Dlawabit (batasan-batasan) Takfir #5
7.
Ucapan saya –dalam kaidah takfir–:
“Dan
memvonis terhadapnyaorang yang layak untuk
menghukumi”
Maka makna “dan memvonis
terhadapnya”, yaitu dengan vonis kafir dan murtad dengan
sebab perbuatannya yang mukaffir bila terpenuhi syaratnya dan
penghalangnya tidak ada. Sedang makna (orang yang layak untuk
menghukumi) yaitu seperti qadli, mufti, dan yang lainnya dari kalangan
ahlu ilmu dan seyogyanya dia itu mujtahid berdasarkan sabda Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam: “Bila hakim memutuskan terus dia
ijtihad kemudian tepat, maka ia mendapat dua pahala dan bila dia
memutuskan terus dia ijtihad kemudian dia keliru, maka ia mendapat satu
pahala” (Mutaffaq
‘alaih)
Bila mujtahid tidak ada, maka muqallid
sesuai urutan yang telah kami utarakan dalam Maratibul Muftin
di bab ke 5 dari kitab ini. Ibnu Taimiyyahrahimahullah
berkata: “Dan syarat-syarat para qadli adalah diperhitungkan sesuai
dengan kemungkinan dan wajib mengangkat orang yang paling layak kemudian
yang berikutnya. Dan ini ditunjukan oleh ucapan Ahmad dan yang lainnya
kemudian karena tidak adanya yang layak, maka diangkat orang yang paling
adil dan paling minimal keburukannya. Antara dua orang fasiq serta dua
orang paling adil dan paling mengetahui akan taqlid di antara dua orang
yang bertaqlid” (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, kumpulan ‘Alauddin
Al Ba’iliy, tahqiq Al Faqiy terbitan Darul Ma’rifah:332)
Dan di sini ada rincian:
A. Barang siapa murtad
di Darul Islam, maka putusan terhadapnya adalah di tangan Qadliy
pemilik kewenangan peradilan, sedangkan orang yang berbicara tentang hal
ini dari kalangan para ulama selain Qadliy, maka ucapan mereka adalah
fatwa dan bukan putusan. An Nawawiy rh berkata: “–dalam
pemberian fatwa si mufti tentang masalah-masalah kemurtadan– Ash
Shumairiy dan Al Khathib berkata: “Bila
ditanya tentang orang yang berkata: Saya lebih jujur dari Muhammad Ibnu
Abdillah atau bahwa shalat itu main-main dan yang serupa itu, maka
jangan segera menjawab: “Ini halal darahnya atau mesti dibunuh”, namun
ia (mesti) mengatakan: “Bila ini benar dengan pengakuannya atau dengan
bukti (saksi), maka sulthan meng-istitabah-nya, bila ia taubat, maka
diterima taubatnya dan bila ia tidak menyebutkan banyak hal dalam hal
itu. Berkata –yaitu Ash Shumairiy dan Al
Khathib–: Dan bila ditanya tentang orang yang menyatakan
sesuatu yang memiliki kemungkinan kekafiran dan yang lain “Maka berkata:
orang yang berbicara ini ditanya bila kamu memaksudkan begini maka
jawabannya begini” Al Majmu’ 1/49
Jadi putusan/vonis di negara Islam
(Darul Islam) adalah di tangan Qadliy yang mengkaji berbagai pengaduan
bukan para mufti karena Qadliy dengan konsekuensi kewenangannya dialah
yang leluasa meneliti keterpenuhan syarat-syarat dan ketiakadaan mawani’
sebagaimana sesungguhnya putusan Qadliy itu mengangkat perselisihan dan
putusannya tidak dibatalkan, kecuali apa yang menyelisihi nash kitab
atau sunnah atau ijma’. Lihat Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir
11/403-405 dan I’lamul Muwaqi’in 4/224.
Dan di antara contoh apa yang bisa
dilakukan oleh kaum muslimin dalam hal ini adalah kejadian yang
dituturkan Ibnu Katsir dalam tragedi-tragedi tahun 701 H, berkata: “Pada
hari Senin 24 Rabi’ Al Awwal dibunuh Al Fath Ahmad Ibnu Ats Tsaqafiy di
Mesir, dia divonis oleh Al Qadliy Zainuddin Ibnu Makhluf Al Maliki
dengan apa yang telah terbukti padanya berupa sikapnya menghina syari’at
dan memperolok-olok ayat muhkamat serta membenturkan ayat-ayat
musytabihat satu sama lain. Disebutkan darinya bahwa dia
menghalalkan hal-hal yang haram seperti homosex, khamr dan yang lainnya
bagi orang-orang yang berkumpul bersamanya dari kalangan orang-orang
fasiq dari Turki dan orang-orang bodoh lainnya. Ini padahal dia itu
memiliki keutaman ibadah dan sikap yang indah secara zhahir, penampilan
dan pakaiannya baik dan tatkala ia dihadirkan di Syubbak Dar Al Hadits
Al Kamiliyyah di antara dua istana dia meminta tolong kepada Al Qadliy
Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Ied, maka ia berkata: Apa yang kamu ketahui
dari saya? Maka ia berkata: “Saya mengetahui dari kamu keutamaan, tetapi
vonis kamu diserahkan kepada Al Qadliy Zainuddin, maka sang Qadliy
memerintahkan sang gubernur untuk memenggal lehernya, maka kepalanya
dipenggal dan kepalanya diarak di negeri, dan diseru terhadapnya: Inilah
balasan orang yang mencela Allah dan Rasul-Nya” (Al
Bidayah Wa Nihayah14/18)
Jadi putusan vonis pelaku tindak pidana
adalah diserahkan kepada ulama meskipun sebagian ulama bersaksi akan
keutamaan dia dan yang lain sebagaimana kejadian ini.
B. Barangsiapa yang
murtad dan dia lari ke darul harbi atau dia murtad di darul harbi,[1]
maka boleh bagi setiap yang memiliki kelayakan baik itu Qadliy atau
yang lainnya untuk memvonis dia dan boleh bagi setiap orang untuk
menerapkan vonisnya (eksekusi). Dan di dalamnya ada rincian yang akan
datang di point 10 insya Allah.
8. Ucapan
saya –dalam kaidah takfir–:
“Bila orang
itu adalah maqdur ‘alaih di Darul Islam”
Makna maqdur ‘alaih
adalah yang di bawah kekuasan sulthan (muslim) dan Qadliy baik secara
sebenarnya dengan penahanannya maupun secara hukum dengan adanya
keleluasan mereka untuk memanggilnya, mengintrogasinya lagi dia tidak
menolak dari mereka. Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: “Dan makna qudrah ‘alaihim adalah adanya keleluasan
untuk menerapkan had terhadap mereka karena keterbuktianya dengan bukti
atau pengakuan sedang mereka itu berada dalam genggaman kaum muslimin.” (Ash
Sharimul Maslul: 507)
Dan ucapan saya: “di Darul Islam“
adalah takfir bagi ucapan saya “maqdur ‘alaih”, kerena
sesungguhnya orang tidak menjadi maqdur ‘alaih kecuali bila ia
berada di Darul Islam, sebab sesungguhnya sekedar keberadaanya di Darul
Harbi adalah benteng kekuatan baginya dari kekuasan kaum muslimin, namun
ini tidak berarti bahwa seluruh orang yang ada di Darul Harbi adalah maqdur
‘alaihim, akan tetapi bisa jadi seseorang di Darul Islam itu maqdur
‘alaih atau dia itu mumtani’, sedang imtina’
(yaitu status mumtani’) di Darul Islam tidak mungkin terjadi kecuali
dengan pembangkangan ketaatan terhadap imam dan menenteng senjata atau
mengerahkan senjata dan para pendukungnya sebagaimana ia adalah keadaan
para pembegal. Dan ucapan saya “Darul Islam” adalah setiap negara yang
diperintah dengan syari’at Islam.
Mawardiy telah
menuturkan pembeda antara orang yang murtad maqdur ‘alaih dan
orang yang murtad mumtani’ dan itu dalam ucapannya tentang
memerangi kaum murtaddin di bab Hurubul Mushalih dari kitabnya Al Ahkam
As Sulthanniyyah. Beliau berkata: “Bila mereka itu tergolong orang-orang
yang wajib dibunuh dengan sebab mereka murtad dari agama al haq ke
ajaran yang lain, maka keadaan mereka tidak lepas dari salah satu dari
dua hal: Bisa jadi mereka berada di Darul Islam sebagai orang-orang yang
ganjil dan individu-individu yang tidak memblok di suatu negeri yang
dengannya mereka membedakan diri dari kaum muslimin maka kita tidak
butuh memerangi mereka karena mereka masuk di bawah penguasan (penguasa
muslim) dan dicari tahu tentang sebab riddah mereka –sampai ucapan–. Dan
orang yang menetap di atas kemurtaddannya dan tidak taubat maka wajib
dibunuh baik laki-laki maupun perempuan, –kemudian berkata–: Keadaan
kedua: mereka memblok ke suatu negeri yang dengannya mereka menyendiri
dari kaum muslimin sehingga di dalamnya mereka menjadi mumtai’in…” (Al
Ahkam As Sulthaniyyah: 69-70, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1405 H).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: “Sanksi-sanksi yang dibawa syari’at ini untuk orang yang
maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya ada macam: Pertama: sangsi
buat maqdur ‘alaih, baik itu satu orang maupun berbilang
sebagaimana yang telah lalu. Dan kedua: sanksi buat thaifah
mumtani’ah seperti kelompok yang tidak bisa dikuasai kecuali
dengan qital.” (Majmu Al Fatawa: 28/349).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata juga: “Nash ini tentang murtad yang maqdur ‘alaih,
sedangkan itu tentang orang yang memerangi lagi mumtani”.
(Minhajus Sunnah An Nabawiyyah: 455 dengan
tahqiq Dr. Muhammad Rasyid Salim).
Dan yang dimaksud adalah penjelasan
bahwa syari’at ini telah datang dengan membedakan antara sanksi maqdur
‘alaih dan saksi mumtani’, sedang imtina’ itu
tidak terkhusus dengan thaifah ataupun individu sebagaimana pada keadaan
murtadnya Abdullah Ibnu Sa’ad Ibnu Abis Sarah dan kaburnya dia ke
Makkah sebelum Fathul Makkah, dan setiap kitab fiqh pasti ada membedakan
antara kedua macam ini.
Dan di antara yang seyogyanya diketahui
adalah kaidah syari’at tentang membedakan antara maqdur ‘alaih
dan mumtani’ adalah kaidah yang baku sampai-sampai syari’at ini
membedakan antara maqdur ‘alaih dan mumtani’ dari
hewan-hewan yang dimakan, di mana tidak halal memakan maqdur ‘alaih
dari hewan itu, –meskipun asalnya liar seperti kijang– kecuali dengan
sembelihan syar’iy yaitu disembelih dileher, sedangkan halal memakan mumtani’
dari hewan-hewan itu –meskipun asalnya jinak seperti onta– dengan
tusukan benda tajam dibagian badan mana saja seperti pada hewan buruan.
Jadi kaidah syari’at adalah memperketat syarat-syarat pada maqdur
‘alaih dan memperlonggar dalam mumtani’.
- 9. Ucapan saya –dalam kaidah takfir–: “Maka ia disuruh taubat secara wajib sebelum dikenakan hukuman terhadapnya dan ini adalah bagi maqdur ‘alaih”.
Ketahuilah bahwa istitabah pada
asalnya digunakan pada permintan taubat dari orang-orang murtad, yang
mana artinya adalah bahwa tidak diistitabah kecuali orang-orang yang
sudah divonis murtad, akan tetapi digunakan juga dalam ucapan ulama
terhadap apa yang mendahului vonis berupa upaya mencari kejelasan
syarat-syarat dan penghalang-penghalang. Dan atas dasar ini maka
sesungguhnya istitabah itu digunakan terhadap setiap apa yang terjadi di
majelis vonis atau hukum berupa upaya pencarian kejelasan syarat-syarat
dan penghalang-penghalang (takfir) sebelum vonis dan permintan taubat
setelah vonis murtad. Dan jelas ini bahwa bila thalibul ilmu membaca
pada kitab-kitab ilmu (bahwa barangsiapa mengatakan begini atau
melakukan begitu maka dia di-istitabah) maka ungkapan ini tidak
mesti bahwa orang ini telah kafir dan diminta taubat darinya, akan
tetapi ia berarti telah muncul darinya ucapan atau perbuatan mukaffirah
dan wajib mencari kejelasan keadaannya, yaitu mencari kejelasan
syarat-syarat dan penghalang-penghalang, dan setelahnya bisa jadi
dihukumi ketidak-bersalahan dia dan bisa jadi divonis murtad.
(A) Adapun
penggunakan istitabah terhadap upaya mencari kejelasan syarat-syarat dan
penghalang-penghalang sebelum penetapan vonis terhadap orang yang
muncul darinya ucapan atau perbuatan mukaffir, maka ini adalah tsabit
(ada terbukti) dengan ijma’ shahabat radliyallahu ‘anhum,
sebagaimana yang dituturkan Ibnu Taimiyyahrahimahullah
dalam ucapannya: Adapun hal-hal fardlu yang empat, maka bila orang
mengingkari sesuatu darinya setelah sampainya hujjah
maka ia kafir, dan begitu juga orang yang mengingkari pengharaman
sesuatu dari hal-hal yang diharamkan yang nampak lagi mutawatir
pengharamannya seperti fawahisyi (zina dan perbuatan keji
lainnya), zalim, dusta dan yang lainnya. Adapun orang yang belum tegak
hujjah terhadapnya seperti orang yang baru masuk Islam atau tinggal di
pedalaman yang jauh yang tidak sampai di dalamnya ajaran-ajaran Islam
dan yang lainnya, atau dia keliru terus mengira bahwa orang-orang yang
beriman dan beramal shalih dikecuali dari pengharaman khamr sebagaimana
telah keliru dalam hal itu orang-orang yang di-istitabah oleh
Umar serta yang serupa dengannya, maka sesungguhnya mereka itu di-istitabah
dan ditegakan hujjah terhadap mereka kemudian bila mereka bersikukuh,
maka saat itu mereka kafir, dan tidak boleh mereka divonis kafir sebelum
itu sebagaimana para shahabat telah memvonis kafir Qudamah Ibnu Madh’un
dan para shahabatnya tatkala telah keliru dalam apa yang mereka keliru
di dalamnya akibat takwil” (Majmu Al Fatawa:
7/609-610).
Maka nampak dari ucapanya ini bahwa istitabah
digunakan terhadap tabayyunul mawani’ dan penegakan hujah
sedangkan ini terjadi sebelum vonis murtad sebagaimana ucapannya: “dan
tidak boleh mereka divonis kafir sebelum itu”.
Dan di-istitabah ini wajib
bersama maqdur ‘alaih dan ia dikatakan sebisanya bersama mumtani’,
di mana bila sampai kepada orang yang memvonis mumtani’ yang
muncul darinya kekufuran itu (berita) keberadaan penghalang pada orang
itu, maka ia wajib menganggapnya, akan tetapi tidak wajib atas seorang
yang memvonis dia itu untuk untuk meneliti mawani’ dan tidak pula
mengaitkan vonis kepadanya terhadap hal itu terutama bila sikap tawaquf
(diam sambil meneliti) itu menimbulkan kerusakan terhadap kaum
muslimin, dan akan datang penuturan dalil-dalil terhadap hal itu di
point berikutnya insya Allah saat berbicara tentang mumtani’.
(B) Adapun istitabah
dengan makna permintaan taubat dari orang yang sudah divonis murtad,
maka inilah yang masyhur dalam kitab-kitab ilmu dan ia telah ditunjukkan
oleh banyak dalil seperti firman-Nya:
وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ
الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا
وَمَا نَقَمُوا إِلا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ
فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ
“Sesungguhnya mereka telah
mengucapkan perkatan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah Islam–sampai
firman-Nya–maka jika mereka bertaubat itu adalah lebih baik bagi
mereka”(At Taubah: 74)
Dan firman-Nya ta’ala:
كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا
كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ
وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
(٨٦) أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللَّهِ
وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (٨٧) خَالِدِينَ فِيهَا لا
يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلا هُمْ يُنْظَرُونَ (٨٨) إِلا الَّذِينَ
تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا
“Bagaimana Allah akan menunjuki
suatu kaum yang kafir, sesudah mereka beriman…..–sampai
firman-Nya–….kecuali orang-orang yang taubat sesudah (kafir) itu dan
mengadakan perbaikan”. (Ali Imran: 86-89).
Dan dalam kisah kaum yang murtad dari
Banu Hanifah di Kuffah: Di masa kegubernuran Abdullah Ibnu Mas’ud –ada
dalam apa yang diriwayatkan Al Baihaqiy–, “…Kemudian beliau meminta
pendapat orang-orang tentang mereka itu, maka ‘Addy Ibnu Hatim
mengajarkan agar mereka dibunuh, maka berdirilah Jarir dan Al As’ats,
keduanya berkata: “Jangan, tapi suruh mereka bertaubat dan mintalah
jaminan keluarga-keluarga mereka”, maka mereka taubat dan dijamin oleh
keluarga-keluarga mereka”. (Ibnu Hajar
menukilnya dalam Fathul Bari: 4/470)
Dan saya sudah menukil kisah ini
seluruhnya sebelumnya.
Ucapannya “suruh mereka bertaubat…..maka
mereka bertaubat” menunjukkan bahwa istitabah di sini
adalah wajib menurut mayoritas para ulama dan kalangan Ahnaf, ahli
dlahir, dan Asy Syaukani mengatakan bahwa itu tidak wajib, sedang yang
kuat adalah wajibnya istitabah. Dan Ibnu Qashshar dari kalangan
Malikiyyah telah menghikayatkan ijma sahabat terhadap hal itu, yaitu ijma
sukutiy”. (lihat Asy
Syifa’, Al Qadliy ‘Iyadl: 2/1023-1025 terbitan Al Halaby).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
telah menghikayatkan ijma shahabat terhadap wajibnya istitabah
orang yang murtad dalam Ash Sharimul Maslul: 323 dan
juga silahkan rujuk Fathul Bari: 12/269, Al
Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir: 10/76, Al Majmu An
Nawawiy: 19/229, As Sail Al Jarrar, Asy Syaukaniy: 4/373,
dan Ash Sharim Al Maslul: 321dan seterusnya.
Taubat orang yang murtad adalah dengan
cara ia mendatangkan dua kalimah syahadat dan sikap rujuknya dari apa
yang dia menjadi kafir darinya. Lihat referensi-referensi yang lalu. Ibnu
Muflih Al Hanbaliy berkata: “Guru kami berkata: “Para imam
sepakat bahwa orang murtad bila masuk Islam, maka dia telah terjaga
darah dan hartanya meskipun tidak divonis oleh hakim” (Al
Furu’ 6/172, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyyah).
Ucapan “guru kami“ maksudnya adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
FAIDAH
Kapan Keadilan
Dikembalikan bagi Pelaku Dosayang Bertaubat
Telah lalu pembicaraan tentang taubat
dan penjelasan syarat-syarat dalam penjelasan ilmu yang fardlu ‘ain di
pasal ke dua dari bab ke dua kitab ini. Taubat itu ada dua macam: Bathiniyyah
dan Hukmiyyah.
Syarat yang telah kami isyaratkan
kepadanya, yaitu menyesal, mencabut diri dari dosa itu, ber’azam
untuk tidak mengulang, meminta ampunan dengan lisan dan menunaikan hak
manusia bila dosa itu berkaitan dengannya dan yang lainnya dan inilah
taubat yang diterima.
Adapun taubat hukmiyyah,
maka ia adalah penampakan taubat orang yang berdosa itu di hadapan
manusia dengan cara mencabut diri dari maksiatnya dan menampakkan
penyesalan. Dan para ulama telah berselisih tentang orang ini apakah
dikembalikan kepadanya keadilannya –sehingga bisa diterima kesaksiannya
dan sah perwaliannya dalam nikah– saat itu juga dengan sekedar taubat
atau disyaratkan dengan berlalunya tenggang waktu tertentu yang di
dalamnya dapat diketahui kebaikan dia? Ada dua pendapat:
Pertama: Dikembalikan saat itu juga keadilannya
kepadanya, sedangkan dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ
التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ …
“Dan Dia-lah yang menerima taubat
dari hamba-hambaNya…” (Asy Syura’: 25).
Dan firman-Nya ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ جَمِيعًا ….
“Sesungguhnya Alloh mengampuni
dosa-dosa semuanya… “(Az Zummar: 53)
Ke dua: Disyaratkan berlakunya masa tertentu sebelum
dikembalikan keadilannya kepadanya. Bila telah berlalu satu tahun di
dalamnya melakukan amalan shalih setelah ia bertaubat, maka dikembalikan
keadilan kepadanya dan kita mengetahui jelas kebenaran taubatnya,
sedangkan dalilnya adalah:
» Bahwa Allah
ta’alatelah mensyaratkan untuk keabsahan taubat adanya amal shalih yang
mengiringinya, Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا
فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (٧١)
“Dan orang yang bertaubat
dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya ia telah bertaubat kepada
Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya”. (Al
Furqan: 71)
Dan firman-Nya ta’ala:
إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ
بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٨٩)
“Kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah (kafir) itu dan mangadakan perbaikan.Karena Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”(Ali Imran: 89)
Dan ayat-ayat tentang makna ini sangat
banyak. Bila orang beramal shalih setelah taubatnya, maka kita tahu
jelas kebenaran taubatnya.
» Bahwa
Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu tatkala kaum murtaddun telah bertaubat,
beliau melarang mereka menunggang kuda dan membawa senjata serta beliau
berkata kepada utusan Buzakhah –yaitu kaum Thulaihah Al
Asadiy–: “Kalian mengiringi
ekor-ekor unta sampai Allah memperlihatkan kepada khalifah Nabi-Nya shalallahu
‘alaihi wasallam dan para
Muhajirin suatu hal yang dengannya menerima udzur kalian” (Al
Bukhariy: 7221). Yaitu
kalian mengembala unta-unta di pedalaman sampai nampak kebenaran taubat
kalian. Ibnu Hajar berkata: “Dan yang nampak bahwa yang dimaksud dengan akhir
target waktu yang ditetapkan Abu Bakar bagi mereka adalah nampaknya
taubat mereka dan keshalihan mereka dengan baiknya keislaman mereka” (Fathul
Bari: 13/211). Sedangkan
ini adalah tuntunan khalifah rasyid dan para sahabat mengikutinya di
atas itu sehingga ini adalah ijma’ sahabat.
» Bahwa
Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu tatkala Shabigh Ibnu ‘Asal bertaubat –setelah diasingkan Umar karena
bid’ahnya–, maka Umar memerintahkan agar dia tidak diajak bicara
setahun. Dan ini adalah tuntunan khalifah rasyid juga. Maka yang nampak
dari yang lalu adalah kuatnya pendapat yang ke dua karena kekuatan
dalil-dalinya, yaitu dalil-dalil yang membatasi dalil-dalil pendapat
pertama yang muthlaq. Dan Ibnu Qudamah telah menuturkan kedua pendapat
ini dan beliau tidak mentarjih di antara keduanya (Al
Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir: 12/80-82). Dan begitu juga Ibnu Taimiyyah berkata tentang keduanya dan tidak
mentarjih keduanya, beliau berkata: ”Dan bila ia seperti itu bertaubat
kemudian ia beramal shalih satu tahun dan ia tidak membatalkan
taubatnya, maka sesungguhnya diterima darinya hal itu dan dia boleh
diajak duduk dan diajak bicara. Dan adapun bila ia bertaubat namun belum
berlalu terhadapnya satu tahun, maka disini ada dua pendapat yang
masyhur dari ulama:
- Di antara mereka ada yang berkata:
saat itu juga langsung boleh diajak duduk dan diterima kesaksiannya.
- Di antara mereka ada yang berkata:
mesti lewat waktu satu tahun sebagaimana yang dilakukan Umar Ibnul
Khathab terhadap Shabigh Ibnu ‘Asal.
Dan ini adalah termasuk masalah-masalah
ijtihad, orang yang memandang diterima taubatnya orang yang taubat ini
dan bolehnya diajak duduk secara langsung sebelum diuji maka ia telah
mengambil pendapat yang boleh dan orang yang memandang bahwa dia itu
ditangguhkan sementara waktu sampai beramal shalih dan nampak kejujuran
taubat, maka ia telah mengambil pendapat yang boleh pula, sedangkan
kedua pendapat ini bukanlah termasuk hal yang munkar”. (Majmu
Al Fatawa: 28/214-215. dan lihat juga Majmu Al Fatawa: 7/86).
Telah jelas di hadapan anda dari
dalil-dalil itu kuatnya pendapat yang ke dua dan bahwa seyogyanya ia di
beri tenggang waktu untuk mencari kebenaran taubatnya. Dan ini juga
termasuk siyasah yang baik. Dan andaikata peradilan ini dikembalikan
kepada orang yang bertaubat saat itu langsung dan ia berbaur dengan kaum
muslimin atau dia memegang perwalian kaum muslimin sedangkan belum
jelas kebenaran kejujuran taubatnya tentulah ia bisa merusak kaum
muslimin, terutama bila tuduhannya adalah kemurtadan dan kezindikan,
maka hal yang wajib adalah dia diberi tenggang waktu dan ia adalah
tuntunan Al Khulafa Ar Rasyidin sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan Ibnu
Taimiyyah berkata juga: “Umar dan bahkan Abu Bakar radliyallahu
‘anhum tidak pernah mempekerjakan orang yang munafiq terhadap kaum
muslimin dan keduanya tidak pernah mengangkat sebagai pegawai dari
karib kerabatnya dan tidak pernah peduli di (jalan) Allah ini celaan
orang yang suka mencela, bahkan tatkala keduanya memerangi orang-orang
yang murtad dan mereka kembalikan pada Islam, maka mereka melarangnya
dari menunggang kuda dan memikul senjata sampai nampak keabsahan taubat
mereka. Dan adalah Umar berkata kepada Sa’ad Ibnu Abi Waqqash sedang ia
adalah gubernur Irak: “Jangan angkat seorangpun dari mereka menjadi
pegawai dan jangan ajak mereka musyawarah dalam hal perang”. (Al
Majmu Al Fatawa: 35/65).
Maka seandainya pejabat murtad terus
bertaubat maka tidak seyogyanya ia tetap dalam jabatannya setelah
taubatnya.
10.
Ucapan saya –dalam kaidah takfir–:
“Sebelum
dikenakan hukuman terhadapnya oleh pihak penguasa“.
Ini adalah bagi maqdur
‘alaih di Darul Islam, kemudian bila tidak taubat maka ia sudah
mesti mendapat hukuman murtad pada darah dan hartanya, laki-laki dan
wanita dalam hal ini adalah sama, beda halnya dengan kalangan Ahnaf. Dan
yang menimpakan sanksi hukumannya di Darul Islam adalah yang memiliki
kekuasan, yaitu imam dan para wakilnya seperti gubernur, qadli, dan para
pembantu dari kalangan polisi dan tidak ada hak untuk individu-individu
untuk memberikan sanksi-sanksinya atau menegakan hudud oleh diri mereka
di Darul Islam.
Syamsuddin Ibnu Muflih Al
Hanbaliyrahimahullah berkata dalam kitabnya: “Haram
menegakkan had kecuali bagi imam atau wakilnya“. (Al
Furu’: 16/53).
Dan Ibnu Qudamah
berkata: “Pembunuhan orang murtad diserahkan kepada imam, baik merdeka
ataupun budak dan inilah pendapat mayoritas ahli ilmu, kecuali As
Syafi’i dalam salah satu pendapatnya tentang budak bahwa si tuannya
boleh membunuhnya berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Tegakkanlah hudud atas hamba sahaya kalian” (Al
Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir: 10/80).
Maka ini tidak ada perselisihan
terhadapnya di antara kaum muslimin dan ini yang bisa berjalan di Darul
Islam semenjak zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
sampai lenyapnya Darul Islam dari muka bumi, sedangkan hadits yang
dituturkan oleh Ibnu Qudamah diriwayatkan Abu Dawud secara marfu’ dan
diriwayatkan Muslim dari Ali secara mauquf.
Syaikh Mansyur Al Bahutiy Al
Hanbaliy berkata: “Tidak membunuhnya kecuali imam atau
wakilnya, baik si murtad itu merdeka ataupun budak karena ia dibunuh
karena hak Allah ta’ala, maka ia diserahkan kepada imam atau wakilnya
–sampai ucapannya– dan bila si murtad itu dibunuh oleh selain imam atau
wakilnya tanpa izinnya, maka orang itu telah berbuat tercela dan mesti
diberi sanksi karena ia telah lancang terhadap imam dan wakilnya namun
orang yang membunuh itu tidak menanggung orang murtad karena si murtad
itu obyektif yang tidak terjadi baik dia membunuhnya sebelum istitabah
ataupun sesudahnya, karena dia halal darahnya secara umum, sedangkan
kemurtadannya telah menghalalkan darahnya dan ia itu ada sebelum
istitabah sebagaimana ia ada sesudahnya, kecuali bila si murtad itu lari
ke Darul Harbiy, maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya tanpa
istitabah dan mangambil harta yang ia bawa bersamanya karena ia telah
menjadi kafir harbiy”. (Kasysyaful Qina’ ‘An Matnil Iqna, Al
Bahutiy: 6/175, Darul Fikr 1402 H).
Dan apa yang diutarakan Syaikh
Al Bahutiy, yaitu bahwa bila yang membunuh orang murtad itu
selain imam, maka ia dita’zir namun tidak menanggung kerugian, adalah
hal yang tidak diperselisihkan akan tetapi seyogyanya dibawa pada
keadaan orang yang terkenal masyhur kekafirannya dan terbukti
terhadapnya serta tidak diketahui taubatnya, maka inilah yang apabila
dibunuh oleh individu masyarakat, maka si pembunuh tidak menanggung
darahnya dan kadang hal ini bisa wajib terhadap individu-individu
masyarakat bila imam menyepelekan dalam penegakan hudud. Dan di antara
contoh ini adalah apa yang dinukilkan berupa penyemangatan salaf untuk
membunuh Bisyir Al Mirrisiy pada saat setelah mereka mengkafirkannya,
karena sebab pendapat dia bahwa Al Qur’an itu makhluk dan penyepelean
para pemimpin dalam memberinya sanksi, maka dalam hal ini berkatalah Abdul
Malik Ibnul Majisyun –murid imam Malik–: “Barangsiapa
mengatakan Al Qur’an itu makhluk, maka ia kafir”, dan ia berkata: “Andai
saya mendapatkan Bisyr Al Mirrisiy tentu saya penggal lehernya…!”. Dan
berkata Abdullah Ibnu Mubarak–seraya
menyemangati untuk membunuh Bisyr–: “Rugi sekali bagi anak-anak, apa
tidak ada di tengah mereka seorang yang menghabisi Bisyr”. (Diriwayatkan
oleh Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Hanbal dalam kitabnya As Sunnah:
hal 40 dan 37, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1405 H).
11. Ucapan
saya –dalam kaidah takfir–:
“Dan bila dia itu mumtani’
dengan kekuatan atau dengan darul harbi, maka boleh bagi setiap orang
untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa proses istitabah dan
dalam hal ini melihat kepada maslahat dan mafsadah yang dtimbulkan oleh
hal itu serta bila berbenturan maslahat dan mafsadah maka didahulukan
yang paling kuat dari keduanya“
Ini adalah hukum bagi orang yang murtad mumtani’
‘anil qudrah.
Imtina’ dalam syari’at ini ada
dua macam:
Pertama: Imtina’ (penolakan) dari mengamalkan
syari’at, baik sebagian ataupun keseluruhan dan ini yang
banyak dituturkan dalam ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
“Kelompok mana saja menolak dari (mengamalkan) suatu dari ajaran-ajaran
Islam”. Yaitu tidak mengamalkannya.
Ke dua: Imtina’ ‘anil qudrah (penolakan dari
genggaman kekuasan), yaitu di luar jangkauan kekuasaan kaum
muslimin untuk memanggilnya dan memprosesnya. Dan tidak ada saling
kemestian antara kedua macam imtina’ ini, di mana bisa saja
yang menolak dari mengamalkan syari’at itu dari maqdur ‘alaih
di Darul Islam, seperti orang yang menolak dari shalat dan zakat sedang
dia itu individu yang maqdur ‘alaih di Darul Islam dan wajib
membedakan antara kedua macam imtina’ ini, sedangkan imtina’
yang kami maksudkan dalam ucapan kami yang lalu adalah penolakan dari
genggaman kekuasaan kaum muslimin.
Imtina’ ‘anil qudrah di Darul
Islam adalah dengan cara unjuk senjata dan personil pendukung
–sebagaimana yang dilakukan para pembegal– sebagaimana imtina’
itu terjadi dengan cara lari ke Darul Harbi lagi keluar dari kekuasan
kaum muslimin. Ini adalah gambaran-gambaran imtina’ ‘anil qudrah.
Ibnu Taimiyyah telah menuturkan dalam ucapannya: “Dan
juga sesungguhnya bila dia imtina’ (melindungi diri) dengan
kelompok atau dengan Darul Harbi” (Ash Sharimul Maslul,
hal:278), dan dalam ucapannya: “Dan karena orang murtad itu
bila imtina’ dengan cara ia lari ke Darul Harbi atau dengan cara kaum
murtaddun itu memiliki kekuatan yang dengannya mereka imtina’
(melindungi diri) dari hukum Islam”. (Ash Sharimul Maslul hal:
322).
Sedangkan murtad mumtani’ itu bisa saja
dia itu murtad di Darul Islam dan dia tetap berada di sana dalam keadaan
mumtani’ (melindungi diri) dari jangkauan kekuasan Islam
dengan senjata dan personil pendukung dan bisa saja dia murtad di Darul
Islam dan lalu dia lari ke Darul Harbi dan bisa saja dia muqim
(tinggal menetap) di Darul Harbi saat ia murtad dan tetap tinggal di
sana[2].
Bila terbukti kemurtaddannya dengan
kesaksian dua orang laki-laki adil atau dengan istifadlah tanpa
syubuhat atau ihtimal (ada kemungkinan) –sedang hal (ihtimal)
ini tidak menjadi terbukti, kecuali dengan peraturan Qadli atau dengan
fatwa mufti– maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya dan
mengambil hartanya tanpa istitabah. Dan ini termasuk perbedaan
antara maqdur ‘alaih dan mumtani’. Dan telah lalu
ucapan Syaikh Bahutiy dalam hal ini. Dan berkata Ibnu Qudamahrahimahullah:
“Dan andaikata orang yang murtad lari ke Darul Harbi maka tidak lenyap
kepemilikannya, akan tetapi dibolehkan bagi setiap orang untuk
membunuhnya tanpa istitabah dan mengambil hartanya bagi orang
yang mampu melakukannya karena ia menjadi kafir harbi yang status
hukumnya sama dengan Ahlul Harbi.” (Al Mughniy Ma’asy Syarhil
Kabir:10/82. Dan hal serupa dituturkan oleh Ibnu Muflih AL Hanbaliy
dalam Al Furu’: 6/175-176).
Sedang dalilnya adalah sikap Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menghalalkan darah Abdullah Ibnu Sa’ad Abi As
Sarh tatkala dia murtad dan lari ke Mekkah sebelum penaklukannya di mana
dengan larinya ke Darul Kufri maka dia imtina’ (melindungi
diri) dari kekuasan kaum muslimin. Dan kisah dia itu diriwayatkan dengan
sanad yang shahih dan dituturkan secara rinci dalam Ash Sharim
Al Maslul karya Ibnu Taimiyyah:109-118 terbitan Darul
Kutub Al ‘Ilmiyyah 1398 H.
Dan berkata Ibnu Taimiyyah
rahimahullah: “Dan karena orang murtad itu bila imtina’ dengan
cara ia lari ke Darul Harbi atau dengan cara kaum murtaddun itu
memiliki kekuatan yang dengannya mereka imtina’ (melindungi
diri/menolak) dari hukum Islam, maka sesungguhnya dia dibunuh sebelum istitabah
tanpa ragu-ragu”. (Ash Sharimul Maslul, hal: 322).
Dan berkata juga: “Sesungguhnya mumtani’
itu tidak diistitabah, dan yang diistitabah itu adalah maqdur
‘alaih“. (Ash Sharimul Maslul: 325-326).
Dan masuk dalam hal ini: Orang-orang
yang murtad yang memerangi Allah dan Rasul-Nya lagi terang-terangan
dengan sikap permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin seperti para
penguasa thaghut yang berhukum dengan selain syari’at Islam. Bala
tentara mereka dan kaki tanganya dari kalangan penulis, wartawan dan
yang lainnya di berbagai belahan negeri-negeri kaum muslimin hari ini,
maka negara-negara mereka itu adalah Darul Harbi karena sebab
berhukumnya dengan ajaran-ajaran kafir. Dan status hukum mereka itu
adalah sama dengan status hukum orang murtad yang mumtani’
dengan Darul Harbi dan yang mana di Darul Harbi ini kemurtaddan tidak
dikenakan sanksi karena undang-undangnya tidak menganggap riddah sebagai
suatu kejahatan. Orang murtad di negeri-negeri ini berlindung di balik
undang-undangnya dan di balik aparat keamanannya yang ditugaskan
melindungi undang-undang itu, sehingga si murtad itu mumtani’
dengan Darul Harbi, oleh sebab itu boleh bagi setiap orang muslim untuk
membunuh orang-orang macam mereka itu yang telah terkenal kekafirannya
dan telah terbukti secara pembuktian syar’iy dan ini termasuk jihad fie
sabilillahi ta’ala. Dan disini tidak perlu lagi
ada peninjauan kecuali peninjauan maslahat dan mafsadah yang
muncul akibat pembunuhan mereka itu. Walaupun memang membunuh
orang murtad dan kafir itu pada dasarnya adalah maslahat yang khusus
bila dia itu telah mengumpulkan antara kekafiran dengan
penghalang-halangan orang dari jalan Allah, penindasan kaum muslimin dan
pengitimidasian mereka sehingga dalam sikap membunuhnya terdapat
maslahat yang besar, akan tetapi bila pembunuhan ini menimbulkan
mafsadah yang lebih besar terhadap kaum muslimin dari pada maslahat ini,
maka pembunuhannya ditangguhkan sampai tiba waktunya yang tepat (kerena
menolak kerusakan adalah lebih didahulukan daripada meraih maslahat)
dan (karena bila saling berbenturan dua mafsadah maka dipikullah yang
paling ringan di antara keduanya untuk menjauhkan yang paling besar di
antara keduanya). Dan bila ternyata maslahat pada sikap membunuh orang
ini adalah lebih unggul daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh sebab
itu maka di dahulukan maslahat ini. Demikianlah (uraian saya) wallahu
a’lam.
Inilah kaidah takfir bersama
penjelasannya yang ringkas dan barangsiapa yang menginginkan tambahan
rincian ini maka silahkan merujuk kitab saya (Al Hujjah Fi
Ahkamil Millah Al Islamiyyah) karena di dalamnya terdapat
jabaran (hal) ini dengan dalil-dalinya. Dan sebab saya menuturkan
penjelasan yang ringkas ini di sini adalah agar pencari ilmu meminta
bantuan dengannya dalam pengkajian materi Al Iman dan Al Kafir dari
berbagai kitab, karena pertimbangan terpecah-pedahnya materi ini yang
membuat sulit pelajar pemula dalam mengumpulkan bahan-bahan yang
berpencaran. Dan saya ringkas apa yang telah lalu dan saya katakan:
Sesungguhnya tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang dituturkan dalam kaidah
takfir mu’ayyan adalah:
(1) Meninjau
pada sebab: Yaitu keberadaan ucapan
dan perbuatan itu memenuhi dua syarat takfier: Yaitu
sharih (jelas) indikasinya dan terbukti bahwa ia itu mukaffir dengan
dalil syar’iy.
(2) Meninjau
pada syarat: Dan ia itu ada yang
berbentuk syarat dalam si pelaku atau dalam perbuatannya atau dalam
keterbuktian perbuatan itu.
(3) Meninjau
pada penghalang: Dan ia itu ada yang
merupakan penghalang dalam si pelaku atau pada perbuatannya atau pada
keterbuktian perbuatan itu.
(4) Vonis
murtad dan berkaitan dengannya kelayakan orang yang memvonis untuk
memvonis.
(5) Istitabah
–dengan makna yang kedua (yaitu menyuruh taubat)– setelah divonis
murtad. Ini berlaku bagi maqdur ‘alaih.
(6) Pelaksaan
sanksi dari yang memiliki kekuasaan di Darul Islam bagi maqdur
‘alaih dan dari setiap orang yang mumtani’.
Dan memandang pada sebab saja adalah apa
yang disebut dengan (takfier muthlaq), adapun takfier mu’ayyan maka ia
mengharuskan peninjauan pada syarat dan penghalang –disamping pada
sebab– sebelum memvonisnya.
Inilah kaidah hal-hal yang berkaitan
dengan kaidah takfier.
Bersambung….
[1]
Seperti RI dan yang lainnya (pent)
[2]
Yaitu orang-orang yang murtad di negeri-negeri kafir harbi seperti
Indonesia, maka tidak wajib mencari kejelasan syarat-syarat dan mawani’
takfir, tetapi langsung dikafirkan kecuali bila nampak jelas
penghalang maka ini wajib dianggap.(pent.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar