PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 11 Oktober 2012

MEMBONGKAR SYUBHAT-SYUBHAT MURJIAH GAYA BARU (bagian 3 )

Dan al haq dikatakan bahwa saya sebenarnya malu mencoret-coret lembaran-lembaran ini dengan bantahan terhadap macam lontaran-lontaran ini, akan tetapi orang yang mengetahui realita kita ini dan kejahilan manusia akan ushuluttauhid serta kadar keterasingan dien ini maka ia mengudzur kami di dalamnya.
Dan saya tidak mengatakan kecuali apa yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al Fashl saat memunaqasyah ucapan para pendahulu mereka itu.......”Ini adalah ucapan-ucapan yang seandainya diucapkan oleh anak-anak kecil yang ingusnya keluar tentulah diputusasakan dari keselamatannya, dan demi Allah sungguh syaitan telah mempermainkan mereka sesukanya, fa innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’un....”
Kemudian saya katakan kepada orang buta itu dan yang taqlid kepadanya: Adapun ucapanmu tentang Al Hajjaj: “tidak satupun dari salaf mengkafirkannya” maka itu tertolak. Meskipun hal ini bisa tersamar di hadapan para pemuda bodoh yang kamu kumpulkan untuk kamu talbis di hadapan mereka dien mereka, namun ia tidak akan samar di hadapan orang yang mengetahui ucapan-ucapan salaf dalam hal itu. Inilah satu contoh saja yang cukup untuk melobangi pemuthlakan ucapanmu yang telah kamu klaim ini.
Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dalam Kitabul Iman hal 32 dengan sanad shahih dari Sya’biy bahwa ia berkata: “Saya bersaksi bahwa ia beriman kepada thaghut lagi kafir kepada Allah – yaitu Al Hajjaj.”
Dan dekat dengannya ucapan Thawus dalam tempat yang sama dengan isnad shahih juga: Sungguh heran terhadap ikhwan kami dari penduduk Irak, mereka menamakan Al Hajjaj sebagai orang mu’min.”
Al Hafidh Ibnu Hajar telah menuturkannya dalam Tahdzib At Tahsdzib 2/211, dan berkata: Dan telah dikafirkan oleh banyak orang, diantaranya Sa’id Ibnu Juhair, An Nakha’iy, Mujahid, Ashim Ibnu Abin Najud, Asy Sya’bi dan yang lainnya”
Maksud kami bukanlah membahas tunras hal itu atau menganutnya(1), namun hanyalah menggugurkan syubhat-syubhat kamu dan melobangi ithaqatmu.
Kemudian saya katakan: Adapun surat yang kamu nisbatkan kepada Al Hajjaj dan kamu bangun di atasnya syubhat-syubhat kamu yang hina, maka ia tidak lain adalah perintah yang bersifat tulisan yang tidak ada bedanya dengan perintah ucapan lisan untuk membunuh, sedangkan keduanya adalah sama saja, dan bahasan di dalamnya tidaklah sukar. Bila hal itu tertuju kepada orang yang berhak untuk dibunuh karena sebab riddah atau qishash, maka si pelaku dan yang memerintahkannya dengan tulisan atau lisan adalah mendapat pahala – bila menepati syarat-syarata diterimanya amal shalih – dan bila tertuju kepada orang yang tidak berhak untuk dibunuh, maka pelakunya dan yang memerintahkannya dengan tulisan atau lisan adalah telah melakukan suatu pidana dan dosa besar serta kezaliman yang pelakunya tidak dikafirkan kecuali dengan istihlal, dan tidak ada yang mengkafirkan pelaku hal itu kecuali Khawarij yang sesat, berbeda halnya dengan orang-orang yang membuatkan bagi manusia hukum/UU dalam hal jiwa, darah, harta, kehormatan, dan nasab, yang mana Allah tidak menurunkan dalil akannya yang dengan hal itu mereka mengganti hududullah dan aturan-aturan-Nya yang tinggi lagi suci, dan mereka mengharuskan manusia untuk mengikutinya dan tunduk kepadanya, baik meyakini atau tidak meyakini dan baik menganggap halal ataupun tidak menganggap halal.
Dan telah kami jelaskan serta kami rinci kepadamu dan kepada selainmu dalam uraian yang lalu makna tasyri’ kufriy, silakan rujuk dan teliti bila engkau ingin petunjuk, dan telah kami tuturkan kepada teks-teks para thaghut dalam UUD mereka, yang mana kekuasaan legislatif (wewenang pembuatan hukum/UU) telah dijadikan sebagai haq muthlaq dari haq-haq mereka, dan bukan hak Allah ta’ala saja, Maha Tinggi Allah dari apa yang diucapkan orang-orang dzalim. Bila kami ingin mengetahui contoh lebih banyak dari aturan-aturan mereka yang dengannya mereka menganggap halal darah, harta, dan kehormatan orang muslim yang makshum dengan suatu yang mana Allah tidak menurunkan dalil tentangnya, maka silakan rujuk qawanin(2) mereka agar supaya engkau melihat perbedaan yang jauh antara mereka dengan Al Hajjaj yang bertangan besi lagi dzalim itu..... ya demi Allah sesungguhnya penyesatan mereka dengannya adalah kezaliman yang besar.
Catatan kaki:
(1)    Hendaklah orang yang mengada-ada atas nama kami takfier Abu Hanifah mengamati hal ini, sesungguhnya kami tidak menyibukkan diri kami dengan takfier orang yang telah lalu, dan tidak ada faidah dari balik takfier mereka, walaupun mereka itu semacam Al Hajjaj yang telah dikafirkan oleh sebagian salaf, maka bagaimana dengan yang lainnya dari kalangan yang intisab kepada ilmu? Akan tetapi hal penting yang mana umur kami disibukkan dengannya adalah takfier para thaghut dan anshar mereka dari kalangan musuh-musuh syari’at, upaya untuk menjihadi mereka dan mengajak orang lain kepada hal itu. Kami memohon Allah ta’ala untuk menjadikan kami aktivis di dalamnya, meneguhkan kami di dalamnya dan mematikan kami di atasnya.
(2)    Bahkan mereka itu menganggap halal darah, harta, dan kehormatannya dengan sebab kemurnian tauhid dari kalangan yang mengkafirkan para thaghut dan berupaya untuk merobohkan dan melenyapkannya sebagaimana telah kami jelaskan hal itu dan kami bongkar bersamanya kebobrokan dan kebodohan hukum-hukum dan qawanin mereka dalam risalah kami (Kasyun Niqab ‘An Syari’atil Ghab) silakan rujuk.
Catatan kaki selesai.
Bagaimana sedangkan salaf telah berselisih akan kekafirannya, sedangkan mereka tidak mungkin berselisih akan kekafiran kaum musyrikin yang membuat hukum itu, dan kenapa kami pergi jauh untuk memberi contoh.....akan tetapi saya kembalikan kamu kepada sebagian anggota jama’ahmu yang mengklaim salafiyyah sedang salaf bara’ darinya, yaitu mereka yang khianat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mereka ikut serta dalam Majelis Umat (MPR/DPR) tasyri’iy syirkiy di hari saat mereka membuat – bersama anggota majelis berhalais lainnya – “undang-undang pengkhianatan terbesar”(1) dan mereka menyodorkan/mengajukannya kepada pemerintah untuk meminta suara dukungan dan pengakuannya. Dan inilah kutipan-kutipan dari apa yang diterbitkan darinya dalam koran-koran di hari-hari sebelum Majelis Kafir itu dibubarkan dan engkau bisa merujuk kepadanya secara lengkap dalam dokumentasi Majelis dan usulan-usulannya tahun 1984: “Para wakil rakyat mengajukan.......diantara nama-nama yang disebutkan “Jasim Al A’un” yang termasuk tokoh Ad’iyaus salafiyyah di Kuwait dan pada masa kemudian ia menjadi menteri, dan “Hamud Ar Rumiy” wakil dari ikhwanul muslimin; usulan rancangan undang-undang tentang muhakamah (memejahijaukan para menteri), dalam teks-teks berikut ini:
(Teks rancangan): Setelah meneilti UUD, terutama ayat-ayat 58, 65, 79, 81, 101, 109, 126, 131, dan 132 darinya
Dan terhadap undang-undang no. 16 tahun 1960 dengan menggulirkan undang-undang pidana serta undang-undang yang merevisinya.
Dan terhadap undang-undang no. 17 tahun 1960 dengan menggulirkan undang-undang penyidikan dan pengajuan-pengajuan tindak pidana dan undang-undang penggantinya.
Dan terhadap undang-undang no. 30 tahun 1964 dengan membentuk dewan pemeriksaan yang diganti dengan Keputusan no. 4 tahun 1977 M
Dan terhadap keputusan Amir no. 319 tahun 1959 tentang undang-undang pengaturan peradilan dan undang-undang penggantinya(2).
Majelis rakyat telah menyetujui undang-undang berikut ini dan kami telah mengesahkannya serta mengedarkannya.
(Ayat no. 1) Undang-undang ini diberlakukan dalam mengadukan para menteri ke hadapan hukum, dan setiap teks hukum yang menyelisihi hukum-hukumnya digugurkan!!
(BAB PERTAMA) tentang tanggung jawab para menteri:
  1. Khianat terbesar, dan masuk di dalamnya tidak loyal terhadap negara atau terhadap Amir, dan setiap tindakan jahat yang membahayakan kemerdekaan negara atau kesatuannya, atau keselamatan buminya atau keamanan dalam atau luar negerinya atau sistem pemerintahan keamiran Kuwait dan keamiran yang bersifat turun temurun serta setiap kerjasama dengan musuh.
  2. Penyimpangan secara sengaja terhadap peraturan-peraturan UUD:
Dan mereka menyebutkan dalam sanksi-sanksinya:
(Ayat 3) Atas tindakan khianat terbesar dikenakan sanksi dengan hukuman mati atau penjara selamanya atau penjara sementara yang masanya lebih dari 3 tahun dan dengan denda yang jumlahnya lebih dari lima ratus dinar.” Selesai.
Saya ingatkan ini untuk pelajaran dan sejarah, serta supaya para pencari al haq mengetahui kebusukan cara-cara dan jalan-jalan yang syirik yang dianut dan dilalui oleh para penyeru kepada pintu-pintu jahanam dengan dalih mashlahat dakwah, di mana akhirnya mereka sendiri menjadi thawaghut dan arbab musyari’in yang mengajak kepada jalan thaghut mereka terbesar dan mashlahatnya, dan bersama itu semua mereka tidak malu-malunya mengaku dakwah ilallah dan mashlahatnya secara dusta dan mengada-ada.
Saya katakan: Kecuali orang yang taubat dan menjauhi ibadah kepada thaghut serat bara’ darinya kemudian dapat petunjuk.
Catatan kaki:
(1)    Begitulah mereka menamakannya dan mereka memaksudkan pengkhianatan para menteri terhadap pemerintahan kafir dan UUD kafir serta undang-undang negara yang berlaku, perhatikanlah kekafiran yang nyata ini, namun demikian sesungguhnya para Ruwaibidlah itu menganggap pengajuan undang-undang seperti ini untuk diakui sebagai bentuk kecedikan, sikap bijak, keahlian dan keuntungan politik yang bisa menjaga hak-hak rakyat dari pencurian para menteri..Enyahlah dan enyahlah bagi orang yang merobohkan hal Allah yang paling khusus atas hamba-hamba-Nya dengan kedunguan macam ini, kemudian ternyata rancangan UU itu ditolak karena kendali penetapan UU (tasyri’) pada akhir perjalanannya berada di tangan mayoritas yang dikendalikan oleh thaghut dan kroni-kroninya dari kalangan para menteri dan yang lainnya, kemudian sesudah itu UU apapun tidak diakui kecuali dengan pengesahan para thaghut dan pengakuannya..... Perhatikanlah kecerdikan mereka dan kemahirannya dalam politik! Dan ketahuilah sesungguhnya kami tatkala berbicara tentang kekafiran orang-orang macam mereka itu, ternyata musuh-musuh Allah dan sebagian orang dungu menyebarkan isyu tentang kami bahwa kami mengkafirkan seluruh salafiyyin dan ikhwan atau separuhnya atau mayoritasnya dengan sebab lontaran ini dan tanpa penuturan satu sebab pun, sebagai bentuk penghalang-halangan dari al haq dan ahlinya, dan mereka akan ditanya tentang hal itu di hadapan Allah. Kami hanyalah mengkafirkan dan senantiasa  mengkafirkan setiap orang yang masuk dalam kekafiran macam ini, atau mengikuti kekafiran itu atau mendukungnya atau memberikan sokongan terhadapnya, baik dia itu salafiyyin dan ikhwan atau dari yang lainnya, dan keberadaan vonis ini mencakup jumlah yang tidak sedikit dari mereka itu tidaklah menggoyahkan kami, serta hal seperti ini tidaklah membuat kami takut atau menciut dari menyatakan al haq siapa saja orang yang dikafirkan itu, apapun gelarnya atau namanya atau jama’ahnya yang dia intima kepadanya, atau panjang jenggotnya atau pendek kainnya (tidak isbal) selama dalil memang meliputi mereka dan mawani’ tidak ada padanya, karena dalil itu tidak berbasa-basi dengan seorangpun. Panjangnya jenggot, pendeknya kain dan gelar-gelar itu bukanlah sama sekali termasuk mawani’ takfier.
(2)    Perhatikan dalil-dalil kaum musyrikin yang mana mereka berdalil dan membuat hukum/UU sesuai dengannya, kemudian orang yang lebih sesat dari binatang ternak menyebut mereka sebagai kaum muslimin, tidak (sekedar itu) bahkan sebagai salafiyyin, terus dia vonis orang yang mengkafirkan mereka dengan kekafiran yang nyata ini sebagai Khawarij, dan sungguh telah kecewa orang yang mengada-ada.
Catatan kaki selesai.






Syubhat
(Dan Kami Tidak Mengkafirkan Seorang Muslim)
(Pun Dengan Dosa Selama Dia Tidak)
(Menghalalkannya)

Bila engkau telah memahami uraian yang lalu semuanya, maka mesti nampaklah di hadapan anda bahwa ucapan mereka “Kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan sebab dosa selama dia tidak menghalalkannya” tidaklah muthlaq akan tetapi harus diberi batasan dengan batasan, di mana kita katakan: “Kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan dosa yang bukan mukaffir selama dia tidak menghalalkannya.
Dengan dalil bahwa istihza’ kepada Allah dan dien-Nya adalah dosa, mencela Allah dan Rasul-Nya adalah dosa, sujud kepada berhala adalah dosa, melempar mushaf ke kotoran, membunuh para nabi adalah dosa dan membuat hukum di samping Allah adalah dosa, namun demikian sungguh anda telah mengetahui bahwa pelaku itu semua adalah kafir baik menganggap halal ataupun tidak, karena diantara dosa ada yang membuat pelakunya kafir (mukaffirat) dan diantaranya ada yang bersifat maksiat murni yang tidak mengeluarkan dari lingkungan islam, sehingga buat yang pertama tidak boleh dikatakan saat takfier” apakah dia menghalalkan atau tidak menghalalkan, berbeda dengan yang kedua maka mesti ada hal itu karena pada dasarnya si pelaku adalah fasiq maliyy bukan kafir.
Kemudian sesungguhnya ungkapan ini bukanlah ayat Al Quran yang dengannya firman Allah dan sabda Rasul dibenturkan sebagimana yang dilakukan oleh kaum Juhhal Murjiatul ‘Ashri, namun yang haq adalah membatasinya dan mentaqyidnya dengan firman Allah dan sabda Rasul.
Meskipun sebagian mereka menganggap marfu’ dan menjadikannya dari sabda Nabi saw, maka sesungguhnya itu adalah tidak sah, dan ia adalah hadits palsu yang tidak ada dasarnya sebagimana dituturkan Ibnul Qayyim dalam Bada-i’ul Fawaid 4/42.
Dan termasuk macam ini apa yang diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi saw berkata: Tiga tergolong dari inti al iman: Menahan diri dari orang yang mengucapkan laa ilaah illallah, dan kami tidak mengkafirkannya dan mengeluarkannya dari islam dengan amalan...........”
Diriwayatkan Abu Dawud dan Abu Ya’la sedang ia adalah hadits shahih diriwayatkannya dari Anas Yazid Ar Raqaiy, Abu Hatim berkata: Mayoritas riwayat Anas dengan perlu peninjauan di dalamnya dan dalam haditsnya terdapat kelemahan, Ibnu Hibban berkata: Ia lalai dari menghafal hadits karena sibuk dengan ibadah, sehingga ia membalikkan ucapan Al Hasan terus ia menjadikannya dari Anas dari Nabi saw, maka tidak halal meriwayatkan darinya kecuali dalam bentuk ta’ajjub.(1)
Dan hal serupa apa yang diriwayatkan oleh Ath Thabariy dalam Al Kabir dari Ibnu Umar Marfu’: Tahan diri kalian dari ahli laa ilaaha illallah, dan janganlah mengkafirkan mereka, siapa yang mengkafirkan ahli laa ilaaha illallah maka ia lebih dekat dengan kekafiran.”
Dan di dalam sanadnya ada Adl Dlahak Ibnu Humrah dan Ali Ibnu Zaid Ibnu Jad’an, sedang keduanya adalah lemah.....inilah perbendaharaan mereka, semuanya adalah atsar-atsar yang lemah lagi diperbincangkan, dan termasuk seandainya tsabit sesuatu darinya atau yang semakna dengannya, sehingga seyogyanya dibawa kepada apa yang menjelaskannya dari Al Kitab dan As Sunnah, dipahaminya sebagimana apa yang dipahami As Salaf tidak seperti apa yang dipahami oleh hawa nafsu Murjiatul ‘Ashri dan selera mereka, di mana hal itu dibawa kepada orang yang merealisasikan tauhid dan menjauhi pembatal-pembatal, syirik dan tandid, sebagaimana apa yang datang dalam hadits-hadits yang menjelaskan hal ini, dan diantaranya sabda Nabi saw: Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dia kafir kepada segala yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya sedang perhitungannya atas Allah ‘Azza Wa Jalla.” HR. Muslim
Catatan kaki:
(1)    Syaikh Abdullatif berkata dalam Mishbahudhdhalam hal: 166: yang benar adalah mauquf bukan tergolong marfu’ dan jumlah terakhir di dalamnya yaitu sabdanya: “Jihad itu selalu berlangsung semenjak Allah mengutusku” adalah diriwayatkan. Selesai.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab: “Ini tergolong hal terbesar yang menjelaskan kepadamu makna Laa ilaaha illallah, karena beliau tidak menjadikan sekedar pengucapan akannya sebagai hal yang menjaga darah dan harta, bahkan tidak pula pengetahuan akan maknanya disertai pengucapannya, bahkan tidak pula pengakuan akannya, dan tidak pula keberadaan dia tidak menyeru kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, bahkan darah dan hartanya tidak haram sehingga menyertakan dengan hal itu al kufru terhadap segala yang diibadati selain Allah.” Selesai.
Dan sudah ma’lum bahwa penafian dalam kalimat “laa ilaaha illallah” mengandung banyak makna yang diantaranya makna yang dijabarkan hadits dengan sabdanya: “dan dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah” maka penguatan makna ini padahal (makna itu) bisa diambil dari lafadhnya secara langsung menunjukkan bahwa ia adalah maknanya yang paling agung dan paling penting, dan akan datang bahasan ini dalam syubhat “sesungguhnya mereka mengucapkan laa ilaaha illallah dan shalat.”
Dan begitu juga keadaannya pada kalimat “Ahlul Kiblat” yang dituturkan salaf dalam urutan yang serupa dengan ungkapan ini. Dari Jabir ra bahwa dikatakan kepadanya: Apakah kalian memanggil (menamakan) seorang dari Ahlil Kiblat sebagai musyrik? Beliau berkata: Ma’adzallah,” ia terperanjat karena hal itu. Berkata: Apakah beliau menamakan seseorang dari mereka kafir? Berkata: Tidak” Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Ath Thabrany dalam Al Kabir.
Dan hal serupa apa yang dikatakan dalam Al Aqidah Ath Thahawiyyah dan sering disebut-sebut oleh Afrakhil Murjiah tanpa mereka pahami maknanya “Dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat karena sebab dosa mereka selama ia tidak menganggap halal.”
Yang dimaksud dengan Ahlul Kiblat bukanlah orang-orang yang shalat secara umum meskipun mereka murtad dari berbagai pintu, namun yang dimaksudkan adalah kaum muslimin muwahhidin yang menjauhi pembatal-pembatal keislaman, dengan dalil bahwa sahabat telah mengkafirkan orang yang meninggalkan shaum Ramadhan dan yang meninggalkan haji sebagaimana yang akan datang. Dan begitu juga bukan maksudnya bahwa sekedar shalat itu saja melindungi dari kekafiran meskipun ia menyekutukan Allah dan beribadah kepada selain Allah, karena shalat tidak diterima tanpa ada tauhid yang merupakan ashlul iman dan syaratnya, dan rincian ini akan datang juga. Jadi Ahlul Kiblat adalah muwahhidin yang menjauhi pembatal keislaman. Dan yang dimaksud dari larangan mengkafirkannya adalah mereka tidak boleh dikafirkan dengan sekedar dosa-dosa yang pelakunya tidak dikafirkan, karena tidak ada yang mengkafirkan mereka dengannya kecuali Khawarij dan orang yang sejalan dengan mereka. Oleh sebab itu pensyarah Ath Thahawiyyah berkata (hal 316): “Syaikh rh dengan ucapan ini mengisyaratkan pada bantahan terhadap Khawarij yang melakukan takfier dengan setiap dosa.
Dan berkata hal (317): Oleh sebab itu banyak dari para imam menoleh dari memuthlaqan ucapan bahwa kami tidak mengkafirkan seorang pun dengan dosa, namun dikatakan: “Kami tidak mengkafirkan mereka dengan setiap dosa sebagimana yang dilakukan Khawarij. Dan dibedakan antara penafian yang umum dengan penafian keumuman, sedang yang mesti adalah penafian keumuman, dalam rangka menggugurkan ucapan Khawarij yang mengkafirkan dengan setiap dosa, oleh karena itu – wallahu a’lam – Syaikh rh memberikan batasan dengan ucapannya selama ia tidak menghalalkannya. Dan dalam ucapannya, “selama tidak menghalalkannya” ada isyarat pada maksud beliau dari penafian ini bagi setiap dosa dari dosa-dosa ‘amaliyyah bukan ‘ilmiyyah”. Selesai.
Saya berkata: Yang dimaksud dengan istilah dzunub ‘amaliyyah menurut mereka adalah dosa-dosa yang tidak mengkafirkan, sebagaimana ia nampak dari awal ucapannya. Adapun amalan secara muthlaq maka sungguh engkau telah tahu bahwa ada rincian di dalamnya, dan tambahan rincian akan datang.
Dan dari ini nampak di hadapanmu kebatilan ihtijaj mereka untuk (membela) para thaghut dengan ungkapan itu serta kebatilan klaim mereka akan ijma terhadap lafadhnya yang muthlaq ini dan juga pemahaman mereka yang rusak ini.
Dan inilah ucapan Imam Ahlis Sunnah Wal Jama’ah dalam hal itu:
Al Khallal berkata: Muhammad Ibnu Harun memberi kabar kami bahwa Ishaq Ibu Ibrahim memberitahu mereka, berkata: Saya menghadiri seorang yang bertanya kepada Abu Ubaidillah, dia berkata: Wahai Abu Ubaidillah, ijma kaum muslimin atas iman dengan qadar, baik dan buruknya? Beliau berkata: Ya.
Ia berkata: Dan kita tidak mengkafirkan seseorang dengan sebab dosa? Abu Ubaidillah berkata: Diam! Siapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir, dan siapa yang mengatakan Al Quran makhluk maka ia kafir.”(1)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rh berkata: Kaum muslimin telah sepakat bahwa orang yang tidak mendatangkan dua kalimah syahadat maka dia kafir, dan adapun amalan yang empat maka mereka berselisih dalam takfier orang yang meninggalkannya. Dan kami bila mengatakan bahwa Ahlus Sunnah sepakat bahwa sesungguhnya tidak mengkafirkan dengan sebab dosa, maka sesungguhnya kami memaksudkan dengannya maksiat-maksiat seperti zina dan minum khamr. Adapun hukum-hukum Islam yang lain ini maka dalam takfiernya ada perselisihan yang masyhur.” Selesai 7/302 Al Fatawa.
Saya berkata: Maka apa gerangan dengan ashlul ushul yang mana bangunan? (islam) ini tidak diterima tanpanya..??
Maka ini semua menunjukkan atas kebatilan ijma yang disebutkan tadi dan atas wajibnya memahami ucapan ini dengan dasar dalil-dalil lain yang menjelaskan, persis seperti apa yang dipahami salaf,......dan membatasinya seperti yang mereka batasi.
Catatan kaki:
(1)   Al Musnad Tahqiq Ahmad Syakir 1/79
Dan mungkin Syaikh Abdullatif memaksudkan atsar ini atau yang serupa dengannya dengan isyaratnya pada bantahan beliau terhadap orang yang menganggap penduduk Kuwait dan yang lainnya dari kalangan ‘Ubbadul Qubur di zaman Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab sebagai Ahli Kiblat, di mana beliau berkata dalam Mishbahudhdhalam hal 144: “Dan di dalamnya ada yang memberikan isyarat bahwa dia itu tidak mengetahui maksud para ulama dengan ucapan mereka: Ahlu Kiblat tidak dikafirkan dengan sebab dosa”, dan dia tidak mengetahui maksud ulama, asal usul ucapan ini dan dalam rangka untuk apa dituturkan. Jadi ucapan itu kegelapan-kegelapan sebagiannya di atas sebagian yang lain. Dan Imam Ahmad sendiri telah mengingkari ucapan orang-orang: “Kami tidak mengkafirkan ahli kiblat dengan sebab dosa” padahal maksud orang yang mengucapkannya adalah maksud yang benar yang tidal dilarang oleh Ahmad, akan tetapi masalahnya dalam lafadh-lafadh dan ‘umumiyyat, apa yang bisa diterima darinya dan apa yang tercegah.” Selesai.
Catatan kaki selesai.























Syubhat
Mereka Berhujjah Dengan Ucapan Abdullah Ibnu
Syaqiq Al Uqailiy Bahwa Sahabat Tidak
Memandang Suatupun Dari Amalan
Yang Meninggalkannya Adalah
Kekafiran Kecuali Shalat

Inilah sungguh sebagian afrakhul Murjiah telah berdalih untuk menambal (kekafiran) para thaghut dengan ucapan Abdullah Ibnu Syaqiq Al ‘Uqailiy ra: “Adalah sahabat Muhammad saw tidak memandang sesuatupun dari amalan yang meninggalkannya adalah kekafiran selain shalat.:
Bila kita sedikit longgar bersama mereka dan menangguhkan permbicaraan dalam masalah status kehujjahan hal seperti ini serta perselisihan di dalamnya di kalangan ahlul ilmi tentang Al Ushul terutama bila ada yang menyelisihi dan yang menentangnya dari kalangan sahabat dan kita pindah untuk memahami apa yang dimaksud dari atsar ini, maka hal wajib secara pasti atas kita adalah mengetahui amalan-amalan yang diisyaratkan kepadanya di dalamnya. Apa kita memuthlaqkannya sehingga kita memasukkan di dalamnya setiap yang tercakup penamaan amal, sehingga masuk juga (tauhid) dan kufur terhadap thaghut serta yang lainnya, karena ia juga amal, dan ini adalah batil, karena meninggalkannya adalah kekafiran dengan ittifaq, atau kita mentaqyidnya dengan amalan-amalan yang di bawah itu, sehingga gugurlah ihtijaj (berhujjah) dengan atsar ini terhadap kemusyrikan zaman kita yang dahsyat – yang mana ia belum pernah ada saat atsar ini diucapkan – yaitu “meninggalkan pemberlakuan syariat Allah dan pemberlakuan thaghut-thaghut (UU) lokal dan internasional” terutama sesungguhnya masalahnya sebagaimana yang engkau ketahui bukanlah sekedar meninggalkan pemutusan dengan sebagian syari’at Allah sesekali akan tetapi ia keberpalingan muthlaq dari hududullah, pembuatan hukum dan penggantian, yaitu masuk dalam dien (hukum/UU) para thaghut, peribadatan kepadanya dan menjadikannya sebagai arbab yang cerai berai dengan cara mentaatinya dalam tasyri’ serta tidak bara’ah darinya dan dari aturan-aturannya. Dan dalam hal ini bukan hanya meninggalkan tauhid dan berpaling darinya, namun merobohkan dan memeranginya. Dan sudah ma’lum bahwa hal inti yang mana perseteruan kita terjadi di dalamnya, yang dikafirkan itu bukan hanya yang memerangi dan menghancurkan serta menghalang-halangi darinya, namun juga orang yang sekedar meninggalkan lagi berpaling darinya, karena ini bukan meninggalkan amalan yang mustahab atau yang wajib yang sekedar dosa pelakunya, namun ia adalah meninggalkan dan berpaling dari inti ajaran Islam yang paling mendasar dan syarat (keislaman) yang mana amalan apapun tidak bisa diterima, maka bagaimana dengan yang menghancurkannya lagi memerangi juga menghalang-halangi darinya.
Bagaimanapun, tidak seyogyanya membawa atsar ini melebihi dari makna yang dikandungnya karena ia tidak berbicara tentang cabang-cabang kufur ‘amaliyyah dan qauliyyah yang mana engkau mengetahui banyak darinya dalam uraian yang lalu, namun ia berkata tentang cabang-cabang iman ‘amaliyyah meninggalkannya adalah kekafiran, seperti membuang kotoran dari jalan, sederhana, sifat malu, mencintai bagi saudaramu apa yang kamu cintai bagi dirimu, dan yang lainnya, karena suatu yang ma’lum bahwa lenyap sesuatu dari cabang-cabang ini maka iman tidak lenyap secara keseluruhan dan tidak gugur, akan tetapi ia berkurang sesuai kadarnya bila ia tergolong wajibatul iman. Adapun syu’abul iman yang mana ia tergolong ashl-nya maka sesungguhnya iman batal dengan lenyapnya hal itu atau dengan lenyapnya sebagian hal itu, seperti shalat yang disebutkan dalam atsar ini bahwa ia adalah satu-satunya syu’bah ‘amaliyyah yang mana meninggalkannya menggugurkan al iman, itu dikarenakan Ahlus Sunnah menganggap al iman itu i’tiqad, ucapan dan amalan, jadi di antara amalan menurut mereka ada yang tergolong kamalul iman (al mustahab), di antaranya ada yang tergolong al iman al wajib dan diantaranya ada yang merupakan syarat bagi keabsahan iman.
Ibnul Qayyim rh berkata dalam Kitab Ash Shalat hal 53: “Tatkala iman itu memiliki cabang-cabang yang banyak, dan setiap cabang darinya dinamakan iman, seperti sifat malu dan tawakkul........sampai cabang-cabang ini berujung di menyingkirkan kotoran dari jalan, sesungguhnya ia adalah cabang dari cabang-cabang al iman.
Dan cabang-cabang ini di antaranya ada yang iman lenyap dengan lenyapnya hal itu seperti syu’bah syahadat, dan di antaranya ada yang iman tidak lenyap dengan lenyapnya hal itu seperti menyingkirkan kotoran.” Mukhtashar.
Ini menurut Ahlus Sunnah, adapun menurut Murjiah dan Jahmiyyah serta orang-orang yang mengikuti mereka, maka sesungguhnya mereka rancu dalam penamaan al iman dan hubungan amalan dengannya, oleh sebab itu tidak ada satupun amalan yang bila ia lenyap maka iman menjadi lenyap menurut mereka. Dan perhatikanlah ucapan Ibnul Qayyim dalam syu’bah syahadat, karena sesungguhnya pembicaraan kita semuanya seputar hal itu.
Adapun keberadaan atsar ini menegaskan bahwa sahabat tidak memandang di antara syu’abul iman al ‘amaliyyah suatu yang mengkafirkan orang yang meninggalkannya kecuali shalat, maka tidak seyogyanya memahaminya bahwa itu ijma dari mereka ra, namun paling tidak dikatakan tentangnya bahwa itu pendapat sekelompok dari mereka, dan beliau memuthlaqan ucapan di dalamnya sebagai bentuk ta’dhim akan statusnya, karena manthuqnya bertentangan lagi menyelisihi pendapat sejumlah dari sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka, terutama dalam apa yang dinamakan “al-mabany/rukun-rukun islam” oleh Ibnu Taimiyyah. Dan ini dijabarkan di tempatnya lagi telah dituturkan oleh ahlul ilmi dalam kitab-kitab al iman yang mereka susun, bahkan ia ditentang oleh ijma sahabat atas sikap memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat sebagai perang karena riddah. Ijma mereka telah terjalin setelah mudhaharah yang terjadi antara Abu Bakar dengan Umar atas sikap memerangi mereka. Dan ma’lum bahwa banyak dari mereka tidak mengingkarinya namun hanya menolak saja, namun demikian sahabat memerangi mereka seluruhnya, dan bentuk qital mereka adalah qital riddah, di mana mereka menganggap halal darah dan harta dan bahkan menjadikan wanita mereka sebagai budak. Dan (Muhammad Ibnu Hanafiyyah) putra Ali Ibnu Abi Thalib tidak lain adalah anak wanita dari budak-budak itu. Dan sikap ini dianggap sebagai bagian keutamaan Ash Shiddiq ra. Maka bagaimana bila masalah kita ini adalah al kufru biththaghut yang tidak seperti cabang iman lainnya, namun ia adalah cabang yang paling tingi dan paling agung, dan ia adalah separuh ashlul iman dan kaidahnya.
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh berkata dalam Mishbahudhdhalam: “Ashlul Islam dan mabani-nya memiliki posisi yang tidak dimiliki oleh yang lainnya dari sunnah-sunnah oleh sebab itu orang yang mengingkarinya dikafirkan dan diperangi karenanya, bahkan orang yang meninggalkannya dikafirkan oleh jumhur salaf dengan sekedar meninggalkan.” Selesai.(1)
Syaikhul Islam telah menuturkan pendapat-pendapat mereka seputar hal itu dalam banyak tempat di Fatawanya 7/302, di mana beliau berkata: Dari Ahmad dalam hal itu ada pertentangan, dan salah satu riwayat darinya bahwa beliau mengkafirkan dengan sebab meninggalkan satu shalat saja, dan ini adalah pilihan oleh Abu Bakar dan sekelompok dari pengikut Malik seperti Ibnu Hubaib.
Darinya ada riwayat kedua: Bahwa orang tidak dikafirkan kecuali dengan sebab meninggalkan shalat dan zakat saja.
Dan riwayat ketiga: Tidak dikafirkan kecuali dengan meninggalkan shalat, dan zakat bila dia memerangi iman karenanya.
Dan riwayat keempat: Tidak dikafirkan kecuali dengan meninggalkan shalat(2)
Dan kelima: Tidak dikafirkan dengan meninggalkan sesuatu darinya....dan ini adalah pendapat yang ma’ruf pada salaf.” Selesai.
Dan begitu juga hal 7/259, di dalamnya ada ucapannya: Dan begitu juga darinya ada riwayat bahwa beliau mengkafirkan dengan sebab meninggalkan shaum dan haji, bila dia berazam untuk tidak haji selamanya.” Selesai.
Dan beliau nukil dari Al Hakam Ibnu Uthah 7/302 ucapannya: Siapa yang meninggalkan shalat sengaja maka dia telah kafir, siapa yang meninggalkan zakat sengaja maka dia telah kafir, siapa yang meninggalkan haji sengaja maka dia kafir, dan siapa yang meninggalkan shaum Ramadhan sengaja maka dia telah kafir.” Dan dari Sa’id Ibnu Jubairi: Siapa yang meninggalkan shalat sengaja maka dia telah kafir kepada Allah. Siapa yang meninggalkan zakat sengaja maka dia telah kafir kepada Allah, dan siapa yang meninggalkan shaum Ramadhan sengaja maka dia telah kafir kepada Allah.” Selesai.
Catatan kaki:
(1)   Hal (65) dari cetakan Darul Hidayah, Riyad.
(2)   Riwayat ini adalah pegangan madzhab yang diisyaratkan Abdullah Ibnu Syaqiq dalam atsar tersebut.
Catatan kaki selesai.
Dan beliau menukil dari Muhammad Ibnu Nashr Al Marwazi 7/333: Siapa yang dhahirnya amalan-amalan Islam dan itu tidak dikembalikan pada ‘Uqudul Iman terhadap ghaib maka ia munafiq nifaq yang memindahkan dari millah. Dan  siapa yang ikatannya iman terhadap ghaib namun tidak mengamalkan ahkamul iman dan syara’ul islam maka dia itu kafir yang tidak bisa tetap tauhid bersamanya.”
Abdullah Ibnu Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal berkata dalam Kitabus Sunnah 1/34): Suwaid Ibnu Sa’id Al Harawy berkata: Kami bertanya kepada Sufyan Ibnu ‘Uyainah tentang irja.” Maka beliau berkata: Mereka mengatakan iman itu ucapan, sedangkan kita mengatakan iman itu ucapan dan amalan, Murjiah menetapkan surga bagi orang yang bersaksi akan laa ilaaha illallah sedang dengan hatinya dia bersikukuh terus meninggalkan faraidl, dan mereka menanamkan peninggalan faraidl sebagai dosa seperti melanggar hal-hal yang haram, padahal itu tidak sama, karena melanggar hal-hal haram tanpa istihlal adalah maksiat, sedangkan meninggalkan faraidl secara sengaja tanpa kejahilan dan udzur adalah kekafiran.
Dan penjelasan itu adalah ada pada masalah yang menimpa Adam as, iblis, dan ulama Yahudi.
Adapun Adam, maka Allah ‘Azza wa Jalla telah melarangnya dari makan (buah) pohon dan Dia mengharamkannya atas dia, terus dia memakan darinya secara sengaja agar menjadi malaikat atau termasuk golongan yang kekal, maka Dia menamakan Adam sebagai orang yang maksiat tanpa kufur.
Adapun iblis la’anahullah, maka sesungguhnya Allah telah memfardlukan satu kali sujud, terus mengingkarinya secara sengaja, maka dia dinamakan kafir.
Adapun ulama Yahudi, maka sungguh mereka telah mengetahui ciri-ciri Nabi saw dan bahwa beliau adalah Nabi dan Rasul, sebagaimana mereka mengetahui anak-anak mereka serta mereka mengakuinya dengan lisan namun mereka tidak mengikuti ajarannya, maka Allah ‘azza wa jalla namakan mereka kafir.
Melanggar yang diharamkan adalah seperti dosa Adam as dan para nabi lainnya. Dan adapun meninggalkan faraidl dengan juhud, maka ia kekafiran seperti kekafiran iblis la’anahullah.
Sedang meninggalkan faraidl dengan disertai pengetahuan tanpa juhud maka ia kekafiran seperti kekafiran ulama Yahudi. Wallahu a’alam.
Saya katakan: Bila ini ucapan-ucapan mereka seputar meninggalkan faraidl dan mabani yang mana ia termasuk syu’abul iman, maka bagaimana gerangan dengan meninggalkan bahkan menghancurkan suatu yang merupakan faraidl yang paling agung, paling pertama, kepalanya dan intinya, yaitu al kufru biththaghut dan tauhidullah dengan seluruh macam ibadah, dan kami maksudkan dari hal itu di sini adalah tha’at dalam tasyri’.......??















Syubhat
Bahwa Para Thaghut Dan Budak-Budak Mereka Itu
Mengucapkan Laa Ilaaha Illallah

Murjiatul ‘Ashri di sini memiliki syubhat lain yang berkaitan dengan yang sebelumnya, yang telah mereka warisi dari para guru mereka Murjiah pertama, yaitu ihitijaj mereka dengan sebagian hal-hal umum yang ada dalam khabar-khabar yang tsabit dari Nabi saw bahwa siapa yang mengucapkan “laa ilaaha illallah” maka dia masuk surga, atau haram darah dan hartanya, seperti hadits Usamah Ibnu Zaid “Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan..?” hadits bithaqah dan yang lainnya.
Sedangkan al haq adalah bahwa orang yang suka mentelaah kitab-kitab ahlul ilmi, maka ia mengetahui bahwa ahlul ilmi telah membahas tuntas masalah-masalah ini sebagai bentuk bantahan dan penjelasan. Dan dalam rangka penyempurnaan materi ini tidak ada salahnya saya memilihkan buat pencari al haq sekilas dari ungkapan-ungkapan mereka dalam bab ini, terutama sesungguhnya sangat disayangkan sekali saya telah mendapatkan dari kalangan yang kufur terhadap thaghut dan bara dari mereka serta tidak membela-bela mereka, sikap ngawur dan rancu di dalamnya. Dan saya menilai ini tidak lain adalah keterpengaruhan dan ketergangguan oleh orang yang menyelisihi mereka dan lontaran-lontarannya, berupa tuduhan takfiriy, Khawarij dan bentuk teoro pemikiran lainnya, juga penghalang-halangan dan pencorengan yang dilakukan Ahluttajahhum wal irja yang mengklaim bermanhaj salaf (salafi maz’um) secara dusta dan mengada-ada, dalam rangka membela-bela para thaghut, pemerintahan-pemerintahannya serta parlemen-parlemennya yang kafir.
Adapun pembicaraan atas syubhat ini dan penggugurannya maka itu ada pada ahlul ilmi dari banyak sisi, dan yang penting diantaranya adalah saudara muwahhid mesti selalu ingat bahwa syara’i itu turun dengan cara bertahap, dan ini hal yang ma’lum bagi setiap orang.
Al Imam Abu Ubaid Al Qasim Ibnu Sulaim berkata dalam Kitabul Iman setelah menyebutkan firman-Nya ta’ala: “Bila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Itu adalah lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (An Nisaa’: 59), dan beliau berkata: Dan sesungguhnya kami kembalikan masalahnya kepada apa yang atasnya Allah telah mengutus Rasul-Nya saw dan yang dengannya Dia turunkan Kitab-Nya, maka ternyata kami mendapatkannya Dia telah menjadikan permulaan al iman adalah kesaksian akan laa ilaaha illallah dan bahwa Muhammad Rasulullah saw, beliau menetap di Mekkah sstelah kenabian sepuluh atau belasan tahun menyeru kepada syahadat ini secara khusus, dan tidak ada keimanan yang difardlukan atas hamba-hamba-Nya saat itu selainnya, siapa yang memenuhi panggilan kepadanya maka dia itu mu’min yang tidak wajib atasnya nama dalam dien ini selainnya, tidak wajib atas mereka zakat, shaum dan ajaran Islam lainnya. Dia jadikan pengakuan dengan lisan saja adalah iman yang difadlukan atas manusia saat itu. Mereka di atas keadaan seperti itu selama menetap di Mekkah, dan beberapa belas bulan di Madinah setelah hijrah(1), kemudian tatkala manusia cenderung kepada Islam dan baik sekali kecintaan mereka kepadanya, maka Allah menambah mereka dalam keimanannya di mana Dia palingkan shalat ke Ka’bah setelah sebelumnya menghadap Baitul Maqdis.
Catatan kaki:
(1)     Dan dengan ini nampak di hadapanmu juga kebatilan satu syubhat dari syubhat-syubhat Murjiatul ‘Ashri yaitu penutupan mereka akan thaghut-thaghut mereka, dengan klaim bahwa An Najasyi memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan setelah dia masuk Islam, namun demikian Nabi saw tidak mengkafirkannya, namun justru beliau menyatakan keislaman dia dan menshalatkannya tatkala meninggal dunia. “Sungguh besar ucapan yang keluar dari mulut-mulut mereka, mereka tidak mengatakan kecuali kebohongan” Justru beliau telah memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan kepada mereka saat itu, dan beliau mengikuti apa yang telah difardlukan atas mereka pada waktu itu, karena ajaran Islam saat itu belum sempurna, sehingga pemasrahan diri, ketundukan dan pengakuan akan laa ilaaha illallah dan makna yang dikandung di dalamnya berupa bara’ah dari setiap apa yang diibadati selain Allah adalah al iman dan ittiba’ syari’at serta pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan saat itu, terutama bila engkau telah mengetahui bahwa An Najasyi telah menulis surat kepada Nabi saw seraya bersaksi bahwa beliau Rasulullah saat itu seraya jujur lagi membenarkan bahkan dia membai’at Rasulullah atas Islam, sehingga sebagian penduduk Habasyah memberontaknya seraya ingin merebut kerjaaannya, dan bahwa dia mampu mengalahkan mereka, kondisi Habasyah tetap jadi miliknya setelah itu dan kaumnya pun mengakuinya di atas Islam dan ia ahirnya para usquf dan para pendeta mengikutinya. Dan lihat Zaadul Ma’ad juz 3/62 kemudian dia meninggal tidak lama setelah keislamannya, dan itu sebelum syari’at turun sempurna. Adapun Najasyi yang disurati Nabi saw beserta Kisra, kaisar dan semua penguasa seraya mengajak mereka kepada Islam, maka ia adalah selain An Najasyi muslim yang dishalatkan Nabi saw sebagaimana dalam shahih Muslim, dan Ibnul Qayyim telah mengisyaratkan kepada hal ini dalam Zaadul Ma’ad, serta beliau sebutkan kekeliruan sebagian para perawi di dalamnya dalam mencampur adukkan antara dua orang ini. Dan rujuk dalam hal ini juga Kitabul Iman karya Abdullah Al Qana’iy hal: 149 dan seterusnya.
Catatan kaki selesai.
Kemudian Dia mengkhianati mereka saat mereka di Madinah dengan nama iman mereka yang lalu dalam setiap apa yang Dia perintahkan dan apa yang Dia larang. Dan Dia hanya menamai mereka dengan nama (iman) ini dengan sekedar pengakuan, karena saat itu tidak ada hal yang fardlu selainnya. Kemudian tatkala syari’at telah turun setelah ini maka wajib atas mereka seperti wajibnya yang pertama saja tidak ada perbedaan di antara keduanya, karena keduanya dari sisi Allah dan dengan perintah-Nya serta dengan pewajiban-Nya. Seandainya mereka saat pemindahan kiblat ke Ka’bah menolak untuk shalat menghadap kepadanya, dan mereka berpegang dengan keimanan yang telah mereka sandang namanya dan kiblat yang dulu mereka menghadap kepadanya, maka itu sama sekali tidak bermanfaat bagi mereka, namun padanya terdapat pengguguran terhadap pengakuan mereka. Dan tatkala mereka memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya untuk menerima shalat seperti pemenuhan mereka akan pengakuan, maka keduanya secara bersamaan saat itu menjadi Al Iman. Kemudian mereka berada dalam keadaan seperti itu sementara waktu, terus tatkala mereka selalu komitmen dengan shalat dan dada mereka lapang dengannya, maka Allah turunkan kefardluan zakat dalam iman mereka digabung dengan yang sebelumnya. Seandainya mereka menolak zakat pada saat pengakuan dan mereka memberikannya akan hal itu dengan lisan dan mereka mendirikan shalat namun mereka menolak dari zakat, maka hal itu melenyapkan apa yang ada sebelumnya, serta menggugurkan pengakuan dan shalat. Dan bukti kongkret yang membenarkan hal ini adalah jihad Abu Bakar rh bersama kaum muhajirin dan anshar memerangi orang-orang yang menolak bayar zakat seperti jihad Rasulullah saw memerangi kaum musyrikin, sama saja tidak saja tidak ada bedanya antara keduanya dalam hal penumpahan darah, perbudakan anak-anak dan wanita, dan perampasan, hartanya, padahal mereka itu hanya menolak bayar zakat saja bukan mengingkarinya, kemudian seperti itulah ajaran-ajaran Islam yang lain semuanya. Setiap kali turun syari’at maka ia menjadi digabungkan dengan yang sebelumnya lagi menyertainya, dan semuanya dicakup oleh nama al iman, sehingga dikatakan kepada pemeluknya mu’minun. Dan inilah tempat yang telah keliru di dalamnya orang yang berpendapat bahwa iman itu dengan ucapan.
Sebagaimana mereka telah keliru dalam pentakwilan hadits Nabi saw tatkala ditanya oleh orang yang memiliki kewajiban memerdekakan budak tentang memerdekakan budak ‘ajam (non arab), maka dia disuruh memerdekakannya dan Nabi menamakannya mu’minah. Dan ini hanyalah berdasarkan apa yang telah saya beritahukan kepadamu berupa masuknya mereka dalam al iman dan penerimaan serta pembenaran mereka terhadap apa yang telah turun darinya, sedangkan ia itu turun berpisah-pisah seperti turunnya Al Quran.” Selesai secara ikhtisar.(1)
Dan atas dasar ini maka sesungguhnya orang yang masuk Islam setelah Allah menyempurnakan dien ini bagi kita, dan dia mengaku akan laa ilaaha illallah di mana dia bara dari itu, kemudian dia diperintahkan melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang wajib atas setiap muslim (al mabaniy), kemudian bila dia mengamalkannya dan komitmen dengannya, serta dia menjauhi segala pembatal laa ilaaha illalaah, maka terus berlangsunglah ‘ishmah (keterlindungan darah dan harta) yang telah dia masuki dengan sekedar pengakuan dan iltizam dengan kalimat tauhid. Dan bila terjatuh pada salah satu pembatal (laa ilaaha illallaah) atau menolak salah satu syaratnya dan mabani-nya, maka ‘ishmah itu terputus, sesuai rincian dalam perselisihan yang terkenal tentang mabani itu..........dengan memperhatikan syurut dan mawani’ takfier.
Dan dipahami hal ini dari ucapan Nabi saw kepada Mu’adz tatkala beliau utus ke Yaman: “Kemudian bila mereka memenuhi panggilanmu kepadanya........”yaitu kalimat tauhid yang mengharuskan sikap bara dari ajaran mereka yang batil,” maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu....”
Catatan kaki:
(1)   Hal 54 dan seterusnya dari cetakan yang digabung dalam “Arba’u Rasaa-il” dengan Tahqiq Al Albaniy, pustaka dan penerbit Darul Arqam, Kuwait.
Catatan kaki selesai.
Dan oleh sebab itu seandaninya orang yang mengakui kalimat tauhid dan bara dari syirik dan para pelakunya meninggal dunia langsung setelah pengakuannya, dan sama sekali belum pernah melakukan satupun dari amal-amal Islam yang difardlukan karena belum wajib atas dia, seperti dia masuk Islam waktu dluha dan kemudian meninggal dunia sebelum masuk waktu dluhur, maka sesungguhnya dia mati dalam keadaan muslim mu’min yang telah menegakkan al iman yang wajib atasnya.
Dan ini seperti laki-laki yang datang kepada Nabi saw dalam suatu peperangan(1), dia berkata: Wahai Rasulullah saya berperang atau masuk Islam? Maka beliau berkata: Masuk Islamlah kemudian berperang.” Maka diapun masuk Islam terus berperang hingga terbunuh.
Maka Rasulullah saw berkata: “Dia beramal sedikit dan diberi pahala banyak” dia setelah masuk Islam tidak beramal kecuali apa yang wajib atasnya di waktu itu hanya membela Rasulullah saw dan dia mati tanpa pernah ruku’ kepada Allah satu kali ruku’ sekalipun. Dan dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawa 11/519: “Orang bila beriman kepada Rasul dengan keimananan yang pasti, dan dia mati sebelum masuk waktu shalat atau (sebelum) wajibnya sesuatupun dari amalan, maka dia mati dengan sempurna iman yang wajib atasnya, kemudian bila telah masuk waktu shalat, maka wajib atasnya shalat dan jadilah wajib atasnya suatu yang belum wajib atas dia sebelum itu.” Selesai.
Dan berkata 7/518: “Sesungguhnya Allah tatkala mengutus Muhammad sebagai Rasul kepada makhluk, maka yang menjadi kewajiban atas makhluk adalah membenarkannya dalam apa yang beliau beritakan, dan mentaatinya dalam apa yang beliau perintahkan, dan saat itu beliau tidak memerintahkan mereka untuk shalat lima waktu, shaum Ramadhan dan haji ke Baitullah, dan tidak mengharamkan atas mereka kahmr, riba, dan yang lainnya, serta mayoritas Al Quran belum turun. Kemudian siapa yang membenarkannya saat itu dalam apa yang diturunkan dari Al Quran dan mengakui apa yang diperintahkan berupa dua kalimah syahadat serta hal-hal yang mengikutinya, maka orang itu seandainya dia didatangkan setelah hijrah tentulah tidak diterima darinya, dan seandainya dia mencukupkan dengannya tentulah dia kafir. Allah ta’ala berfirman di tahun haji wada’: “Pada hari telah Aku sempurnakan bagi kamu dien kamu dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian..” (Al Maidah: 3).
Masalahnya setelah sempurnanya syariat ini adalah seperti apa yang diriwayatkan Al Bukhari dari Wahb Ibnu Munabbih, bahwa dikatakan kepadanya: Bukankah kunci surga adalah laa ilaaha illallaah?” Maka beliau berkata: Ya, tapi tidak ada satu kuncipun melainkan memiliki gigi, bila kamu datang dengan kunci yang memiliki gigi maka pintu dibukakan bagimu, dan bila tidak maka tidak (dibukakan).”
Jadi “laa ilaaha illallaah” itu memiliki lawazim (keharusan-keharusan) dan muqtadlayat (tuntutan-tuntutan), juga nawaqidl (pembatal-pembatal) serta hal-hal yang membatalkan. Kemudian bila mendatangkan lawazimnya dan menjauhi pembatal-pembatalnya maka berlaku teruslah ‘ishmah yang dia masuki dengan sekedar pengakuan, dan bila ia mendatangkan satu pembatal, maka ‘ishmah itu terputus dan ucapan saja tidak berguna baginya setelah itu.
Dan denganini dan yang semisalnya engkau memahami makna pengingkaran Nabi saw terhadap Usamah tatkala membunuh seorang laki-laki setelah dia mengucapkan laa ilaaha illallaah”. Jadi pelafalan dia akannya merupakan penampakan akan sikap masuk dalam Islam, shingga dia diperintahkan dengannya dan dengan apa yang menjadi kemestiannya berupa ‘ishmah, sampai muncul darinya suatu pembatal yang memutus ‘ishmah itu. Dan yang Nabi sawa ingkari terhadap Usamah adalah sikap pemastiannya bahwa dia itu mengucapkannya karena taqiyyah lagi khawatir (tebasan) pedang, dan siapa tahu dia itu jujur lagi akan meninggalkan nawaqidlnya dan ittizam dengan tuntutan-tuntutannya serta hak-haknya setelah itu. Laa ilaaha illallaah adalah kunci masuk Islam, dengannya orang yang masuk Islam di awal mulanya terlindung (darah dan hartanya) kemudian keislamannya tidak langgeng dan ‘ishmahnya tidak berlangsung terus setelah itu kecuali dengan iltizam syarat-syarat kunci itu serta menjauhi nawaqidlnya, karena masuk Islam adalah suatu hal, sedangkan keberlangsungan keabsahannya dan kesinambungan serta ketidakbatalannya adalah hal lain.
Catatan kaki:
(1)     HR. Al Bukhari dan yang lainnya dari hadits Al Bara, dan Ibnu Hajar menuturkan dalam Al Fath (Kitabul Jihad) (Bab Amal Shalih sebelum perang) bahwa perang itu adalah uhud, dan menuturkan dari Maghazi Ibnu Ishaq dengan isnad shahih bahwa Abu Hurairah pernah berkata di dalamnya: “Seorang masuk surga dan belum pernah shalat sekalipun” dan bahwa namanya adalah ‘Amr Ibnu Tsabit, pahamilah kisahnya baik-baik dan jangan sampai Murjiatul ‘Ashri mentalbis atas dirimu serta mereka datang kepadamu dengan lafadh An Nasai secara dipotong, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi dalam suatu peperangan: “Andaikata saya menyerang mereka, terus saya memeranginya sampai saya terbunuh apakah itu baik untuk saya sedang saya belum pernah shalat? Rasulullah berkata: Ya”. Murjiatul ‘Ashri mungkin menklaim bahwa orang ini tergolong pengikut Nabi saw yang meninggalkan shalat dan Nabi tidak mengingkarinya dan tidak pula mengkafirkannya, namun ia tergolong sahabatnya dan beliau ajak dia keluar untuk berjihad serta beliau kabarkan bahwa andaikata dia mati di atas itu tentulah dia mati di atas kebaikan. Enyahlah bagi pemahaman-pemahaman dan akal-akal yang tidak layak dibeli walau dengan sayurun, karena sudah engkau ketahui bahwa laki-laki ini telah masuk Islam langsung pada perang itu, dan riwayat-riwayat hadits satu sama lain saling menjelaskan.
Catatan kaki selesai.
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath 12/279 saat menjelaskan hadits “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan laa ilaaha illallaah” bab (Membunuh orang yang tidak mau menerima faraidl) dari Kitab Istitabatul Murtaddin: “Dan ada faidahnya di dalamnya (yaitu) larangan membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah walaupun tidak melebihi itu sedang dia dalam keadaan seperti itu, namun apakah dengan sekedar itu ia menjadi muslim? Pendapat yang kuat(1) adalah tidak, namun wajib menahan diri dari membunuhnya sehingga diuji, bila ia bersaksi terhadap kerasulan dan komitmen dengan aturan-aturab Islam maka ia dihukumi muslim. Dan terhadap hal itu diisyaratkan dengan pengecualian dengan sabdanya: “Kecuali dengan hak Islam”.
Kemudian menukil dari Al Baghawi ucapannya: “Orang kafir bila penyembah berhala atau tsanawiy yang tidak mengakui keesaan (Allah), kemudian bila dia mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka dia dihukumi muslim, terus dipaksa untuk menerima seluruh ajaran Islam dan berlepas diri dari setiap dien (ajaran) yang menyelisihi dienul Islam....hingga akhir ucapannya.” Selesai.
An-Nawawi dalam syarah hadits ini menuturkan dari Al Qadli ‘Iyadl ucapannya: Kekhususan keterjagaan harta dan jiwa bagi orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah adalah ungkapan tentang pemenuhan panggilan untuk beriman, dan bahwa yang dimaksudkan dengan ini adalah orang-orang yang pertama kali di ajak masuk Islam dan diperangi atas dasarnya.
Adapun selain mereka dari kalangan yang mengakui tauhid, maka dalam keterjagaan (darah dan hartanya) tidak cukup dengan ucapannya: “Laa ilaaha illallaah” bila dia mengucapkannya dalam kekafirannya dan ia termassuk keyakinannya, maka oleh sebab itu (dikatakan) dalam hadits lain: “dan bahwa aku adalah Rasulullah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”
Kemudian An Nawawi berkata: “Dan dengan ini mesti ada keimanan terhadap seluruh apa yang dibawa Rasulullah, sebagaimana dalam riwayat lain jalur Abu Hurairah “sehingga mereka bersaksi akan laa ilaaha illallaah, mereka beriman kepadaku dan kepada apa yang aku bawa. “Wallahu a’lam.” Selesai syarah muslim.
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 1/367 menghikayatkan: “Ijma kaum muslimin terhadap keberadaan bahwa hadits-hadits ini dibatasi dengan ketidakadaan penghalang, oleh sebab itu salaf mentakwilnya, terus beliau menghikayatkan dari jama’ah diantaranya Ibnul Musayyib bahwa ini sebelum turun faraidl, perintah dan larangan. An Nawawi menghikayatkan dari sebagian mereka bahwa ia berkata: La (hadits-hadits itu) adalah global yang butuh penjelasan, sedang maknanya adalah: orang yang mengucapkan kalimat ini dan dia tunaikan hak dan kefardluannya” dia berkata: Dan ini adalah pendapat Al Hasan Al Bashri, sedangkan pendapat Al Bukhari bahwa itu bagi orang yang mengucapkannya di saat penjelasan dan taubat serta dia mati di atas hal itu. Beliau teruskan dalam Kitabullibas.” Selesai.
Catatan kaki:
(1)   Ucapannya “pendapat yang kuat” adalah isyarat pada adanya perselisihan, dan bahwa Al Hafidh menguatkan yang ini, sedangkan yang kuat menurut kami adalah dia di awal mulanya dihukumi muslim dan masuk dalam ‘ishmah selama dia telah mengucapkan kalimat untuk masuk Islam, dan tidak ada salahnya untuk cari kejelasan, berdasarkan firman Allah ta’ala: “Dan jangan kalian katakan kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: “Kamu bukan mu’min......” hingga firman-Nya “maka telitilah” Allah ‘azza wa jalla melarang menafikan keislaman dari orang yang telah menyatakan masuk di dalamnya kecuali bila setelah itu dia menampakkan suatu pembatal atau perbuatan yang mengkafirkan – tanpa ada satupun dari mawani takfier – maka saat itu lenyaplah keislaman dan terputuslah ‘ishmah. Jadi masuk awal mula dalam Islam dan ‘ishmah adalah suatu hal sedangkan keberlangsungan keabsahannya dan keabsahan Islam adalah hal lain, dan inilah yang ditunjuk oleh sabdanya saw: “Kecuali dengan hak Islam” sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al Hafidh, pembicaraan ini adalah tentang orang yang baru masuk Islam. Adapun para pengekor yang memenuhi belahan dunia ini dan yang tidak mendatangkan semenjak lahir dan sepanjang hidupnya dari Islam ini kecuali pelapalan dengan kalimat ini dengan disertai melakukan pembatal-pembatalnya, ketidakkomitmenan terhadap syarat-syaratnya dan keberpalingan dari tegak atas mereka dengan sampainya Al Quran kepada mereka” supaya saya memberikan peringatan kepada kalian dengan (Al Quran) ini dan kepada orang yang sampai (Al Quran) kepadanya.” Maka mereka itu orang-orang kafir lagi berpaling yang lebih mencintai kehidupan dunia atas akhirat, dan pembicaraan yang diisyaratkan tadi sama sekali tidak tepat buat mereka.
Catatan kaki selesai.
Dan berkata dalam Risalah “Irsyadus Sail Ilaa Dilalatil Masaail”(1): soal kedua: isinya: Apa status hukum penduduk badui yang tidak melakukan sedikitpun dari ajaran ini kecuali sekedar mengucapkan syahadat, apakah mereka itu kafir atau tidak, dan apakah wajib atas kaum muslimin untuk memerangi mereka atau tidak? Maka beliau rh berkata: “orang yang meniggalkan rukun-rukun Islam dan seluruh faraidlnya lagi menolak apa yang wajib atas dirinya dari hal itu berupa ucapan dan perbuatan, dan tidak ada padanya kecuali pengucapan dua kalimah syahadat, maka tidak ragu dan tidak bimbang bahwa orang ini adalah kafir dengan kekafiran yang sangat lahi halal darahnya, sedangkan keterjagaan harta itu hanya dengan penegakan akan rukun-rukun Islam.” Selesai.
Syaikh Hamd Ibnu Nashir Ibnu Utsman Alu Ma’mar berkata dalam risalahnya “Al Fawakihul ‘Udzab Fir raddi ‘Ala Man lam Yuhakkmis Sunnah Wal Kitab” hal 67: “Ulama kita rh berkata bila orang kafir mengucapkan laa ilaaha illallaah maka ia telah mulai masuk dalam suatu yang melindungi darahnya, maka wajib menahan diri darinya, kemudian bila dia menyempurnakan hal itu maka ‘ishmah telah terealisasi dan bila tidak maka ia batal, sehingga Nabi saw telah mengatakan setiap hadits di suatu waktu, beliau berkata: (“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan: “laa ilaaha illallaah”) supaya kaum muslimin mengetahui bahwa orang kafir yang memerangi bila mengucapkannya maka (pedang) ditahan darinya serta darah dan hartanya menjadi terjaga, kemudian beliau jelaskan saw dalam hadits lain bahwa perang itu berlangsung hingga dua kalimah syahadat dan dua ibadah (shalat dan zakat), beliau berkata: “saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa laa ilaaha illallaah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” Beliau jelaskan bahwa kesempurnaan ‘ishmah hanya terhasil dengan hal itu, dan supaya tidak ada syubhat bahwa sekedar pengakuan bisa melindungi untuk seterusnya.” Selesai.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rh berkata dalam “Kasyfusysyubuhat”: “Dan mereka memiliki syubhat lain, mereka berkata: bahwa Nabi telah mengingkari terhadap Usamah karena membunuh orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illalaah, beliau berkata: “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illalaah? Dan begitu juga sabdanya: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah.” Dan hadits-hadits lain tentang menahan diri dari orang yang mengucapkannya. Sedang maksud orang-orang jahil itu adalah bahwa orang yang mengucapkannya tidak boleh dikafirkan dan dibunuh walaupun dia melakukan apa saja yang dia lakukan.
Adapun hadits Usamah, maka sesungguhnya dia telah membunuh orang yang mengklaim Islam dengan sebab bahwa dia mengira bahwa dia tidak mengaku Islam kecuali karena ia mengkhawatirkan darah dan hartanya, sedangkan orang bila dia telah menampakkan keislaman maka wajib menahan diri darinya sehingga nampak jelas apa yang menyelisihi hal itu, dan Allah pun berfirman “dalam hal itu”. Hai orang-orang yang beriman bila kamu bepergian (di muka bumi seraya berjihad) di jalan Allah, maka telitilah” (An Nisa: 94), yaitu carilah kejelasan, kemudian bila nampak darinya sesudah itu suatu yang menyelisihi Islam maka dia dibunuh, berdasarkan firman-Nya “maka telitilah”, seandainya dia tidak dibunuh bila telah mengatakannya, tentulah (perintah) meneliti ini tidak memiliki makna. Dan begitu juga hadits lain dan yang semisal dengannya, maknanya adalah apa yang telah kami utarakan yaitu bahwa orang yang menampakkan keislaman dan tauhid adalah wajib menahan diri dari (membunuhnya) kecuali bila nampak darinya suatu yang menggugurkan hal itu.” Secara mukhtashar hal: 24.
Catatan kaki:
(1)   Risalah ke-5 dalam Majmu’atur Rasaa-il Al Munirriyyah 3/88.
Catatan kaki selesai.
Dan berkata hal: 20: Dan dikatakannya juga, mereka sahabat Nabi saw memerangi Bani Hanifah, padahal mereka telah masuk Islam bersama Nabi saw seraya mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mereka adzan dan mereka shalat. Kemudian bila dia berkata: Sesungguhnya mereka mengatakan bahwa Musailamah Nabi.” Maka kami katakan: Inilah yang dituntut, bila saja orang yang mengangkat seseorang pada tingkatan Nabi saw adalah kafir dan halal darah dan hartanya, tidak manfa’at dua kalimat syahadat dan juga shalat, maka bagaimana gerangan dengan orang yang mengangkat syamsan dan yusuf(1) atau seorang sahabat Nabi di tingkatan penguasa langit dan bumi, Maha Suci Allah sungguh agung kekuasaan-Nya” begitulah Allah mengunci mati terhadap hati orang-orang yang tidak mengetahui.” (Ar Rum: 59).” Selesai.
Dan giliran kami mengatakan kepada Murjiah zaman kita: Bila saja orang yang mengangkat seseorang pada tingkatan Nabi saw adalah telah kafir, halal harta dan darahnya lagi tidak manfaat dua kalimat syahadat dan shalatnya, maka bagaimana dengan orang yang mengangkat (Jabir, Hasan, Husin, atau Hasaniy) atau yang lainnya dari kalangan para amir, presiden dan raja, atau anggota (wakil rakyat) di parlemen, pada tingkatan penguasa langit dan bumi, di mana dia jadikan baginya wewenang pembuatan hukum/UU yang muthlaq yang padahal tidak layak kecuali bagi Allah ta’ala. Dan bagaimana dengan orang yang mengangkat undang-undang dasar dan undang-undang pada tingkatan Kitabullah dalam putusan dan vonis serta tasyri’ di antara manusia, bahkan dia jadikan UUD itu dan disahkan oleh amir (presiden, raja, dll, pent)(1), Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sifatkan: “begitulah Allah mengunci mati terhadap hati orang-orang yang tidak megetahui.” (Ar Rum: 59).
Catatan kaki:
(1)   Yusuf, Syamsan juga Khidlr, Abu Ali dan Al Asyqar adalah nama-nama yang sering berulang-ulang di kitab-kitab syaikh. Dan ia adalah kuburan dan kubah yang diminta-minta (di seru) oleh kaum musyrikin Kuwait, Irak dan yang lainnya selain Allah di masa Syaikh, lihat (Mishbahudhdhalam) karya Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdir Rahman Ibnu Hasan Alu Asy-Syaikh.
(2)   Bila ini semua samar terhadap pembaca, maka sungguh disayangkan atas umur yang lenyap sia-sia, tanpa orang itu mengetahui bashirah akan thaghut-thaghut zamannya dan kafir terhadapnya. Silakan rujuk kitab kami dalam hal ini “Kasyfun Niqab ‘An Syari’atul Ghab”.
Catatan kaki selesai.
Kemudian beliau rh berkata: “Dan dikatakan juga: Bani Ubaid Al Qadah yang menguasai kawasan barat (Maghrib) dan Mesir di zaman Banul Abbas, semua bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mereka mengaku Islam, serta mereka shalat jumat dan jama’ah. Kemudian tatkala mereka menampakkan penyelisihan (terhadap) syari’at dalam hal-hal yang lebih rendah dari masalah yang sedang kita bicarakan, maka para ulama ijma atas kekafiran mereka dan untuk memerangi mereka, serta bahwa negeri mereka adalah negeri harbiy, dan kaum muslimin memerangi mereka sehingga bisa mengembalikan negeri-negeri kaum muslimin yang berada di tangan mereka.” Selesai.
Dan dikatakan juga dalam Mukstashar Sirah tentang status Tartar: “Dan itu sesungguhnya setelah mereka melakukan apa yang mereka lakukan terhadap kaum muslimin, mereka tinggal di negeri kaum muslimin dan mereka mengetahui dienul muslimin, maka mereka menganggap baik dienul Islam dan akhirnya mereka masuk Islam, namun mereka tidak mengamalkan apa yang wajib atas mereka berupa ajaran-ajarannya, mereka menampakkan banyak hal dari sikap keluar dari ajarannya, namun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, serta mereka shalat lima waktu, jumat dan jama’ah, namun demikian para ulama telah mengkafirkan mereka, memeranginya dan menginvasinya sampai akhirnya Allah lenyapkan mereka dari negeri-negeri kaum muslimin. Dan dalam apa yang kami tuturkan terdapat kadar cukup bagi orang yang Allah berikan petunjuk kepadanya, dan adapun orang yang Allah inginkan kesesatannya maka seandainya gunung-gunung saling berbenturan di hadapannya maka hal itu tidak manfaat baginya.
Cucu beliau Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan berkata dalam Mishbahudhdhalam: “Dan seluruh – sanggahan-sanggahan ini – berdiri di atas keyakinan yang batil, yaitu bahwa orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah dosa tidak mengganggunya, serta keimanannya tidak lenyap dan keislamannya tidak batal dengan syirik dan tajahhum serta tidak pula oleh hal-hal mukaffirah lainnya, termasuk al mabaniy tidak dianggap menurut orang-orang sesat itu. Mengetahui pendapat ini dan menggambarkannya adalah cukup dalam menilainya sebagai kebatilan menurut orang yang mengetahui Islam.” Hal 114 secara ikhtishar.
Dan berkata pula dalam Ad Durar As Saniyyah: Ahlul ilmi wal iman tidak berselisih bahwa orang yang muncul darinya ucapan atau perbuatan yang menuntut kekafiran atau kemusyrikan atau kefasikannya, adalah bahwa ia divonis dengan suatu yang menuntut hal itu, meskipun ia tergolong orang yang mengakui dua kalimat syahadat dan mendatangkan sebagian rukun Islam, dan hanyasannya menahan diri dari kafir asli bila ia datangkan keduanya dan tidak nampak darinya suatu yang menyelisihinya dan membatalkannya, dan hal ini tidak samar terhadap penuntut ilmu yang yunior.” Selesai.(1)
Saya berkata: Namun demikian para syaikh Murjiah zaman kita, para tokohnya apa lagi para muqallid dan para pengekornya, mereka mendebat-debat di dalamnya, dan ini yang menjadikan dari mayoritas mereka tentara yang setia buat para thaghut, anshar yang sukarela membela-bela dan membentengi mereka, serta mencampakkan nash-nash al kitab dan as sunnah dengan syubhat-syubhat mereka yang rendah dan dengan ucapan-ucapan mereka yang sesat lagi rapuh yang tidak akan laku terhadap orang yang mengetahui tauhid dan hakikatnya.
Dan begitulah sesungguhnya nash-nash yang disebutkan di dalamnya keterkaitan ‘ishmah dan masuk surga dengan pengucapan laa ilaaha illallaah telah datang sesekali secara muthlaq, dan dalam tempat lain secara muqayyad dengan al yaqin, ikhlas atau ilmu, dan terkadang dikaitkan bersamanya hak-haknya berupa shalat, zakat, dan begitulah(2).
Semuanya adalah nash-nash yang berbicara tentang hukum dan sebab yang satu, sehingga yang muthlaq di dalamnya dibawa kepada yang muqayyad sebagaimana ia adalah thariqah ahli ilmu, sedangkan kaum Murjiah itu sebagaimana firqah-firqah sesat lainnya adalah kacau lagi serabutan yang tidak mengambil dari ilmu ini kecuali suatu yang selaras dengan hawa nafsu mereka, di mana mereka mengambil nushush muthlaqah terus di atasnya mereka membangun madzhab-madzhab mereka yang rusak dan syubhat-syubaht mereka yang rapuh yang telah engkau ketahui dan mereka menyembunyikan nushush muqayyadahnya. Ini pada hakikatnya bukan hanya menyelisihi thariqah ahli ilmi saja, bahkan ia tanpa ragu adalah tergolong bermain-main dengan dienullah dan mengada-adakan dusta atas (nama) Allah ta’ala, karena ia adalah pemalingan ungkapan dari tempat-tempat yang semestinya, pelampauan batasan Allah yang telah Dia tetapkan dan Dia gariskan firman-Nya di atasnya, serta tadlis dan talbis..... “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan dusta atas Allah adalah tidak beruntung.” (An Nahl: 116).
Dan begitu juga mereka melakukan terhadap teks-teks yang diriwayatkan dari para imam, mereka memotong ucapan para ulama itu(3) atau mengambil darinya apa yang sejalan dengan selera mereka. Dan kami meskipun meyakini bahwa dalam dien ini tidak ada hujjah dengan selain firman Allah dan Rasul-Nya saw, akan tetapi termasuk sikap objektif adalah ucapan seseorang tidak boleh diartikan dengan apa yang tidak dimaksud, dan ucapan-ucapan mereka yang muthlaq di bawa kepada ungkapan yang muqayyad dalam masalah yang sama, tidak seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang sesat itu berupa penuturan apa yang selaras dengan madzhab mereka yang rusak dan membuang apa yang tidak sejalan atau menyembunyikannya sedang ini bertentangan dengan sikap amanah, dan ia bukan termasuk thariqah salaf dan Ahlul hadits, akan tetapi ini manhaj ahlul ahwa yang mana Murjiah adalah di antara yang paling buruk. Ahlul Ahwa itu hanya menuturkan apa yang menguntungkan mereka saja, sedangkan Ahlul Hadits, mereka itu menuturkan apa yang menguntungkan mereka dan apa yang mengkritik mereka.
Catatan kaki:
(1)   Hal 355 dari juz Mukhtashar Ar Rudud dari Ad Durrar.
(2)   Syaikhul Islam tentang hal seperti ini menjawab dengan dua jawaban: “Pertama: Bahwa Nabi saw adalah menjawab – si penanya – sesuai turunnya faraidl. Awal suatu yang difardlukan adalah dua kalimat syahadat, kemudian shalat.... dst. Kedua: Bahwa Nabi saw menuturkan dalam setiap kondisi suatu yang selaras dengannya, terkadang beliau tuturkan faraidl yang nampak yang mana thaifah mumtani’ah diperangi karena meninggalkannya, seperti shalat dan zakat. Dan terkadang menyebutkan suatu yang wajib atas si penanya, siapa yang memenuhi shalat dan shaum namun ia tidak memiliki zakat yang mesti ia tunaikan........dst. “hingga akhir ucapannya, silakan rujuk Al Fatawa 7/605, 607.
(3)   Lihat contoh-contoh yang tegas akan hal ini dari tulisan-tulisan mereka dalam kitab kami “Tabshirul ‘Uqala Bi Talbisat Ahlit Tajahhum Wal Irja.”
Catatan kaki selesai.
Dan diantara contoh-contoh ini yang sering digunakan gantungan mereka dalam meteri kita ini adalah diantara apa yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad, bahwa beliau mengikuti Az Zuhriy dalam ucapannya “Mereka memandang Islam itu adalah ucapan sedangkan Iman adalah amalan” supaya dengannya mereka menghukumi keislaman orang uang merasa cukup dengan dua kalimat syahadat, meskipun tidak iltizam dengan amalan dan faraidl seumur hidupnya, kemudian dari itu mereka menyimpulkan keislaman orang yang melafalkannya meskipun ia mendatangkan sepenuh dunia pembatak, supaya pada akhirnya mereka bisa sampai kepada sikap menutupi (kekafiran) para thaghut dan menghukumi keislaman mereka, serta keharusan dri hal itu berupa loyalitas, ‘ishmah darah dan hartanya, sehingga mereka memiliki perang dalam menghancurkan dien ini, menghapus ikatan terkuatnya, serta melenyapkan peninggalan-peninggalan dan ajaran-ajarannya yang sangat mendasar, baik mereka menyadari ataupun tidak.
Maka dikatakan kepada mereka: Tenang dulu kalian.... Tidak seperti ini dalil digunakan.... dan dalam apa yang telah kami ketengahkan terdapat kadar cukup dalam menggugurkan hal ini, namun pembicaraan di sini terhadap ucapan Al Imam Ahmad, padahal sesungguhnya hujjah itu sebagaimana yang telah kami katakan bukan pada perkataan Ahmad dan yang lainnya, namun hujjah itu adalah firman Allah dan sabda Rasulullah saw. Sungguh Syaikhul Islam telah berkata dalam Majmu Al Fatawa 7/258 mengomentari perkataan ini, beliau berkata: Dan ini diartikan pada dua makna, sesungguhnya bisa dimaksud dengannya ucapan berikut hal-hal yang mengikutinya berupa amal-amal yang dhahir, dan inilah Islam yang telah dijelaskan Nabi saw di mana beliau berkata: Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Allah dan bahwa Muhammad Rasulullah, engkau mendirikan shalat, engkau menunaikan zakat, engkau shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah,” dan bisa dimaksud dengannya ucapan tanpa melakukan kewajiban-kewajiban yang dhahir, sedang ini bukanlah suatu yang dijadikan oleh Nabi saw sebagai al islam, namun bisa dikatakan: Keislaman orang-orang arab badui adalah tergolong hal ini, sehingga dikatakan: orang-orang arab badui dan yang lainnya adalah mereka bila masuk Islam pada masa Nabi saw, maka mereka diharuskan melakukan amal-amal yang dhahir: shalat, zakat, shaum dan haji, serta tidak seorangpun dibiarkan dengan sekedar pengucapan, akan tetapi siapa yang menampakkan maksiat maka dia dikenakan sanksi.
Ahmad bila memaksudkan dalam riwayat ini bahwa Islam adalah dua kalimat syahadat saja, maka setiap orang yang mengucapkannya adalah muslim. Ini adalah salah satu riwayat darinya, sedang riwayat yang lain: Ia tidak menjadi muslim sehingga ia datangkan hal itu dan shalat, kemudian bila ia tidak shalat maka ia kafir. Riwayat ketiga: Ia kafir juga dengan sebab tinggalkan zakat. Dan riwayat keempat: Ia kafir bila meninggalkan zakat bila memerangi imam atas dasarnya, berbeda bila ia tidak memeranginya. Dan darinya juga bahwa seandainya ia berkata: saya menunaikannya dan saya tidak menyerahkannya kepada imam, maka imam tidak punya hak membunuhnya. Serta juga riwayat darinya: Bahwa ia kafir dengan sebab meninggalkan shaum dan haji, bila ia berazam untuk tidak haji selamanya.
Dan sudah ma’lum bahwa atas dasar ucapan kafirnya orang yang meninggalkan al mabaniy maka sangatlah tercegah keberadaan Islam itu sekedar ucapan, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa bila ia mendatangkan kalimat itu maka ia masuk ke dalam Islam.” Selesai.
Dan engkau telah mengetahui dalam uraian yang lalu perbedaan antara masuk islam dan permulaan ‘ishmah serta mati langsung setelah itu, dengan suatu yang mesti untuk kelanggengan sahnya Islam dan keberlangsungan ‘ishmah.
Dan dari apa yang telah lalu nampak juga dihadapanmu kebatilan ihtijaj mereka untuk (membela) para thaghut mereka dan budak-budaknya dengan hadits bithaqah dan dengan hadits “Keluarkan – dari api neraka – orang yang di dalam hatinya ada (sebesar) biji Khardal dari keimanan,” dan begitu juga hadits “al jahannamiyyin yang dikeluarkan Allah ‘Azza wa Jalla dari neraka tanpa mereka melakukan amalan kebaikan sedikitpun” dan hadits-hadits serupa. Engkau telah mengetahui bahwa thariqah ahlil ilmi dalam hal itu adalah menggabungkan hadits-hadits satu sama lain, menjama’ antara khabar-khabar yang ada sebisa mungkin, serta melenyapkan apa yang diduga berupa saling pertentangannya dengan cara membawa yang muthlaq kepada yang muqayyad, al ‘aam kepada al khaash, yang mutasyabih kepada yang muhkam, dst.
Sesungguhnya senang dengan sesuatu dari hal itu saja dan terbang membawanya serta membangun pondasi-pondasi dan gunug-gunung di atasnya saja, tanpa memahaminya dengan mengaitkannya dengan yang lainnya adalah thariqah ahlil ahwa – yang diantaranya orang-orang yang kami bahas yaitu Murjiah – di mana mereka itu terbang ke mana-mana dengan hadits-hadits ini.
Syaikh Hamid Ibnu Nashir Ibnu Ma’mar dalam Ad Durar As Saniyyah: Sesungguhnya Al Quran di dalamnya ada ayat-ayat muhkamat yang mana ia adalah Ummul Kitab, sedangkan yang lainnya adalah mutasyabihat, maka yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, dan tidak boleh Kitabullah dibenturkan sebagiannya kepada sebagian yang lain(1), dan begitu juga As Sunnah: di dalamnya ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, maka yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, sebagiannya tidak boleh dibenturkan kepada sebagian yang lain, karena sabda Nabi saw itu tidak kontradiksi akan tetapi sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Juga As Sunnah itu sejalan dengan Al Quran dan tidak menggugurkannya dan ini adalah inti yang agung yang wajib diperhatikan, siapa yang menelantarkannya maka ia terjatuh dalam hal besar sedang dia tidak mengetahui.” Selesai dari juz Mukhtashar Ar Rudud.
Catatan kaki:
(1)      Sebagaimana sebagian mereka menghujjahi saya – sedang dia sangat disayangkan tergolong orang-orang yang intisab kepada thalabul ilmi – dengan firman-Nya ta’ala “Dan tidaklah mayoritas mereka beriman kepada Allah melainkan mereka itu menyekutukan (Nya).” Atas mungkinya seseorang menyekutukan Allah dengan syirik akbar namun Al Iman tidak lepas darinya dan tempat kembalinya adalah tetap tempat kembali kaum muwahhdin, dan dia menamakannya “kafir maliyy” dan ia adalah ucapan yang tidak pernah seorangpun mendahului dia dalam hal ini, namun justru yang benar yang dipakai dalam lafadh ini menurut ahlul ilmi adalah ucapan mereka “fasiq maliyy” yaitu bahwa dia maksiat yang mana ia tidak dinisbatkan kecuali kepada millahnya yang kafir.
Dan adapun pendapat dalam tafsir ayat ini adalah sangat jelas lagi terkenal dan mudah didapat ditafsir Ahlus Sunnah manapun.
Dan khulashah apa yang dikatakan di dalamnya bila ia dibawa kepada syirik akbar tidak akan keluar dari hal-hal berikut ini:
-          Bisa saja dimaksud dengannya kaum musyrikin dari kalangan para penyembah berhala yang beriman terhadap Rububiyyah: (Dan bila kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, tentulah mereka berkata: “Allah”) dan mereka menyekutukan dalam ibadah.
-          Atau dimaksudkan kaum munafikin, mereka beriman dengan lisan dan kafir dengan hati mereka.
Macam iman ini seluruhnya dengan sepakat tidak menyelamatkan dari neraka, dan orang-orangnyua dengan sepakat tempat kembalinya bukan tempat kembali kaum muwahhidin. Dan tidak boleh iman yang disebutkan dalam ayat itu dibawa kepada iman kaum muslimin yang menyelamatkan dari neraka, kecuali bila dimaksud dengan syirik yang disebutkan berbarengan dengannya adalah syirik ashghar. Dan ini pada hakikatnya termasuk hal diketahui umum di kalangan para penuntut ilmu yang masih yunior, akan tetapi perseteruan kadang membuat buta dan tuli.
Catatan kaki selesai.
Asy Syathibiy rh sebelumnya telah melakukan perincian sangat baik sekali, beliau berkata: Sesungguhnya para ahli ijtihad tidak merasa cukup berpegang pada dalil umum sehingga mencari dalil yang mengkhususkannya, dan pada dalil yang muthlaq apa ada dalil muqayyad atau tidak?
Dalil umum bersama dalil khususnya adalah dalil, bila dalil khususnya tidak ada maka dalil umumnya – dengan disertai pemaksudan yang khusus di dalamnya – adalah tergolong mutasyabih, dan lenyapnya ia – yaitu dalil khusus – menjadi pemalsuan dan penyimpangan dari kebenaran.
Dan atas hal itu maka Mu’tazilah digolongkan pada deretan Ahluz Zaigh di mana mereka mengikuti seperti firman-Nya ta’ala: “lakukanlah apa yang kalian inginkan” (Fushshilat: 40) dari mereka meninggalkan mubayyinnya.
Dan begitu juga Khawarij, di mana mereka mengikuti firman-Nya ta’ala: “Keputusan itu tidak lain adalah milik Allah” (Yusuf: 40) dan mereka meninggalkan mubayyinnya “memutuskan dengannya dua orang adil di antara kalian.” Dan firman-Nya: “maka utuslah seorang hakam dari keluarga suami dan seorang juru damai dari keluarga isteri.”
Al Jabariyyah mengikuti firman-Nya: “Allah telah menciptakan kalian dan apa yang kalian lakukan.” (Ash-Shaffat: 96) dan mereka meninggalkan penjelasannya yaitu firman-Nya: “Sebagai balasan dengan sebab apa yang mereka kerjakan.” (At-Taubah: 82).
Dan begitulah seluruh yang mengikuti sisi-sisi ini tanpa melihat apa yang ada di belakangnya, andai kata saja mereka menggabungkan antara itu dan menyambungkan apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan, tentulah mereka sampai kepada apa yang dimaksud. Kemudian bila telah tsabit hal ini maka bayan itu disertakan dengan mubayyin, dan bila mubayyin diambil tanpa bayan maka mubayyin itu menjadi mutasyabih, padahal ia bukan mutasyabih pada hakikat sebenarnya ia, namun orang-orang sesat memasukkan tasyaabuh (kesamaran) di dalamnya atas diri mereka, sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus.” Secara ikhtisar.
Saya berkata: Dan begitu juga Afrakhul Murjiah, mereka mengikuti khabar-khabar macam itu, mereka berpegang erat terhadapnya supaya dengannya mereka menambali dien kaum musyrikin dan orang-orang sesat dari kalangan para thaghut penguasa, budak-budaknya, ansharnya dan kroni-kroninya, serta mereka meninggalkan mubayyinnya dari apa yang telah lalu bahwa yang dimaksud adalah perselisihan tauhid, bara’ah dari syirik dan tandid, serta mati di atasnya, bahkan mendatangkan amalan-amalan yang mana seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengannya.
Sehingga yang dimaksud dengan sijillat (lembaran-lembaran) yang diletakkan dalam sisi timpangan yang berseberangan dengan bithaqah itu adalah dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar dari hal-hal yang tidak menggugurkan tauhid, sedangkan yang dimaksud dengan bithaqah adalah perealisasian tauhid, kufur dan bara’ah dari apa yang diibadati selain Allah secara pasti.
Dan begitu halnya dengan orang-orang yang dikatakan bahwa mereka itu tidak pernah melakukan kebaikan sedikitpun, yaitu (kebaikan) yang di atas tuntutan tauhid yang menyelamatkan dari kekekalan di neraka.
Dan begitu juga hadits: “Keluarkanlah – yaitu dari neraka – orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji Khardal dari keimanan” Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath 1/73: Dan yang dimaksud dengan sebesar biji Khardal di sini adalah suatu yang lebih dari sekedar tauhid berupa amalan, berdasarkan sabdanya dalam riwayat yang lain: “Keluarkanlah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan mengamalkan amalan seberat dzarrah.” Selesai.
Kemudian kami mengarahkan kepada Murjiatul ‘Ashri itu pertanyaan yang jelas yang kami tidak rela berpaling darinya dan cari jalan lain .....”Mereka yang kalian berhujjah dengan mereka dalam hadits-hadits ini untuk menyelamatkan thaghut-thaghut kalian dari kekafiran, apakah mereka itu mengatakan laa ilaaha illallaah dan mengingkari kerasulan Muhammad saw??
Atau mereka mengatakan laa ilaaha illallaah dan bahwa Musailamah Rasulullah?
Atau mereka mengatakan laa ilaaha illallaah dan Ahmad Ghulam Mirza Rasulullah?
Atau mengatakan laa ilaaha illallaah dan bahwa Allah adalah Ali Ibnu Abi Thalib atau Al Masih atau makhluk lainnya?? Namun demikian mereka keluar dari neraka dan tempat kembalinya adalah tempat kembali kaum muwahhidin??
Kemudian bila mereka mengatakan hal itu maka berarti mereka telah menjadikan manusia dan jin sebagai saksi atas kerusakan akal mereka, kelancangan mereka terhadap dienullah, bahkan atas kekafiran, kezindiqan serta ilhad mereka dalam dienullah.
Dan apabila mereka menafikannya..... maka kami bertanya kepada mereka apakah dalil dari hadits-hadits itu sendiri kalian menafikan itu atau dengan dalil lain??
Bila mereka berkata: Dari dzat hadits-hadits itu”, maka mereka telah dusta dan kami menuntut mereka dengannya dan mereka tidak akan mampu.
Dan bila mereka berkata: Dari luar hadits..... maka lazim bagi mereka dan bagi setiap orang (memahami) bahwa hadits-hadits macam ini tidak boleh dipahami secara menyendiri, namun dengan gabungan nash-nash yang menjelaskannya.
Dan dengan hal seperti ini pula mereka diblokir bila berhujjah dengan hadits Hudzaifah yang dikeluarkan oleh Al Hakim dan Ibnu Majah: “Islam akan lenyap seperti lenyapnya warna motif kain dan dalam satu malam Kitabullah ‘Azza wa Jalla dihapus sehingga tidak tersisa di bumi satu ayat pub darinya, dan tersisa kelompok dari manusia, kakek-kakek tua, dan nenek-nenek renta mengatakan: “laa ilaaha illallaah” kami mendapatkan bapak-bapak kami di atas kalimat ini, maka kami mengatakannya” sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, apa itu shadaqah dan apa itu haji, maka Shilah Ibnu Zufar berkata kepada Hudzaifah: Apa guna bagi mereka laa ilaaha illallaah sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, apa itu shaum, apa itu shadaqah dan apa itu haji? Maka Hudzifah berpaling tiga kali darinya kemudian berkata: Hai Shilah itu bisa selamatkan mereka dari neraka.
Dan hadits ini telah dishahihkan oleh Al Albaniy padahal dalam isnadnya ada Abu Muawiyah Muhammad Ibnu Khazim At Tamimiy As Sa’diy A Kufiy Adl Dlarir sedangkan dia itu mudallis Mudltharibul hadits, yang mana dengan haditsnya tidak tegak hujjah pada selain Al A’masiy sebagaimana yang dituturkan para imam. Dan di sini dia telah meriwayatkan dari selain jalan Al A’masy dan telah melakukan ‘an’anah juga, dan di samping ini ia itu telah berpaham irja.(1)
Dan bagaimanapun keadaannya, dengan pengandaian hadits itu shahih, maka sesungguhnya orang-orang itu sebagaimana yang telah kami katakan diharuskan memahaminya dengan memperhatikan hadits-hadits lain yang menjelaskannya, sehingga sabdanya “mereka mengucapkan laa ilaaha illallaah” dibawa kepada makna bahwa mereka itu merealisasikan tauhid serta menjauhi syirik dan tandid, dan bukan sekedar mengucapkan kalimat itu saja.
Kemudian mereka itu tidak sampai kepada Al Quran dan suatupun dari ajaran dien ini. Dan seandainya hal seperti itu terjadi setelah ditutupnya risalah dan mereka itu telah merealisasikan tauhid, maka mereka itu telah mendatangkan al iman yang wajib atas mereka dan orang-orang semacam mereka, karena peringatan itu hanyalah dengan Kitabullah ta’ala: “Dan diwahyukan kepadaku Al Quran ini supaya dengannya aku memberikan peringatan kepada kalian dan (kepada) orang yang sampai (Al Quran) itu kepadany.” (Al An’am: 19). Sedangkan mereka itu belum sampai Al Quran kepada mereka, sehingga terbuktilah bahwa kejahilan mereka terhadap ajaran-ajaran dien ini dan mabaniy-nya yang wajib ini tidak terjadi karena sikap taqshir (kelalaian) dari thalabul haq atau keberpalingan, namun karena diangkatnya Al Kitab sedang ia adalah hal yang gahriy (tidak bisa diupayakan) lahi di luar iradah mereka, maka mereka diudzur dengan rincian-rincian ajaran-ajaran yang tidak diketahui kecuali lewat jalan wahyu selama mereka telah merealisasikan al hanifiyyah yang Allah fithrahkan manusia di atasnya.(2)
Catatan kaki:
(1)    Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar dan syarahnya Nuzhatun Nadhar telah mentarjih sikap menolak riwayat ahlul bid’ah bila riwayatnya tergolong yang menguatkan dan membela bid’ahnya, sedangkan ia di sini tergolong bab ini, maka apa gerangan bila ini disertai tadlis dan idlthirab.
(2)    Berbeda dengan orang yang Al Quran telah sampai kepadanya terus dia berpaling darinya dan tidak merealisasikan tauhid, maka sesungguhnya ia dikenakan hukuman dengan sebab (pelanggaran) furu’ dan ushul dan ia tidak diudzur dengan suatupun dari hal itu menurut pendapat yang shahih. Allah ta’ala berfirman: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka). Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,” hingga “maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari para pemberi syafa’at.” (Al Muddatsir: 42-48).
Dan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya dia tidak beriman kepada Allah Yang Maha Agung dan tidak menganjurkan (manusia) untuk memberi makan orang miskin.” Perhatikan dalam keberadaan mereka itu dikenakan hukuman dengan sebab penelantaran furu’ dan ushul, dan bahasan dalam hal ini sangatlah panjang, sedang rinciannya bisa engkau dapatkan dalam risalah kami “Al Farqul Mubin Baina ‘Udzri Bil Jahli Wal I’radl ‘Aniddien.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar