di masanya, dan sungguh telah tsabit dengan isnad-isnad yang shahih dalam Tarikh Baghdad dan Al Majruhin karya Ibnu Hibban, Al Ma’rifah Wat Tarikh karya Al Fasawi dari Sufyan Ats Tsauri dan yang lainnya bahwa Abu Hanifah pernah diistitabah dari kekafiran dua kali. Baik Abu Hanifah atau yang lainnya telah kafir atau tidak kafir, maka ini tidak mengganggu al haq dan tidak merubah sedikitpun darinya. Dan yang kami katakan di sini adalah bahwa ucapan yang dituturkan oleh orang Murjiah ini adalah kekafiran baik muncul dari Abu Hanifah ataupun yang lainnya(*) Dan Al Fasawiy telah meriwayatkannya dalam Al Ma’rifah wat Tarikh 3/784, Al Khathib 2/375-377, dan Ibnu Hibban dalam Al Majruhin 3/73, sedang di dalamnya ada tambahan yang disembunyikan oleh si Murjiah ini, karena tambahan ini merusak syubhat dan ilzam dia, yaitu ucapan Sa’id Ibnu Abdil Aziz di akhir riwayat itu: (Inilah kekafiran yang nyata) Hati-hatilah akan talbis-talbis mereka dan jangan terperdaya dengan syubhat-syubhat mereka, karena tidak ada yang mengikuti hal seperti ini dan berdalil dengannya kecuali orang yang telah bangkrut dari dalil-dalil dan hujjah-hujjah syar’iyyah, terus dia malah berlindung kepada tarqi’at (upaya penutupan kekafiran) dan talbisat macam ini yang dengannya ia menghadang nash-nash yang jelas lagi tegas. Dan tidaklah dianggap aneh dan tidak dianggap ganjil bila al haq terkabur dengan al bathil di hadapan orang yang buta bashirahnya, sebagaimana siang terkabur dengan malam di hadapan orang yang buta pandangannya, celakalah mereka maka apa mereka tidak bertaubat? Demi Allah bila mereka tidak bertaubat dari hal ini maka kelak mereka akan mengetahui dengan talbis-talbis dan syubhat-syubhat mereka ini, siapa yang mereka bela-bela dan untuk apa mereka menutupi? Dan di barisan maka mereka berdiri? Dan siapa yang mereka perangi? Dan orang-orang zalim akan mengetahui tempat apa yang akan mereka tempati.
(*) Ketahuilah sesunggunya sebagian orang yang kecil pengetahuannya dari kalangan Murjiatul ‘Ashri telah memanfaatkan ucapan ini, di mana mereka mengada-ada atas nama kami dan mereka mengklaim bahwa kami mengkafirkan Abu Hanifah An-Nukman. Dan ini dusta dan mengada-ada yang bersumber bisa jadi kedengkian, hasud dan buruknya iradah, atau dari kejahilan, kedangkalan dan ketidakpahaman terhadap ucapan para ulama serta makna-makna lafadh, karena sesungguhnya orang yang memperhatikan ucapam kami mengatahui bahwa yang kami sebutkan di sini hanyalah i’tiradl (sikap memprotes) sebagian afrakhul murjiah atas takfir kami terhadap para thaghut dengan ungkapan yang disebutkan dari Abu Hanifah, sembari dengan hal itu mereka ingin menakut-nakuti kami dari takfier secara muthlaq dan menghalang-halangi kami dari takfier para thaghut, atau mengilzam kami dengan takfier Abu Hanifah. Maka ringkasan bantahan kami sebagaimana yang anda lihat adalah kami jelaskan bahwa ini bukan termasuk thariqah Ahlul Haq dalam istidlal, dan bahwa apa yang mereka inginkan untuk mengilzam kami dengannya adalah tidak lazim atas kami, meskipun ungkapan itu adalah kekafiran baik muncul dari Abu Hanifah ataupun yang lainyya.”
Dan setiap orang yang memiliki ma’rifah akan ungkapan para ulama mengetahui makna ungkapan ini, dan bahwa ia tidak berarti takfier Abu Hanifah, karena sudah maklum di kalangan shighar thalabatil ilmi perbedaan antara vonis terhadap ungkapan dengan vonis terhadap orangnya. Vionis terhadap ungkapan bahwa ia kekafiran adalah mudah lagi tidak butuh untuk memperhatikan mawani’ takfier, beda halnya dengan vonis terhadap orangnya, maka ini harus melihat mawani’, di mana seseorang terhadap mengucapkan kalimat kekafiran namun ia tidak menjadi kafir, karena ada suatu penghalang (mani’) dari mawani’ takfier pada dirinya.
Dan kami hanya berlepas diri dari ungkapan itu dan vonis terhadapnya siapa saja orang yang mengucapkannya, persis seperti ucapan Sa’id tentangnya “Inilah kekafiran yang nyata.” Baik kami maupun Sa’id tidaklah dalam dhahir ucapannya memandang takfier Abu Hanifah, akan tetapi permusuhan dan perseteruan serta dengki yang mengajak pada sikap mengada-ada, membutakan dari kejujuran dan menghalang-halangi dari objektivitas. Karena setiap orang yang mengenal kami atau membaca tulisan-tulisan kami, dia mengetahui bahwa kami telah bersumpah untuk tidak menyibukkan diri dengan takfier seorangpun dari kalangan yang intisab kepada ilmu di zaman kami walaupun mereka menyelisihi dakwah kami, bahkan banyak dari mereka mencerca kami dan mengada-ada atas nama kami. Namun suatupun dari hal itu tidaklah mebyibukkan kami atau memalingkan kami dari apa yang selalu kami dengung-dengungkan dan kami vokuskan berupa takfier para thaghut atau anshar mereka.
Maka bagaimana masuk akal setelah ini kami menyibukkan diri dengan takfier semacam Abu Hanifah dari kalangan yang telah menjumpai apa yang telah mereka kerjakan, dan sama sekali tidak ada faidah yang diharapkan di balik itu. Kami tidak merasa sungkan dari mengingkari kebatilan dan menolaknya siapapun orang yang melontarkannya, ini disertai pengetahuan kami terhadap apa yang dimuat oleh buku-buku tarikh berupa hal dlaif dan dusta, serta pengetahuan kami akan perseteruan di antara pengikut madzhab-madzhab serta pengetahuan kami terhadap apa yang ditetapkan oleh para ulama tentang jarh (penilaian negatif) antara sejawat satu sama lain.
Kemudian bila sebagian orang tidak mau kecuali dusta dan mengada serta fitnah maka di sisi Allah seluruh yang berseteru akan berkumpul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar