Dlawabit (batasan-batasan) Takfir #2
B. Syarat
ke dua:
Keberadaan ucapan atau perbuatan itu tegas
(sharih) dilalah-nya terhadap kekafiran yaitu bahwa ia berisi manath
(alasan) yang mengkafirkan yang ada dalam nash syar’i yang dijadikan
dalil terhadap takfir.
Contohnya orang yang mengatakan: “Wahai
tuanku Al Badawiy, tolonglah saya atau penuhilah kebutuhan saya atau
lapangkanlah rizki saya atau selamatkan saya dari musuh saya”. Maka ini
adalah ucapan-ucapan mukaffirah, karena ia jelas
dilalahnya terhadap penyeruan selain Allah dan karena dalil
syar’i telah menunjukkan bahwa orang yang menyeru selain Allah adalah
kafir.
Di antara perbuatan-perbuatan yang jelas
dilalahnya terhadap kekafiran di antaranya adalah orang yang melempar
mushhaf pada kotoran, maka ini tidak mengandung kemungkinan kecuali
bahwa ia telah melecehkan mushhaf sedang telah tsabit dengan
dalil syar’i qath’iy kekafiran yang memperolok-olok ayat-ayat
Allah.
Adapun bila ia melemparkan mushhaf
ke dalam api, maka ini adalah perbuatan yang tidak tegas dilalah-nya
terhadp kekafiran. Sebagaimana akan datang penjelasan dalam hal-hal
yang dilalahnya muhtamal (memiliki kemungkinan)
Dan berseberangan dengan sharihuddilalah
(yang tegas dilalahnya) adalah amalan yang dilalah-nya
muhtamal yaitu amalan (ucapan atau perbuatan) yang tidak
menunjukan terhadap kekafiran dan yang lainnya. Ini dinamakan takfir
bilmuhtamalat (takfir dengan hal-hal yang masih memiliki
kemungkinan) dan termasuk darinya ucapan yang bukan merupakan kekafiran
dengan sendirinya tetapi menghantarkan kepada kekafiran dan ini yang
dinamakan takfir bil ma’al atau takfir bilazamil qaul.
Amalan yang muhtamal dilalah-nya
ini mesti memperhatikan beberapa hal yang menentukan dilalah-nya
dan apakah dibawa terhadap kekafiran yang jelas ataukah digugurkan.
Dalam hal ini berkatalah Al Qadliy
Syihabuddien Al Qarafiy: “Setiap yang memiliki dhahir, maka
maknanya terpaling langsung kepada dhahirnya kecuali saat adanya hal
yang merintanginya atau yang mengalahkan dhahir itu. Sedangkan suatu tak
bisa diunggulkan kecuali dengan murajjih (yang mengunggulkan) yang
syar’i”(Al Faruq Al Qarafiy 2/195 terbitan Darul Ma’rifah)
Sedangkan murajjih syar’i untuk
menentukan apa yang dimaksud dari amalan yang muhtamal dilalah-nya
adalah melihat pada tiga hal atau sebagianya yaitu:
- Mencari kejelasan maksud si pelaku
- Memperhatikan qarinah-qarinah keadaan yang menyertai amalan itu
- Dan mengetahui ‘urf (adat kebiasaan ) orang yang berbicara itu dan penduduk negerinya.
♥ Adapun mencari kejelasan maksud si
pelaku yaitu niatnya, maka adalah dengan menanyakan kepadanya
tentang apa yang ia maksudkan dengan ucapan dan perbuatannya.
Seperti orang yang berdo’a di pinggir suatu kuburan sedang tidak bisa
didengar suaranya dan siapa yang diminta dan dengan apa ia berdo’a, maka
ia mesti ditanya bila dia berkata: “Saya berdo’a kepada Allah agar
mengampuni si mayit ini”, maka ia berbuat baik. Bila ia berkata: “Saya
berdoa kepada Allah di sisi kuburan ini dengan harapan diijabah” maka
amalannya ini adalah bid’ah ghair mukaffirah.
Bila ia berkata: “Sesungguhnya saya menyeru penghuni kubur agar memenuhi
kebutuhan-kebutuhan saya”, maka amalannya ini adalah mukaffir.
Jadi mencari kejelasan maksud di sini adalah menentukan apa
yang dimaksud dari suatu yang muhtamal dilalahnya. Dalam hal
ini berkatalah An Nawawiy dalam apa yang ia nukil dari
Asy Syaimary dan Al Khatib: “Dan bila
ditanya –yaitu si mufti– tentang orang yag mengatakan ini dan itu,
berupa hal-hal yang memiliki kemungkinan banyak hal yang sebagaianya
bukan kekafran, maka seyogyanya bagi si mufti untuk mengatakan: “Orang
ini mesti ditanya tentang apa yang ia maksudkan dari apa yang ia
katakan, bila ia memaksudkan begini maka jawabanya begini, dan bila
memaksudkan begini maka jawabannya begini.” (Al Majmu’, An
Nawawiy 1/49 )
Dalam hal ini juga berkatalah Al
Imam As Syafi’irahimahullah: “Dan ucapan (yang
dipegang) adalah ucapanya dalam suatu yang memiliki kemungkinan selain
dhahir“ (Al-Umm, Asy Syafi’i 7/297)
Di sini ada peringatan penting yang akan
datang penjelasannya dalam kekeliruan-kekeliruan takfir:
Yaitu bahwa maksud yang dituntut
pencarian kejelasannya dan yang bepengaruh dalam hukum, adalah penentuan
apa yang dimaksud dari perbuatan si pelaku bukan pencarian
kejelasan maksud dia untuk kafir dengan hal itu, maka
di dalam contoh yang lalu, bila ia berkata: “Sesungguhnya saya menyeru
mayit agar menyelamatkan saya dari bencana”, maka maksud inilah yang
dituntut pencarian kejelasannya dan inilah yang berpengaruh dalam hukum,
dan tidak mesti menanyakan kepada dia: Apa kamu bermaksud kafir
dengan hal itu…? bahkan andai kata ia berkata: “Sesungguhnya saya tidak
bermaksud kufur dengan hal hal itu“ tentulah peniadaan (maksud kafir )
ini tidak berpengaruh dalam hukum. Dan akan datang
jabaran ini insya Allah.
♥ Adapun memperhatikan qarinah-qarinah
keadaan yang menyertai amalan itu, maka seperti orang yang mengucapkan
ucapan yang memiliki kemungkinan kekafiran dan ia mengingkari maksud
kekafiran dan ternyata setelah diteliti terbukti pertemuan dia dengan
kaum zindiq atau ia tertuduh sebagai zindiq, maka ini adalah qarinah-qarinah
keadaan yang menguatkan maksud kekafiran.
Contoh: seandainya seorang melemparkan mushhaf
ke dalam api, maka ini ada kemungkinan bahwa ia itu melecehkan mushhaf,
maka ia kafir seperti halnya orang yang melemparkannya ke dalam kotoran
dan ada kemungkinan ia memusnahkan mushhaf yang lama yang ada
padanya dengan dibakar sebagaimana Utsman radliallahu’anhu
telah membakar mushhaf-mushhaf (selain mushhafUtsmani), maka
ini adalah sunnah khalifah rasyid, maka ia tidak kafir. Bila
kita telah mencari kejelasan maksud dia dan ia berkata bahwa ia ingin
memusnahkannya, kemudian dengan mencari kejelasan indikasi keadaannya
terbukti bahwa mushhaf itu baru atau bahwa dia itu tertuduh zindiq, maka
indikasi-indikasi ini membuktikan bahwa ia itu dusta dalam ucapannya
bahwa ia ingin memusnahkan mushhaf itu; akan tetapi ia itu justeru
melecehkannya.
Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah
berkata: “Indikasi-indikasi keadaan membuat berbeda dengannya indikasi
berbagai ucapan dalam penerimaan klaim apa yang menyelarasinya dan
penolakan apa yang menyelisihinya dan terbangun di atasnya berbagai
hukum dengan sekedarnya”(Al Qawaid
, Ibnu Rajab, kaidah 151 hal: 322)
♥ Adapun melihat pada ‘urf
maka sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qayyim
dalam Ahkamul Mufti: “Ia tidak boleh memberikan fatwa
dalam kasus iqrar/pengakuan, sumpah, wasiat dan yang lainnya yang
berkaitan dengan lafazh dengan berdasarkan apa yang biasa ia pahami dari
lafadh-lafadh itu tanpa mengetahui ‘urf pemilik bahasa itu dan
orang-orang yang berkomunikasi dengannya sehingga ia membawanya kepada
makna yang mereka terbiasa dengannya dan mereka kenal meskipun
bertentangan dengan hakikat asalnya, dan bila dia tidak melakukannya
maka (dia) sesat lagi menyesatkan“(I’lamul Muwaqqiin 4/228)
Inilah tiga murajjihat
syar’iyyah yang dengannya kita tentukan apa yang dimaksud dari
suatu yang muhtamal dilalah-nya, namun lengkap
dalilnya terhadap kekafiran: Al Qadhli
I’yadl rahimahullah berkata: “Saya telah menyaksikan
Syaikh kami Al Qadhli Abu Abdullah Muhammad Ibnu Isa dihari-hari
tugasnya telah dihadirkan seorang laki-laki lain, terus laki-laki itu
mendekati seekor anjing kemudian ia memukul dengan kakinya seraya
berkata kepadaanya “Bangkitlah hai Muhammad, terus si laki-laki itu
mengingkari bahwa ia telah mengatakan itu, dan sejumlah orang telah
menjadi saksi terhadapnya, maka ia diperintahkan untuk di penjara.
Beliau meneliti keadaannya dan apakah ia bertemu dengan orang yang
agamanya mencurigakan? Kemudian tatkala beliau tidak mendapatkan
kecurigaan apa yang menguatkan akan ‘aqidahnya maka beliau mencambuknya
dan melepasnya”. Selesai.
Pensyarah berkata: “Sesungguhnya
lawan orang itu namanya Muhammad”.
Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah
berkata juga: “Dan muncul juga suatu masalah yang mana sebagian qadli
di Andalus meminta fatwa di dalamnya kepada guru kami Al Qadli Abu
Muhammad Mansyurrahimahullah tentang orang yang dihina dengan
sesuatu maka beliau berkata kepadaanya “Kamu ingin kami memutuskan
berdasarkan ucapanmu, sedangkan saya adalah orang biasa dan semua
manusia memiliki kekurangan termasuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam”,
maka beliau menfatwakan agar dia dipenjara dalam waktu yang lama dan
diberi pelajaran yang menyakitkan, karena ia tidak memaksudkan celaan
(terhadap nabi) Sedangkan sebagian fuqaha Andalus menfatwakan hukuman
mati“ (Asy Syifa, Al Qadli
‘Iyadl terbitan Isa Al Harabiy 2/984, 996)
Syaikhul Islam ditanya tentang orang
yang menghina Syarif dari ahli bait dimana orang itu berkata: “Semoga
Allah melaknat orang yang memuliakannya”, maka Ibnu
Taimiyyahrahimahullah berkata: “Ucapan ini dengan sendirinya
tidak tergolong hinaan (terhadap Nabi) yang mana dibunuh pelakunya,
akan tetapi dia diminta keterangan mengenai ucapannya tentang “orang
yang memuliakannya“, kemudian bila terbukti dengan keterangan dia atau
dengan qarinah-qarinah yang bersifat keadaan atau lafazh bahwa ia
melaknat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajb dibunuh. Dan
bila ucapannya itu tidak terbukti, maka hal itu tidak menyebabkan
membunuhnya”(Majmu’ Fatawa 35/197-198 Dan hal serupa 34/
135-136)
Itulah tentang ucapan yang
dilalahnya muhtamal
Di antara perbuatan-perbuatan
yang muhtamal adalah orang yang shalat menghadap
kiblat sedang di depannya ada api atau kuburan, ini ada kemungkinan ia
shalat kepada kuburan, api atau kepada Allah, maka mesti mencari
kejelasan maksud tentang qarinah-qarinah
keadaan: Apakah ia terkenal baik atau adakah kecurigaan pada agamanya
seperti Majusi dari kalangan penyembah api yang menampakkkan Islam
secara taqiyyah, dan yang lainnya? Al Bukhari telah membuatkan
bab untuk masalah ini dalam Kitabus Shalat dari Shahihnya pada
bab “Orang yang shalat sedang di depannya ada api atau perapian atau
sesuatu yang diibadahi namun ia memaksudkan Allah dengannya” (Fathul
Baari 1/527)
Maka ini yang wajib diikuti untuk
menentukan dilalah (penunjukkan) amalan yang muhtamal dan
statusnya dalam hal itu adalah seperti sindiran dalam thalaq, tuduhan
zina (qadzaf), pembebasan budak dan yang lainnya yang tidak bisa
dibedakan, kecuali dengan mengetahui niat si pembicara dan melihat pada qorinah
keadaan serta ‘urf si pembicara.
Adapun yang sharih (jelas)
dalam hal ini semua, maka tidak butuh melihat pada niat dan tujuan,
kecuali dari sisi kesengajaan sebagaimana yang akan
kami jelaskan dalam kekeliruan takfir.
Sedangkan acuan dalam menentukan apa
yang dimaksud dari sesuatu yang dilalahnya muhtamal–dalam
hukum-hukum dunia– adalah kepada ijtihad qadli
yang mengkaji berbgai pengaduan sebgaimana yang ada dalam contoh-contoh
yang dinukil dari Al Qadli ‘Iyadl tadi, dan boleh bagi Al Qadli untuk
memberi sanksi (ta’zir) si tersangka dengan sanksi yang berat
bila tidak mungkin membawa amalan yang muhtamal itu kepada yang
yang sharih bila tuduhan sangat kuat.
Di sini ada perselisihan tentang hukum zindiq
yang sering muncul darinya amalan-amalah yang dilalah-nya
terhadap kekafiran muhtamal, dan ini adalah keadaan banyak
dari kaum munafiqin sebagaimana firman-Nya ta’ala:
وَلَوْ نَشَاءُ لأرَيْنَاكَهُمْ
فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ (٣٠)
“Dan kalau Kamimenghendaki,
niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu dapat mengenal
mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar
akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah
mengetahui perbuatan-perbuatan” (Muhammad: 30)
Dan di antara munafiq ada orang yang
mengucapkan kekafiran yang jelas, namun tidak terbukti terhadapnya
dengan keterbuktian yang syar’i karena tidak terpenuhinya bayyinah (bukti/kejelasan),
seperti orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا
قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ
إِسْلامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلا أَنْ
أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ
خَيْرًا لَهُمْ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا
أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الأرْضِ مِنْ
وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (٧٤)
“Mereka (orang-orang munafik itu)
bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu
yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah
mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi
kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat
mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena
Allah dan rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya
kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi
mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan meng’adzab mereka
dengan ‘adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali
tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (At
Taubah: 74)
Adapun zindiq, yaitu orang yang berulang
kali kemurtadannya dalam istitabah-nya atau orang yang sering
muncul darinya hal-hal muhtamal dan sindiran, maka madzhab
Malik rahimahullah tidak menerima taubatnya sedangkan madzhab
Asy Syafi’i menerima selamanya. Dan acuan dalam hal ini juga adalah
ijtihad Qadli, dan sangat berpengaruh padanya pertambahan keburukan dan
pelecehan agama di tengah manusia. Bila hal ini ada, maka wajiib
dihadang kerusakannya dan diunggulkan mengamalkan madzhab Malik. Lihat
bahasan tentang zindiq (Al Mughni Ma’asy Syarhil Kabir
10/78-80, Al Furu’ karya Ibnu Muflih Al Hanbaliy 6/170-171, Fathul Bari
12/269-273, Al Umm As Syafi’i 6/156-167, I’lamul Muwaqqi’in 3/112-115,
dan 140-145)
Adapun dalam hukum-hukum akhirat, maka
kapan didapatkan darinya amalan yang mengandung kemungkinan kekafiran, maka
urusannya pada Allah sesuai niatnya. Allah lebih tahu
terhadapnya dan membalasnya, meskipun tidak terbukti sedikitpun padanya
pada hukum-hukum dunia. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Amalan itu hanya tergantung niatnya, dan bagi setiap
orang itu hanyalah yang ia niatkan....” (Muttafaqun
‘Alaihi)
Dan firman Allah ta’ala:
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ
(٩)فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَلا نَاصِرٍ (١٠)
“Pada hari dinampakkan segala
rahasia maka sekali-sekali tidak ada bagi manusia itu sesuatu
kekuatanpun dan tidak pula seorang penolong“. (At
Thariq: 9-10)
Untuk tambahan penjelasan ini silahkan
rujuk:
- Shahih Al Bukhari Kitab Istitabatil Murtaddin Bab “Bila orang Dzimmiy Atau Yang Lainnya Menghina Nabi dengan Sindiran dan Tidak Terangan-terangan” (Fathul Bari 12/280)
- Asy Syifa’ karya Al Qadli ‘Iyadl Pasal Ucapan-ucapan Yang Muhtamal Untuk Menghina Nabi 2/979-999 dan pasal Tahqiqul Qaul Fii Ikfaril Muta-awwilin dan pasal sesudahnya 2/1056-1086 terbitan Isa Al Halabiy
- Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah masalah Lazimul Madzhab Hal Huwa Madzhab juz 20/217-219 dan juz 5/306-307
- Ucapan Ibnul Qayyim dalam masalah Lazimul Madzhab Hal Huwa Madzhab dalam Qashidah Nuniyyahnya dan Syarah Syaikh Muhammad Khalil Harras juz 2/252-258, Maktabah Ibnu Taimiyyah 1407 H
- Al Asybah Wan Nadhair fi Qowaid wa Furu’ Fiqh As Ayafiiyyah karya As Suyuthi bab Al Qaul Fish Sharih Wal Kinayah Wal Ta’ridl halaman 488 dst, terbitan Darul Kitab Al Arabiy 1407 H
- I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim 2/5 (Atsar Dilalatul Hal Fi Tahwilil Kinayah Ilash Sharih)
Kesimpulan:
Bahwa amal (yaitu ucapan dan
perbuatan) menjadi mukaffir
(mengkafirkan) –yaitu menjadi sebab untuk memvonis kafir– dengan dua
syarat:
Syarat dalam dalil syar’i: yaitu
si dalil jelas menunjukkan bahwa pelaku amalan ini adalah kafir dengan
kufur akbar.
Syarat perbuatan mukallaf yaitu
amal yang muncul dari orang tertentu, yaitu amal tersebut jelas
penunjukkan terhadap kekafiran, artinya ia itu mengandung alasan yang
mengkafirkan yang ada dalam dalil syar’i. Dan amal itu jelas dilalahnya
baik semenjak awal mencari kejelasan atau setelah mencari kejelasan
maksud pelakunya atau melihat qarinah-qarinah keadaan dan ‘urf
si pembicara bila amal itu muhtamal dilalah-nya.
Dua syarat ini telah ditunjukkan oleh
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…kecuali kalian
melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti (dalil) dari
Allah di dalamnya“(Muttafaqun ‘alaih)
Sabdanya: “Kekafiran yang nyata” yaitu
jelas dilalahnya terhadap kekafiran, dan ini adalah syarat amal yang
mengkafirkan (amal mukkafir) dan sabdanya “Kalian memiliki
bukti atau dalil dari Allah didalamnya“ yaitu dalil syar’i
yang jelas dan ini syarat dalil mukaffir. Asy Syaukani
berkata: “Sabdanya: “…kalian memiliki bukti (dalil) dari Allah di
dalamnya…“ Yaitu nash ayat atau kabar yang sharih yang tidak
mengandung kemungkinan takwil dan konsekuensinya adalah tidak
boleh memberontak mereka selagi perbuatan mereka mungkin ditakwil”.(Nailul
Authar 7/361)
Inilah, dan mayoritas perselisihan ulama
tentang suatu yang dengannya orang dikafirkan dan tidak dikafirkan
adalah kembali pada syarat ke dua yang lalu, yaitu apakah amal itu jelas
dilalahnya terhadap kekafiran ataukah mengandung ihtimal (kemungkinan)
dan adapun amal yang jelas, maka mereka tidak berselisih di dalamnya
sedangkan yang muhtamal, maka masuklah perselisihan di dalamnya
karena itu adalah tempat ijtihad.
Dan termasuk hal ini adalah apa yang
diutarakan Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafi’i dalam
contoh-contoh riddah dengan ucapan, ia berkata: Maka (contohnya) seperti
bila seseorang berkata tentang musuhnya: “Seandainya ia adalah
tuhan saya, tentu saya tidak akan mengibadatinya”, maka
sesungguhnya ia itu kafir. Dan andai juga ia berkata: “Seandainya ia
adalah nabi, tentulah saya tidak akan beriman kepadanya”. Atau
berkata tentang anaknya, atau istrinya: “Ia lebih saya cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya”. Begitu juga andai
orang sakit berkata setelah ia sembuh: “Saya mendapatkan dalam sakit
saya ini sesuatu yang seandainya saya membunuh Abu Bakar dan Umar tentu
saya tidak berhaq mendapatkannya”, maka sesungguhnya ia kafir.
Sebagian ulama berpendapat bahwa wajib
membunuhnya karena ucapannya mengandung tuduhan bahwa Allah ta’ala
aniaya. Dan masalah pemberian alasan ini masuk dalam gambarannya apa
yang semakna dengannya karena adanya kandungan penyandaran (aniaya),
semoaga Allah ta’ala melindungi kita darinya.
Begitu juga andaikata ia mengklaim bahwa
ia mendapatkan wahyu, walaupun ia tidak mengaku sebagai nabi, atau ia
mengaku bahwa ia masuk surga dan makan dari buah-buahannya serta ia
memeluk bidadari maka ia kafir dengan ijma’. Dan sama dengan ini dan
hal-hal serupa dengannya adalah yang dikatakan kaum zindiq sufi,
–semoga Allah membinasakan mereka–, alangkah bodohnya mereka dan
alangkah kafirnya mereka serta alangkah sesatnya orang-orang yang
meyakini mereka, seandainya mencela salah seorang nabi atau
melecehkannya, maka ia kafir berdasarkan ijma’. Di antara
gambaran-gambaran perolok-olokan adalah apa yang muncul dari orang-orang
yang zhalim saat menyiksa orang, terus orang yang disiksa itu meminta
tolong kepada penghulu manusia terdahulu dan kemudian shalallahu
‘alaihi wa sallam[1],
maka si zhalim itu berkata: “Biarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam menyelamatkanmu dan yang lainnya”
Seandainya seseorang mengatakan: “Saya
nabi“ dan orang lain berkata “Ia benar“, maka keduanya
kafir dan seandainya ia berkata “Hai kafir“ tanpa takwil, maka
ia kafir, karena ia telah menamakan Islam sebagai kekafiran dan ucapan
ini sering muncul, maka hendaklah orang waspada terhadapnya.
Seandainya ia berkata, “Bila anak
saya mati, maka saya akan masuk Yahudi atau Nashrani”, maka ia
kafir saat itu pula. Dan seandainya orang kafir yang ingin masuk Islam
meminta dia untuk mentalqinkan kalimat tauhid, kemudian ia malah
mengisyaratkan kepadanya agar tetap (di atas agamanya), maka ia kafir,
begitu juga bila ia tidak mentalqinkan kalimat tauhid maka ia kafir.
Dan andai kata ia mengisyaratkan kepada
orang muslim untuk kafir, maka ia kafir begitu juga seandainya dikatakan
kepadanya “Potonglah kukumu atau kumismu karena ia sunnah”,
kemudian ia malah berkata: “Saya tidak akan melakukan meskipun ia
sunnah”, maka ia kafir, hal ini dikatakan Ar Rafi’iy dari para
sahabat Abu Hanifah dan ia mengikuti mereka. An Nawawiy
berkata: “Pendapat yang terpilih adalah ia tidak kafir, kecuali ia
memaksudkan perolok-olokan, Wallahu A’lam”. Bila dua orang
berbantah-bantahan, terus salah satunya mengatakan: “Laa haula wala
quwwata illaa billah”, maka yang satu mengatakan: “Laa haula
walaa quwwati tidak bermanfat dari lapar”, maka dia kafir.
Dan seandainya ia mendengar adzan muadzin, terus ia berkata: “Sesungguhnya
ia itu dusta!”, maka ia telah kafir. Dan jika
ia berkata: “Saya tidak takut kiamat” maka ia kafir.
Seandainya ia tertimpa musibah terus
berkata: “Dia (Allah) telah mengambil harta saya, anak saya
ini dan itu, dan apa yang Dia lakukan juga, serta tidak tersisa apa
yang Dia lakukan” maka dia kafir. Dan seandainya ia memukul budak
dan anaknya terus seseorang berkata kepadaanya: “Bukankah kamu
muslim” dan dia menjawab “bukan“ secara sengaja maka dia
kafir.
Seandainya seseorang berkata kepadanya: “Hai
Yahudi dan Nashrani” kemudian ia menjawab “Ya, ada apa?”,
maka ia kafir. Begitulah Ar Rafi’iy menukilnya dan ia mendiamkannya dan
An Nawawiy berkata: “Dalam hal ini perlu ditinjau bila ia tidak
meniatkan apapun, Wallahu A’lam. Seandainya pengajar anak-anak berkata: “Sesungguhnya
orang-orang Yahudi lebih baik daripada kaum muslimin karena mereka
memenuhi kebutuhan para pengajar anak-anak mereka” maka ia kafir.
Begtulah Ar Rafi’iy menukilnya dari para sahabat Abu Hanifah
radliallahu’anhum dan ia mendiamkannya dan diikuti oleh An Nawawiy. Saya
berkata: “Dan kata-kata ini sering terjadi muncul dari tukang kuli dan
para mencari upah. Dan dalam takfir dengan sebab itu perlu ditinjau
karena pengeluaran muslim dari agamanya dengan lafadz yang mengandung
kemungkinan benar apalagi adanya qarinah yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud adalah bahwa perlakuan orang ini lebih baik dari
perlakuan ini, apalagi bila ia menegaskan bahwa ia adalah maksudnya atau
terjatuh dalam kata yang jelas seperti masalah yang dinukilkan wallahu
‘alam”. Selesai.
Ini adalah contoh riddah dengan ucapan
dan seperti apa yang engkau lihat bahwa apa yang dimasuki banyak
kemungkinan dari contoh-contoh itu pendapat-pendapat ulama berselish di
dalamnya takfir dengannya. Dan ini juga terjadi pada perbuatan-perbuatan
yang dilalahnya muhtamal dan di antara apa yang dituturkan Abu
Bakar Al Hishniy setelah ucapannya berlalu.
Beliau berkata: “Dan adapun kekafiran
dengan perbuatan, maka seperti sujud kepada berhala, matahari dan bulan,
melemparkan mushhaf, begitu juga sembelihan (tumbal/sesajen) untuk
berhala, memperolok-olok salah satu nama dari nama-nama Allah ta’ala
atau terhadap perintah-Nya atau ancaman-Nya atau membaca Al Quran dengan
tabuhan rebana, dan begitu juga andai ia meminum khamr dan melakukan
zina dan ia menyebut nama Allah (bismillah) sebagai bentuk pelecehan
maka sesungguhnya ia adalah kafir”.
Ar Rafi’iy telah menukil dari para
sahabat (pengikut) Abu Hanifah bahwa andai ia mengenakan zanar
(ikat pinggang khusus untuk orang kafir) di pinggangnya maka ia kafir.
Ia berkata: “Mereka berselisih tentang orang yang mengenakan peci
Majusi di atas kepalanya dan pendapat yang shahih adalah bahwa ia kafir”.
Seandainya ia mengikatkan seutas tali dipinggangnya terus ia ditanya
tentangnya kemudian dia berkata “ini zanar”, maka mayoritas
mereka mengatakan bahwa ia kafir dan Ar Rafi’iy diam terhadap hal itu
dan An Nawawiy berkata: ”Yang tepat adalah ia itu tidak
kafir bila ia tidak memiliki niat. Apa yang dituturkan An Nawawiy
dituturkan juga oleh Ar Rafi’iy di dalam Ausal Al Jinayat
di bagian ke empat yang intinya sejalan dengan An Nawawiy dan bahwa
mengenakan pakaian orang-orang kafir (seragam) dengan sekedar itu saja
tidak merupakan kemurtadan”.
Ar Rafi’iy telah menukil dari para
pengikut Abu Hanifah bahwa orang fasiq bila memberi minum khamr kepada
anaknya terus karib kerabatnya menaburkan uang dirham, maka sesungguhnya
mereka itu kafir dan Ar Rafi’iy mendiamkannya. An Nawawiy
berkata: “Yang tepat adalah mereka tidak kafir. Dan seandainya ia
melakukan perbuatan yang kaum muslimin bahwa itu tidak muncul kecuali
dari orang-orag kafir maka ia kafir walaupun terang-terangan mengaku
Islam sedang ia melakukannya seperti sujud kepada salib, atau berjalan
ke gereja bersama jemat gereja dengan seragam mereka seperti zanar dan
yang lainnya“. Selesai.(Kifayatul Akhyar
2/123-124)
Bila engkau mengamati mukaffirat
(hal-hal yang mangkafirkan) yang bersifat ucapan dan perbuatan sedang
ia adalah sekedar contoh dari banyak contoh yang ada di dalam bab-bab
riddah di dalam kitab-kitab fiqh, maka jelaslah di hadapanmu pelecehan
banyak manusia terhadap urusan-urusan yang mana ia adalah termasuk
pembatal-pembatal keislaman. Dan ini tidak lain adalah dengan merebaknya
kebodohan dan tipisnya agama. Anas Ibnu Malik berkata: “Sesungguhnya
kalian melakukan amalan-amalan yang lebih lembut bagi kalian dari pada
rambut, padahal kami menganggapnya pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam termasuk hal-hal yang membinasakan“(HR. Bukhari)
Ini adalah yang berkaitan dengan
penjelasan ucapan saya -dalam kaidah Takfir- dengan sebab ucapan mukaffir
atau perbuatan mukaffir, dan bagaimana ucapan atau perbuatan
itu memenuhi syarat-syarat sifatnya bahwa ia mukaffir ?
Faidah
Seseorang tidak masuk dalam
iman, kecuali dengan sejumlah amalan akan tetapi ia keluar darinya
–yaitu kafir– dengan satu amalan saja. Dan yang dimaksud di
sini adalah iman haqiqiy yang bermanfaat bagi pemiliknya di
akhirat, bukan Iman hukmiy yang semakna dengan Islam hukmiy
yang berlaku terhadapnya hukum-hukum dunia, karena iman hukmiy
ini orang masuk ke dalamnya dengan dua kalimat syahadat.
Adapun iman haqiqiy maka
seseorang hamba tidak masuk ke dalamnya sampai ia mendatangkan ashlul
iman, sedangkan telah lalu penjelasan bahwa ashlul iman, sedangkan telah
lalu penjelasan bahwa ashlul iman terdiri dari sejumlah amalan-amalan
hati, lisan dan anggota badan. Dimana wajib atas hati untuk ma’rifah
(mengetahui), tasdhiq (pembenaran) dan sebagian
amalan-amalan hati seperti inqiyad (ketundukan), kecintaan,
ridha, dan penyerahan diri (taslim) kepada Allah ta’ala. Sedang
atas lisan wajib ikrar dua kalimah syahadat dan wajib atas anggota
badan hal-hal yang orang dikafirkan dengan sebab meninggalkannya berupa
amalan-amalan seperti shalat dan ke dalamnya banyak para ulama
memasukkan rukun-rukun Islam yang lainnya.
Akan tetapi orang keluar dari iman yaitu
ia kafir dengan sebab satu amalan saja –bukan dengan sejumlah amalan–.
Bila dia mendatangkan ucapan dan perbuatan atau keyakinan mukaffir,
maka ia kafir dengan sebab hal itu sebagaimana telah lalu
penjelasannya. Dan tidak disyaratkan untuk kekafirannya lenyapnya
seluruh cabang-cabang keimanan dhahir yang ada padanya –meskipun ia
lenyap secara hakikat– dan ini menunjukkan bahwa sebagian orang yang
dihukumi kafir bisa saja memiliki amalan-amalan shalih secara dhahir,
sedang itu tidak menghalangi untuk mengkafirkan mereka bila ada hal yang
menuntut hal itu.
Faidah ini memiliki contoh-contoh
bandingan dalam fiqh: shalat tidak sah dan tidak terpenuhi kecuali
dengan kumpulan dari syarat-syarat, rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban
seperti wudhu, menutupi aurat, menghadap kiblat, niat, berdiri, ruku’,
sujud, dan yang lainnya, akan tetapi ia batal dengan satu amalan saja,
barangsiapa berhadats di tengah-tengah shalat maka batallah shalatnya.
Haji tidak sah kecuali dengan kumpulan
rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban, tetapi ia (dapat) rusak dengan satu
amalan saja seperti jima’.
Bila seorang hamba melakukan amalan
shalih seumur hidupnya lalu ia kafir dengan suatu ucapan atau perbuatan
atau keyakinan dan dia mati di atasnya, maka lenyaplah seluruh amalan
shalihnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ
عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ
فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ (٢١٧)
“Barangsiapa di antara kamu murtad
dari agamanya, terus dia mati dalam keadaan kafir, maka lenyaplah
amalan-amalan mereka di dunia dan akhirat dan mereka itu para penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.“(Al Baqarah: 217)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang beramal dalam waktu
yang panjang dengan amalan ahli surga, kemudian diakhiri baginya
amalannya dengan amalan ahli neraka dan sesugguhnya seseorang beramal
dalam waktu yang panjang dengan amalan ahli neraka kemudian diakhiri
baginya amalannya dengan amalan ahli surga.“(HR
Muslim dari Abu Hurairah radliallahu’anhu,
sedang asal hadits dalam Ash Shahihain dari hadits
Ibnu Mas’ud radliallahu’anhu.)
Faidah Lain
Perbedan antara takfir
muthlaq (kufur nau’)
dengan takfir mu’ayyan (kufur ‘ain)
dengan takfir mu’ayyan (kufur ‘ain)
Takfir muthlaq adalah penerapan
vonis kafir terhadap sebab saja (yaitu mendatangkan ucapan mukaffir
atau perbuatan mukaffir) maka dikatakan: “Siapa
yang mengatakan ini, maka ia kafir dan barangsiapa melakukan ini maka ia
kafir”, yaitu mengetahui hukum secara muthlaqtanpa
menerapkan hukum kafir itu terhadap orang tertentu meskipun ia telah
mendatangkan sebab ini. Takfir muthlaq ini adalah apa yang
telah kami bicarakan pada point-point yang lalu dalam kaidah takfir.
Adapun takfir mu’ayyan
maka ia adalah memvonis kafir orang tertentu yang telah
melakukan sebab (ucapan atau perbuatan mukaffir). Dan ini di
samping apa yang telah lalu penjelasannya –yaitu memastikan keterbuktian
sifat kufur pada ucapan atau perbuatannya– memastikan untuk
memperhatikan keterbuktian sebab ini terhadap pelakunya dan
kekosongannya dari penghalang-penghalang hukum.
Dengan ucapan yang lain bisa dikatakan
bahwa perbedan antara kedua macam ini adalah:
- Bahwa takfir muthlaq adalah penentuan kejahatan suatu perbuatan dan di dalamnya hanya melihat satu hal saja. Yaitu sebab yang mengkafirkan saja dari sisi keterpenuhannya akan syarat-syarat ia untuk bisa dikatakan mukaffir dari sisi dalil syar’i dan dari sisi kepastian indikasi perbuatan itu sendiri.
- Adapun takfir mu’ayyan maka ia adalah penentuan kejahatan si pelaku dan ini di dalamnya melihat pada dua hal: penentuan kejahatan suatu perbuatan sebagaimana yang telah lalu dan memamandang pada keadaan pelakunya dari sisi keterbuktian perbuatan terhadapnya dan ketidakadaan penghalang-penghalang hukum padanya.
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar