Nasionalisme adalah sebuah faham yang
membentuk loyalitas berdasarkan kesatuan tanah air, budaya dan suku.
Pengertian ini diperjelas kembali oleh Dr. Ali
Nafi’ di dalam bukunya “Ahammiyatul Jihad”, beliau menulis :
“Nasionalisme merupakan bentuk pengkultusan kepada suatu bangsa (tanah
air) yang diaplikasikan dengan memberikan kecintaan dan kebencian kepada
seseorang berdasarkan pengkultusan tersebut, ia berperang dan
mengorbankan hartanya demi membela tanah air belaka (walaupun dalam
posisi salah), yang secara otomatis akan menyebabkan lemahnya loyalitas
kepada agama yang dianutnya, bahkan menjadi loyalitas tersebut bisa
hilang sama sekali”. (Dr. Ali Yafi’, Ahammiyatul Jihad, hal. 411)
Lain halnya dengan Prof. Hans Kohn, pakar
sejarah terkemuka abad ini, yang menyatakan bahwa nasionalisme adalah
suatu paham yang tumbuh dalam masyarakat dan mempunyai empat ciri :
- Kesetiaan tertinggi individu diserahkan kepada Negara kebangsaan.
- Dengan perasaan yang mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya.
- Perasaan yang mendalam dengan tradisi-tradisi setempat, dan
- Kesetiaan dengan pemerintah yang resmi.
(Gatra, 11 Nopember 1995, hal 76)
Perasaan ingin berkumpul dengan yang lainnya
adalah sebuah fitrah yang tidak bisa dipungkiri oleh setiap orang.
Karena manusia adalah makhluk ijtima’i. Islampun tidak melarang bahkan
mewajibkan umatnya untuk bersatu dan berkumpul, bekerja sama di dalam
menjalakan kewajibannya sehari-hari.
Tabi’at dienul Islam sendiri adalah tabi’at
kebersamaan. Bahkan sebagian ajarannya tidak bisa dilaksanakan kecuali
secara bersama-sama. Tapi dari segi lain, Islampun meletakkan
batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh umat manusia,
karena akibatnya akan fatal.
Paham Nasionalisme akan berkembang di kalangan
umat Islam, manakala batasan-batasan yang baku itu diterjang. Perasaan
fanatisme golongan, mungkin sekali-kali timbul pada diri setiap orang,
bersamaan dengan timbul-tenggelamnya ke-imanannya.
Munculnya faham nasionalisme berawal dari
munculnya fanatik golongan, fanatik ini muncul bersamaan dengan
munculnya makhluk yang bernama manusia. Mungkin fenomena tersebut belum
begitu nampak pada keluarga Adam ‘alaihissalam, yang merupakan cikal
bakal umat manusia. Karena jumlah keturunannya yang masih sedikit waktu
itu. Walaupun begitu, isyarat akan menambah wabah “fanatik golongan” di
anak keturunannya nampak jelas ketika terjadi percekcokan antara dua
putra Adam yang mengakibatkan tumpahnya darah manusia pertama kali di
bumi persada ini, sebagaimana yang telah digambarkan Allah di dalam
surat al-Maidah ayat: 27-31.
Perselisihan antar anggota keluarga itu
terulang kembali di dalam skala yang lebih besar, yaitu ketika adanya
suatu usaha pembunuhan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf.
Sejarah yang diabadikan Al-Quran di dalam satu surat tersebut,
menggambarkan bagaimana bahaya sebuah kedengkian yang muncul dari
perasaan bangga terhadap sebuah kelompok. Hanya karena berbeda ibu,
mereka menyimpan kebencian yang sangat kepada saudaranya yang tidak
berdosa itu. Api perselisihan di lingkungan keluarga itu akhirnya
membesar dan berpindah kepada tingkat kesukuan dan kebangsaan.
Fir’aun dan bala tentaranya yang berusaha
untuk memusnahkan etnis Bani Israel dari bumi Mesir adalah salah satu
contoh dari drama kehidupan masyarakat yang terjebak didalam fanatik
kelompok dan kesukuan. Setiap bayi laki-laki yang lahir tidak diberinya
kesempatan untuk bernafas lebih lama di negara lembah Niel tersebut.
Peristiwa tragedi kemanusiaan tersebut mewarnai banyak lembaran-lembaran
di dalam Al Qur’an. Permusuhan itu tak kunjung padam sampai diutusnya
Nabi Musa ‘alaihissalam untuk merubah pertarungan etnis tersebut menjadi
pertarungan antara al haq dan al bathil.
Kefanatikan kadang-kadang membuat seseorang
kehilangan akal, membabi buta, mengumbar hawa nafsu bahkan mengantarnya
pada derajat kebinatangan. Sifat inilah yang akhirnya mendominasi
kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliyah. Salah satu buktinya seperti
yang diungkapkan ibnu Katsir di dalam bukunya “Bidayah wa Nihayah”,
tentang terjadinya peperangan antara bani Khaza’ah dan Jarhamiyin yang
tak pernah kunjung padam di dalam memperebutkan ka’bah. (Ibnu Katsir,
Bidayah wa Nihayah, Juz: 2, hal. 20)
Sementara itu di Yatsrib –al Madinah an
Nabawiyah-, ‘Auz dan Khazraj yang merupakan dua kabilah besar tak pernah
berhenti berperang. Beratus-ratus jiwa berjatuhan setiap saat, sampai
datangnya Islam menyatukan mereka kembali. Allah berfirman :
“Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada
di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk”. (Qs.
Ali-‘Imran : 103)
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, bahwa
ayat ini diturunkan kepada ‘Auz dan Khazraj, ketika seorang yahudi
berusaha mengobarkan api kedengkian dan perpecahan antara dua kabilah
tersebut, dengan mengungkit-ungkit masalah-masalah yang telah silam pada
waktu jahiliyah. Tatkala berita itu sampai pada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, bergegaslah beliau menuju tempat bertemunya dua
kelompok tersebut untuk memadamkan api perpecahan itu, sebelum berubah
menjadi pertumpahan darah seraya berseru : “Apakah kalian akan
mengobarkan faham Jahiliyah, padahal saya masih berada diantara
kalian?”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat
tersebut. (Ibnu Katsir, Tafsirul Quranul Adhim, ( Beirut, Alam
al-Kutub), juz: 1, hal. 347)
Tidak menutup kemungkinan, perasaan bangga
terhadap kesukuan tersebut, suatu saat akan timbul didalam kehidupan
para sahabat, baik ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih
berada di tengah-tengah mereka, seperti kejadian diatas maupun setelah
wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti pada peristiwa
di Saqifa Bani Sa’ad, ketika terjadi klies antara Muhajirin dan Anshar
di dalam menentukan khalifah pengganti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. (Ibnu al Araby, al Awashim minal Qawashim, hal. 56, 61)
Namun pemahaman jahiliyah tersebut cepat
hilang lagi, manakala mereka diingatkan lagi kepada kebenaran. Dengan
demikian nasionalisme tidak sempat berkembang di kalangan sahabat,
sebuah potret masyarakat yang telah ditempa di madrasah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun sangat disayangkan sekali, keadaan
tersebut tidak berlangsung lama. Faham nasionalisme itu mulai berkembang
lagi pada generasi sesudahnya, tepatnya sejak berakhirnya Khulafaur
Rasyidin, kemudian semakin hari semakin bertambah. Dan prosentasinya
memuncak pada hari ini. Penyakit inilah yang akhirnya mengantarkan pada
runtuhnya daulah Umamiyah dan Daulah Abasiyah, yang di kemudian hari
akan menyebabkan ambruknya khilafah Islamiyah pada abad XX.
Rahasia keruntuhan Khilafah-khilafah Islamiyah
tersebut pernah ditulis Abul A’la Al Maududi di dalam bukunya “Islamul
Yaum”. Tokoh pemikir Islam yang produktif tersebut mengatakan :
“Bahwa penyakit kronis ini menyebabkan
hancurnya Daulah Umawiyah dan menjadi pemicu perpecahan antara
kabilah-kabilah Arab waktu itu, dan karenanya pula runtuhlah pondasi
Daulah Umawiyah yang berada di Andalus begitu juga yang menyebablan
rontoknya wilayah Islamiysh Haidar Abad di India.” (Abul A’la Al
Maududi, Islamul Yaum, hal 35)
Berhala Modern Itu Bernama
Nasionalisme
Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang
mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan ”berhala”
tertentu sebagai perekat hubungan antara satu individu dengan individu
lainnya. Sedemikian rupa ”berhala” itu diagungkan sehingga para anggota
masyarakat yang ”menyembahnya” merasakan tumbuhnya semacam
”kasih-sayang” di antara mereka satu sama lain. Suatu bentuk
kasih-sayang yang bersifat artifisial dan temporer. Ia bukan
kasih-sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala
pencipta kasih-sayang palsu ini dijelaskan berkenaan dengan kisah
Nabiyullah Ibrahim ’alaihis-salam.
“Dan berkata Ibrahim :
“Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk
menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia
ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang
lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat
kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para
penolongpun.” (QS Al-Ankabut
: 25)
“Berhala-berhala” di zaman dahulu adalah
berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka
yang sama-sama menyembah berhala patung itu padahal berhala itu
merupakan produk bikinan manusia. Di zaman modern sekarang “berhala”
bisa berupa aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/
sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia. Manusia di zaman
sekarang juga “menyembah” berhala-berhala modern tersebut dan mereka
menjadikannya sebagai “pemersatu” diantara aneka individu dan kelompok
di dalam masyarakat. Berhala modern itu menciptakan semacam persatuan
dan kasih-sayang yang berlaku sebatas kehidupan mereka di dunia saja.
Berhala modern itu bisa memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi apapun
namanya, satu hal yang pasti bahwa ia semua merupakan produk fikiran
terbatas manusia. Ia bisa bernama Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme,
Liberalisme, Nasionalisme atau apapun selain itu.
Semenjak runtuhnya tatanan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara ummat Islam 85 tahun yang lalu bangsa-bangsa
Muslim di segenap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan social
berlandaskan sebuah faham yang sesungguhnya asing bagi mereka. Faham itu
bernama Nasionalisme.
Ketika Khilafah Islamiyyah masih
tegak dan menaungi kehidupan sosial ummat, mereka menghayati bahwa hanya
aqidah Islam Laa ilaha illa Allah sajalah yang mempersatukan mereka
satu sama lain. Hanya aqidah
inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan
Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan
Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal
mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas
suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Dan yang lebih
penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin
menembus batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selagi mereka
masih di dunia semata, melainkan jauh sampai kehidupan di akhirat kelak.
Mengapa? Karena ikatan mereka berlandaskan perlombaan meningkatkan
ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup
lagi Maha Abadi.
“Teman-teman akrab pada hari itu
sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang
yang bertakwa.” (QS
Az-Zukhruf : 67)
Orang-orang beriman tidak ingin menjalin
pertemanan yang sebatas akrab di dunia namun di akhirat kemudian menjadi
musuh satu sama lain. Oleh karenanya, mereka tidak akan pernah mau
mengorbankan aqidahnya yang mereka yakini akan menimbulkan kasih-sayang
hakiki dan abadi. Sesaatpun mereka tidak akan mau menggadaikan aqidahnya
dengan faham atau ideologi selainnya. Sebab aqidah Islam merupakan
pemersatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan
kehidupan berjamaah sejati dan tidak bakal mengantarkan kepada
perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.
“Dan berpegang teguhlah kamu
semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu
bercerai berai.” (QS.
Ali-‘Imran : 103)
Sewaktu ummat Islam hidup di bawah naungan
Syari’at Allah dalam tatanan Khilafah Islamiyyah mereka tidak mengenal
bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam. Mereka tidak pernah
membangga-banggakan perbedaan suku dan bangsa satu sama lain. Betapapun
realitas suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah
mengalahkan kuatnya ikatan aqidah di dalam masyarakat.
Sedangkan setelah masing-masing negeri kaum
muslimin mengikuti jejak langkah Republik Turki Modern Sekuler, maka
mulailah mereka mengekor kepada dunia barat yang hidup dengan
membanggakan Nasionalisme masing-masing bangsa. Padahal bangsa-bangsa
Barat tidak pernah benar-benar berhasil membangun soliditas sosial
melalui man-made ideology tersebut.
Akhirnya bangsa-bangsa Muslim mulai sibuk
mencari-cari identitas Nasionalisme-nya masing-masing. Mulailah orang
Indonesia lebih bangga dengan ke-Indonesiaannya daripada ke-Islamannya.
Bangsa Mesir bangga dengan ke-Mesirannya. Bangsa Saudi bangga dengan
ke-Saudiannya. Bangsa Turki bangga dengan ke-Turkiannya. Lalu perlahan
tapi pasti kebanggaan akan Islam sebagai perekat hakiki dan abadi kian
tahun kian meluntur.
Sehingga di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an
Asy-Syahid Sayyid Qutb rahimahullah menulis komentar mengenai surah
Al-Ankabut ayat 25 di atas sebagai berikut :
“Ia (Ibrahim) ’alaihis-salam berkata kepada
mereka (kaumnya), “Kalian menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan
selain Allah,” yang kalian lakukan bukan karena kalian mempercayai dan
meyakini berhaknya berhala-berhala itu untuk disembah. Namun, itu kalian
lakukan karena basa-basi kalian satu sama lain, dan karena keinginan
untuk menjaga hubungan baik kalian satu sama lain, untuk menyembah
berhala ini. Sehingga, seorang teman tak ingin meninggalkan sesembahan
temannya (ketika kebenaran tampak baginya) semata karena untuk menjaga
hubungan baik di antara mereka, dengan mengorbankan kebenaran dan
akidah!”.
Hal ini terjadi di tengah masyarakat yang tak
menjadikan akidah dengan serius. Sehingga, mereka saling berusaha
menyenangkan temannya dengan mengorbankan akidahnya, dan melihat masalah
akidah itu sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan jika ia harus
kehilangan teman! Ini adalah keseriusan yang benar-benar serius.
Keseriusan yang tak menerima peremehan, santai, atau basa-basi.
Kemudian Ibrahim’alaihis-salam menyingkapkan
kepada mereka lembaran mereka di akhirat. Hubungan sesama teman yang
mereka amat takut jika terganggu karena akidah, dan yang membuat mereka
terpaksa menyembah berhala karena untuk menjaga hubungan itu, ternyata
di akhirat menjadi permusuhan, saling kecam, dan perpecahan.
“…Kemudian di hari Kiamat sebagian
kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati
sebagian (yang lain)…”
Hari ketika para pengikut mengingkari
orang-orang yang diikutinya, orang-orang yang dibeking mengkafirkan
orang-orang yang membekingnya, setiap kelompok menuduh temannya sebagai
pihak yang menyesatkannya, dan setiap orang yang sesat melaknat teman
yang menyesatkannya!
Kemudian kekafiran dan saling melaknat itu tak
bermanfaat sama sekali, serta tak dapat menghalangi azab bagi siapapun.
“…Dan tempat kembalimu ialah
neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”
Mereka (kaumnya Nabi Ibrahim ’alaihis-salam)
pernah menggunakan api untuk membakar Ibrahim ’alaihis-salam, tapi Allah
kemudian membela dan menyelamatkan Ibrahim ’alaihis-salam dari api itu.
Sementara mereka tak ada yang dapat menolong mereka dan tak ada
keselamatan bagi mereka!
Saudaraku, marilah kita tinggalkan segala
bentuk “berhala modern” yang sadar ataupun tidak selama ini kita
“sembah”. Kita jadikan faham selain Islam sebagai sebuah perekat antara
satu sama lain, padahal persatuan dan kasih-sayang yang dihasilkannya
hanya bersifat fatamorgana. Marilah hanya AL-ISLAM yang kita jadikan
“faktor pemersatu” yang pasti terjamin akan mempersatukan kita di dunia
dan di akhirat. Al-Islam bukan produk manusia melainkan produk Allah
Yg Maha Tahu dan Maha Sempurna pengetahuannya.
Sedemikian hebatnya pengaruh Nasionalisme
sehingga sebagian orang yang mengaku berjuang untuk kepentingan
ummat-pun takluk di bawah ideologi buatan manusia yang satu ini. Betapa
ironisnya perjuangan para politisi Islam tatkala mereka rela untuk
menunjukkan inkonsistensi-nya di hadapan seluruh ummat demi meraih
penerimaan dari fihak lain yang jelas-jelas mengusung Nasionalisme.
Seolah kelompok yang mengusung ideologi Islam harus siap mengorbankan
apapun demi mendapatkan keridhaan kelompok yang mengusung Nasionalisme.
Seolah memelihara persatuan dan soliditas berlandaskan Nasionalisme jauh
lebih penting dan utama daripada mewujudkan al-ukhuwwah wal mahabbah
(persaudaraan dan kasih sayang) berlandaskan aqidah Islam.
Sedemikian dalamnya faham Nasionalisme telah
merasuk ke dalam hati sebagian orang yang mengaku memperjuangkan
aspirasi politik Islam sehingga rela mengatakan bahwa ”Isu penegakkan
Syariat Islam merupakan isu yang sudah usang dan tidak relevan.”
Tidakkah para politisi ini menyadari bahwa ucapan mereka seperti ini
bisa menyebabkan rontoknya eksistensi Syahadatain di dalam dirinya?
Dengan kata lain ucapannya telah mengundang virus ke-murtad-an kepada si
pengucapnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.
Sebagian orang berdalih bahwa jika kita
mengusung syiar ”Penegakkan Syari’at Islam” lalu bagaimana dengan nasib
orang-orang di luar Islam? Saudaraku, disinilah tugas kita orang-orang
beriman untuk mempromosikan Islam sebagai “faktor pemersatu” yg bersifat
Rahmatan lil ‘aalamiin. Tidakkah terasa aneh bila “mereka” bisa dan
boleh dibiarkan mendikte aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/
way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia kepada
kita umat Islam, sedangkan kita umat Islam tidak mampu –bahkan kadang
tidak mau- mempromosikan (baca: berda’wah) menyebarluaskan ajaran Allah
kepada “mereka”? Wallahua’lam.-
“Dan Janganlah kamu percaya
melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: “Sesungguhnya
petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu
percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang
diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan
mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu”. (QS. Ali-‘Imran : 73)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar