Dlawabit (batasan-batasan) Takfir #6
Sub Bahasan Ke Empat:
Kekeliruan-Kekeliruan
Yang Sering Terjadi Dalam Masalah Takfier
Ia adalah kekeliruan-kekeliruan yang
umum dan tersebar dalam buku-buku dan pada ucapan-ucapan ahli kalam di
dalam materi takfier dan ia itu sedikit dari kalangan orang terdahulu,
namun banyak dari kalangan orang-orang masa kini. Dan kekeliruan ini
menghantarkan kepada takfier orang muslim atau tidak takfier orang
kafir. Di antaranya:
- Takfir dengan dalil yang muhtamal (yang mengandung kemungkinan).
- Takfier dengan sebab ‘amal muhtamal.
- Mencampurkan antara pemaksudan amal yang mengkafirkan dengan pemaksudan kekafiran.
- Mencampuradukkan antara sebab kekafiran dengan macam kekafiran.
- Dan pensyaratan kekafiran hati untuk memvonis kafir.
Inilah penjelasannya secara ringkas:
(1) Takfier
dengan dalil-dalil syar’iy yang muhtamal dilalah-nya.
Yaitu bentuk-bentuk ungkapan yang
sebagiannya telah kami isyaratkan sebelumnya dalam (pembahasan, ed.)
syarat-syarat suatu ucapan atau perbuatan dikatakan bahwa ia mukaffir
(mengkafirkan) seperti dosa-dosa yang mana pelakunya disebut ‘bahwa
ia tidak beriman’ atau ‘maka ia telah kafir’ atau ‘bukan
termasuk golongan kami’ dan yang lain. Sungguh Khawarij telah
membawa semua bentuk-bentuk ungkapan tadi –bahkan semua bentuk-bentuk
ancaman (wa’id)– terhadap kakafiran akbar padahal ia itu mengandung
kemungkinan kekafiran dan bukan kekafiran. Dan rincian ini semuanya
dalam kitab saya Al Hujjah Fi Ahkam Al Millah Al Islamiyyah.
(2) Takfir
dengan sebab ‘amal (ucapan dan perbuatan) yang muhtamal dilalah-nya
tanpa melihat maksud orangnya.
Dan ini adalah yang dibuatkan bab
baginya oleh para ulama dengan judul (Ikfar Al Muta’awwilin/pengkafiran
orang-orang yang melakukan takwil) dan masalah Laazimul Madzhab
sebagaimana yang sudah saya utarakan sebelumnya dalam penjelasan kaidah
takfir.
(3) Mencampuradukkan
antara qadladul ‘amal al mukaffir (pemaksudan melakukan
perbuatan yang mengkafirkan) dengan qadldul kufri (pemaksudan
untuk kafir).
Sebagian orang yang mengisyaratkan qashdul
kufri untuk memvonis kafir dan bahwa seseorang bagaimanapun ia
mendatangkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan,
maka ia tidaklah kafir selama tidak bermaksud untuk kafir dengan hal
ini. Dan syarat ini secara selintas bisa saja ia nampak benar
berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Amalan
itu tergantung niatnya dan bagi setiap orang itu apa yang ia niatkan…”(Muttafaq
‘alaih), akan tetapi perbedaan antara dua macam
dari niat atau maksud itu –bersama dalil dalil yang lain– adalah
menjelaskan bahwa ia adalah: orang mengucapkan ucapan yang
mengkafirkan sambil memaksudkannya, yaitu ia menyengaja lagi tidak
keliru (lidah), maka maksud ini adalah dianggap dan wajib menjadi syarat
untuk memberi sanksi orangnya dengan sebab ucapannya itu. Dan
peninjauan pada qarinah-qarinah keadaan yang menyertainya memiliki
pengaruh yang penting dalam membedakan orang yang sengaja dari orang
yang keliru mengucap (terpeleset lidah) sebagaimana yang akan datang
dalam hadits laki-laki yang kehilangan hewan kendaraannya. Dan macam ke
dua dari maksud itu adalah orang bermaksud kafir dengan ucapan mukaffir
yang sengaja ia lontarkan, maka maksud ini tidaklah dianggap dan
bukanlah syarat untuk menghukumi kafir orang yang mengucapkannya
sebagaimana yang kami utarakan dengan dalil-dalilnya.
Dan untuk mendekatkan masalah ini, kami
akan menuturkan apa yang dikatakan oleh Al Qadli Syihabuddin
Al Qarrafiy dalam kaidah (Apa yang disyaratkan dalam talaq
berupa niat dengan kaidah apa yang tidak disyaratkan), beliau rahimahullah
berkata: “Ketahuilah, bahwa niat itu (adalah) syarat dalam hal sharih
secara ijma dan ia bukan syarat di dalamnya secara ijma. Dan dalam
pensyaratannya ada dua pendapat. Dan inilah intisari ucapan yang ada
dalam kitab-kitab para fuqaha, sedang ia adalah nampak kontradiksi,
namun padahal tidak ada kontradiksi di dalamnya. Manakala para fuqaha
mengatakan bahwa niat adalah syarat dalam hal sharih, maka mereka
memaksudkan qashd (tujuan/maksud) untuk melontarkan
ucapan, sebagai pengeluaran dari keceplosan lidah terhadap apa yang
dimaksud, seperti istri seseorang bernama Thariq terus ia memanggilnya
dengan lisannya keceplosan di mana ia memanggilnya “hai Thaliq” (yang
dicerai), maka si laki-laki tidak terkena apa-apa karena ia tidak
bermaksud pada kata itu.
Dikala fuqaha itu mengatakan “niat bukan
syarat di dalam hal sharih”, maka maksud mereka adalah qashd untuk
menggunakan ucapan pada makna thalaq, maka sesungguhnya ia
tidak disyaratkan dalam (kata) yang sharih (jelas) secara ijma, namun
itu termasuk kekhususan kata-kata kinayah (sindiran), dengannya
ia memaksudkan thalaq, dan adapun yang sharih maka tidak”. (Al
Furuq: 3/163).
Maka begitu juga ucapan yang sharih
(jelas) dilalahnya terhadap kekafiran, disyaratkan di dalamnya maksud
mengucapkan yaitu menyengajanya untuk mengeluarkan (kata yang muncul)
dari keceplosan lidah, dan tidak disyaratkan maksud untuk kafir
dengannya. Bahkan sesungguhnya maksud yang dianggap dalam
menentukan apa yang diinginkan dari amalan-amalan yang muhtamal
dilalah-nya terhadap kekafiran adalah bukan maksud untuk
kekafiran dengannya. Seandainya seseorang menyembelih hewan di sisi
kuburan dan tidak diketahui untuk siapa dia menyembelih, dan ia ditanya
tentang maksudnya, terus dia berkata: “Saya menyembelih untuk
penghuni kuburan ini, mudah-mudahan ia melenyapkan kesulitan saya”.
Tentu ia kafir dengan hal itu. Dan tidak akan disyaratkan dia ditanya
setelah itu apa kamu bermaksud untuk kafir dengan perbuatan kamu ini
ataukah tidak? Dan saya telah mengisyaratkan kepada hal ini saat
berbicara tentang hal-hal yang muhtamal.
Adapun menurut orang-orang yang
mensyaratkan maksud untuk kafir dengan amalan mukaffir: maka seandainya
seseorang menghina Allah dan Rasul-Nya, atau ia berkata: “Saya tidak
mengira Allah akan membangkitkan orang yang dikubur,” atau
mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah Isa Al Masih Ibnu Maryam”,
dan ucapan-ucapan yang mengkafirkan lainnya, dan ia mengatakan: “Hati
saya tidak meyakini suatu apapun dari hal itu dan dada saya tidak
lapang dengan kekafiran serta saya tidak memaksudkan kekafiran dengan
ucapan-ucapan ini”, maka orang ini tidak kafir menurut orang-orang
yang mensyaratkan qashdul kufri (maksud untuk kafir) dengan
amalan yang mengkafiran, dan bahwa ia itu mesti bermaksud untuk kafir.
Dan ini adalah syarat yang rusak dan bisa saja itu
menjadi hilah (alasan busuk) yang dengannya
setiap orang kafir membela dirinya sendiri setiap melakukan kekafiran,
sedangkan yang benar adalah bahwa orang yang mengucapkan suatu dari
ucapan-ucapan tadi adalah telah kafir, meskipun dia berkata saya tidak
bermaksud untuk kafir. Dan pensyaratan qashdul kufri dengan
amalan yang mengkafirkan adalah syarat yang batil yang tertolak oleh
nash-nash syar’iy dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata: “Barangsiapa melakukan sesuatu amalan yang tidak ada urusan
kami di atasnya, maka ia tertolak”. (HR. Muslim).
Sedangkan dalil yang membongkar
kebatilan syarat ini adalah:
A. Firman-Nya Subhanahu
Wa Ta’ala:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ
وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥) لا تَعْتَذِرُوا
قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada
mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan
menjawab: “sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main
saja,” katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu
kafir sesudah beriman” (At Taubah:65-66)
Orang-orang yang disebutkan itu telah
mengucapkan ucapan mukaffir –yaitu perolok-olokan itu– dan mereka tidak
bermaksud untuk kafir dengannya dengan bukti penuturan mereka akan
alasan bahwa “kami hanyalah bersenda gurau dan main-main saja”,
dan Allah tidak mendustakan mereka dalam penuturan alasan mereka itu,
maka ini menunjukan bahwa mereka itu memang bermain-main dan tidak
bermaksud untuk kafir dengan ucapan mereka itu, akan tetapi alasan ini
tidak menghalangi dari memvonis mereka kafir dengan sekedar ucapan
mereka itu, sebagaiman firman Allah ta’ala “tidak usah kamu meminta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. Ibnu Taimiyyah
berkata tentang ayat ini: “Dia, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
telah mengabarkan bahwa mereka itu telah kafir setelah beriman, padahal
mereka itu mengatakan “Sesungguhnya kami mengucapkan kekafiran ini tanpa
ada keyakinan terhadapnya, namun kami hanya bersenda gurau dan
bermain-main”. Dan Dia ta’ala menjelaskan bahwa memperolok-olok terhadap
ayat-ayat Allah adalah kekafiran, sedangkan ini tidak terjadi kecuali
orang yang melapangkan dadanya dengan ucapan ini. Dan seandainya iman
ada di hatinya tentu ia menghalanginya dari mengucapkan ucapan ini” (Majmu
Al Fatawa: 7/220)
Ibnu Taimiyyah
menuturkan ayat-ayat yang lalu dan berkata: “Maka ini menunjukan bahwa
mereka itu pada dirinya tidak merasa telah melakukan kekafiran, bahkan
justru mereka menduga bahwa hal itu bukanlah kekafiran, maka Dia Subhaanahu
Wa Ta’ala menjelaskan bahwa perolok-olok terhadap Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang mana pelakunya
dikafirkan dengannya setelah ia beriman yang lemah, maka ini menunjukan
bahwa pada diri mereka ada iman yang lemah. Mereka melakukan hal yang
diharamkan ini yang mereka ketahui bahwa itu diharamkan, namun mereka
tidak menduga bahwa itu kekafiran, dan ternyata kekafiran yang mereka
menjadi kafir dengannya, maka sesungguhnya mereka tidak menyakini
kebolehannya”. (Majmu Al Fatawa: 7/273).
Ayat ini adalah nash dalam memutus
perselisihan, yang menggugurkan pernyatan qashdul kufri untuk
memvonis kafir, yaitu menggugurkan pensyaratan niat kafir, sebagaimana
nash ini menunjukkan bahwa rujukan dalam memvonis terhadap ucapan dan
perbuatan adalah kepada syari’at bukan kepada apa yang diduga oleh
menusia dengan amalan-amalan mereka.
- B. Dalil lain: yaitu bahwa telah terbukti dengan nash-nash Qur’aniyyah bahwa banyak orang-orang kafir berbaik sangka terhadap amalan-amalan dan keyakinan-keyakinan yang mereka anut serta mereka mengira baik pada diri mereka dan bahwa mereka itu lebih lurus jalannya dari pada orang-orang yang beriman. Dan bila mereka melihat orang-orang yang beriman maka mereka mengatakan: Sesungguhnya mereka adalah orang-orang sesat, dan mereka juga memperolok-olok kaum mukminin. Kemudian bila kita berlakukan syarat yang rusak ini terhadap orang-orang kafir itu dan kamu katakan pada salah seorang dari mereka: “Apa kamu bermaksud kafir dengan apa yang kamu lakukan?” tentulah ia berkata: “Justru kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk“ atau “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Dan seandainya kamu berkomitmen dengan syarat yang rusak ini dan kamu membenarkan dia pada ucapannya tentulah kamu telah mendustakan ayat-ayat Allah dan khabar Allah ta’ala dan tentulah kamu tergolong orang-orang yang kafir dengan sebab kamu mendustakan khabar Allah. Dan ini cukup dalam menjelaskan kerusakan syarat ini. Dan hal ini telah diingatkan oleh Syaikhul Mufassirin Ath Thabariy dalam tafsirnya terhadap firman Allah ta’ala:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا (١٠٣) الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (١٠٤)
أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (١٠٥)
“Katakanlah: “Apakah akan kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.Mereka itulah orang-orang yang kafir terhadap
ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka
hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian
bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.”(Al Kahfi:
103-105)
Ibnu Jarir Ath Thabariyrahimahullah
berkata dalam tafsirnya: “Dan ini termasuk dalil jelas terhadap
kekeliruan orang yang mengklaim bahwa tidak kafir terhadap Allah
seorangpun, kecuali bila dia bermaksud kafir setelah mengetahui
keEsaan-Nya, dan itu dikarenakan Allah yang Maha Agung telah mengabarkan
tentang orang-orang yang Dia sebutkan sifatnya dalam ayat ini bahwa
amalan mereka lakukan di dunia ini lenyap sia-sia, padahal dahulu mereka
menyangka bahwa mereka itu sudah berbuat baik dalam amalannya itu, dan
Dia menggambarkan tentang mereka bahwa merekalah orang-orang yang kafir
terhadap ayat-ayat Tuhan mereka. Dan seandainya pendapat yang benar
adalah seperti pendapat orang-orang yang mengklaim bahwa tidak
seorangpun kafir kepada Allah, kecuali dari arah dia mengetahui, tentu
wajiblah orang-orang yang dalam amalannya telah Allah kabarkan tentang
mereka itu bahwa mereka dahulu menyangka telah berbuat sebaik-baiknya,
(wajiblah) mereka itu mendapat pahala atasnya, namun pendapat yang benar
adalah menyelisihi apa yang mereka katakan, di mana Allah ta’ala
mengabarkan tentang mereka bahwa mereka itu kafir terhadap Allah dan
bahwa amalan mereka itu hapus”. (Jami’ul Bayan: 16/34-35).
Sebagaimana telah mengingatkan
terhadapnya Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah
dalam ucapannya tentang orang yang melontarkan kalimat kekafiran,
sedangkan dia tidak mengetahui bahwa ia membuatnya kafir, beliau
berkata: “Dan adapun keberadaanya tidak mengetahui bahwa itu membuatnya
kafir, maka cukup di dalamnya firman Allah ta’ala:
لا تَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu telah kafir sesudah beriman” (At Taubah: 66),
mereka meminta maaf dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
seraya menyangka bahwa kalimat itu tidak membuatnya kafir. Dan sungguh
mengherankan orang yang membawanya terhadap ini sedangkan ia mendengar
firman-Nya:
وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُونَ صُنْعًا (١٠٤)
“Sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya” (Al Kahfi:104)
فَرِيقًا هَدَى وَفَرِيقًا
حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلالَةُ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ (٣٠)
“Sesungguhnya mereka menjadikan
syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira
bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf: 30),
وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ
عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ (٣٧)
“Dan sesungguhnya syaitan-syaitan
itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka
menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.”(Az Zukhruf: 37)Apa
dia mengira mereka itu tidak kafir…?? Janganlah kamu mengingkari
kebodohan yang nyata akan masalah-masalah ini karena keterasingannya” (Ad
Durrar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah Juz 8 kitab Murtad: hal
105). Dan di tengah ucapan beliau saya sudah menambahkan
tempat-tempat ayat dan nomor-nomornya. Dan di samping ayat-ayat yang
beliau tuturkan saya menambahkan beberapa ayat, di antaranya firman-Nya
ta’ala:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ
وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani
berkata: Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya” (Al
Maidah: 18) dan firman-Nya ta’ala:
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ
الْجَنَّةَ إِلا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى
“Dan mereka berkata: “Tidak akan
masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani.” (Al
Baqarah: 111), jadi keyakinan orang kafir bahwa dia itu
berbuat baik dan bahwa dia itu mendapat petunjuk atau bahwa dia itu
termasuk ahli surga tidaklah menghalangi dari mengkafirkannya bila
kekafirannya telah terbukti dengan dalil. Dan di samping itu
sesungguhnya keyakinan dia bahwa dia itu orang yang berbuat baik pada
dasarnya adalah hukuman yang bersifat taqdir (‘uqubahqadariyyah)
baginya dari Allah, supaya dia terus di atas kesesatan dan
keterpurukannya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَقَيَّضْنَا لَهُمْ قُرَنَاءَ
فَزَيَّنُوا لَهُمْ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَحَقَّ
عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ
الْجِنِّ وَالإنْسِ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ (٢٥)
“Dan kami tetapkan bagi mereka
teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di
hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah di atas mereka keputusan
‘adzab pada umat-umat terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia:
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi” (Fushshilat:
25)
Dan firman-Nya ta’ala:
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ
الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ (٣٦)
وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
مُهْتَدُونَ (٣٧)
“Barangsiapa yang berpaling dari
pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), maka Kami adakan baginya
syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar
menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa
mereka mendapat petunjuk.”(Az Zukhruf: 36-37)
Maka bagaimana ‘uqubah qadariyyah
ini dianggap sebagai penghalang dari vonis syar’iyy kafir terhadap
mereka…?
C. Dalil ke tiga:
yaitu ayat An Nahl (Barangsiapa kafir kepada Allah
sesudah beriman) dan insya Allah akan datang penjelasan Ibnu
Taimiyyah di dalamnya nanti….
Kesimpulan (khulashah):
Bahwa qashd (maksud/tujuan) yang dianggap dalam takfir adalah qashdul
‘amal al mukafirr (memaksudkan–untuk
melakukan– amalan yang mengkafirkan) yaitu menyengajanya, bukanqashdul
kufri (maksud untuk kafir) dengannya. Ibnu Taimiyyah
telah menjelaskan perbedaan ini dengan ungkapan yang paling ringkas, di
mana beliau berkata: “Dan secara umum, barangsiapa mengatakan atau
melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran, maka ia kafir dengan hal
itu, meskipun ia tidak bermaksud untuk kafir, karena tidak
seorang pun bermaksud kafir, kecuali apa yang Allah kehendaki” (Ash
Sharimul Maslul: 177-178).
Al Bukharirahimahullah
telah membuat bab untuk masalah ini –yaitu tidak
diisyaratkannya maksud kafir untuk vonis kafir– dalam Kitabul
Iman dari Shahihnya di bab (ketakutan orang
mukmin dari terhapusnya amalannya sedang dia tidak merasa) (Fathul
Bari: 1/106). Dan dalam syarah hadits-hadits Khawarij dan di
dalamnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka
keluar dari agama ini sebagaimana panah keluar dari busurnya…”Ibnu
Hajar berkata: “Dan faidah di dalamnya, bahwa di antara kaum
muslimin ada orang keluar dari agama ini, sebagaimana tanpa ada maksud
keluar darinya, dan tanpa memilih agama selain agama Islam”. (Fathul
Bari: 12 / 301-303)
Jadi maksud yang dianggap sebagai syarat
dalam takfir adalah kesengajaan melakukan amalanmukaffir
sebagaimana yang telah kami ingatkan dalam syarat-syarat vonis dan
penghalang-penghalang dalam syarah kaidah takfir. Adapun kesengajaan
kafir dengan amalan ini, maka ia tidak dianggap.
Dan penganggapan maksud dengan bentuk
ini –yaitu kesengajaan– sebagai syarat adalah menyebabkan tidak
dikafirkannya macam-macam manusia berikut ini:
- Orang yang tidak memiliki maksud yang dianggap dalam syari’at ini, seperti anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila dan orang tidur, apapun yang mereka lakukan.
- Orang yang mendatangkan amal yang dilalahnya terhadap kekafiran muhtamal, maka mesti dari mencari kejelasan maksud dia dari perbuatan ini.
- Mukhthi (orang yang keliru): Yaitu orang yang mukallaf yang mendatangkan amalan yang sharih (jelas) dilalahnya terhadap kekafiran, akan tetapi karena salah lidah bukan disengaja, seperti orang yang mengatakan “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu” ini adalah ucapan mukaffir, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifatinya dengan khatha (salah ucap) itu dimaafkan sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu” (Al Ahzab: 5)
- Orang yang mentakwil lagi keliru, yaitu takwil yang dibolehkan yang bisa di-udzur dengannya, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam penghalang-penghalang tadi, karena tidak menyengaja.
Jadi maksud yang dianggap dalam takfir
adalah qashdul ‘amal al mukaffir bukan qashdul kufri.
Dan kesalahan ini –yaitu peyertaan qashdul kufri– telah
terjatuh kedalamnya sebahagian orang-orang dahulu dan banyak orang-orang
masa kini, dan di antara mereka adalah:
< A > Di
antara orang-orang terdahulu: Al Qurthubiy rahimahullah,
berkata: “Dan tidaklah firman-Nya:
أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ
وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ (٢)
“supaya tidak hapus (pahala)
amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”(Al Hujurat: 2)
mengharuskan kafirnya seorang insan sedang dia tidak mengetahuinya,
sebagaimana orang kafir itu tidak menjadi mukmin kecuali dengan
pemilihan dia akan iman atas kekafiran, maka begitu juga orang mukmin
tidak menjadi kafir tanpa ada maksud untuk kafir dan tidak memilihnya
berdasarkan ijma, begitu juga orang kafir tidak menjadi kafir tanpa dia
mengetahui”. (Tafsir Al Qurthubiy: 16/308).
Dan ucapan beliau ini tidaksharih
(jelas) menunjukan pensyaratan qashdul kufri, di mana
ucapannya (kecuali dengan pemilihan dia tidak memilihnya), sedangkan ikhtiyar
(pilihan) itu lawannya adalah paksaan (ikrah) dan ini bukan materi kita
di sini. Dan ucapan (tanpa ada maksud untuk kafir) mengandung
kemungkinan bahwa beliau itu memaksudkan qashdul amal mukaffir
yaitu menyengajanya, maka inilah yang diijmakan berdasarkan hadits “…amalan
itu tergantung pada niatnya….” dan sebagaimana ucapan Al Qurthubiy
yang lalu. Adapun Al Qurthubiy memaksudkan pensyaratan qashdul
kufri sendiri dengan ucapannya ini, maka ia adalah kemungkinan yang
jauh, karena ayat yang sedang beliau tafsirkan itu sendiri
mengugurkannya di samping dalil-dalil yang telah lalu disebutkan, akan
tetapi sebagian orang-orang masa kini membawa ucapan Al Qurthubiy ini
terhadap (pernyataan) bahwa beliau mensyaratkan qashdul kufri dan
oleh sebab itu saya menuturkannya di sini. Dan tidak ada hujjah pada
ucapan Al Qurthubiy bersama-sama nash yang telah kami utarakan, dan
cukup di dalamnya firman Allah ta’ala:
لا تَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“…Jangan kamu minta maaf, karena
kamu telah kafir sebelum beriman”(At Taubah: 66)dan
firman-Nya ta’ala:
وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
مُهْتَدُونَ (٣٠)
“…Dan mereka menyangka bahwa mereka
itu mendapat petunjuk” (Al A’raf: 30).
Dan saya mengingatkan para pencari ilmu
dengan apa yang telah saya sebutkan di bab ke empat dari kitab ini bahwa
ucapan-ucapan ulama itu harus memiliki hujjah dan bukan
dijadikan hujjah, karena ia bukan dalil-dalil syar’iy yang bisa
dijadikan hujjah, akan tetapi ia adalah ucapan-ucapan orang-orang yang
tidak ma’shum yang butuh akan hujjah.
< B > Dan
di antara yang terjatuh di dalam kesalahan ini –yaitu pensyaratan qashdul
(kufri) untuk memvonis kafir– adalah Asy Syaukaniyrahimahullah.
Dalam ucapannya: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman “…akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya dengan kekafiran…” (An
Nahl:106), maka mesti dari (adanya)
kelapangan dada dengan kekafiran, ketentraman hati dengannya dan
ketenangan jiwa terhadapnya, sehingga tidak dianggap apa yang terjadi
berupa lintasan-lintasan keyakinan buruk, apalagi bila disertai
ketidaktahuan akan perselisihan hal itu terhadap jalan Islam, dan tidak
dianggap munculnya perbuatan kekafiran yang mana pelakunya tidak
menginginkan pelakunya keluar dari Islam ke agama kafir, dan tidak
dianggap kekafiran sedangkan ia tidak menyakini maknanya” (As
Sail Al Jarrar: 4/578).Shiddiq Hasan Khan
telah menukil darinya dalam (Ar Raudlah An Nadiyyah: 2/289,
terbitan Darun Nadwah Al Jadid 1408 H), Dan Muhammad
Ibnu Ibrahim Al Wazir Al Yamaniy menukil dalam kitabnya (‘Itsarul
Haq ‘Alal Khalqi: 395), bahwa ini adalah ucapan sebagian
Mu’tazilah dan mereka berdalil dengan ayat yang dijadikan dalil oleh Asy
Syaukaniy, dan ucapan Asy Syaukaniy ini lebih dahsyat dari ucapan Al
Qurthubiy yang masih mungkin ditafsirkan dengan tafsiran yang selaras
dengan kebenaran. Adapun ucapan Asy Syaukaniy maka kesalahan di dalamnya
adalah nampak, sedangkan ayat yang ia berdalil dengannya dan kandungan
yang ada di dalamnya berupa kelapangan dada dengan kekafiran, maka ini
bukanlah syarat untuk memvonis kafir kecuali dalam kondisi paksaan saja
sebagaimana yang ditunjukan nash dan ditafsirkan dengan hadits ‘Amar
yang diriwayatkan bahwa ia adalah sebab turunnya. Adapun dalam selain
paksaan maka setiap orang yang sengaja mendatangkan ucapan atau
perbuatan mukaffir, maka dia telah melapangkan dadanya dengan
kekafiran. Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata:
“Bila dikatakan sungguh Dia ta’ala telah berfirman: “…akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya dengan kekafiran…”, maka
dikatakan: Ini selaras dengan awal ayat, karena sesungguhnya barangsiapa
kafir tanpa ada paksaan, maka dia telah melapangkan dadanya dengan
kekafiran, dan kalau tidak demikian tentulah awal ayat ini digugurkan
oleh akhirnya. Seandainya yang dimaksud dengan orang yang kafir itu
adalah orang yang melapangkan dadanya, sedangkan hal itu terjadi tanpa
paksaan, tentulah Dia tidak mengecualikan orang yang dipaksa saja, akan
tetapi wajib mengecualikan orang yang dipaksa dan tidak dipaksa bila
tidak melapangkan dadanya. Dan bila ia mengucapkan kalimat kekafiran
secara suka rela, maka ia telah melapangkan dadanya dengan kalimat itu
sedangkan ia adalah kekafiran. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh
firman-Nya ta’ala:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ
تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ
اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (٦٤) وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ
أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥) لا
تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ
طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
(٦٦)
“Orang-orang munafik itu takut
diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang
tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah
ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasaul-Nya)” sesunguhnya Allah akan
menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan pada mereka
(tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”,
katakanlah: ”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok ?” tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari pada kamu (lantaran
mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain)
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa”.
(At Taubah: 64-66).
Maka Dia mengabarkan bahwa mereka itu
kafir sesudah beriman padahal mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami
mengucapkan kekafiran ini tanpa meyakininya, akan tetapi kami hanya
bersenda gurau dan bermain-main”. Dan Dia menjelaskan bahwa
memperolok-olok ayat Allah itu adalah kekafiran, sedang ini tidak
terjadi kecuali dari orang yang melapangkan dadanya dengan ucapan ini,
dan andaikata iman itu ada di hatinya tentulah menghalangi dia dari
melontarkan ucapan ini”.(Majmu Al Fatawa: 7/220)
Dan berkata juga: (Barangsiapa berbicara
tanpa dipaksa, maka dia tidak berbicara melainkan dadaanya itu lapang
dengannya) (Majmu Fatawa 7/561)
Ibnu Taimiyyahrahimahullah
berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ
بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ
اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٦)
”Barangsiapa yang kafir kepada Allah
sesudah ia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah)
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (dia
tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar”(An
Nahl: 106)
Sedangkan sudah diketahui bahwa Dia
tidak memaksudkan dengan kekafiran di sini (adalah, ed.) keyakinan hati
saja, karena dalam hal itu orang tidak bisa dipaksa terhadapnya, sedang
Dia telah mengecualikan orang yang dipaksa, dan Dia juga tidak
memaksudkan orang yang berkata dan meyakini, karena Dia telah
mengecualikan yang dipaksa sedangkan dia itu tidak bisa dipaksa terhadap
keyakinan dan ucapan, namun hanya bisa dipaksa terhadap ucapan saja,
maka diketahuilah bahwa Dia memaksudkan bahwa orang yang mengucapkan
kalimat kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab
yang besar dan bahwa ia itu kafir dengan hal itu, kecuali orang yang
dipaksa sedang hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang
yang melapangkan dadanya untuk kekafiran dari kalangan orang-orang yang
dipaksa maka sesungguhnya dia kafir juga, sehingga jadilah orang yang
mengucapkan kakafiran itu kecuali orang yang dipaksa terus dia
mengucapkan dengan lisannnya kalimat kekafiran sedang hatinya tenang
dengan keimanan. Dan Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang yang
meperolok-olok (”…jangan kamu meminta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman…”), maka Allah telah menjelaskan bahwa
mereka itu kafir dengan sebab ucapan walaupun sesungguhnya mereka itu
tidak meyakini kebenarannya” (Ash Sharimul Maslul: 524).
Kesimpulan (tentang) apa yang
ditunjukkan ayat ini dan apa yang diinginkan oleh Ibnu Taimiyyahrahimahullah
bahwa kelapangan dada dengan kekafiran itu –yaitu kekafiran hati–
adalah syarat bagi hukum kafir di saat ada paksaan saja. Barangsiapa
yang dipaksa untuk mendatangkan suatu yang mengkafirkan yang dhahir
berupa ucapan atau perbuatan, maka dikatakan kepadanya: ‘Bagaimana kamu
dapatkan hatimu?’ sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits ‘Ammar Ibnu
Yasir kemudian bila dia mengatakan: ‘tenang dengan keimanan’, maka apa
yang dilakukan ini tidak membayakan dia. Dan bila dia berkata: ‘Saya
ridla dengan apa yang saya lakukan atau dada saya lapang dengannya’,
maka dia divonis kafir walaupun terjadi pemaksaan atasnya. Inilah makna
ayat itu. Adapun bukan dalam kondisi paksaan, maka setiap orang yang
mendatangkan sesuatu yang mengkafirkan yang nampak berupa ucapan atau
perbuatan seraya sengaja, maka dia telah melapangkan dadanya dengan
kekafiran –yaitu kafir dengan hatinya– berdasarakan ijma bahwa orang
yang telah Allah kabarkan kekafirannya dengan sebab mukaffir yang
dhahir, maka ia itu kafir lahir batin. Jadi, kelapangan dada dengan
kekafiran ini adalah syarat untuk takfir dalam keadaan orang yang
dipaksa, namun dia adalah suatu kemestian bagi kekafiran pada selain
orang yang dipaksa.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq An Najdiyrahimahullah
1301 H dalam masalah yang sama pada bantahannya terhadap salah seorang
seteru dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahab, beliau
berkata: “Dan adapun keluarnya dia –yaitu seteru dakwah– dari apa yang
dengannya Allah telah mengutus Rasul-Nya (yaitu) berupa Al Kitab, As
Sunnah dan apa yang dianut para shahabat serta para ulama setelah
mereka, maka adalah ucapannya: “Barangsiapa yang melapangkan dadanya
dengan kekafiran, yaitu membukanya, melapangkannya, murtad dari agamanya
dan jiwanya senang dengan kekafiran, maka itulah yang kami anut di
hadapan Allah akan pengkafirannya”. Inilah ucapan dia dan jelasnya
adalah bahwa orang yang mengucapkan kekafiran atau melakukannya tidaklah
menjadi kafir dan bahwa tidak dikafirkan kecuali orang yang membuka dan
melapangkan dadanya untuk kekafiran. Sedangkan pendapat ini adalah
bertentangan dengan ma’qul (qiyas) yang jelas dan manqul
(nash) yang shahih serta merupakan penitian selain jalan kaum mukminin,
karena sesungguhnya Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallahu
‘alaihi wasallam serta ijma umat telah sepakat bahwa orang yang
mengucapkan kekafiran atau melakukannya maka dia itu kafir, dan tidak
disyaratkan dalam hal itu kelapangan dada dengan kekafiran, dan tidak
dikecualikan dari hal itu kecuali orang yang dipaksa. Adapun orang yang
melapangkan dadanya (yaitu) membukanya dan meluaskannya untuk kekafiran,
jiwa dia tentram dengannya dan ia ridla, maka ini kafir lagi musuh
Allah dan Rasul-Nya, walaupun dia tidak melafalkan hal itu dengan
lisannya dan tidak mengerjakannya dengan anggota badannya. Inilah suatu
yang maklum dengan dilalah (penunjukan) dari Al Kitab dan As
Sunah dan ijma umat, dan kami akan menerangkan hal itu dari beberapa
sisi”. Kemudian beliau menuturkan 10 dalil terhadap ucapannya
sebagiannya telah kami utarakan dan sisanya silakan dirujuk di dalam
risalah beliau (Ad Difa’ ‘An Ahli Sunnah wal Ittiba’, terbitan
Darul Qur’anil Karim 1400 H, hal 22-23).
Dan dari kalangan orang-orang masa kini
yang telah terjatuh ke dalam kesalahan ini adalah apa yang ada dalam
Risalah Magister dengan judul “Dlawabith At Takfir ‘Inda Ahlis
Sunnah“ karya Abdullah Ibnu Muhammad Al Qarniy,
di mana ia menegaskan secara terang bahwa maksud (qashd) yang mu’tabar
(dianggap) dalam takfir bukanlah sekedar maksud akan berbuat, akan
tetapi tujuan si pelaku dari perbuatannya, dan bahwa mesti untuk
mengkafirkannya adanya maksud dia untuk kafir yang ia batasi kekafiran
itu pada beribadah kepada selain Allah. Sedangkan ini semuanya
menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang telah kami
utarakan. Penulis berkata hal: 261 (“Vonis terhadap perbuatan yang
dhahir bahwa ia adalah kekafiran berkaitan dengan penjelasan hukum
syar’iy secara muthlaq. Adapun si pelaku maka mesti dari melihat
maksudnya dengan apa yang dia kerjakan dan tabayyun tentang
keadaanya dalam hal itu sebelum menentukan kekafirannya. Yang dimaksud
dengan qashd (maksud/tujuan) di sini bukan sekedar maksud untuk
melakukan, karena hal ini suatu yang tidak mungkin lepas darinya amalan
apapun –selain amalan orang yang gila, yang tidur dan yang lainnya– dan
ia pada hakikatnya adalah keinginan yang serius untuk merealisasikan
perbuatan, di mana seorang berada pada kondisi bisa memilih antara
melakukan perbuatan atau tidak melakukannya. Dan qashd ini
adalah tempat penggantungan taklif. Akan tetapi yang dimaksud
dengan qashd di sini adalah qashd (maksud) dengan
perbuatan yang mana ia adalah tujuan si pelaku dari perbuatannya,
pendorong bagi dia terhadapnya, motivator baginya terhadap
perealisasiannya dan keinginan dia darinya”), kemudian ia berdalil untuk
ucapannya dengan hadits “…sesungguhnya amal itu tergantung dengan
niatnya dan bagi setiap orang itu apa yang ia
niatkan…” selesai. Kemudian ia merinci ucapannya
bahwa yang dimaksud dengan qashd adalah tujuan si pelaku dari
perbuatannya dan faktor pendorong bagi dia terhadapnya, yaitu bahwa ia
memaksudkan ibadah kepada selain Allah, di mana ia berkata hal 309:
(“Maka apakah setiap orang yang melakukan suatu amalan dari
amalan-amalan syirik yang dhahir atau menghukumi dengan undang-undang
buatan mesti langsung kafir dengan sekedar perbuatannya yang dhahir
itu?. Sesungguhnya kita harus membedakan di sini antara vonis-vonis
kafir secara hakikat dengan vonis kafir secara dhahir terhadap orang
mu’ayyan, dan itu dikarenakan tidak setiap orang yang melakukan suatu
amalan dari amalan-amalan syirik secara dhahir mesti ia itu memaksudkan
denganya ibadah kepada selain Allah, sebab bisa saja ia melakukannya
bukan dalam rangka taqarrub kepada selain Allah ta’ala, maka
sebelum mevonisnya kafir mesti dari mencari kejelasan keadaanya untuk
melenyapkan ihtimal (kemungkinan) ini, kecuali bila
perbuatannya sama sekali tidak memiliki kemungkinan kecuali (sebagai)
ibadah dan taqarrub kepada selain Allah, maka saat itu juga ia divonis
kafir karena tidak adanya kemungkinan (lain) dalam qashd”). Selesai.
Jadi ia menganggap qashdul kufri (ibadah kepada selain Allah)
sebagai syarat untuk kafir. Ini adalah keliru dari dua sisi:
Pertama: Bahwa qashd (maksud) yang
dianggap adalah kesengajaan melakukan ‘amal mukaffirbukanqashdul
kufri (maksud untuk kafir) dengannya sebagaimana yang telah lalu
dijelaskan, sedangkan tabayyun (pencarian kejelasan) yang
dituntut dalam amalan yang dilalah-nya muhtamal adalah
apa ia sharih (tegas) atau tidak? bukan tabayyun qashdul
kufri dengan amalan itu. Barangsiapa yang berdo’a di sisi
kubur, maka kita bertanya kepadanya siapa yang kamu seru dan dengan apa
kamu menyeru? Dan telah lalu kami nukil perkataan Ibnu
Taimiyyah: “Dan secara umum barangsiapa yang mengatakan atau
melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran maka ia kafir dengan hal itu
meskipun tidak bermaksud menjadi kafir, karena tidak ada seorangpun yang
bermaksud untuk kafir kecuali apa yang Allah kehendaki”. (Ash
Sharim Al Maslul: 177-178).
Ke dua: Ia membatasi kekafiran pada ibadah
dan taqarrub kepada selain Allah, padahal kekafiran itu sebab-sebabnya
lebih luas dari ini, barangsiapa yang melempar mushhaf pada
kotoran atau dia menghina Allah dan Rasul-Nya atau dia mengingkari
kebangkitan setelah kematian dan yang lainnya, maka dia kafir dengan hal
itu sedangkan dalam hal itu tidak terdapat ibadah atau taqarub kepada
selain Allah.
Dan dalam risalah (Al Qarniy) itu
terdapat kekeliruan-kekeliruan yang akan kami sebutkan nanti Insya
Allah ta’ala.
(4) Di
antara kekeliruan-kekeliruan yang menyebar dalam bahasan takfir adalah:
mencampuradukkan antara sebab kekafiran dengan macam kekafiran.
Telah lalu diingatkan masalah ini pada
pembicaran pada ucapan Al Imam Ath Thahawiy rahimahullah:
“Dan seorang hamba tidak dikeluarkan dari iman, kecuali dengan juhud
(mengingkari) apa yang memasukkan dia ke dalamnya”. Dan di sana telah
saya sebutkan perbedaannya antara sebab-sebab kekafiran dan
macam-macamnya, dan bahwa hukum-hukum dunia yang berlaku di atas hal
yang tampak adalah dibangun di atas sebab-sebab (kekafiran) bukan
macam-macam kekafiran.
Adapun sebab-sebab kekafiran: maka
ia–sebagaimana yang telah lalu dalam definisi riddah- sesuai
hakikat adalah empat sebab: ucapan mukaffir, perbuatan
mukaffir, keyakinan mukaffir atau keraguan mukaffir. Adapun
dalam hukum-hukum dunia maka sebab-sebab kekafiran
hanyalah dua, tidak ada yang ke tiganya: ucapan mukaffir atau
perbuatan mukaffir. Sedangkan ucapan adalah amal lisan, dan
perbuatan adalah amalan jawarrih (anggota badan) sebagimana
yang telah Allah ta’alafirmankan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ (٢) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ
أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ (٣)
“Mengapa kamu mengatakan apa-apa
yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Ash Shaf: 2-3)
Adapun keyakinan dan keraguan maka ia
tergolong amalan hati.
Dan adapun macam-macam kekafiran maka ia
banyak sekali, karena kekafiran terbagi dengan berbagai peninjauan
menjadi banyak bagian, di antaranya:
- Maka dengan peninjauan faktor pendorong di hati terhadap kekafiran, ia terbagi menjadi bagian-bagian yang telah kami utarakan sebelumnya, seperti:
- Kufur takdzib (kekafiran karena pendustaan)
- Kufur al juhud (kekafiran karena pengingkaran)
- Kufur istikbar (kakafiran karena penolakan)
- Kufur syakk (kekafiran karena keraguan) dan kebimbangan
- Kufur taqlid (kekafiran karena ikut-ikutan) dan
- Kufur jahl (kekafiran karena kebodohan)
2. Dengan peninjauan yang
nampak dan samarnya kekafiran, ia terbagi menjadi kekafiran
yang nyata yaitu yang nampak pada ucapan ataupun perbuatan, dan
kekafiran yang tersembunyi, yaitu apa yang terjadi dengan keyakinan
murni sedang pelakunya menampakan keIslaman dan ini adalah kufur nifaq.
3. Dan dengan peninjauan
keterbuktian status Islam sebelumnya bagi orang kafir, maka
kekafiran itu terbagi menjadi:
- Kekafiran asli: Yaitu yang mana pelakunya sebelumnya bukan muslim, sedang mereka itu lima macam yang dicakup oleh ayat 17 surat Al Hajj: “dan orang-orang yang (beragama) Yahudi, Shabi-in, orang-orang Nashrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik.”
- Dan kekafiran yang thaari (yang muncul mendadak): yaitu kufur riddah (murtad), yaitu yang mana pelakunya dihukumi muslim sebelum kekafirannya.
4. Dan dengan peninjauan pertambahan
dan pengurangan, ia terbagi menjadi kufur mujarrad
dan kufur mazid. Allah Ta’ala berfirman:
$yJ¯RÎ) âäûÓŤ¨Y9$#
×oy$tÎ Îû Ìøÿà6ø9$#
“…Sesungguhnya mengundur-undurkan
bulan haram itu adalah menambah kekafiran…” (At Taubah:
37) Dan Syaikhul Islam berbicara banyak tentang dua macam
(kekafiran) ini dalam kitabnya Ash Sharimul Maslul.
5. Dan dengan peninjauan ithlaq
dan ta’yin, ia terbagi menjadi kufur nau’
(takfir muthlaq) dan kufur ‘ain (takfir mu’ayyan)
6. Dan dengan peninjauan
apa yang bergantung padanya sebab kekafiran, ia terbagi menjadi
beberapa macam, seperti:
- Syirik dalam rubbubiyyah (dan termasuk di dalamnya syirik tasharruf wa asbab dan syirik hulul)
- Syirik dalam uluhiyyah (dan di antaranya syirik do’a dan syirik tha’at, syirik mahabbah dan syirik khauf)
- Dan syirik dalam shifat
7. Dan dengan peninjauan statusnya
mengeluarkan dari millah atau tidak?: ia terbagi menjadi kufur
akbar yang mengeluarkan dari millah dan masuk di bawahnya semua
macam-macam yang lalu dan kufur ashghar yang tidak mengeluarkan
dari millah atau kufrun dunna kufrin, yaitu setiap maksiat
yang dinamakan kekafiran oleh Allah namun status iman masih disandang
oleh pelakunya.
Semua macam-macam dan bagian-bagian ini
telah ditunjukan oleh dalil syariy dan ditetapkan oleh ulama dalam
kitab-kitab mereka.
Dan dari sisi pembauran antara
sebab-sebab dan macam-macam kekafiran, maka yang paling sering terjadi
itu antara sebab-sebab kufur dengan macam-macamnya yang mana ia adalah
faktor-faktor pendorong hati terhadap kekafiran.
Sebagian orang berpendapat bahwa
seseorang tidak boleh divonis kafir kecuali bila amalannya itu masuk di
bawah suatu macam dari macam-macam kekafiran yang diutarakan di atas.
Dan ini adalah syarat yang rusak dan talbis yang mengantarkan pada sikap
tidak mengkafirkan orang kafir dan justru malah memberinya status iman
serta membiarkannya berbaur dengan kaum muslimin dengan anggapan bahwa
ia adalah bagian dari mereka. Di zaman sekarang ini engkau bisa
mendapatkan orang yang mencari udzur (alasan pembenaran) bagi
orang-orang kafir dan dia berkata padamu: “Sesungguhnya orang yang kamu
kafirkan ini tidaklah mengingkari atau tidak menolak nash” dan hal-hal
serupa itu berupa ucapan-ucapan indah yang dengannnya mereka menipu
orang-orang awam untuk memalingkan mereka dari takfir orang kafir. Dan
di antara hal ini adalah apa yang dilakukan sebagian para Syaikh yang
loyal terhadap pemerintahan kafir di Mesir (di antaranya Muhammad
Mutawalliy Asy Sya’rawiy, Muhammad Ghazaliy, Yusuf Al Qardlawiy,
dan yang lainnya) di mana mereka mengeluarkan pernyataan pada tanggal
1/1/1989 M, dan di dalamnya mereka berkata: “Bahwa mereka meyakini keimanan
aparatur pemerintah di Mesir, dan bahwa para aparatur itu tidak menolak
kepada Allah suatu hukumpun dan mereka tidak mengingkari satupun prinsip
pada Islam” dari (Shahifah Al Ittihad: 2/1, 1989).Ini
adalah ucapan mereka, dan di dalamnya terdapat talbis dan
penyembunyian. Dan ulama suu’ tidak akan bisa menyesatkan manusia,
kecuali dengan pengkaburan al haq dengan al bathil atau dengan
menyembunyikan al haq atau dengan keduanya secara bersamaan, sebagaimana
firman Nya ta’ala:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ
بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٤٢)
“Janganlah kamu mengkaburkan al haq
dengan al batil dan (janganlah) kamu menyembunyikan al haq padahal kamu
mengetahui”(Al Baqarah:42)
Adapun pengkaburan dan pencampuradukan
yang mereka lakukan adalah pemberian kesan terhadap manusia bahwa vonis
kafir itu tergantung pada macam kekafiran yang mereka batasi pada
penolakan nash, padahal kekafiran itu memiliki banyak macam sebagaimana
yang telah lalu diisyaratkan. Dan adapun al haq yang mereka sembunyikan
maka ia adalah bahwa vonis kafir itu tergantung pada sebabnya, dan ia
pada pemerintah (kafir) ini adalah (berupa) ‘imtina (penolakan)
dari penerapan syari’at Islam dan pembolehan berhukum dengan qawanin
wadl’iyyah yang dibuat-buat, dan pengharusan manusia untuk
memutuskan hukum dengannya dan berhakim padanya, serta sebab-sebab
kekafiran lainnya.
Maka selayaknya pencari ilmu
berhati-hati terhadap syubhat-syubhat semacam ini, dan ia wajib
mengetahui bahwa macam-macam kekafiran yang disebutkan dalam kitab-kitab
i’tiqad adalah tidak ada kaitannya dengan masalah takfir dari sisi
vonis peradilan, oleh sebab itu engkau tidak mendapatkan penuturan
terhadapnya dalam bab-bab riddah dan murtad dalam kitab-kitab fiqh, dan
bahwa yang menjadi acuan vonis kafir di dunia adalah ucapan mukaffir
atau perbuatan mukaffir (yang di antaranya adalah meninggalkan
dan penolakan).
Adapun macam-macam kekafiran yang telah
kita sebutkan, maka ia adalah sifat bagi faktor pendorong yang ada di
hati orang kafir dan yang membawanya terhadap kekafiran, seperti
sombong, dengki dan ragu, ini adalah amalan hati yang kadang menguat
sehingga membawa pelakunya terhadap kekafiran. Ibnul Qayyim telah
menuturkan sepuluh macam bagi faktor-faktor pendorong yang membawa
kepada kekafiran dalam kitabnya Miftah Dar As Sa’adah: 1/96-98,
terbitan Darul Fikr, sedangkan faktor-faktor pendorong ini
berbeda dengan sebab kekafiran, dan ia tidak memiliki kaitan dalam vonis
kafir terhadap pelakunya di dunia. Dan untuk mendekatkan masalah ini,
kami memberikan contoh: seorang membunuh orang lain secara sengaja,
sedang faktor pendorong terhadap hal itu bisa jadi permusuhan, atau
ingin cepat mendapatkan warisan atau ia diupah untuk membunuhnya atau
membunuhnya karena rasa kasihan dari sakit yang membuatnya menderita
atau faktor-faktor pendorong lainnya, kemudian si qadli mevonis si
pembunuh untuk diqishas karena sebab pembunuhan, maka apa yang
diperhatikan oleh si qadli sebagai sebab dari vonis itu? Tidak diragukan
bahwa si qadli melihat pada perbuatan (pembunuhan dengan sikap
kesengajaannya), ini adalah sebab hukum, dan si qadli tidak sama sekali
melihat pada satupun dari faktor-faktor pendorong yang tadi disebutkan,
maka janganlah engkau mencampurkan antara sebab-sebab dengan
pendorong-pendorong faktor kekafiran. Dan untuk membedakan keduanya kami
akan mengutarakan contoh-contoh berikut ini:
Iblis –semoga Allah melaknatnya– telah
kafir dari sebab penolakan dari sujud (sedang ini adalah sikap yang
membuatnya kafir), adapun faktor pendorongnya terhadap penolakan dan
sikap meninggalkan ini maka ia adalah kesombongan, sehingga kekafirannya
adalah kufur istikbar, ini adalah macam kekafirannya, adapun
sebab kekafirannya maka ia adalah penolakan terhadap perintah. Allah
ta’ala berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ
اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ
مِنَ الْكَافِرِينَ (٣٤)
“Maka sujudlah mereka
kecuali iblis; ia enggan (menolak) dan takkabur dan ia adalah termasuk
golongan yang kafir”. (Al Baqarah: 34)
Makna enggan adalah menolak, dan ayat
ini telah menggabungkan antara sebab kekafiran (yaitu penolakan dari
melakukan perintah) dengan macam kekafiran (yaitu takkabur)
Orang-orang kafir Makkah menolak dari
mengikrarkan dua kalimat syahadat (sedang ini adalah sikap meninggalkan
yang mengkafirkan) dan ia adalah sebab kekafiran, sedang faktor
pendorong bagi mereka terhadap hal ini adalah takkabur, dan ia adalah
macam kekafiran mereka, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ
لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ (٣٥)
“Sesungguhnya mereka dahulu bila
dikatakan kepada mereka: “La ilaaha illallaah” mereka menyobongkan
diri.” (Ash Shaaffaat: 35)
Dan orang-orang Yahudi adalah seperti
mereka dan mereka melebihi dari kaum kafir Makkah dari sisi faktor
pendorong dengan hasud (dengki) sebagimana firman-Nya ta’ala:
حَسَدًا مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِهِمْ
“sebagaikedengkian dari
diri mereka” (Al Baqarah: 109) dan Firman-Nya
ta’ala:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ
عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka dengki
kepada manusia (Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya”
(An Nisa: 54)
Dan orang-orang awam Nasrani adalah
kafir dengan sebab ucapan mukaffir (sesungguhnya Allah adalah
Al Masih) atau (sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang tiga),
sebagaimana mereka kafir dengan sebab perbuatan mukaffir,
seperti keta’atan kepada pendeta-pendeta dalam hal hukum yang
menyelisihi. Ini adalah sebab kekafiran mereka. Adapun macam kekafiran
mereka, maka ia adalah kufur taqlid terhadap para pendahulu mereka yang
sesat sebagaimana firman-Nya ta’ala:
وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ
قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ
سَوَاءِ السَّبِيلِ (٧٧)
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu orang-orang yang telah sesatdahulunya (sebelum kedatangan
Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesaat dari jalan yang lurus”. (Al Maidah:77)
Dan orang-orang yang memperolok-olok
para shahabat pada perang Tabuk, sebab kekafiran mereka adalah ucapan mukaffir,
sebagaimana firman-Nya ta’ala:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥)
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
Ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu memperolok-olok?”(At
Taubah: 65),
Dan faktor pendorong mereka terhadap hal
itu adalah kufur nifaq dan keraguan yang ada dihati mereka, sebagaiman
firman Allah ta’ala:
يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ
تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ
اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ (٦٤)
“Orang-orang munafiq itu takut akan
diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang
tersebunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah
ejekan-ejekanmu terhadap Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah akan
menyatakan apa yang kamu takuti itu!.” (At Taubah: 64).
Inilah macam kekafiran mereka, yaitu
kufur nifaq yang membawa mereka terhadap sikap perolok-olok. Dan
perhatikanlah firman-Nya: “Apa yang tersembunyi dalam hati mereka…” dan
firman-Nya: “Sesungguhnya Allah akan menyatakan…”,
sesungguhnya Allah menyatakan agar engkau mengetahui perbedaan antara
faktor pendorong (yaitu macam kekafiran) dengan sebab kekafiran, dan
bahwa faktor pendorong adanya di hati (yaitu –dalam hal ini– nifaq),
adapun sebab maka ia adalah yang keluar dan mungkin diketahui secara
dlahir berupa ucapan ataupun perbuatan (yaitu di sini perolok-olok).
Ayat ini termasuk dalil yang paling jelas yang menunjukan kepadamu
perbedaan antara faktor pendorong atau macam (kekafiran) dan bahwa ia
adalah hal bathil, dengan sebab (kekafiran) yaitu hal dlahir.
Ini semua tentang penjelasan perbedaan
antara sebab kekafiran dengan macam kekafiran, dan bahwa yang pertama
(yaitu sebab kekafiran) adalah yang dianggap dalam hukum dunia, karena
ia adalah hal dlahir yang baku. Adapun macam kekafiran maka tidaklah
diperhatikan dalam hukum-hukum dunia, karena ia adalah hal yang samar
yang tidak baku, sedangkan hukum-hukum syari’at adalah dibangun di atas
suatu yang baku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar