”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisa ayat 59)
Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil
Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian
selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah
yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah yang
menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan
siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan
yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.
Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa
ayat 59)
...Pemimpin yang memakai konstitusi selain Al-Qur'an dan As-Sunnah,
tak layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. Mereka
pantas dijuluki sebagai Mulkan Jabriyyan...
Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang
sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan
yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).
Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan
rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah
Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurat ayat)
Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah
Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik
mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita
beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang
mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya
mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang
mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka.
Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu
benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut
kembali...!”
Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal
mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segenap perkara yang
diperselisihkan.
Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem hidup yang
diberlakukan di berbagai negara –baik negara mayoritas penduduknya
Muslim maupun Kafir- ialah mengembalikan segenap urusan yang
diperselisihkan kepada selain Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).
Tidak kita jumpai satupun tatanan kehidupan modern yang jelas-jelas
menyebutkan bahwa ideologi yang diberlakukan ialah ideologi Islam yang
intinya ialah mendahulukan berbagai ketetapan Allah dan Rasul-Nya
sebelum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan semua negara
modern yang eksis dewasa ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain
Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama
kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah manusia mampu merumuskan
konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama
konstitusi yang datang dari Allah subhaanahu wa ta’aala.
Bila demikian keadaannya, berarti tidak ada satupun pemimpin negeri
di negara manapun yang ada dewasa ini layak disebut sebagai Ulil Amri
Minkum yang sebenarnya. Pantaslah bilamana mereka dijuluki sebagai
Mulkan Jabriyyan sebagaimana Nabi shallallahu ’alaih wa sallam
sebutkan dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa
yang memaksakan kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah
dan RasulNya.
Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah menjadikan
para pemimpin tersebut sebagai para Thoghut, yaitu pihak selain Allah
yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku melampaui batas sehingga
menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi
min dzaalika.
Keadaan ini mengingatkan kita akan peringatan Allah mengenai kaum
munafik yang mengaku beriman namun tidak kunjung meninggalkan ketaatan
kepada Thoghut. Padahal Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk
meninggalkan para Thoghut bila benar imannya.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا
بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ
يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan
kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa ayat 60)
Sungguh dalam kelak nanti di neraka penyesalan mereka yang telah
mentaati para pembesar dan pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan
Rasul-Nya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan segenap perkara
kehidupan.
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا
لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا وَقَالُوا رَبَّنَا
إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا
رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا
كَبِيرًا
”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka,
mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah
dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang
benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat
dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS Al-Ahzab ayat
66-68).
....Terhadap pemimpin yang menolak syariat Islam sebagai
undang-undang, maka berlepas diri darinya adalah syarat syahnya
keimanan...
Kita diwajibkan untuk taat kepada orang dalam perkara yang ma'ruf.
Dan tidak ada ketaatan dalam hal yang munkar. Tidak ketaatan kepada
makhluk dalam masalah kemaksiatan kepada Khaliq (Allah). Begitu sabda
Nabi shallallahu 'alihi wasallam menjelaskan.
Sebaliknya kepada kemungkaran kita diwajibkan untuk mengingkarinya
dengan tangan, jika tidak mampu dengan lisan, dan jika tidak mampu
wajib ingkar dengan hati. Itulah selemah-lemahnya iman. Bukan malah
mendukung dan membelanya.
Sesungguhnya di antara macam syirik adalah syirik dalam ketaatan.
Yaitu taat kepada makhluk dalam masalah penetapan syariat (aturan) yang
bertentangan dengan syariat Allah, di antaranya halal dan haram. Zina
diharamkan oleh Allah. Siapa yang membolehkannya dengan dilokalisasi
berarti telah menghalalkan yang diharamkan Allah.
Hak menetapkan syariat hanya milik Allah. Syariat yang Allah
tetapkan untuk diberlakukan adalah Islam. Maka menerapkan syariat Islam
adalah wajib hukumnya. Sedangkan menolak hukum Islam dan mengambil
aturan selain Islam, walau itu disepakati rakyat, adalah bagian dari
memberikan hak tasyri' kepada selain Allah. Itu kesyirikan dan
kekufuran.
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
"...dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik." (QS. Al-An'am: 121)
Imam as-Sudi dalam menafsiri ayat ini menjelaskan, "Sesungguhnya
orang-orang musyrik berkata kepada kaum mukminin, 'bagaimana bisa
kalian mengaku mengikuti keridhaan Allah, sedangkan apa yang Allah
sembelih (matikan) kalian tidak mau memakannya, namun yang kalian
sembelih sendiri kalian mau memakannya? Maka Allah berfirman,
(artinya): "Jika kalian menaati mereka" lalu kalian memakan
bangkai, "sungguh kalian telah menjadi musyrik." (lihat Tafsir
Ibnu Katsir).
Maka siapa yang mentaati pemimpin yang menolak syariat Islam, telah
menjadikan pemimpin tadi sebagai tandingan bagi Allah dalam ketaatan.
Siapa melakukannya telah menjadi musyrik.
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ
اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا
"Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus." (Q. al-Baqarah: 256)
Thaghut adalah setiap yang diibadahi selain Allah dan dia ridha, di
antaranya ibadah dalam bentuk ketaatan. Dia ridha, bahkan memaksa
ditaati, dalam masalah yang bertentangan dengan syariat Islam. Terlebih
menolak syariat Islam sebagai undang-undang. Maka berlepas diri
darinya adalah syarat syahnya keimanan. Wallahu A'lam bi
ash-Shawab!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar