Jika pemerintah melakukan kekafiran dan ia mempertahankan diri dengan
kekuatan, maka wajib memeranginya, dan peperangan ini adalah fardlu
‘ain yang lebih diutamakan dari pada yang lainnya.
A. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para penguasa yang
menjalankan pemerintahannya dengan selain syari’at Islam di berbagai
negeri kaum muslimin. Mereka itu kafir berdasarkan firman Alloh:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." (QS. 5:44)
Dan juga firman Alloh:
“Kemudian orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan
Rabb mereka." (QS. 6:1)
Dan berdasarkan ayat-ayat yang lain. Sedangkan kebanyakan mereka
mangaku Islam, maka dengan demikian mereka murtad lantaran kekafiran
mereka.
Dan pada hakekatnya para penguasa itu, selain mereka menjalankan
hukum selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka juga membuat syari’at
bagi manusia sesuai dengan kemauan mereka. Dengan demikian mereka
mengangkat diri mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi manusia selain
Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai
rabb-rabb selain Allah,." (QS. 9:31)
Dengan demikian maka kekafiran mereka bertumpuk-tumpuk, selain mereka
juga menghalang-halangi manusia dari jalan Alloh.
Dan permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain yang
berjudul “Risalah Da’watut Tauhid”. Di buku itu saya jawab
sanggahan-sanggahan yang terdapat pada seputar ayat dalam surat
Al-Maidah, yang berbunyi:
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang
diturunkan oleh Alloh, maka mereka itu orang-orang kafir.”
Di sana saya terangkan bahwasanya ayat ini merupakan nash secara umum
dipandang dari berbagai segi. Dan sesungguhnya kafir yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah kufur akbar. Dan apabila perkataan para
sahabat jika saling berselisih dalam menafsirkan sebuah ayat, maka kita
pilih yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai
mana hal itu ditetapkan dalam ushul fikih. Dan saya jelaskan pula, bahwa
apa yang terjadi di kebanyakan negeri kaum muslimin sekarang ini sama
dengan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu
menghapus hukum syari’at serta membuat hukum baru yang dijadikan
syari’at baru yang harus diikuti oleh manusia. Sebagai mana orang yahudi
menghapus hukum taurot yang berupa merajam orang yang berzina, lalu
mereka membuat hukum sebagai pengganti. Dan saya sebutkan dalam risalah
tersebut bahwa kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara
qoth’i masuk ke dalam pengertian ayat, sebagaimana yang ditetapkan dalam
ushul fikih. Dan inilah yang disinggung oleh Isma’l Al-Qodli
sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar: Isma’il Al-Qodli mengatakan
dalam kitab Ahkamul Qur’an, setelah ia menceritakan perselisihan
pendapat tentang dzohinya ayat, ia menunjukkan bahwa barangsiapa
melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, dan membuat sebuah hukum yang
menyelisihi hukum Alloh, lalu hukum yang ia buat itu dia jadikan ajaran
yang diamalkan, maka dia juga mendapatkan ancaman yang tersebut dalam
ayat tersebut sebagaimana yang mereka dapatkan. Baik orang itu hakim
atau yang lainnya.・(Fathul Bari XIII/120)
Maka semua orang yang ikut serta dalam membuat undang-undang positif
itu atau memutuskan perkara dengan menggunakan hukum tersebut, maka ia
kafir, kufur akbar, ia keluar dari agama Islam, meskipun dia melakukan
rukun Islam yang lima dan amalan yang lainnya. Dan inilah yang
ditetapkan oleh kebanyakan ulama・mu’ashirin (masa sekarang), sebagaimana
yang saya nukil dalam kitab ini (Al-Jami・ pada bab III dari Ahmad
Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi dan Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh.
Dan telah saya sebutkan dalam risalah tersebut di atas, siapa saja
yang masuk dalam pengertian hakim・secara syar’i.
B. Penguasa murtad ini jika tidak mempunyai kekuatan, maka wajib
untuk dipecat dengan segera, lalu dihadapkan ke qodli (hakim syar’y).
Jika dia tidak mau bertaubat, maka dia dibunuh. Dan jika dia bertaubat
ia tidak memegang kekuasaannya kembali, sebagaimana sunnah Abu Bakar dan
Umar ra. Sedangkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para kholifah
risyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan
gigi geraham.” Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi, dan beliau
menshohihkan hadits ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: ‘Umar, bahkan begitu juga Abu
Bakar tidak pernah mengangkat pegawai yang mengurusi urusan kaum
muslimin, seorang munafik, atau dari kerabat beliau berdua, dan beliau
berdua tidak terpengaruh oleh celaan orang. Bahkan ketika keduanya
memerang orang-orang murtad dan mengembalikan mereka ke dalam Islam,
mereka dilarang untuk mengendarai kuda dan membawa senjata, sampai
nampak ketulusan taubat mereka. Dan Umar pernah mengatakan kepada Sa’ad
bin Abi Waqosh yang menjabat sebagai gubernur Irak; Jangan kau angkat
seorangpun dari sebagai pegawai , dan jangan kau mintai pendapat dalam
urusan perang. Sesungguhnya mereka itu adalah para pemuka seperti
Thulaihah Al-Asadi, Al-Aqro・bin Habis, Uyainah bin Hish-n dan Al-Asy’ats
bin Qois Al-Kindi. Orang-orang semacam mereka ini ketika dikhawatirkan
oleh Abu Bakar dan Umar ada sifat kemunafikan pada mereka, maka mereka
tidak diberi jabatan untuk memegang urusan kaum muslimin.・(Majmu・Fatawa
XXXV/65).
C. Jika penguasa yang murtad itu mempertahankan diri dengan sebuah
kelompok yang berperang membelanya, maka mereka wajib diperangi. Dan
setiap orang yang berperang membelanya ia kafir sebagaimana penguasa
itu. Berdasarkan firman Alloh;
“Dan barangsiapa yang berwala・kepada mereka, maka dia termasuk
golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)
Sedangkan kata barangsiapa・dalam ayat ini adalah bentuk kata yang
bersifat umum mencakup siapa saja yang berwala・kepada orang kafir dan
menolongnya baik dengan perkataan atau perbuatan. Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan yang lainnya mengatakan tentang hal-hal yang
membatalkan Islam, (diantaranya adalah): menolong dan membantu
orang-orang musyrik dalam menghadapi kaum muslimin, dan dalilnya adalah:
Dan barangsiapa yang berwala・kepada mereka, maka dia termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang dzolim.・(Al-Maidah: 51)
(Majmu’atut Tauhid tulisan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul
Wahhab, hal. 38)
Maka orang-orang murtad itu diperangi meskipun mereka mengucapkan dua
kalimat syahadat dan menampakkan beberapa syi’ar Islam, karena mereka
melakukan perbuatan yang membatalkan pokok agama Islam. Alloh berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang
yang kafir berperang di jalan thaghut.” (QS. 4:76)
Maka setiap orang yang menolong orang kafir, baik dengan perkataan
maupun dengan perbuatan dalam rangka membela kekafirannya, maka ia kafir
juga. Dan ini merupakan hukum secara dzohir di dunia bagi orang yang
mempertahankan diri dari kekuatan orang-orang beriman dan berjihad
(mukminin mujahidin). Dan bisa jadi ia dalam hatinya masih muslim,
karena mungkin masih terdapat penghalang kekafiran padanya, atau
terdapat syubhat atau yang lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi
untuk menvonis kafir karena pada orang tersebut terdapat penyebab yang
menuntut untuk dikafirkan. Dan inilah sunnah yang berlaku dalam menvonis
orang-orang yang mumtani・(mempertahankan diri). Permasalahan ini telah
saya jabarkan dalam risalah yang lain. Dan ilmu tentang ini harus
disebar luaskan dikalangan manusia, supaya orang yang celaka ia celakan
dengan jelas dan orang yang selamat ia selamat dengan jelas.
D. Adapun dalil yang menjadi landasan untuk memberontak kepada
pemerintah jika ia kafir adalah hadits Ubadah Ibnush Shomit Radliyallahu
‘anhu,:
“Rosululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk
mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik
dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan
dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari
kekuasaannya.・Beliau bersabda: ・I>Kecuali jika kalian melihat
kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Alloh.” (Hadits
ini Muttafaq ‘alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim).
An-Nawawi berkata: berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama berijma’
bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir.
Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat - sampai perkataannya -
jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat
bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat
kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu
menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan. Dan jika
hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok
itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang
melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka
memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka
benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan
orang Islam harus berhijroh dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk
menyelamatkan agamanya.・(Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229).
Saya katakan; Ijma・yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga
dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari
Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul
Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari
XIII/123).
E. Jika kaum muslimin tidak mampu melaksanakannya, maka wajib untuk
melakukan persiapan (I’dad). Ibnu Taimiyah berkata: sebagaimana
mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan
kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan
karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna
kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itupun hukumnya juga
wajib.・(Majmu・Fatawa XXVIII/259). Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan
dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat
melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi “ (QS. 8:59-60)
Dan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda:
“Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.” Beliau mengatakan tiga
kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir.
Saya katakan; dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya
kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan
berlandaskan nas syar’i, sehingga tidak boleh seorang muslimpun keluar
dari ketetapan itu. Nash itu adalah:
“Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.”
Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang
kalian mempunyai alasan dari Alloh.”
Dan telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana
yang saya sebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan
untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu,
karena ada nas dan ijma’ dalam masalah itu. Dan sesungguhnya orang yang
berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nas
dan ijma’ maka orang tersebut telah benar-benar sesat. Sebagaimana orang
yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan
parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa
ketidak mampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan
kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah
melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen
mereka. Dan jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijroh. Dan
jika tidak mampu untuk hijroh maka tinggallah dia sebagaimana orang yang
lemah yang tunduk berdo’a kepada Alloh,:
“Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun
anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari
negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi
Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75)
Dan seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan
mereka. Karena ikut serta didalamnya berarti rela dengan sistem
demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya pendapat
mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh
umat. Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Alloh:
“Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Robb selain Allah. “ (QS. 3:64)
Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang
disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa
yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu. Alloh berfirman:
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan
mereka.・(QS. 4:140)
Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan
kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka.
F. Jihad melawan pemerintah murtad dan para pembelanya tersebut
hukumnya adalah fardlu ‘ain, wajib setiap muslim untuk melaksanakannya
kecuali orang yang mempunyai udzur syar’i. Dan telah saya jelaskan
sebelumnya bahwa jihad itu fardlu ‘ain dalam tiga keadaan. Di antaranya
adalah jika musuh menduduki negeri kaum muslimin. Dan begitulah keadaan
orang-orang murtad yang berkuasa atas kaum muslimin. Mereka adalah musuh
yang kafir yang menduduki negeri kaum muslimin. Dengan demikian maka
memerangi mereka hukumnya adalah fardlu ‘ain. Oleh karena itu Al-Qodli
‘Iyadl mengatakan: wajib bagi setiap muslim untuk
melaksanakannya.・Sedangkan perkataan Ibnu Hajar lebih jelas dalam
menjelaskan keumuman kewajiban itu, ia berkata: ringkasnya bahwa
penguasa itu dipecat jika melakukan kekafiran menurut ijma・ maka wajib
kepada setiap muslim untuk melaksanakan hal itu.・(Fathul Bari XIII/123)
Dan inilah pengertian hadits Ubadah bin Shomit ra. Saya katakan;
Kewajiban setiap muslim untuk berjihad melawan para thoghut itu
merupakan ilmu yang harus disebar luaskan di kalangan kaum muslimin
secara umum. Supaya setiap orang Islam mengetahui bahwa mereka secara
pribadi diperintahkan Robbnya untuk memerangi pemerintah tersebut.
Sesungguhnya para thoghut itu telah membuat pemisah yang mematikan
antara orang Islam yang awam dan antara orang-orang Islam yang
multazimin (berpegang teguh dengan agamanya), supaya para thoghut itu
dapat menekan orang-orang multazimin (yang berpegang teguh dengan
agamanya) ditengah-tengah kebodohan dan sikap diam orang awam. Pada saat
semua orang awam tersebut mendapatkan perintah yang sama, selama dia
sebagai orang Islam meskipun dia orang fasik dan melakukan dosa-dosa
besar. Karena kefasikan itu tidak dapat menggugurkan kewajiban syar’y
jihad (lihat lampiran ke 4). Maka orang-orang yang berpegang teguh
dengan agamanya harus menghancurkan pembatas yang mengasingkan mereka
dari orang awam, dengan cara mengajarkan jihad ini kepada mereka secara
dakwah individu dan dakwah umum. Supaya jihad itu menjadi permasalah
seluruh kaum muslimin dan bukan hanya menjadi permasalahan
jama’ah-jama’ah tertentu yang bisa dimusnahkan dalam waktu sehari
semalam. Dan agar jihad ini berubah menjadi permasalahan orang awam,
yang sebelumnya hanya menjadi permasalahan orang tertentu. Dengan
demikian bencana itu akan berbalik kepada para thoghut dan para
pembelanya, sehingga mereka akan terpisahkan setelah tersingkap
kekafiran dan kejahatannya. Alloh berfirman:
“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.” (QS.
2:191)
Dan Alloh mengatakan kepada NabiNya:
“Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu.” Hadits ini
diriwayatkan oleh Muslim dari Irbadl bin Himar.
Sebagaimana para thoghut itu mengusir orang-orang yang komitmen
dengan agama mereka dari kalangan orang-orang umum, dengan propaganda
dan mengatakan mereka sebagai orang yang bodoh terhadap agama mereka,
maka orang-orang komitmen dengan agama mereka haruslah juga mengasingkan
para thoghut itu dari kalangan orang umum, dengan cara menyebarluaskan
ilmu syar’i dan kewajiban untuk berjihad melawan mereka. Sebagaimana
para thoghut itu memboikot harta dan mempersempit sumber penghidupan
mereka, sebagaimana firman Alloh:
“(Juga) bagi orang-orang faqir yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka,” (QS. 59:8)
Maka wajib juga terhadap orang-orang yang komitmen terhadap agama
mereka untuk mengusir para thoghut itu dari harta yang digunakan untuk
memperkuat tentara mereka yang mereka gunakan untuk memerangi Alloh dan
RosulNya. Oleh karena itu Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.,
mendo’akan bencana atas orang-orang Quraisy yang berada di Al-Muja’ah.
Dalam hal ini Abdulloh bin Mas’ud mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika mereka mengalahkan nabi,
beliau berdo’a; Ya Alloh bantulah aku menghadapi mereka dengan
menimpakan paceklik sebagaimana yang Engkau timpakan pada masa Yusuf.
Maka orang quraisy pun tertimpa paceklik sampai-sampai mereka maka
tulang dan bangkai pada masa itu.” Hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Bukhori no. 4822.
Dan haram bagi orang Islam untuk membayarkan harta mereka kepada para
thoghut itu dalam bentuk apapun seperti pajak dan lain-lain, kecuali
darurat atau mukroh (dipaksa).
Alloh berfirman:
“Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan.” (Al-Maidah: 2)
Dan Alloh berfirman:
“Dan janganlah kau berikan harta kalian kepada sufaha・(orang-orang
bodoh).” (An-Nisa・ 5)
Dan harus diketahui, bahwa pemerintahan thoghut dan undang-undangnya
itu tidak syah secara syar’i. Sungguh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam., telah bersabda:
“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan ajaran kami maka
amalan itu tertolak.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).
Hal ini telah saya sebutkan dalam pembahasan dasar-dasar berpegang
teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam dasar yang keenam. Dan wajib
pula bagi kaum muslimin untuk menguasai harta orang-orang kafir dengan
paksaan (sebagai ghonimah) atau dengan tipu daya dan yang lainnya
(sebagai fai’. Dan Rosululloh telah keluar untuk menguasai harta
orang-orang Quraisy untuk dipergunakan kaum muslimin, maka terjadilah
perang Badar. Kesimpulannya secara umum adalah hendaknya permasalahan
jihad itu dirubah dari permasalahan orang-rang tertentu menjadi
permasalahan umum. Karena membatasi jihad dalam permasalahan orang-orang
tertentu tidak akan mendatangkan perubahan yang diharapkan karena hal
ini bertentangan dengan kaidah yang tidak akan berubah:
“Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai
mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ro’d: 11)
Hal ini bukan berarti semua rakyat harus ikut serta dalam
permasalahan ini, karena hal ini tidak mungkin. Akan tetapi yang
diharapan adalah hendaknya dilaksanakan oleh sejumlah orang yang
membangun kekuatan yang mampu untuk melaksanakan pemerintahan Islam
kemudian menjaganya dari musuh-musuh yang berada di dalam dan di luar.
Adapun yang lainnya cukup untuk menjadi pendukung atau minimal menjadi
orang yang netral, sampai kebenaran itu jelas bagi mereka. Dan wajib
pula untuk menyadarkan orang awam, jika mereka tidak bisa memberikan
peran positif maka jangan sampai mereka memberikan peran negatif. Hal
ini dapat dilakukan dengan tidak memberikan bantuan kepada para thoghut,
dan meningkatkan pertentangan terhadap thoghut. Lalu akan meningkat
pula keganasan dan gangguan mereka terhadap orang-orang yang beriman.
Dengan demikian permasalahan jihad ini setiap hari akan memasuki rumah
baru dari rumah-rumah kaum muslimin, yang akan mendapatkan para pembela
baru sampai datang janji Alloh, sesungguhnya Alloh tidak akan
mengingkari janjiNya. Alloh berfirman:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di
bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan
mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun
dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan.” (QS.
28: 5-6)
G. Memerangi para penguasa murtad itu lebih diutamakan dari pada
memerangi orang-orang kafir asli (yang kekafirannya bukan karena
disebabkan murtad-pent.) seperti yahudi, nasrani dan penyembah berhala.
Hal ini ditinjau dari tiga sisi:
Pertama; jihad semacam ini merupakan jihadu daf’i (defensif) yang
hukumnya adalah fardlu ‘ain, sehingga jihad semacam ini lebih diutamakan
daripada jihaduth tholab (ofensif). Jihad ini adalah jihadu daf’i
karena para penguasa tersebut adalah orang-orang kafir yang menguasai
negeri kaum muslimin. Ibnu Taimiyah berkata: Adapun qitalu daf’i, perang
ini merupakan yang paling besar dalam rangka melawan penyerang yang
merusak agama dan dunia. Tidak ada yang lebih wajib setelah beriman
selain melawannya. Tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan
tetapi mereka dilawan sesuai dengan kemampuan.・(Al-Ikhtiyarot
Al-Fiqhiyah, hal 309). Dan disebutkan pada faqroh ke 7 bahwa jihad
menjadi fardlu ‘ain ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin.
Kedua: Mereka adalah orang-orang murtad, dan telah berlalu
penjelasannya dalam Faqroh ke 14, bahwa memerangi orang murtad itu lebih
diutamakan dari pada memerangi orang kafir asli.
Ketiga: Mereka adalah musuh yang paling dekat dengan kaum muslimin,
dan yang paling besar bahaya dan fitnahnya, dan juga berlandaskan firman
Alloh:
Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kamu itu, ・QS. 9:123)
Penjelasan masalah ini telah berlalu dalam faqroh ke 13.
Makalah ini diterjemahkan dari kitab Al-‘Umdah Fii I’daadil
‘Uddah Lil Jihaadi Fii Sabiilillaah, Bab IV, Lampiran ke 2, Faqroh ke
15, karangan Abdul Qodir bin Abdul Aziz,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar