PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 11 Oktober 2012

Dlawabit (Batasan-Batasan) Takfir # 1(MENGKAFIRKAN)

Dalam masalah ini akan kami tuturkan empat sub bahasan yaitu posisi bahasan masalah takfier, definisi riddah, kaidah takfier serta kekeliruan-kekeliruan yang umum dalam masalah ini.

Sub Bahasan Pertama

Posisi Bahasan Materi Takfier
Perkatan kami dalam takfier di sini akan terbatas pada orang yang sebelumnya telah tetap sebagai orang yang berstatus hukum sebagai muslim, baik dia itu masuk Islam dengan sendirinya ataupun dilahirkan di atas fithrah karena dua orang tua yang muslim, bukan orang kafir yang asli, meskipun kekafiran itu adalah kekafiran dengan tanpa melihat orang yang terperosok di dalamnya, akan tetapi pembicaran mengenai kafir asli adalah tidak ada kesulitan di dalamnya dan tempatnya adalah bab Al Jihad.
Maka kami katakan bahwa sesunggguhnya materi takfier (yaitu memvonis kafir seseorang yaitu yang dikenal dengan nama takfier mu’ayyan) adalah memiliki dua sisi pembahasan, keduanya ada di dalam berbagai kitab-kitab ilmu, yaitu:

1. Sisi i’tiqad (keyakinan): yang berkaitan dengan hakikat kekafiran dan macam-macamnya sedangkan tempat pembahasannya adalah bab-bab al iman dan pembatal-pembatalnya dalam buku ‘aqidah.
2.  Dan sisi qadlaiy (peradilan): Ini membahas dua hal:
Pertama: Hal yang mengkafirkan –yaitu asbaabul kufri– dan sanksi orang kafir. Dan tempat bahasan masalah ini adalah bab-bab riddah dan murtad dalam kitab fiqh.
Ke dua: Pembuktian terjadinya hal yang mengkafirkan –yaitu sebab kekafiran– dari orang tertentu dan memandangnya pada kekosongannya dari penghalang-penghalang hukum yang dianggap secara syariat dan itu untuk memvonisnya dengan kekafiran atau untuk membebaskannya. Tempat pembahasan masalah ini adalah bab-bab qadla (peradilan), dakwaan dan bukti-bukti dalam kitab fiqh.
Sedangkan maksud di sini adalah mengingatkan bahwa tidak boleh memfatwakan dalam masalah takfier mu’ayyan dengan hanya melihat pada kitab-kitab ‘aqidah tanpa melihat pada proses peradilan yang berkaitan dengan hal itu. Dan akan datang sesuatu dari rincian dalam hal itu saat berbicara tentang kaidah takfier.

Sub Bahasan Ke dua

Definisi Riddah
Riddah adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran atau pemutusan keislaman dengan kekafiran. Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢١٧)
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.(Al Baqarah: 217)
Sedang murtad adalah orang yang kafir setelah keislamannya dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan.
Definisi-definisi madzhab yang empat dan selain yang empat tentang riddah dan murtad semuanya berkisar seputar makna ini. Hal itu dikarenakan kekafiran itu bisa terjadi dengan amalan lisan (yaitu ucapan) atau dengan amalan anggota badan (yaitu perbuatan) atau dengan amalan hati (yaitu dengan keyakinan atau keraguan). (Lihat Kasysyaful Qina’ karya Syaikh Manshur Al Bahutiy juz 6 hal. 167-168)
Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafii’y berkata dalam Kifayatul Ahkyar: “Riddah menurut syari’at adalah kembali dari Islam kepada kekafiran dan memutus keislaman sedang ia bisa terjadi kadang dengan ucapan dan kadang dengan perbuatan dan kadang dengan keyakinan. Dan masing-masing dari ketiga macam ini di dalamnya banyak masalah yang tidak terhitung.”(Kifayatul Ahkyar 2/123)
SyaikhHamd Ibnu ‘Atiq An Najdiy rahimahullah (wafat 1301) berkata: “Sesunggguhnya ulama sunnah dan hadits berkata:“Sesungguhnya orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah keislamannya baik berupa ucapan, perbuatan maupun keyakinan… Mereka menetapkan bahwa orang yang mengucapkan kekafiran adalah kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak mengamalkannya bila dipaksa. Begitu juga bila ia melakukan kekafiran, maka ia kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak mengucapkannya. Begitu juga bila ia melapangkan dadanya dengan kekafiran yaitu dia membukanya dan meluaskanya (maka ia kafir), walaupun ia tidak mengucapkan hal itu dan tidak mengamalkannya. Ini adalah sesuatu yang maklum secara pasti dari kitab-kitab mereka dan orang yang memiliki kesibukan dalam ilmu, maka mesti telah mencapai sebagian dari hal itu” (Ad Difa’ An Ahlis Sunnah  Wal I’ttiba’ karya Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq terbitan Darul Qur-anil Karim 1400 H  hal: 30)
Sebagaian ulama membatasi dengan tiga sebab kekafiran (ucapan, perbuatan atau keyakinan) dan sebagian dari mereka menambahkan: (atau keraguan) dan itu demi membedakan keraguan dari keyakinan, padahal sesungguhnya keduanya termasuk amalan hati, akan tetapi keyakinan adalah suatu yang terikat lagi menetap, adapun keraguan maka ia adalah sesuatu yang tidak terikat dan tidak menetap dikarenakan ia dan kebalikannya adalah seimbang. Barangsiapa yang bersarang dalam hatinya kedustaan Rasul maka ini kufur i’tiqad (keyakinan) dan barangsiapa yang ragu akan kebenaran Rasul dan bagi dia Rasul itu bisa jadi berdusta, maka ini adalah kufur keraguan (syak) Allah ta’ala berfirman:
وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ (٤٥)
”Dan di hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya” (At Taubah: 45)
Di sini ada peringatan penting: yaitu yang telah lalu itu adalah definisi riddah secara hakikat sebenarnya. Adapun dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai zhahir, maka tidak divonis murtad, kecuali dengan sebab ucapan mukaffir (yang mengkafirkan) atau perbuatan mukaffir, karena perbuatan dan perkatan keduanya adalah apa yang nampak dari manusia, adapun keyakinan dan keraguan yang mana tempatnya adalah hati maka tidak ada sanksi dengan sebab keduanya di dunia selagi keduanya tidak nampak pada ucapan atau perbuatan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dalam hadits shahih: “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk mengorek hati manusia” dan di dalam Ash Shahih juga bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah: ”Apakah kamu membelah hatinya“
Barang siapa kafir dengan hatinya (dengan keyakinan atau keraguan) dan dia tidak menampakkannya dalam ucapan atau perbuatan maka ia muslim dalam hukum dunia akan tetapi ia kafir pada hakikat sebenarnya di sisi Allah dan dia adalah orang munafiq dengan nifaq akbar yang menutupi dirinya dengan kekafirannya.
Ibnul Qayyimrahimahullahberkata: ”Dan beliau tidak memberlakukan hukum-hukum itu terhadap sekedar apa yang ada di dalam jiwa tanpa ada indikasi perbuatan atau ucapan” (I’lamul Muwaqqiin, 3/117)
Dalam hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya dalam hukum-hukum dunia  yang berjalan sesuai dhahir dan dalam hal ini, berkata Al Imam Ath Thahawiy rahimahullah dalam I’tiqad-nya –tentang ahli kiblat– “Dan kami tidak memvonis mereka kafir, musyrik dan munafiq selama tidak nampak dari mereka sesuatu dari hal itu dan kami serahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah ta’ala“. Pensyarah berkata: “Karena kita telah diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan zhahirdan kita dilarang dari praduga dan dari mengikuti apa yang tidak diketahui ilmunya“ (Syarhul ‘Aqidah At Thahawiyyah hal 427 terbitan Al Maktabah Al Islamiy 1403 )
Kesimpulan: bahwa vonis murtad di dunia tidak terjadi kecuali dengan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang murtad adalah setiap orang yang mendatangkan setelah keislamannya sesuatu yang menggugurkan keislamannya berupa ucapan dan perkatan, dimana ia tidak bisa bersatu kumpul bersama” (Ash Sharimul Maslul: 459)
Dan berkata juga: “Dan secara umum barangsiapa yang mengucapkan atau melakukan yang merupakan kekafiran maka ia kafir dengan hal itu meskipun ia tidak bermaksud untuk kafir, kerena tidak seorangpun bermaksud kafir, kecuali apa yang telah Allah kehendaki” (Ash Sharimul Maslul 177-178)
Perhatian akan kemungkinan riddah dan cepatnya itu terjadi:
Sekarang banyak orang-orang berlebihan dalam menghati-hatikan dalam pengkafiran manusia, meskipun mereka telah melakukan apa yang mereka lakukan dan mereka mengatakan bahwa ini adalah madzhab Khawarij, bahkan mereka berpendapat akan peniadaan kemungkinan terjadinya riddah dan bahwa orang muslim yang mengikrarkan dua kalimat syahadat tidak mungkin kafir selamanya dan sebagian mereka berdalil dengan ungkapan “Kami tidak mengkafirkan seorang muslimpun dengan sebab dosa”.
Ini termasuk dalam kebodohan terhadap agama Islam. Sesungguhnya Khawarij,  mereka itu mengkafirkan dengan sebab dosa yang tidak mukaffirah sedangkan Ahlus Sunnah maka sesungguhnya mereka mengkafirkan dengan sebab dosa-dosa mukaffirah. Adapun ungkapan “Kami tidak mengkafirkan seorang muslimpun dengan sebab dosa“ maka telah lalu penjelasan maknanya dalam komentar saya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah.
Sungguh telah murtad sejumlah manusia pada masa hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,dan setelah beliau wafat murtadlah mayoritas orang yang telah masuk Islam dari kalangan bangsa Arab kecuali penduduk Makkah, Madinah dan Bahrain dan mereka pun diperangi akibat kemurtadannya oleh Abu Bakar dan para sahabat.
Allah ta’ala berfirman:
لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Tak usah kamu meminta maaf, krena  kamu kafir sesudah beriman…“(At Taubah: 66)
Dan firman-Nya:
وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ
“…Sesunguhnya mereka telah mengucapkan perkatan kekafiran dan telah menjadi sesudah Islam…“(At Taubah: 74)
Orang-orang yang mana ayat-ayat tadi turun berkenaan dengan mereka adalah telah kafir dengan sebab-sebab ucapan-ucapan yang mereka ucapkan pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersegeralah kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti potongan malam yang gelap, orang di pagi hari mu’min dan di sore hari ia kafir, atau disore hari dia mu’min dan di pagi dia kafir, dia menjual agamanya dengan materi dunia.“ (HR Muslim).
Seseorang bisa kafir dengan satu kalimat yang ia lontarkan walaupun ia bersenda gurau (bercanda main-main), oleh sebab itu pensyarah Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah berkata: ”Dienul Islam adalah apa yang disyariatkan Allah ta’ala untuk hamba-hamba-Nya lewat lisan para Rasul-Nya. Inti dan cabang-cabang dien ini, periwayatannya adalah dari para rasul dan ia sangat jelas sekali, mungkin bagi setiap mumayyiz –baik kecil maupun besar, orang fashih maupun non arab, pandai maupun bodoh– untuk masuk di dalamnya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan sesungguhnya keluar darinya juga bisa lebih cepat dari itu.”(Syarhul Aqidah Ath Thahawiyyah, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1403 H hal: 585)
Perhatikan ucapannya “Dan sesungguhnya keluar darinya (juga) bisa lebih cepat dari itu“. Oleh sebab itu para ulama menuturkan riddah dalam pembatal-pembatal wudhu, adzan, shalat, shaum dan yang lainnya, yaitu bahwa orang bisa jadi wudhu untuk shalat terus ia melakukan sesuatu yang mengkafirkan –baik ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan– sehingga murtad, kemudian bila ia taubat maka wajib atasnya memperbaharui wudhu yang telah rusak dengan riddah. Maka perhatikanlah cepatnya riddah, tentu engkau mengetahui kerusakan pendapat orang-orang yang menganggap riddah sebagai bagian hal-hal yang sangat jauh terjadi atau mustahil.
Di antara hal ini adalah ucapan Ibnu Qudamahrahimahullah:“Sesunguhnya riddah adalah membatalkan wudhu dan membatalkan tayammum dan ini adalah pendapat Al Auza’iy dan Abu Tsaur. Dan ia (riddah) adalah mendatangkan sesuatu yang dengan sebabnya ia keluar dari Islam, baik itu ucapan ataupun keyakinan atau pun keraguan yang memindahkan dari Islam, kemudian kapan saja ia kembali kepada keislamannya dengan rujuk kepada dienul haq maka ia tidak boleh shalat sampai ia berwudhu, meskipun ia telah berwudhu sebelum ia murtad”. (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Khabir juz 1/168)
Ibnu Qudamah juga berkata: “(riddah)itu membatalkan adzan bila ia ada di tengah adzan“. (ibid. 1/438 )
Dan berkata juga: “Kami tidak mengetahui perbedaan di antara ahli ilmu bahwa orang yang murtad dari Islam di tengah shaum sesungguhnya shaumnya rusak dan ia wajib meng-qadha’ hari itu bila ia kembali Islam di tengah hari itu ataupun hari itu sudah habis“. (ibid. 3/52 )
Ibnu Qudamah juga berkata: “Bila isterinya berkata: “Cerailah saya dengan satu dinar, maka ia mencerainya terus si wanita murtad, maka ia wajib membayar satu dinar itu maka cerainya menjadi ba’in dan kemurtadannya tidak berpengaruh, karena riddah ada setelah ba’inunah. Dan bila ia mencerainya setelah kemurtadaan si wanita dan sebelum dukhul (berhubungan badaan) si suami dengannya, maka dia menjadi ba’in (tidak ada rujuk) dengan sebab riddah dan cerai pun tidak terjadi, karena ia mengenai si wanita yang sudah ba’in“ (ibid. 8/186).
Abul Qashim Al Kharqiy berkata: “Andai ia menikahinya dalam keadaan keduanya muslim terus si wanita murtad sebelum dukhul, maka pernikahan lepas begitu saja dan dia tidak berhak atas mahar. Dan bila yang murtad adalah si laki-laki sebelum si wanita dan sesudah dukhul maka begitu juga, akan tetapi si laki-laki wajib bayar separuh mahar” dan berkata juga: “Bila riddah wanita setelah dukhul, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dan bila ia tidak masuk Islam sampai ‘iddahnya habis maka pernikahannya lepas begitu saja. Andai si laki-laki murtad terus ia tidak kembali kepada Islam sampai ‘iddahnya maka nikahnya lepas semenjak dua agama berlainan” (ibid. 9/584-565).
Ini adalah sedikit dari hal yang banyak dan ia menjelaskan kemungkinan terjadinya riddah dan bahkan sangat cepatnya ia terjadi, berbeda dengan apa yang diklaim sebagian orang. Sampai-sampai orang yang berwudhu bisa murtad antara wudhu dengan shalatnya dan orang yang adzan bisa murtad saat ia menyerukan shalat dengan lafazh mukaffir yang ia ucapkan atau dengan keyakinan mukaffir yang diyakini hatinya atau mukaffirat lainnya. Perhatikanlah hal ini, tentu engkau mengetahui kejahilan yang memalukan yang ada pada banyak orang-orang masa sekarang.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy berkata: “Sampai-sampai sesungguhnya banyak ulama di abad-abad ini sangat mengingkari terhadap orang yang mengingkari syirik akbar sehingga jadilah mereka itu dan para sahabat radliallahu ’anhum berada di atas dua tepi yang bertentangan, dimana para sahabat sangat mengingkari suatu hal yang sedikit dari kemusyrikan, sedangkan para ulama itu justeru malah mengingkari terhadap orang yang mengingkari syirik akbar dan mereka menjadikan pelarangan dari syirik ini adalah bid’ah dan kesesatan.
Dan begitulah keadaan umat-umat bersama para rasul dan nabi seluruhnya dalam apa yang dengannya mereka diutus, berupa tauhidullah ta’ala, ikhlash beribadah kepada-Nya saja dan larangan dari penyekutuan dengan-Nya”.
Beliau juga berkata: “Banyak para pengklaim (dirinya) berilmu tidak mengetahui “Laa ilaaha illallaah“ sehingga mereka menghukumi setiap orang yang mengucapkannya sebagai seorang muslim walaupun dia itu terang-terangan dengan kekafiran yang nyata, seperti peribadatan kepada kuburan, mayit dan berhala, pengahalalan hal yang haram yang diketahui pengharamannya secara pasti oleh agama ini, pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan serta mejadikan alim ulama dan para ahli ibadah sebagai arbab selain Allah” (Dari catatan kaki hal 128 dan 221 dari kitab Fathul Majid Syarhi Kitab At Tauhid terbitan Darul Fikr 1399H ).

Sub Bahasan Ke Tiga

Kaidah Takfier
Yang dimaksud di sini adalah takfir mu’ayyan dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan istilah “kaidah takfier dalam banyak tempat di Majmu Al Fatawa. Saya telah berupaya sejak lama untuk mendapatkan suatu teks bagi kaidah ini di dalam karya-karya Syaikhul Islam yang beraneka ragam, namun sampai sekarang saya tidak mendapatkannya padahal sangat banyak dilakukan penelusuran. Dan saya mengiranya memaksudkan dengan hal itu apa yang telah baku di kalangan para ulama berupa memperhatikan dlawabit takfier (batasan-batasan takfier) dari sisi proses peradilan yang sudah dikenal dan bisa jadi –karena sebab itu– tidak ada kebutuhan untuk membukukannya pada masa mereka karena mereka menjalankan peradilan syar’iy saat itu.
Paling tidak yang disebutkan oleh Syaikhul Islam –dan beliau ulang-ulang dalam banyak tempat– adalahtakfier mu’ayyan itu tergantung pada keterpenuhan syarat-syarat dan ketiakadaan penghalang-penghalang (takfier) pada si mu’ayyan itu. Sebagai contoh silahkan lihat (Majmu’ Al Fatawa 12/484, 487, 489, dan 498)
Adapun hari ini beserta terputusnya peradilan syar’iy dan lenyapnya hal itu dari mayoritas negeri beserta berkurangnya ilmu serta munculnya kebodohan maka sesungguhnya kebutuhan sangat menuntut untuk pembukuan kaidah semacam ini. Oleh sebab itu, maka saya telah menetapkan teks bagi kaidahtakfier mu’ayyan seraya saya berharap ia memenuhi apa yang dimaksud dan ia adalah sebagai berikut:
Dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir, orang tertentu dihukumi kafir dengan sebab ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir, yang telah terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’iy. Bila syarat-syarat hukum terpenuhi dan penghalang-penghalang tidak ada pada dirinya, dan memvonis terhadapnya orang yang layak untuk menghukumi, kemudian dilihat; Bila orang itu adalah maqdur ‘alaih di Darul Islam, maka ia disuruh bertaubat secara wajib sebelum dikenakan hukuman terhadapnya oleh pihak penguasa. Dan bila dia itu mumtani’ dengan kekuatan atau dengan darul harbi, maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa proses istitabah, dan dalam hal ini melihat kepada mashlahat dan mafsadat yang ditimbulkan oleh hal itu. Bila berbenturan mashlahat dan mafsadat, maka didahulukan yang paling kuat dari keduanya.Selesai.
Saya paparkan kaidah di atas dengan penjelasan yang ringkas, saya katakan dengan memohon taufiq Allah ta’ala:

1.   Ucapan saya: “Dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir”

Adalah pembuka dan pendahuluan bagi ucapan saya: “dengan sebab ucapan atau perbuatan”, karena sesungguhnya keduanya adalah sesuatu yang nampak dari manusia dan dengannya ia diberi sanksi di dunia. Adapun kekafiran yang ada berdiri di hati (berupa keyakinan mukaffir atau keraguan pada rukun-rukun iman dan cabang-cabangnya), maka dalam hal ini si pelakunya tidak dikenakan sanksi dengan sebabnya di dunia, namun urusannya diserahkan kepada Allah (di hari saat segala rahasia ditampakkan), sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mungkin mengampuni orang yang mati dalam kondisi kafir. Saya telah menjelaskan hal itu dalam peringatan penting yang dituturkan setelah definisi riddah.

2.   Ucapan saya: “Dengan sebab ucapan atau perbuatan“

Dan inilah sebab vonis kafir –dalam hukum-hukum dunia– hanyalah ucapan atau perbuatan. Adapun ucapan maka (contohnya) seperti menghinakan Allah ta’ala atau menghina Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam atau menghina agama ini. Adapun perbuatan (contohnya) seperti melempar mushhaf ke dalam kotoran dan masuk (pula) dalam perbuatan adalah meninggalkan dan menolak dari melakukan apa yang diperintahkan seperti meninggalkan shalat dan meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan, karena sesungguhnya meninggalkan apa yang diperintahkan dinamakan sebagai perbuatan sesuai pengkajian berdasarkan firman Allah ta’ala:
كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (٧٩)
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.”(Al Maidah: 79).
Allah menamakan sikap mereka tidak saling melarang dari hal munkar sebagai perbuatan. Dan di dalamnya ada dalil-dalil lain yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqhitiy dalam Mudzakkirah Ushulil Fiqh, terbitan maktabah Ibnu Taimiyyah 1409 H hal: 46 dan begitu juga Ibnu Hajar berkata: “Meninggalkan itu adalah perbuatan sesuai dengan pendapat yang shahih”(Fathul Bariy 12/315)

3. Ucapan saya: “Mukaffir” adalah sifat bagi ucapan dan perbuatan”.

Sifat kekafiran ini terealisasi dengan dua syarat:
A.     Syarat pertama:
Terbuktinya dengan dalil syar’iy kekafiran orang yang mendatangkan ucapan atau perbuatan ini, dan ini adalah yang dinamakan takfier muthlaq tanpa menerapkan hukum kafir terhadap orang tertentu. Jadi takfier muthlaq adalah menerapkan vonis kafir terhadap sebab bukan terhadap orang si pelaku sebab itu.
Disyaratkan pada dalil syar’iy itu adalah qath’iy dilalah-nya (pasti indikasinya) terhadap kufur akbar. Karena di sana ada bentuk-bentuk ungkapan yang penunjukan terhadap kekafirannya masih muhtamal (ada kemungkinan lain) bisa berarti kufur akbar dan bisa berarti berupa kufur asghar dan kefasikan. Sedangkan penentuan apa yang dimaksud dari nash yang muhtamaldilalah-nya adalah terjadi dengan qarinah-qarinah dari dalam nash itu atau dari nash-nash lainnya. Contoh hal itu: Apa yang diriwayatkan Al Bukhariy dalam Kitab Iman dari Shahih-nya pada Bab Kufranul ‘Asyir dan Kufrun Duna Kufrin dan di dalamnya diriyawatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
“Saya diperlihatkan neraka, ternyata mayoritas penghuninya wanita, mereka kafir (ingkar), dikatakan: “Apa mereka ingkar kepada Allah?” Beliau berkata “Mereka ingkar kepada suami dan ingkar kepada kebaikan“ (Hadits No: 29)
Beliau meriwayatkan dalam Kitabul Haidli dari Abu Sa’id bahwa Nabi melewati para wanita, beliau berkata: “Wahai sekalian wanita bershadaqahlah, karena saya diperlihatkan kalian adalah mayoritas penghuni neraka. “Maka bertanyalah mereka: Apa sebabnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: Kalian banyak melaknat dan ingkar kepada suami(Hadits No. 304)
Di dalam hadits ini beliau shalallahu ’alaihi wa salam mensifati sikap wanita tidak menunaikan hak suaminya (‘asyir) dan sikapnya yang tidak berterima kasih kepada kebaikan suaminya sebagai kekafiran. Sedangkan qarinah-qarinah telah menunjukkan bahwa yang dimaksud denganya adalah kufur ashghar bukan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama, dan qarinah-qarinah-nya adalah bahwa beliau shalallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan mereka bersedekah untuk menebus maksiat-maksiat ini, sedang sedekah itu hanyalah bermanfaat bagi orang mu’min berdasarkan sabdanya shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air mematikan api“(HR At Tirmidzi dan berkata: hadits hasan shahih). Shadaqah tidak diterima dari orang yang kafir dan tidak bisa menutupi kesalahan-kesalahannya berdasarkan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa penyekutuan terhadap-Nya“, maka ini menunjukkan bahwa mereka itu wanita-wanita mu’minah bersama pensifatan maksiat mereka dengan kekafiran dan ini adalah sifat kufur asghar.
Contoh hal itu juga adalah sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: Menghina orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran”. Dan sabdanya shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian kembali kafir setelahku, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain” (Kedua hadist itu diriwayatkan Al-Bukhari).
Beliau menamakan pembunuhan muslim terhadap muslim sebagai kekafiran, dan begitu juga sikap saling memeranginya, sedang nah-nash telah menunjukkan bahwa pembunuhan sengaja itu tidak kafir berdasarkan firman-Nya ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١٧٨)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (Al-Baqarah: 178)
Dimana Allah menetapkan ukhuwwah imaniyyah (persaudaraan keimanan) antara si pembunuh dengan wali orang yang terbunuh, dan begitu juga dalam hal saling berperang sebagaimana firman-Nya ta’ala:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩)
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya!tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9)
Allah menamakan mereka mu’min bersama sikap saling berperang, dan ini menunjukkan bahwa kufur di dalam hadits-hadits yang lalu tidak lenyap bersama keimanan, sehingga ia adalah kufur ashghar atau kufrun duna kufrin.
Yang yang dimaksud di sini adalah pengisyaratan bukan perincian, karena saya sudah merinci semua masalah-masalah ini dalam kitab saya (Al-Hujjah Fie Ahkamil Millah Al Islamiyyah).
Di antara bentuk-bentuk ungkapan yang dilalah-nya muhtamal yang ada kemungkinan kufur akbar dan yang dibawahnya adalah:
  • Kufur dengan bentuk fi’il madli (فقدكفر) atau fi’il mudlari (يكفر)
  • Kufur dengan bentuk isim nakirah, baik mufrad (كافر) maupun jamak (كفار)
  • Bentuk penafian iman (لايؤمن/tidak beriman)
  • Bentuk (ليسمنا/bukan tergolong dari kami)
  • Bentuk “maka ia dineraka”
  • Bentuk “Allah haramkan terhadapnya surga”
  • Bentuk “telah lepas darinya jaminan, atau telah berlepas darinya Allah dan Rasul-Nya shalallahu ’alaihi wa sallam
Dan yang lainnya.
Contoh-contoh untuk ini semuanya beserta penjelasan dilalah-nya disebutkan dalam kitab saya (Al-Hujjah Fie Ahkamil Millah Al Islamiyyah), dan Al Imam Abu Ubaid Al Khasim Ibnu Salam telah menuturkan sejumlah dari bentuk-bentuk ungkapan yang ihtimaldilalah-nya ini dalam kitabnya (Al Iman).
Adapun dalil-dalil syar’i yang qath’iy dilalah-nya terhadap kufur akbar maka contohnya adalah firman Allah ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥)لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (٦٦)
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: sesungguhnya kami hanylah bersendagurau dan bermain-main saja, katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir setelah beriman”(At-Taubah: 65-66)
Allah menegaskan terhadap kekafiran mereka setelah beriman, sedangkan ini adalah kufur akbar.
Dan contoh firman Allah ta’ala:
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا (٣٥)وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا (٣٦)قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا (٣٧)
“Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri:Ia berkata: aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadaanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna.”(Al-Kahfi: 35-37).
Allah menegaskan bahwa ia kafir kepada Allah, dan ia adalah kufur akbar.
Dan contohnya adalah firman-Nya tentang orang yang menyeru selain Allah dalam apa yang tidak mampu terhadapnya selain Allah:
يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأجَلٍ مُسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ (١٣)إِنْ تَدْعُوهُمْ لا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (١٤)
Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan.Dan orang orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa, walaupun setipis kulit ari.Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar suaramu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu(Fathir: 13-14).
Dan firman-Nya ta’ala:
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ (١٤)
“Hanya bagi Allahlah (hak mengabulkan) do’a yang benar.Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir, hanyalah sia-sia belaka”(Ar Ra‘du: 14).
Dan sebagai kaidah umum:
  • Sesungguhnya setiap كفر yang datang dengan bentuk isim ma’rifat dengan alif dan lam (ال) dalam Al Kitab dan As Sunnah maka ia adalah kufur akbar, seperti lafadz (الكوافر-الكافرن- الكفار- الكافر- الكفر), karena alif dan lam menunjukkan pencakupan isim pada kesempurnaan makna. Dan ini tidak ada perselisihan makna terhadapnya di antara ahli ilmu dan ahli bahasa.
  • Dan setiap كفر yang ada dalam Al-Qur’an, maka ia adalah kufur akbar, baik itu datang dengan bentuk isim atau fi’il (kata kerja) atau masdar (kata dasar), karena lafazh-lafazh Al-Qur’an adalah paten (baku), sedangkan telah terbukti hal ini dengan istiqra (penelusuran) satuan-satuan lafazh Al-Qur’an termasuk kufur yang ada dalam konteks kufur nikmat, ia adalah kufur akbar sebagaimana dalam Surat Ibrahim: 28 dan An-Nahl: 112. Dan termasuk apa yang nampak bahwa dimaksud dengan kufur lughawi (secara bahasa) nama yang dimaksud dengan tafsirnya adalah kufur akbar syar’i sebagaimana dalam Surat Al-Hadid: 20.
  • Setelah itu tinggallah lafazh-lafazh kufur yang ada dalam As unnah, dimana apa yang datang darinya dengan bentuk isim ma’rifat dengan (ال) maka ia adalah kufur akbar sebagaimana dalam hadist: “antara seorang dengan al kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim).
Adapun bila ia dengan selain bentuk ini, maka hukum asal di dalamnya adalah membawanya kepada kufur akbar sampai tegak qarinah yang memalingkannya kepada kufur asghar. Dan dalilnya adalah hadist kufranul ‘asyir (ingkar kepada suami) yang lalu. Coba perhatikan tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam -tentang para wanita- (mereka kafir) maka para sahabat berkata: Apakah mereka kafir (ingkar) kepada Allah? Maka ini menunjukkan bahwa kufur bila diutarakan begitu saja maka maknanya langsung mengarah kepada kufur akbar sampai ada qarinah yang memalingkannya kepada asghar sebagaimana dalam contoh-contoh yang lalu.
Syaikh Abdullatif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berkata: “Dan lafadzh الفسوق-المعصية-الظلمالشرك-الركون-المعاداة-الوالاة-الفجور- dan lafadz-lafadz lainnya yang ada di dalam Al-Kitab dan Assunnah kadang dimaksudkan dengannya maknanya yang mutlak dan hakikatnya yang mutlak, dan kadaang dimaksudkan dengannya muthlaqul haqiqoh (sekedar memiliki makna), sedangkan yang pertama adalah hukum asal menurut para ahli usul, dan yang kedua tidaklah digunakan kecuali dengan qarinah lafdhiyyah atau maknawiyyah, namun itu bisa diketahi dengan penjelasan yang berasal dari nabi dan penafsiran sunnah. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya untuk memberikan penjelasan kepada mereka(Ibrahim: 4). Selesai (Ar Rasa-il Al Mufidah, Syaikh Abdullatif, kumpulan (Syaikh) Sulaiman Ibnu Sahman, hal: 21-22)
Di sini ada peringatan penting: Sesungguhnya tidak disyaratkan untuk menghukumi terhadap sesuatu bahwa ia adalah mukaffir (mengkafirkan) datangnya nash tertentu yang menunjukkan bahwa sesuatu itu mukaffir (hal yang mengkafirkan).
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Ibnu Ma’mar rahimahullah 1225 H, sedang baliau adalah tergolong imam dakwah Najdiyyah dan termasuk murid Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab rahimahullah, berkata: “Dan juga sesungguhnya banyak dari masalah-masalah yang dituturkan para ulama dalam masalah-masalah kufur dan riddah serta terjalin ijma’ terhadapnya adalah tidak datang berkenaan dengannya nash-nash yang tegas yang menamakannya sebagai kekafiran, akan tetapi para ulama menyimpulkan dari keumuman kandungan nash-nash, seperti bila orang muslim menyembelih sembelihan sebagai taqarub (mendekatkan diri) dengannya kepada selain Allah maka sesungguhnya itu adalah kekafiran berdasarkan ijma, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh An Nawawi dan yang lainnya, dan begitu juga seandainya ia bersujud selain kepada Allah”(Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah 9/9).
Saya berkata: “Dan di antara dalil yang paling jelas terhadap apa yang dikatakan Syaikh Hamd Ibnu Ma’mar adalah kafirnya orang yang mengatakan: ”Al Qur’an makhluk”, dan ini tergolong hal yang paling terkenal dalam kitab-kitab salaf dimana mereka mengatakan: “Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk dan barangsiapa mengatakan bahwa ia adalah makhluk maka dia kafir.”
Lihat kitab As Sunnah, karya Abdullah Ibnu Ahmad, As Sunnah karya Al Khallal, kitab Al Lalikaiy, kitab Al ‘Uluw karya Adz Dzahabiy dan kitab lainnya yang sangat banyak.
Padahal tidak ada satu nash pun dalam Al Kitab atau As Sunnah yang menegaskan bahwa barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk maka ia kafir, seperti didapatkannya nash yang menyatakan bahwa barangsiapa meninggalkan shalat maka ia kafir. Sebagaimana tidak didapatkan atsar dari sahabat tentang masalah Khalqul Qur’an, akan tetapi para ulama menyimpulkan vonis kekafirannya dari sisi bahwa nushush telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan ilmu-Nya, sedangkan kalam (firman) dan ilmu-Nya adalah termasuk sifat Allah Jalla Syanuhu, dan sifat-Nya bukanlah makhkluk, dan barangsiapa mengingkari hal itu serta malah mengatakan bahwa ini adalah makhluk maka ia telah kafir. Sampai akhirnya hukum masalah ini adalah tempat yang diijmakan Ahlus Sunnah.
Di antara yang membuktikan di hadapanmu kesamaran tentang hukum masalah ini adalah apa yang diriwayatkan Adz Dzahabiy dari Al Qadli Abu Yusuf, ia berkata: “Saya mengajak diskusi Abu Hanifah selama enam bulan, maka sepakatlah pendapat kami bahwa orang yang mengatakan –“Al Qur’an makhluk”–  adalah kafir”. Selesai. (Mukhtasar Al ‘Uluw Lil A’liyyil Ghaffaar, Adz Dzahabiy, terbitan Al Maktab al Islamiy 1401 H, hal 155).
Keduanya berdiskusi selama itu dikarenakan dalam masalah ini tidak ada satu nash sharih (tegas) pun dari Al Kitab dan As Sunnah serta tidak ada penukilan dari sahabat di dalamnya dan ini semua termasuk yang menjelaskan bahwa tidak disyaratkan dalam dalil syar’i yang mengkafirkan itu ia berbentuk nash yang tegas dalam masalah ini secara langsung, akan tetapi boleh saja hukumnya itu di-istinbath dari nash-nash yang ada.
Dalam masalah ini –yaitu terbuktinya sifat kufur bagi ucapan dan perbuatan dengan dalil yang qath’iy– masuklah perselisihan berbagai firqah:
Khawarij mengkafirkan dengan sebab sesuatu yang bukan kekafiran, seperti dosa-dosa besar yang tidak mengkafirkan, sedangkan Murji-ah, mereka tidak mengkafirkan dengan sebab apapun dari amanat (ucapan dan perbuatan) akan tetapi mereka sejalan dengan Ahlus Sunnah dalam memvonis kafir orang yang mendatangkan amal mukafir, bukan dengan sebab amal itu sendiri tapi dikarenakan sesungguhnya amal yang ditegaskan dalil terhadap kekafiran pelakunya adalah ciri (tanda) yang menunjukkan bahwa ia itu kafir dengan hatinya, sehinga mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah dalam hal vonis dan mereka berbeda dengan Ahlus Sunnah dalam tafsirnya. Murji-ah yang saya maksudkan dalam ucapan saya yang lalu adalah Asya’irah dan Murji-ah Fuqaha.
Adapun Ghulatul Murji-ah yang jauh tersesat, maka mereka tidak mengkafirkan dengan dalil yang syar’i yang qath’iy dilalah-nya terhadap kufur akbar dan mereka mensyaratkan untuk takfir orang yang melakukan amal mukaffir sikap terang-terangan dengan takdzib dan juhud atau istihlal. Inilah yang terkenal luas pada banyak du’at masa kini. Saya sudah menuturkan kepada anda bahwa salaf telah mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini.
Ini adalah yang berkaitan dengan syarat pertama yaitu keberadaan dalil syar’i itu tegas dilalahnya terhadap kufur akbar.
Bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar