Sesungguhnya jika orang kafir ragu atau tidak mengetahui kekafiran
dirinya sendiri, maka itu bisa kita maklumi. Namun sangatlah tidak wajar
kalau orang yang mengaku bara dari orang kafir, namun tidak mengetahui
bahwa orang yang di hadapannya adalah kafir, padahal segala tingkah
laku, keyakinan dan ucapannya sering dia lihat dan dia dengar.
Banyak orang yang mengaku Islam bahkan mengaku dirinya bertauhid
tidak mengetahui bahwa negara tempat ia hidup dan pemerintah yang yang
bertengger di depannya adalah kafir. Ketahuilah, sesungguhnya keIslaman
seseorang atau negara bukanlah dengan sekedar pengakuan, tapi dengan
keyakinan, ucapan dan perbuatannya.
Sesungguhnya kekafiran Negara Indonesia ini bukanlah hanya dari satu
sisi yang bisa jadi tersamar bagi orang yang rabun. Perhatikanlah,
sesungguhnya kekafiran negara ini adalah dari berbagai sisi, yang tentu
saja tidak samar lagi, kecuali atas orang-orang kafir. Inilah sisi-sisi
kekafiran Negara Indonesia dan pemerintahnya:
◦Berhukum dengan selain hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
Indonesia tidak berhukum dengan hukum Allah, tetapi berhukum dengan
qawanin wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang merupakan hasil pemikiran
setan-setan berwujud manusia, baik berupa kutipan atau jiplakan dari
undang-undang penjajah (seperti Belanda, Portugis, dll) maupun
undang-undang produk lokal. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah
turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maaidah: 44)
Ayat ini sangat nyata, meskipun kalangan Murji-ah yang berkedok
Salafiy ingin memalingkannya kepada kufur asghar dengan memelintir
tafsir sebagian salaf yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya.
Negara dan pemerintah negeri ini lebih menyukai undang-undang buatan
manusia daripada Syari’at Allah, maka kekafirannya sangat jelas dan
nyata. Kekafiran undang-undang buatan ini sangat berlipat-lipat bila
dikupas satu per satu, di dalamnya ada bentuk penghalalan yang haram,
pengharaman yang halal, perubahan hukum/ aturan yang telah Allah
tetapkan dan bentuk kekafiran lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seseorang di kala menghalalkan keharaman yang sudah di-ijma-kan,
atau mengharamkan kehalalan yang sudah di-ijma-kan, maka dia kafir
murtad dengan kesepakatan fuqaha”. (Majmu Al Fatawa 3/267)
Bahkan Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menyebutkan
bahwa di antara pentolan thaghut adalah: Orang yang memutuskan dengan
selain apa yang Allah turunkan. Kemudian beliau menyebutkan dalilnya,
yaitu Surat Al Maidah: 44 tadi. (Risalah fie Ma’na Thaghut, lihat dalam
Majmu’ah At Tauhid).
Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
“Tidak ada perselisihan di antara dua orang pun dari kaum muslimin
bahwa orang yang memutuskan dengan Injil dari hal-hal yang tidak ada
nash yang menunjukkan atas hal itu, maka sesungguhnya dia itu kafir
musyrik lagi keluar dari Islam.” (Dari Syarh Nawaqidul Islam ‘Asyrah,
Syaikh Ali Al Khudlair)
Bila saja memutuskan dengan hukum Injil yang padahal itu adalah hukum
Allah -namun sudah dinasakh-, merupakan kekafiran dengan ijma kaum
muslimin, maka apa gerangan bila memutuskan perkara dengan menggunakan
hukum buatan setan (berwujud) manusia, sungguh tentu saja lebih kafir
dari itu…
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan rahimahullah berkata:
“Siapa yang menyelisihi apa yang telah Allah perintahkan kepada
Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cara ia memutuskan di
antara manusia dengan selain apa yang telah Allah turunkan atau ia
meminta hal itu (maksudnya minta diberi putusan dengan selain hukum
Allah) demi mengikuti apa yang dia sukai dan dia inginkan, maka dia
telah melepas ikatan Islam dan iman dari lehernya, meskipun dia mengaku
sebagai mukmin.” (Fathul Majid: 270)
Apakah presiden, wakilnya, para menterinya, para pejabat, para
gubernur hingga lurah, para hakim dan jaksa, apakah mereka memutuskan
dengan hukum Allah atau dengan hukum buatan? Apakah mereka mengamalkan
amanat Allah dan Rasul-Nya atau amanat undang-undang? Jawabannya
sangatlah jelas. Maka dari itu tak ragu lagi bahwa mereka itu adalah
orang kafir.
◦Apakah RI ini berhukum dengan syari’at Allah? Jawabannya: TIDAK.
◦Apakah RI tunduk pada hukum Allah? Jawabannya: TIDAK.
Berarti RI adalah negara jahiliyyah, kafir, zhalim dan fasiq,
sehingga wajib bagi setiap muslim membenci dan memusuhinya, serta
haramlah mencintai dan loyal kepadanya.
◦Mengadukan kasus persengketaannya kepada thaghut
Di antara bentuk kekafiran adalah mengadukan perkara kepada thaghut.
Saat terjadi persengketaan antara RI dan pihak luar, maka sudah menjadi
komitmen negara-negara anggota PBB adalah mengadukan kasusnya ke
Mahkamah Internasional yang berkantor di Den Haag Belanda. Maka inilah
yang dilakukan RI, misalnya saat terjadi sengketa dengan Malaysia
tentang kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, mengadulah negara ini ke
Mahkamah Internasional. Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa
dirinya beriman kepada apa yang telah Allah turunkan kepadamu dan apa
yang telah diturunkan sebelum kamu, seraya mereka ingin merujuk hukum
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir
terhadapnya. Dan syaitan ingin menyesatkan mereka dengan kesesatan yang
sangat jauh”. (An Nisaa: 60)
Yang jelas sesungguhnya negara ini pasti mengadukan kasus sengketanya
dengan negara lain kepada Mahkamah Internasional, padahal Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul serta ulil
‘amri di antara kalian. Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu,
maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya bila kalian memang
beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih baik
dan lebih indah akibatnya”. (An Nisaa: 59)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“(Firman Allah) ini menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk hukum
dalam kasus persengketaannya kepada Al Kitab dan As Sunnah serta tidak
kembali kepada keduanya dalam hal itu, maka dia bukan orang yang beriman
kepada Allah dan hari Akhir.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim: 346)
Hukum internasional adalah rujukan negara-negara yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, sedangkan itu adalah salah satu bentuk
thaghut dan merujuk kepadanya adalah kekafiran dengan ijma ‘ulama.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Siapa yang meninggalkan hukum paten yang diturunkan kepada Muhammad
ibnu ‘Abdillah –sang penutup para Nabi- dan ia justeru merujuk hukum
kepada yang lainnya berupa hukum-hukum yang sudah dinasakh (dihapus),
maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang merujuk hukumkepada
ILYASA dan ia lebih mendahulukannya daripada hukum (yang dibawa
Rasulullah). Siapa yang melakukan itu, maka dia kafir dengan ijma’ kaum
muslimin”. (Al Bidayah wan Nihayah: 13/119)
Jadi ‘konstruksi’ Ilyasa atau Yasiq tersebut adalah sama persis
dengan kitab-kitab hukum yang dipakai di negara ini dan yang lainnya
◦Negara dan pemerintah ini berloyalitas kepada orang-orang kafir,
baik yang duduk di PBB atau yang ada di Amerika, Eropa dll, serta
membantu mereka dalam rangka membungkam para muwahhidin mujahidin
Bukti atas hal ini sangatlah banyak. Salah satunya yang paling
menguntungkan kaum kuffar barat dan timur, yang banyak menjebloskan para
mujahidin ke dalam sel-sel besi adalah diberlakukannya Undang-undang
Anti Jihad (menurut bahasa mereka Undang-undang Anti Terorisme), dan
tentu saja negara ini pun ikut aktif dalam hal itu dengan memberlakukan
UU Anti Terorisme.© Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“……..Dan siapa yang tawalliy (memberikan loyalitas) kepada mereka di
antara kalian, maka sesungguhnya dia tergolong bagian mereka”. (Al
Maaidah: 51)
Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah telah
menyebutkannya dalam risalah beliau tentang Pembatal Keislaman.
◦Memberikan atau memalingkan hak dan wewenang membuat hukum dan
undang-undang kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
Telah kita ketahui bahwa hak menentukan hukum atau aturan atau
undang-undang adalah hak khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, jika
itu dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala maka menjadi
salah satu bentuk dari syirik akbar. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
berfirman:
◦“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya.”
Dalam qiro’ah Ibnu ‘Amir yang mutawatir:
”Dan janganlah kamu sekutukan seorang pun dalam hukum-Nya.” (Al
Kahfi: 26)
◦“Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah.” (Yusuf: 40)
Tasyri’ (pembuatan hukum) adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa
Ta’ala, sehingga pelimpahan sesuatu darinya kepada selain Allah adalah
syirik akbar, sedangkan di NKRI hak dan wewenang pembuatan hukum/ aturan
diserahkan kepada banyak sosok dan lembaga, yaitu kepada MPR, DPR, DPD,
Presiden dll.
Inilah bukti-buktinya:
◦UUD 1945 Bab II Pasal3 ayat 1: “Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar”. Ini artinya MPR
adalah arbab (tuhan-tuhan) selain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Orang-orang yang duduk sebagai anggotanya adalah orang-orang yang
mengaku sebagai ilah (tuhan), sedangkan orang-orang yang memilihnya
dalam Pemilu adalah orang-orang yang mengangkat ilah yang mereka
ibadati. Sehingga ucapan setiap anggota MPR: “Saya adalah anggota MPR”
bermakna “Saya adalah tuhan selain Allah”.
◦UUD 1945 Bab VII Pasal 20 ayat 1: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang undang”. Padahal dalam Tauhid pemegang
kekuasaan Undang-undang/hukum/aturan tak lain hanyalah Allah Subhaanahu
Wa Ta’ala.
◦UUD 1945 Bab VII Pasal 21 ayat 1: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
berhak mengajukan usul rancangan undang-undang”.
◦Bab III PAsal 5 ayat 1: “Presiden berhak mengajukan rancangan
undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Bahkan kekafirannya tidak terbatas pada pelimpahan wewenang hukum
kepada para thaghut itu, tapi semua diikat dengan hukum yang lebih
tinggi, yaitu UUD. Rakyat lewat lembaga MPR-nya boleh berbuat apa saja
TAPI harus sesuai dengan UUD, sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 1 (2):
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang
Undang Dasar”.
Presiden pun kekuasaannya dibatasi oleh UUD sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 Bab III Pasal 4 (1): “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Jadi jelaslah, BUKAN menurut Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi menurut
Undang-Undang Dasar Thaghut. Apakah ini Islam atau kekafiran…?!
Bahkan bila ada perselisihan kewenangan antar lembaga pemerintahan,
maka putusan final diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana
dalam Bab IX Pasal 24c (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutuskan
pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum”.
Perhatikanlah, padahal dalam ajaran Tauhid, semua harus dikembalikan
kepada Allah dan Rasul-Nya:
“…….Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, bila kalian (memang) beriman
kepada Allah dan Hari Akhir”. (An Nisaa: 59)
Dalam tafsir ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “(Ini)
menunjukkan bahwa orang yang tidak merujuk dalam hal sengketa kepada Al
Kitab dan As Sunnah dan tidak kembali kepada keduanya dalam hal itu,
maka dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir ”. (Tafsir Al Qur’an
Al ‘Adhim 2/346)
Demikianlah, dalam Islam Al Qur’an dan As Sunnah adalah tempat untuk
mencari keadilan, tetapi dalam ajaran thaghut RI keadilan ada pada hukum
yang mereka buat sendiri.
◦Pemberian hak untuk berbuat syirik, kekafiran dan kemurtadan dengan
dalilh kebebasan beragama dan HAM
Undang Undang Dasar Thaghut memberikan jaminan kemerdekaan penduduk
untuk meyakini ajaran apa saja, sehingga pintu-pintu kekafiran,
kemusyrikan dan kemurtadan terbuka lebar dengan jaminan UUD. Orang yang
murtad dengan masuk agama lain merupakan hak kemerdekaannya dan tak ada
sanksi hukum atasnya, padahal dalam ajaran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
orang yang murtad hanya memiliki dua pilihan: Kembali pada Islam atau
menerima sanksi bunuh, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam:
“Siapa yang mengganti dien-nya, maka bunuhlah dia”. (Muttafaq ‘Alaih)
Berhala-berhala yang disembah baik yang berbentuk batu atau selainnya
dan budaya syirik dalam berbagai bentuk, seperti meminta-minta ke
kuburan, membuat sesajen, memberikan tumbal, mengkultuskan sosok dan
bentuk-bentuk syirik lainnya mendapatkan jaminan perlindungan
sebagaimana tercantum dalam:
◦Bab XI Pasal 28 I (3): “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
◦Bab XI Pasal 29 (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu“.
Mengeluarkan pendapat, pikiran dan sikap, meskipun berbentuk
kekafiran adalah hak yang dilindungi negara:
◦Bab X A Pasal 28E (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”.
◦Bab X A Pasal 28E (3): “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
◦Menyamakan antara orang kafir dengan orang muslim
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah membedakan antara orang kafir dengan
orang muslim dalam ayat-ayat yang sangat banyak.
“Tidaklah sama (calon) penghuni neraka dengan penghuni surga…”
(Al Hasyr: 20)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman seraya mengingkari orang yang
menyamakan antara dua kelompok dan membaurkan hukum-hukum mereka:
◦“Apakah Kami menjadikan orang-orang muslim seperti orang-orang
mujrim (kafir)”. (Al Qalam 35-36)
◦“Dan apakah orang-orang yang beriman itu seperti orang-orang yang
fasiq? ” (As Sajdah: 18)
◦“Katakanlah: Tidak sama orang yang busuk dengan orang yang baik”.
(Al Maaidah: 100)
◦Allah Subhaanahu Wa Ta’ala ingin memilah antara orang kafir dengan
orang mukmin:
“Agar Allah memilah orang yang buruk dari orang yang baik”. (Al
Anfaal 37)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menginginkan adanya garis pemisah syar’i
antara para wali-Nya dengan musuh-musuh-Nya dalam hukum-hukum dunia dan
akhirat. Namun orang-orang yang mengikuti syahwat dari kalangan budak
undang-undang negeri ini ingin menyamakan antara mereka, sehingga
termaktub dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 (1): “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Maka dari itu
mereka MENGHAPUS segala bentuk pengaruh agama dalam hal pemilahan dan
perbedaan di antara masyarakat. Mereka sama sekali tidak menerapkan
sanksi yang bersifat agama dalam UU mereka. Mereka tidak menggunakan
sanksi yang telah Allah turunkan, dan yang paling fatal adalah tak ada
sanksi bagi orang yang murtad. Karena mereka menyamakan semua pemeluk
agama dalam hal darah dan kehormatan, kemaluan dan harta, serta mereka
menghilangkan segala bentuk konsekuensi hukum akibat kekafiran dan
kemurtadan.
Renungkanlah, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala membedakan antara muslim dan
kafir, tapi hukum thaghut justeru menyamakannya. Maka siapakah yang
lebih baik? Tentulah aturan Allah Yang Maha Esa.
◦Sistem yang berjalan adalah demokrasi
“Kekuasaan (hukum) ada di tangan rakyat” (bukan di Tangan Allah),
itulah demokrasi, dan sistem inilah yang berjalan di negara ini. Dalam
UUD 1945 Bab I Pasal 1(2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD”. Sehingga disebutkan juga dalam Bab X A Pasal
28 I(5): “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka……”dll
Kedaulatan, kekuasaan serta wewenang hukum dalam ajaran dan dien
(agama) demokrasi ada di tangan rakyat atau mayoritasnya. Sedangkan
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
◦“Dan apa yang kalian perselisihkan di dalamnya tentang sesuatu, maka
putusannya (diserahkan) kepada Allah”. (Asy Syura: 10)
( “Kemudian bila kalian berselisih tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, bila kalian memang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir”. (An Nisaa: 59)
◦“(Hukum) putusan itu hanyalah milik Allah”. (Yusuf: 40)
Namun para budak UUD mengatakan: “Putusan itu hanyalah milik rakyat
lewat wakil-wakilnya, apa yang ditetapkan oleh Majelis Rakyat ‘boleh’,
maka itulah yang halal, dan apa yang ditetapkan ‘tidak boleh’, maka
itulah yang haram”. Inilah yang dimaksud oleh pasal di awal pembahasan
point ini.
Dalam agama demokrasi, keputusan yang benar yang mesti dijalankan
adalah hukum atau putusan mayoritas, sebagaimana yang dinyatakan UUD
1945 Bab II Pasal 2(3): “Segala putusan Majelis Permusyawaratan rakyat
ditetapkan dengan suara terbanyak”. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
menyatakan:
◦“Dan bila kamu mentaati mayoritas orang yang ada di bumi, tentulah
mereka menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Al An’am: 116)
◦“Dan tidaklah mayoritas manusia itu beriman, meskipun kamu
menginginkannya”. (Yusuf: 103)
◦“….namun mayoritas manusia tidak mengetahuinya”. (Al Jatsiyah: 26)
◦“….Namun mayoritas manusia itu tidak mensyukurinya”. (Ghafir: 61)
◦“……Namun mayoritas manusia itu tidak beriman”. (Ghafir: 59)
◦“Dan mayoritas manusia tidak mau, kecuali mengingkari”.(Al Furqaan:
50)
◦“Dan mayoritas mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mereka
itu menyekutukan(Nya)”. (Yusuf: 106)
◦“Dan mayoritas mereka tidak suka pada kebenaran”. (Al Mu’minuun: 70)
◦“….Bahkan mayoritas mereka tidak memahami”. (Al ‘Ankabuut: 63)
Cobalah bandingkan dengan agama demokrasi yang dianut oleh pemerintah
dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI) !!
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan:
“Dan putuskan di antara mereka dengan pa yang telah Allah turunkan
dan jangan ikuti keinginan-keinginan mereka, serta hati-hatilah mereka
memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu”.
(Al Maaidah: 49)
Tetapi dalam agama demokrasi: Putuskanlah di antara mereka dengan apa
yang mereka gulirkan dan ikutilah keinginan mereka serta hati-hatilah
kamu menyelisihi apa yang diinginkan rakyat…
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya”. (Al Kahfi:
26)
Namun dalam agama demokrasi, bukan sekedar menyekutukan selain Allah
dalam hukum, tetapi hak dan wewenang membuat hukum itu secara frontal
dirampas secara total dari Allah dan dilimpahkan kepada rakyat (atau
wakilnya).
Rakyat atau wakil-wakilnya adalah tuhan dalam agama demokrasi, maka
seandainya ada orang yang mau menggulirkan hukum Allah (misalnya sebatas
pengharaman khamr atau penegakkan rajam) tentu saja harus disodorkan
dahulu kepada DPR untuk dibahas bersama presiden, demi mendapatkan
persetujuan bersama. (Betapa mengerikannya hal ini, karena wahyu Allah
-Tuhan alam semesta- harus terlebih dahulu mendapat persetujuan makhluk
bumi yang hina…ed)
Dalam realitanya pengguliran hukum Allah itu tak mungkin terwujud,
karena setiap peraturan tak boleh bertentangan dengan konstitusi negara,
yaitu UUD 1945.
Agama demokrasi menjamin bahwa rakyat memiliki hak untuk bebas
memilih, bila rakyat memilih kekafiran dan kemusyrikan, maka itulah
kebenaran…
Enyahlah ajaran busuk ini dan enyahlah syaithan yang
mewahyukannya…!!!
◦NKRI berlandaskan Pancasila
Pancasila -yang notabene hasil pemikiran manusia- adalah dasar negara
ini, sehingga para thaghut RI dan aparatnya menyatakan bahwa Pancasila
adalah pandangan hidup, dasar negara RI serta sumber kejiwaan masyarakat
dan negara RI, bahkan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di
Indonesia. Oleh sebab itu pengamalannya harus dimulai dari setiap warga
negara Indonesia dan setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan
berkembang menjadi pengamalan Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan
serta lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah. (Silahkan
lihat buku-buku PPKn atau yang sejenisnya).
Jadi dasar negara RI, pandangan hidup dan sumber kejiwaannya bukanlah
Laa ilaaha illallaah, tapi falsafah syirik Pancasila thaghutiyyah
syaithaniyyah yang digali dari bumi Indonesia bukan dari wahyu samawiy
ilahiy.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Itulah Al Kitab (Al Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai
petunjuk (pedoman) bagi orang-orang yang bertaqwa”.(Al Baqarah: 2)
Tapi mereka mengatakan: Inilah Pancasila, pedoman hayati bagi bangsa
dan pemerintah Indonesia. (=Inilah Pancasila, tidak ada keraguan di
dalamnya, sebagai petunjuk (pedoman) bagi bangsa dan pemerintah
Indonesia)
Kemudian kami katakan kepada mereka: Inilah Pancasila, sungguh tak
ada keraguan, sebagai pedoman kaum musyrikin Indonesia.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“……..Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah
ia..” (Al An’am: 153)
Tapi mereka mengatakan: Inilah Pancasila Sakti, maka hiasilah hidupmu
dengan moral Pancasila.
Dalam rangka menjadikan generasi penerus bangsa ini sebagai orang
yang Pancasilais (baca: musyrik), para thaghut menjadikan PPKn
(Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) atau Pendidikan
Kewarganegaraan atau Tata Negara atau Kewiraan sebagai mata pelajaran
bagi para sisiwa atau mata kuliah wajib bagi para mahasiswa. Siapa yang
tak lulus dalam matpel atau matkul ini, maka jangan harap dia lulus dari
lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Dalam kesempatan ini, marilah kita kupas beberapa butir dari
sila-sila Pancasila yang sempat (bertahun-tahun) wajib dihafal, diujikan
dan dijadikan materi penataran P4 di era ORBA:
Sila ke-1 Butir ke-2:
Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya
Pancasila memberikan kebebasan orang untuk memilih jalan hidupnya.
Seandainya ada muslim yang murtad dengan masuk Nasrani, Hindu atau
Budha, maka berdasarkan Pancasila itu adalah hak asasinya, kebebasannya,
dan tidak ada hukuman baginya, bahkan si pelaku mendapat jaminan
perlindungan. Hal ini jelas membuka lebar-lebar pintu kemurtadan,
sedangkan dalam ajaran Tauhid, Rasulullah bersabda:
“Siapa yang merubah dien (agama)nya, maka bunuhlah dia” (Muttafaq
‘alaih)
Di sisi lain banyak orang muslim tertipu, karena dengan butir ini
mereka merasa dijamin kebebasannya untuk beribadat, mereka berfikir toh
bisa adzan, bisa shalat, bisa shaum, bisa zakat, bisa haji, bisa ini
bisa itu, padahal kebebasan ini tidak mutlak, kebebasan ini tidak
berarti kaum muslimin bisa melaksanakan sepenuhnya ajaran Islam,
lihatlah apakah di Indonesia bisa ditegakkan had? Apakah kaum muslimin
bebas untuk ikut serta di front jihad manapun? Tentu tidak, karena
dibatasi oleh butir Pancasila yang lain.
Sila ke-1 Butir ke-1:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang beradab
Ya, beradab menurut ukuran isi otak mereka, bukan beradab sesuai
tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Contoh: Ada orang yang murtad dari Islam,
lalu ada muslim yang menegakkan hukum Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dengan
membunuhnya, maka orang yang membunuh demi menegakkan hukum Allah ini
jelas akan ditangkap dan dijerat hukum thaghut lalu dijebloskan ke balik
jeruji besi.
Berdasarkan butir ini, seorang muslim pun tidak bisa nahyi munkar,
contoh: jika seorang muslim melihat syirik –sebagai kemunkaran terbesar-
dilakukan, misalnya ada yang menyembah batu atau arca, minta-minta ke
kuburan, mempersembahkan sesajen atau tumbal, maka bila ia bertindak
dengan mencegahnya atau mengacaukan acara ritual musyrik itu, maka sudah
pasti dialah yang ditangkap dan dipenjara (dengan tuduhan mengacaukan
keamanan atau merusak program kebudayaan dan pariwisata, ed ), padahal
nahyi munkar adalah ibadah yang sangat tinggi nilainya dalam agama
Islam. Lalu apakah arti kebebasan yang disebutkan itu? Bangunlah wahai
kaum muslimin, jangan kau terbuai sihir para thaghut…
Sila ke-2 Butir ke-1:
Mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban antara
sesama manusia
Maknanya adalah tidak ada perbedaan di antara mereka dalam status
derajat, hak dan kewajiban dengan sebab dien (agama), sedangkan Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
◦“Katakanlah: Tidak sama orang yang buruk dengan orang yang baik,
meskipun banyaknya yang buruk menakjubkan kamu”. (Al Maaidah: 100)
◦“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan yang bisa melihat, tidak
pula kegelapan dengan cahaya, dan tidak sama pula tempat yang teduh
dengan yang panas, serta tidak sama orang-orang yang hidup dengan yang
sudah mati”. (Faathir: 19-22)
◦“Tidaklah sama penghuni neraka dengan penghuni surga”. (Al Hasyr:
20)
◦“Maka apakah orang yang mu’min (sama) seperti orang yang fasiq?
(tentu) tidaklah sama…” (As Sajdah: 18) (Sedangkan kaum musyrikin dan
thaghut Pancasila menyatakan: “Mereka sama…”)
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka apakah Kami menjadikan orang-orang Islam (sama) seperti
orang-orang kafir. Mengapa kamu (berbuat demikian): Bagaimanakah kamu
mengambil keputusan? Atau adakah kamu memiliki sebuah Kitab (yang
diturunkan Allah) yang kamu baca, di dalamnya kamu benar-benar boleh
memilih apa yang kamu sukai untukmu?”. (Al Qalam: 35-38)
Sedangkan budak Pancasila menyamakan antara orang-orang Islam dengan
orang-orang kafir.
Jika kita bertanya kepada mereka: Apakah kalian mempunyai buku yang
kalian pelajari tentang itu?
Mereka menjawab: Ya, tentu kami punya, yaitu buku PPKn dan buku-buku
lainnya yang di dalamnya menyebutkan: Mengakui persamaan derajat, hak
dan kewajiban antara sesama manusia.
Wahai orang yang berfikir, apakah ini Tauhid atau kekafiran….?
Sila ke-2 Butir ke-2
Saling mencintai sesama manusia
Pancasila mengajarkan pemeluknya untuk mencintai orang-orang Nasrani,
Budha, Hindu, Konghucu, kaum sekuler, kaum liberal, para demokrat, para
quburiyyun, para thaghut dan orang-orang kafir lainnya. Sedangkan Allah
Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan:
”Engkau tidak akan mendapati orang-orang yang yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, atau
anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, atau karib kerabat
mereka” (Al Mujaadilah: 22).
Pancasila berkata: Haruslah saling mencintai, meskipun dengan orang
non muslim (baca: Kafir).
Namun Allah memvonis: Orang yang saling mencintai dengan orang kafir,
maka mereka bukan orang Islam, bukan orang yang beriman.
Jadi jelaslah bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala mengajarkan Tauhid,
sedangkan Pancasila mengajarkan kekafiran. Dia berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan musuh-Ku dan
musuh kalian sebagai auliya yang mana kalian menjalin kasih sayag
terhadap mereka”. (Al Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya orang-orang kafir adalah musuh yang nyata bagi kalian”.
(An Nisaa: 101)
Renungilah ayat-ayat suci tersebut dan amati butir Pancasila di atas.
Lihatlah, yang satu arahnya ke timur, sedangkan yang satu lagi ke
barat.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman tentang ajaran Tauhid yang
diserukan oleh para Rasul:
“…Serta tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian
selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (Al Mumtahanah:
4)
Namun dalam ajaran thaghut Pancasila: Tidak ada permusuhan dan
kebencian, tapi harus toleran dan tenggang rasa dengan sesama manusia
apapun keyakinannya.
Apakah ini tauhid atau syirik? Ya tauhid, tapi bukan tauhidullah,
namun tauhid (penyatuan) kaum musyrikin atau tauhidut thawaaghiit.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah
dan benci karena Allah”.
Namun seseorang yang beriman kepada Pancasila akan mencintai dan
membenci atas dasar Pancasila. Dia itu mu’min (beriman), tapi bukan
kepada Allah, namun iman kepada thaghut Pancasila. Inilah makna yang
hakiki dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun Yang Maha Esa dalam agama
Pancasila bukanlah Allah, tapi itulah Garuda Pancasila yang melindungi
pemuja batu dan berhala !!!
Enyahlah tuhan esa yang seperti itu…dan enyahlah pemujanya…
Sila ke-3 Butir ke-1
Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa
di atas kepentingan pribadi atau golongan
Inilah yang dinamakan dien (agama) nasionalisme yang juga merupakan
salah satu bentuk ajaran syirik, karena menuhankan negara (tanah air).
Dalam butir di atas disebutkan bahwa kepentingan nasional harus
didahulukan atas kepentingan apapun, termasuk kepentingan golongan
(baca: agama). Jika ajaran Tauhid (dien Islam) bertentangan dengan
kepentingan syirik dan kekufuran negara, maka Tauhid harus mengalah.
Sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
◦“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah
dan Rasul-Nya”. (Al Hujurat: 1)
◦“Katakanlah: Bila ayah-ayah kalian, anak-anak kalian,
saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, karib kerabat kalian,
harta yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya
dan rumah-rumah yang engkau sukai lebih kalian cintai daripada Allah
dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah….” (At
Taubah: 24)
Maka dari itu jika nasionalisme adalah segalanya, maka hukum-hukum
yang dibuat dan diterapkan adalah yang disetujui oleh kaum kafir asli
dan kaum kafir murtad. Syari’at Islam yang utuh tak mungkin ditegakkan,
karena menurut mereka syari’at (hukum) Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
sangat-sangat menghancurkan tatanan kehidupan yang berdasarkan paham
nasionalis.©
Sebenarnya jika setiap butir dari sila-sila Pancasila itu dijabarkan
seraya ditimbang dengan Tauhid, tentulah membutuhkan waktu dan lembaran
yang banyak. Penjabaran di atas hanyalah sebagian kecil dari bukti
kerancuan, kekafiran, kemusyrikan dan kezindiqan Pancasila sebagai hukum
buatan manusia yang merasa lebih adil dari Allah. Uraian ini insya
Allah telah memenuhi kadar cukup sebagai hujjah bagi para pembangkang
dan cahaya bagi yang mengharapkan lagi merindukan hidayah.
Maka setelah mengetahui kekafiran Pancasila ini, apakah mungkin bagi
seseorang yang mengaku sebagai muslim masih mau melantunkan lagu:
“Garuda Pancasila… akulah pendukungmu… … … sedia berkorban untukmu… …?’
Sungguh, tak ada yang menyanyikannya, kecuali seorang kafir mulhid atau
orang jahil yang sesat, yang tidak tahu hakikat Pancasila.
Pembaca sekalian, demikianlah sebagian kecil dari sisi-sisi kekafiran
NKRI. Ini hanyalah ringkasan kecil dari kekafiran-kekafiran nyata yang
beraneka ragam.
Intinya, jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya
berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan
tidak tunduk pada aturan Allah, maka negara tersebut adalah negara
kafir, negara zhalim, negara fasiq dan negara jahiliyyah berdasarkan
uraian nash-nash syar’iy di atas. Begitu juga pemerintahnya, karena
tidak akan berdiri suatu negara tanpa ada pemerintah pelaksananya.
Sehingga wajib atas setiap orang muslim untuk membenci dan memusuhinya
serta haram cinta dan loyalitas kepadanya.
Setelah memahami hal ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa TIDAK
BENAR memerintahkan kaum muslimin untuk loyal kepada pemerintah semacam
ini dengan menggunakan dalil surat An Nisa: 59 tentang kewajiban taat
kepada ulul amri, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah “dari
kalangan kalian” yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman,
sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN
orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah thaghut,
orang musyrik, orang-orang kafir lagi murtad, sedangkan orang-orang
murtad itu adalah lebih buruk daripada orang kafir asli berdasarkan ijma
para ulama. Jadi, jelaslah isi ayat itu tidak sesuai dengan pemerintah
ini.
Akan tetapi yang tepat bagi pemerintah semacam ini adalah:
1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (At Taubah: 12)
Jadi yang tepat bukan harus ditaati, bukan pula diberi loyalitas,
akan tetapi yang semestinya ada adalah sikap qital (perang).
1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah
ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat
dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk
berjalan” (At Taubah: 5)
Jika mereka bertaubat, maksudnya bertaubat dari kemusyrikannya, dari
kethaghutannya, dari kekafirannya, mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka berilah mereka jalan dan jangan diganggu.
Sedangkan jika pemerintahan ini tidak bertaubat dari kethaghutannya,
dari Pancasilanya, dari demokrasinya dan dari kekufuran lainnya, maka
mereka masih masuk ke dalam cakupan ayat ini.
1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang
yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan
(wali-wali) syaitan itu” (An Nisa: 76)
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dalam rangka
mengokohkan hukum Allah, menjunjung tinggi ajaran-Nya, sedangkan
orang-orang kafir ─yang di antaranya adalah pemerintahan NKRI ini dan
ansharnya─ mereka berjuang, berperang, berkiprah dengan segala cara
dalam rangka mengokohkan sistem thaghut. Jadi, mereka berperang di jalan
thaghut, maka bagaimana seharusnya sikap kaum muslimin ? Allah
menyatakan “sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu”.
Perhatikanlah… mereka bukan ulil amri, akan tetapi mereka adalah
wali-wali syaitan yang Allah perintahkan untuk memeranginya.
1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah, dan dien
(ketundukan) hanya bagi Allah semata” (Al Baqarah: 193)
Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, tidak ada lagi
ideologi syirik, tidak ada lagi kekafiran, tidak ada lagi penghalang
kepada jalan Allah, tidak ada lagi penindasan terhadap kaum muslimin
yang taat kepada Allah… bukan taat kepada Pancasila atau Undang Undang
Dasar atau demokrasi, tapi hanya taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Selama Ad Dien (ketundukan) belum sepenuhnya kepada Allah, maka al
qital (perang) belum berhenti, selama fitnah (bencana) terhadap kaum
muslimin yang taat dan berkomitmen dengan ajaran Allah masih
dikejar-kejar atau dipersempit hidupnya, masih ditangkapi, dipenjarakan
dan masih dibunuhi… maka berarti masih ada fitnah !! Selama kemusyrikan
didoktrinkan maka fitnah masih ada. Selama fitnah masih ada maka al
qital tidak akan berhenti.
1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti
(dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang
sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku
(kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu
(dibinasakan)”. Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya dien itu semata-mata untuk Allah”. (Al Anfal: 38-39)
Jadi, al qital tidak akan berhenti terhadap para penguasa yang
menentang aturan Allah, yang menyebar fitnah (bencana) kemusyrikan dan
penindasan terhadap kaum muslimin, merampas dan memeras harta kaum
muslimin, baik dengan cara kasar maupun halus, maka qital tidak akan
berhenti terhadap pemerintah yang seperti ini.
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu”
(At Taubah: 123)
Perangilah orang-orang yang ada disekitar kamu, yang ada di dekat
kamu dan dalam realitanya bukan hanya dekat, akan tapi mereka telah
menguasai harta, diri, dan tanah air kita. Merekalah thaghut penguasa
negeri ini, merekalah orang-orang kafir itu. Mereka telah sekian lama
memerangi, menindas diri dan merampas harta kaum muslimin. Mereka
mewajibkan ini dan itu yang bertentangan dengan ajaran Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Merekalah orang-rang kafir yang dekat, maka tidak usah jauh-jauh
pergi berperang untuk mencari orang kafir, ini yang dekat justeru sudah
memusuhi dan memerangi semenjak dahulu. Bahkan para ulama sepakat bahwa
memerangi penguasa murtad adalah lebih harus didahulukan memeranginya
daripada orang-orang kafir asli, apalagi orang-orang kafir yang jauh…
1.6. Hadits ‘Ubadah ibnu Shamit (HR. Bukhari dam Muslim)
«دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعناه، فكان فيما أخذ علينا أن
بايعنا على السمع والطاعة في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا وعُسْرِنا ويُسْرِنا
وأَثَرَةٍ علينا، وأن لا ننازع الأمر أهله، قال: إلا أن تروا كفرا بواحا
عندكم من الله فيه برهان«
“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami, maka kami
membai’atnya, maka di antara yang beliau ambil janjinya atas kami adalah
kami membai’at(nya) untuk senantiasa mendengar dan taat, saat senang
dan saat benci, di waktu sulit dan waktu mudah kami, serta saat kami
diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak merampas urusan dari yang
berhak (penguasa) “kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dengan
bukti dari Allah yang ada pada kalian””
Sedangkan kita sudah banyak melihat bentuk-bentuk kekafiran yang
dianut dan masih senantiasa dilakukan penguasa negeri ini, sehingga
tidak layak berdalil dengan surat An Nisa: 59 untuk menggelari
pemerintah ini sebagai ulil amri, akan tetapi yang tepat adalah
ayat-ayat yang baru saja dibahas dan ditambah dengan hadits ini.
Para ulama sepakat bahwa orang kafir tidak sah untuk menjadi pemimpin
bagi kaum muslimin. Bila pemimpin tersebut asalnya muslim kemudian
muncul kekafiran darinya, maka wajib untuk mencopotnya dan menggantinya
dengan pemimpin yang muslim. Bila tidak mampu mencopotnya karena mereka
menggunakan kekuasaan untuk mempertahankannya, maka wajib diperangi.
An Nawawi rahimahullah berkata: “Al Qadli ‘Iyadl berkata: Para ulama
telah ijma bahwa kepemimpinan itu tidak sah bagi orang kafir dan bahwa
seandainya si pemimpin menjadi kafir maka dia terlengser – sampai
ucapannya – Bila muncul darinya kekafiran atau perubahan terhadap
syari’at atau bid’ah, maka dia keluar dari statusnya sebagai pemimpin
dan gugurlah (kewajiban) taat kepadanya, serta wajib atas kaum muslimin
untuk bangkit menentangnya dan mencopotnya serta mengangkat pemimpin
yang adil (sebagai pengganti) bila hal itu bisa mereka lakukan. Dan bila
hal itu tidak terbukti bisa dilakukan kecuali bagi suatu kelompok maka
mereka wajib bangkit menentangnya dan mencopot orang kafir itu, dan
tidak wajib mencopot ahli bid’ah kecuali bila mereka memperkirakan mampu
menentangnya, namun bila ternyata jelasa bahwa mereka itu tidak mampu,
maka tidak wajib bangkit melawannya, dan hendaklah orang muslim hijrah
dari negerinya ke negeri yang lain dan lari dengan agamanya.” (Shahih
Muslim Bi Syarh An Nawawi 12/229, dari Al ‘Umdah: 489)
Namun dalam relaita zaman ini, kekafirannya bukanlah kekafiran yang
bersifat personal, akan tetapi kekafiran yang kolektif dan sistematis,
sehingga jika penguasa yang satu mati, maka sistemnya belum mati dan
orang-orang setelahnya akan menggantikan dia, karena sistem kafirnya
tidak mati dan tetap mengakar.
Tugas kita adalah wajib menggalang kekuatan dengan langkah awalnya
adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggencarkan dakwah Tauhid
yang berkesinambungan untuk mencabut akar-akar loyalitas terhadap
thaghut di tengah masyarakat, sehingga thaghut tidak mempunyai tempat
lagi di tengah-tengah masyarakat ini.
Jihad terhadap thaghut ini haruslah menjadi opini kaum muslimin, kaum
muslimin harus merasa memiliki tanggung jawab terhadap masalah ini,
sehingga tidak hanya dipikul oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Bukan
berarti seluruh kaum muslimin harus terjun dengan menenteng senjata,
tapi yang paling penting bagi mereka adalah harus memahami betul bahwa
penguasa negeri yang mana mereka hidup di dalamnya adalah penguasa
murtad kafir yang tidak boleh diberikan loyalitas, sehingga dengan
kesadaran itu lunturlah dukungan kepada para thaghut dan tumbuhlah
loyalitas kepada orang-orang yang berkomitmen dengan ajaran Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila ini terwujud, maka kondisi akan berubah, dukungan kepada thaghut
akan berganti dengan penentangan, sehingga mudahlah untuk menjatuhkan
para thaghut itu.
BERSABARLAH…!!! Proses ini tidak mudah dan tidak akan terjadi begitu
saja, tahap awal yang patut dilakukan adalah memberikan bayan
(penjelasan) atau penyampaian risalah tauhid, karena perlu penyadaran
terhadap masyarakat tentang kenapa penguasa negeri ini dikatakan sebagai
penguasa kafir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu” (Al
Baqarah: 191)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan untuk mengusir orang-orang
kafir sebagaimana mereka pernah mengusir kaum muslimin. Rasulullah
diperintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka telah
mengusir Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Perhatikan… para thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang
komitmen dengan ajaran Islam dari jajaran masyarakat dengan cara
menanamkan image negatif tentang mereka, memprovokasi, memfitnah dan
membodoh-bodohi masyarakat dengan menuduh orang-orang yang bertauhid
sebagai orang-orang bodoh, tidak memahami Islam secara utuh, orang yang
dangkal pikiran atau orang yang haus dunia dan kekuasaan, maka menjadi
wajiblah pula bagi kaum muslimin untuk mencopot para thaghut ini dari
benak masyarakat dengan cara menyebarkan ilmu syar’iy, khususnya tentang
tauhid dan kewajiban memerangi penguasa semacam itu.
Begitu pula dalam masalah harta, sebagaimana para thaghut itu telah
menjauhkan orang-orang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa
Ta’ala dari harta mereka, bahkan thaghut selalu berupaya mempersulit
hidup mereka, maka wajib pula bagi orang-orang yang bertauhid yang komit
terhadap ajaran-Nya untuk menjauhkan thaghut dari harta yang mereka
miliki, karena sebagian besar harta yang jatuh ke tangan thaghut
digunakan untuk mempersenjatai tentara mereka untuk memerangi Allah dan
Rasul-Nya, oleh sebab itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendo’akan orang-orang Quraiys agar dilanda paceklik, dengan tujuan
agar mereka mendapatkan kesusahan sehingga tidak lagi menindas kaum
muslimin dan dana yang mereka keluarkan tidak digunakan untuk mendukung
hal itu. Maka haramlah atas setiap muslim untuk membayar atau
menyerahkan harta kepada penguasa kafir dalam bentuk apapun, kecuali
dalam kondisi terdesak atau dipaksa, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al
Maaidah: 2)
dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Janganlah kalian menyerahkan harta-harta kalian kepada orang-orang
bodoh itu” (An Nisa: 5)
Perhatikanlah… jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang menyerahkan
harta kaum muslimin kepada orang-orang yang tidak bisa menggunakan
dengan benar, sedangkan bentuk kebodohan yang paling dasyat adalah
orang-orang yang tidak suka dengan ajaran tauhid, salah satunya yaitu
para thaghut. Allah menyatakan:
“Dan tidak ada yang benci kepada Millah Ibrahim, kecuali orang yang
memperbodoh dirinya sendiri” (Al Baqarah: 130)
Jadi, seharusnya harta yang diambil dari kaum muslimin, mereka
pergunakan di jalan Allah, bukan di jalan thaghut yang digunakan untuk
memerangi Allah dan kaum muslimin.
Hendaklah diketahui bahwa pemerintahan thaghut ini adalah
pemerintahan yang tidak sah, tidak syar’iy, tidak diakui secara Islam.
Mereka adalah pemerintah yang memaksakan diri, begitu pula hukum dan
undang-undangnya tidak sah, oleh sebab itu kaum muslimin tidak memiliki
kewajiban untuk taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah
thaghut ini, bahkan bebas untuk melanggarnya selama memenuhi dua syarat,
yaitu: selama tidak melakukan sesuatu yang dilarang syari’at dan selama
tidak menzhalimi orang muslim lainnya.
Demikianlah sikap kita kaum muslim terhadap para thaghut penguasa
negeri ini, bukan loyal dan taat kepada mereka, tapi ingatlah bahwa kita
adalah orang-orang yang ditindas, diperangi dengan berbagai cara: kasar
dan halus, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, tapi… sungguh banyak
kaum muslimin tidak menyadarinya. Ini karena kebanyakan kaum muslimin
belum memahami hakikat Laa ilaaha illallaah. Mereka mengira penguasa
negeri ini adalah muslim, karena para thaghutnya itu shalat, shaum,
zakat, bahkan haji berkali-kali, padahal penguasa negeri ini telah
melanggar hal yang paling penting dan fundamental, yaitu syahadat Laa
ilaaha illallaah…
Namun bila ternya kondisi kita lemah dari memerangi mereka, maka
kewajiban kita adalah mempersiapkan diri untuk mencapai kadar kemampuan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sebagaimana mempersiapkan diri
untuk jihad dengan menyiapkan kekuatan dan kuda-kuda yang ditambatkan
itu adalah wajib di saat gugurnya jihad karena kondisi lemah, karena
sesungguhnya sesuatu yang mana kewajiban tidak bisa terealisasi kecuali
dengan hal itu maka sesungguhnya hal itu adalah wajib.” (Majmu’ Al
Fatawa 28/259, dari Al ‘Umdah: 490)
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita
Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai
hari kiamat. Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin…
--------------------------------------------------------------------------------
© Diantaranya adalah: UU No.15 Th. 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah No.24 Th. 2003 tentang Tata
Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
dalam perkara Tindak Pidana Terorisme.(ed.)
© Perhatikanlah, demi Allah pada hakikatnya tak ada kaum nasionalis
Islami atau yang sering juga disebut kaum nasionalis religius, karena
Islam tak mengenal cinta negara atau bangsa atau tanah air dengan
membabi buta, yang menjadi ukuran cinta dan benci adalah hanya keimanan.
Islam mengajarkan bahwa kepentingan agama adalah segalanya, jelaslah
tak ada kepentingan yang boleh didahulukan di atas kepentingan agama
Allah, apalagi kepentingan negara kafir ini. (ed.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar