Konsekuensi Bagi Orang Murtad
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Segala puji hanya milik Allah Rabbul
‘Alamiin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita
Muhammad, keluarganya dan para shahabatnya.
‘Amma ba’du :
Ikhwani fillah… materi kali ini adalah
berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi terhadap orang yang sudah
murtad atau keluar dari Islam (baik karena melakukan syirik akbar, kufur
akbar ataupun berikrar untuk pindah agama, ed.) berdasarkan dalil-dalil
dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Banyak sekali konsekuensi-konsekuensi
yang diberlakukan terhadap orang yang sudah murtad atau sudah kafir atau
sudah keluar dari Islam. Ada konsekuensi-konsekuensi yang sifatnya
duniawi dan ada konsekuensi-konsekuensi yang bersifat ukhrawi
(akhirat).
I. Konsekuensi-konsekuensi yang
diberlakukan di dunia ini, di antaranya:
1. Gugur
hak perwalian atau penguasaannya terhadap kaum muslimin
a. Orang
murtad tidak memilki wilayah (saitharah),
Tidak boleh diberikan kesempatan untuk
menguasai orang muslim, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“Dan Allah tidak akan menjadikan
bagi orang kafir jalan untuk menguasai kaum muslimin”. (QS.
An Nisaa’ [4]:
141)
Ayat ini sifatnya penafian, akan tetapi
ini bermakna larangan bagi orang muslim untuk memberikan peluang atau
kesempatan bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Kaum muslimin
tidak boleh memberikan kesempatan atau peluang bagi orang murtad atau
bagi orang kafir untuk menguasai diri mereka, maka dari itu orang kafir
atau orang murtad tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum muslimin.
Begitu juga apabila si orang kafir atau
murtad ini asalnya muslim dan menjadi pemimpin (amir) bagi kaum
muslimin, lalu dalam perjalanannya dia murtad dari Islam, maka wajib
atas kaum muslimin untuk melengserkannya, karena dengan sebab
kemurtaddannya maka kepemimpinannya itu lepas dengan sendirinya. Jika
dia tidak mau menanggalkan kepemimpinannya atau tidak mau turun dari
jabatannya sebagai pemimpin atau amir maka wajib atas kaum muslimin
untuk mencopot jabatannya. Karena seorang imam atau amir atau pemimpin
atau presiden itu diangkat untuk ditaati sebagaimana firman-Nya Subhanahu
Wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara
kalian” (QS. An Nisaa’
[4]: 59)
Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memerintahkan untuk mentaati pemimpinnya, juga Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda: “Aku memerintahkan kalian
dengan lima hal sebagaimana Allah memerintahkan saya dengannya:
berjama’ah, mendengar dan taat… ” (HR. Ahmad dan
At Tirmidziy, shahih)
Jadi keberadaan pemimpin adalah untuk
ditaati, akan tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengancam
kepada orang-orang yang mentaati orang kafir :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman jika
kalian mentaati orang-orang kafir tentu mereka mengembalikan kalian ke
belakang (murtad)” (QS. Ali
Imran [3]: 149)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mengancam atau menghati-hatikan kepada orang muslim dari
mentaati orang kafir; bahwa jika kalian mentaati orang-orang kafir, maka
orang kafir ini akan mengembalikan kalian ke dalam kekafiran atau ke
dalam kemurtaddan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
melarang untuk mentaati orang kafir, maka berarti kepemimpinan orang
murtad atau orang kafir atas kaum muslimin itu dilarang. Orang murtad
tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin atau amir atau presiden atau
hal-hal yang seperti itu, dia tidak boleh dibiarkan menjadi pemimpin
ketika dia sudah murtad dari Islam.
Oleh sebab itu orang muslim tidak boleh
ikut serta mengangkat orang kafir sebagai pemimpin, seperti ikut
berpartisipasi dalam Pilpres, Pilkada dll, karena hal ini adalah sebuah
bentuk pengangkatan orang kafir untuk menjadi pemimpin, mengangkat orang
yang akan menerapkan atau memberlakukan hukum thaghut terhadap manusia.
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
juga menghati-hatikan dalam firman-Nya:
فَلا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah kamu mentaati
orang-orang kafir, dan jihadilah mereka itu dengan Al Qur’an dengan
jihad yang besar”. (QS. Al
Furqan [25]: 52)
Jadi, dikarenakan tidak boleh ditaati,
berarti tidak boleh diangkat untuk menjadi pemimpin, dan ketika dia
sudah menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin kemudian dia murtad, maka
kepemimpinannya lepas dengan sendirinya, dan bila dia tidak mau turun,
maka wajib diturunkan oleh kaum muslimin, bila dia melindungi diri
dengan kekuatannya maka wajib atas kaum muslimin untuk memerangi
kelompok yang melindunginya dengan segenap kemampuan.
b. Gugur hak
perwalian dalam masalah pernikahan.
Bila ada seorang muslimah memiliki ayah,
kemudian ayahnya ini murtad karena melakukan kemusyrikan atau hal-hal
apa saja yang membatalkan keislaman, misalnya menjadi Anggota Dewan di
DPR/MPR atau dia menjadi anshar thaghut (tentara/polisi),
ketika muslimah tersebut mau menikah, maka si ayah ini –dalam Islam–
tidak memiliki perwalian dalam nikahnya karena dia sudah murtad dari
Islam. Keberhakkan dalam perwaliannya sudah gugur, dan karena Allah Subhanahu
Wa Ta’ala melarang bagi orang muslim untuk memberikan kekuasaan
kepada orang kafir.
c. Gugur
hak pengasuhannya (pengurusan terhadap anak)
Bila salah seorang dari orang tua, baik
ayah atau ibu murtad dari Islam, maka tidak diberikan hak dalam
pengasuhan anaknya. Ini dikarenakan kepengurusan anak memberikan jalan
bagi dia untuk menguasai anaknya yang masih muslim ini. Sedangkan
setiap orang yang mengurusi anak, maka dia akan berupaya untuk mendidik
anak tersebut di atas keyakinan yang dia anut.
2. Tidak
boleh shalat (bermakmum) di belakangnya
Kita tidak boleh shalat di belakang
orang kafir atau orang murtad, umpamanya shalat dibelakang anggota
MPR/DPR atau polisi atau tentara atau anshar thaghut yang lainnya yang
mana dia menjadi imam shalat, karena orang kafir atau orang murtad
segala amal-amalnya tidak sah karena syarat sah seluruh ibadah adalah Al
Islam atau orangnya bertauhid, sedangkan orang murtad walaupun dia
mengaku Islam atau melakukan amalan-amalan shalih, tapi kalau dia murtad
dari Islam maka amal-amal yang dilakukannya; baik itu shalat, zakat,
shaum atau yang lainnya adalah tidak sah.
Bagi orang yang mengetahui bahwa imamnya
itu orang kaifr maka tidak boleh shalat di belakang dia, karena dia
sudah mengetahui bahwa shalatnya si imam tersebut tidak sah, ini berbeda
dengan orang yang tidak mengetahui bahwa imamnya ini orang kafir, baik
tidak mengetahuinya karena tidak melihat hal-hal yang membatalkan
keislaman dari imam tersebut (Masturul Hal) walaupun hakikat sebenarnya
si imam itu orang kafir, akan tetapi karena si imam itu tetap
menampakkan keislaman, maka orang yang shalat di belakangnya adalah sah.
Kita tidak diwajibkan untuk mengorek-ngorek keyakinan si imam, misalnya
si imam tersebut adalah sebenarnya anggota DPR/MPR atau aktifis sebuah
partai, namun kita tidak mengetahui bahwa si imam itu anggota DPR/MPR
atau aktifis sebuah partai maka shalat kita bermakmum kepadanya tetap
sah, sedang kekafiran dia yang sebenarnya dihisab di sisi Allah, karena
kita tidak diwajibkan untuk menanya-nanyai apa dan bagaimana tentang si
imam tersebut.
Berbeda dengan orang yang sudah
mengetahui bahwa imamnya itu adalah orang kafir, maka tidak boleh shalat
di belakang imam yang seperti itu.
3. Tidak boleh
menikahinya dan tidak boleh menikahkan seorang muslim dengannya.
Orang muslim tidak dibolehkan menikah
atau menikahkan dengan orang yang sudah murtad atau keluar dari Islam
dengan bentuk kemurtaddan apa saja, baik itu murtad karena mendukung
syirik hukum atau pun melakukan syirik tumbal dan sesajian atau yang
lainnya. Seorang ayah dilarang menikahkan puterinya yang muslimah atau
laki-laki menikahkan saudarinya kepada laki-laki yang murtad atau yang
kafir, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya”. (QS. Al
Baqarah [2]: 221)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa
Ta’ala melarang wali menikahkan wanita yang dalam perwaliannya
kepada orang-orang kafir atau musyrik atau orang murtad. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala juga mengatakan :
وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kalian memegang
ikatan (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir” (QS.
Al Mumtahanah [60]:
10)
Bila asal keduanya atau pada awal
penikahannya adalah muslim, lalu kemudian di tengah perjalanan si
perempuannya murtad atau si laki-lakinya murtad, maka pernikahan
tersebut lepas dengan sendirinya. Apabila dalam masa ‘iddah si perempuan
kembali kepada Islam, maka si laki-laki boleh kembali kepadanya tanpa
perlu akad nikah kembali. Begitu juga apabila yang murtadnya itu si
laki-laki, jika masih dalam masa ‘iddah lalu si laki-laki tersebut
kembali kepada Islam maka si perempuan boleh menerima kembali si
laki-laki tanpa akad yang baru. Jika setelah beberapa waktu masa iddah
berlalu dan salah satunya baru kembali kepada Islam, maka di sini ada
dua pendapat para ulama, ada yang mengharuskan kembali akad dengan mahar
yang baru dengan wali dan saksi, dan ada yang berpendapat tidak perlu
dilakukan akad nikah kembali, dan yang rajih (kuat) –wallahu a’lam–
adalah pendapat yang mengatakan tidak perlu akad kembali –jika si wanita
tidak menikah dengan laki-laki yang lain sehabis masa ‘iddahnya–, ini
berdasarkan apa yang terjadi saat Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul ‘Ash Ibnu Ar Rabi’
setelah enam tahun. Dia (‘Abul ‘Ash) masuk Islamnya enam tahun setelah
masa ‘iddah Zainab berakhir sebagaimana atsar yang diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu: “Adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam mengembalikan puterinya Zainab kepada Abul ‘Ash Ibnu Ar Rabi’
dengan nikah yang terdahulu dan tidak mengadakan akad nikah lagi”.
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majjah dan
di shahihkan oleh Imam Ahmad dan Al Hakim)
Jika tadi di awal Allah melarang
menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman, dan begitu juga si
ayah atau saudara atau laki-laki yang memiliki perwalian kepada
perempuan tidak boleh menikahkan perempuan tersebut kepada laki-laki
musyrik.
4. Haram sembelihannya
Orang murtad haram sembelihannya, sedang
yang Allah halalkan sembelihannya hanyalah sembelihan orang muslim atau
sembelihan orang yang terlahir dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),
bukan orang yang asalnya muslim kemudian murtad dan masuk Nashrani atau
Yahudi atau murtadnya karena melakukan pembatal-pembatal keislaman
lainnya seperti orang yang melakukan tumbal atau sesajian atau mendukung
demokrasi dan hukum-hukum buatan lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah ketika menjelaskan tentang orang yang membuat
sembelihan untuk tumbal: ”Hewan ini haramnya dari dua sisi: Pertama,
sembelihan orang murtad, dan kedua karena hewan itu sembelihan yang
diperuntukan untuk selain Allah”.
Ada kaidah fiqh yang mengatakan bahwa
hukum asal sembelihan itu adalah haram kecuali yang dibolehkan oleh
syari’at, yaitu sembelihan orang muslim atau sembelihan ahli kitab.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
“Pada hari ini telah dihalalkan bagi
kalian yang baik-baik, dan sembelihan ahli kitab halal bagi kalian dan
sembelihan kalian halal bagi mereka” (QS. Al
Maaidah [5]: 5)
5. Tidak
boleh mengucapkan salam terhadap mereka
Ini karena Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam mengatakan dalam hadits Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu:
“Janganlah kalian mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan
Nashrani” dalam satu riwayat dikatakan: “Jika kalian menjumpai
orang-orang, musyrik, maka jangan kalian mengucapkan salam terhadap
mereka”.
Jadi, orang muslim tidak boleh
mengucapkan salam kepada orang-orang kafir, apalagi dengan orang murtad !
Adapun jika mereka mengucapkan salam
terhadap kita maka boleh dijawab dengan “Wa‘alaikum”. Dan
sebagian ulama membolehkan menjawab dengan jelas jika mereka
mengucapkannya dengan jelas pula, tapi yang disepekati adalah jawaban wa
‘alaikum.
6. Tidak
boleh memuliakannya atau mengagungkannya
Karena orang-orang murtad itu adalah
orang-orang yang sudah dihinakan oleh Allah, sedangkan orang yang sudah
dihinakan oleh Allah, maka tidak boleh kita muliakan. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala mengatakan:
وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ
“Dan barangsiapa yang telah
dihinakan oleh Allah, maka tidak seorangpun yang memuliakannya” (QS.
Al Hajj [22]: 18)
Jadi, orang kafir sudah Allah hinakan,
dan Allah menyiapkan bagi mereka ‘adzab yang menghinakan, maka tidak
boleh orang muslim memuliakan orang kafir, memuliakan orang kafir adalah
haram…
7. Wajib bara’
(berlepas diri) dari mereka
Bara’ di sini adalah membenci
dan memusuhinya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Telah ada pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersamanya suri tauladan yang baik bagi kalian saat mereka
mengatakan kepada kaumnya : “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian
dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)
kalian dan telah nampak antara kami dengan kalian permusuhan dan
kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja” (QS.
Al Mumtahanah [60]:
4)
Allah mendahulukan berlepas diri dari
orangnya, karena pentingnya berlepas diri dari orang atau pelakunya,
karena bisa jadi orang berlepas diri dari perbuatannya, tapi tidak
berlepas diri dari orangnya.
Kita harus berlepas diri dari
orang-orang murtad, dari orangnya dan dari perbuatannya. Ini adalah yang
dinamakan bara’, memusuhi dan membenci kepada orang dan perbuatannya.
Jadi kita harus berlepas diri dari mereka karena mereka adalah orang
yang sudah Allah vonis kafir, makanya Allah meniadakan keimanan dari
orang yang menjalin kasih sayang dengan orang-orang murtad atau orang
kafir, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan menemukan orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan
orang yang menentang Allah dan rasul-Nya walaupun mereka adalah ayah
mereka, anak mereka, saudara mereka atau kerabat mereka” (QS.
Al Mujaadilah [58]:
22)
Jadi Allah mengatakan bahwa orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir tidak mungkin menjalin kasih sayang
dengan orang yang murtad atau dengan orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya.
Di sini ada perbedaan, ketika kita
berlepas diri dari orang musyrik dengan sikap kita terhadap orang muslim
yang melakukan maksiat; jika orang muslim yang melakukan maksiat maka
kita berlepas diri hanya dari perbuatannya dan bukan dari orangnya.
Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:
فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Bila mereka maksiat kepada kamu
(Muhammad), maka katakanlah sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang
kalian lakukan” (QS. Asy Syu’araa [26]:
216)
Bila dengan orang kafir dikatakan: “Kami
berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain
Allah”, sedangkan jika dengan muslim yang maksiat maka kita berlepas
diri dari perbuatannya atau dari maksiatnya, dan bukan dari orangnya.
Ketika Khalid Ibnul Walid melakukan kesalahan dalam peperangan, beliau
membunuh orang yang tidak layak untuk dibunuh, maka Rasul mengatakan: “Ya
Allah, saya berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Khalid” (Al-Bukhary
no. 4339 dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
8. Tidak
boleh saling mewarisi dengan orang muslim
Misalkan dalam sebuah keluarga muslim
ada anaknya yang murtad, lalu ayahnya meninggal dunia, maka si anak yang
murtad ini tidak berhak mendapatkan warisan dari si ayah tersebut, dan
begitu juga sebaliknya. Jika orang murtad di Negara Islam maka di
samping dibunuh orangnya, hartanya juga diambil untuk Baitul Mal, karena
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Orang
muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang
muslim” (Muttafaq ‘alaih dari Usamah bin Zaid radliyallahu’anhu).
Akan tetapi dalam kondisi zaman ini (di
saat tidak adanya Baitul Mal, ed), jika ada seorang muslim sedangkan
ayahnya murtad lalu si ayah tersebut meninggal dunia, maka apabila ada
harta yang diberikan kepadanya, maka itu adalah bukan sebagai bentuk
warisan, akan tetapi diterima saja karena dikhawatirkan diambil oleh
orang lain, dan atas kerelaan dia, maka harta yang jatuh ke tangannya
bisa digunakan untuk kepentingan dirinya atau kepentingan kaum muslimin.
9. Orang
murtad tidak diakui hidupnya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa yang mengganti
agamanya, maka bunuhlah” (HR.
Bukhariy).
Jika orang murtad secara individu di
Negara Islam maka akan dipanggil dan dinasehati supaya taubat dan diberi
tenggang waktu, jika dia bertaubat maka dilepaskan lagi dan jika tidak
bertaubat, maka dibunuh.
Akan tetapi jika yang murtad itu
sifatnya berkelompok dan memiliki kekuatan untuk melindungi diri dari
hukum Islam meskipun di wilayah Negara Islam, maka ini tidak dinasehati
atau disuruh taubat terlebih dahulu, akan tetapi langsung diperangi oleh
Pemerintah. Ini sebagaimana yang terjadi di zaman Abu Bakar Ash Shiddiq
radliyallahu ‘anhu tatkala memerangi kelompok Musailamah Al
Kadzdzab kaum Banu Hanifah di Yamamah, mereka murtad dan mengikuti
pemimpinnya dan mereka juga mempunyai pasukan dan kekuatan, maka oleh
Abu Bakar mereka langsung diperangi.
Begitu juga bagi orang murtad yang
bersifat thaghutiyyah, karena mereka memiliki kekuatan (tentara dan
senjata) maka ini juga langsung diperangi saat kaum muslimin memiliki
kekuatan, dan karena Allah mewajibkan untuk memerangi mereka dengan
sebab mereka (para thaghut) itu adalah musuh yang telah masuk dan bahkan
telah mengakar di negeri-negeri kaum muslimin. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
“Hai orang-orang yang beriman,
perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (QS.
At Taubah [9]: 123)
Para thaghut hukum dan ansharnya
adalah orang-orang kafir yang paling dekat dengan kita, maka itulah
yang diperangi terlebih dahulu.
Ini adalah bila yang sifatnya kelompok,
bukan dinasehati agar bertaubat, akan tetapi diperangi… Orang murtad
kenapa dibunuh ? karena halal darah dan hartanya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tidak halal darahnya
orang muslim yang bersaksi tiada tuhan yang berhak diibadati selain
Allah dan aku adalah rasul Allah kecuali dengan salah satu dari tiga
hal; zina muhshan, qishash, keluar dari Islam”. (HR. Al
Bukhari dan Muslim).
Orang murtad dibunuh karena dia tidak
kafir kepada thaghut, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala yang
diibadati selain Allah maka haram darah dan hartanya, sedangkan
perhitungannya atas Allah” (HR. Muslim dari Abu Malik Al
Asyja’iy). Makna dia kafir terhadap segala yang diibadati
selain Allah adalah kafir terhadap thaghut, sedangkan orang murtad tidak
kafir kepada thaghut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ
“Maka bunuhilah orang-orang
musyrikin itu di mana saja kalian dapatkan mereka, tangkaplah mereka,
kepunglah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS.
At Taubah [9]: 5)
“Jika mereka taubat” adalah
taubat dari kemusyrikannya atau dari kethaghutannya, dan orang yang
tidak mau taubat atau dia bersikukuh di dalam kemusyrikan dan
kethaghutannya maka berarti dibunuh…
Demikianlah konsekuensi-konsekuensi yang
dikenakan bagi orang murtad di dunia.
II.
Konsekuensi-Konsekuensi di Akhirat :
1.
Dipastikan sebagai calon ahli neraka
Jika orang murtad mati di atas
kemurtaddannya; umpamanya ada polisi atau tentara mati sewaktu dalam
dinasnya, maka kita boleh
memastikan bahwa dia calon penghuni neraka, karena orang kafir atau
orang murtad sudah Allah pastikan masuk neraka.
Ketika Khalifah Abu Bakar memerangi
kelompok murtad para pengikut Musilamah Al Kadzdzab, ketika mereka
terdesak hingga akhirnya menyerah dan minta damai dengan mengirim utusan
Buzakhakh, akan tetapi oleh Khalifah Abu Bakkar tidak diterima kecuali jika mereka mau
menerima syarat-syarat yang di ajukan oleh Abu Bakar dan disepakati oleh
para shahabat, dan di antara syarat-syarat itu adalah mereka
harus mau bersaksi bahwa orang yang mati di antara mereka adalah masuk
neraka.
Sedangkan dalam ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, apabila orang muslim yang bertauhid meninggal dunia dan jika
semasa hidupnya dia adalah seorang yang taat, maka kita tidak boleh
mengatakan bahwa “si fulan ini calon penghuni surga”, tapi
boleh mengatakan “Mudah-mudahan dimasukkan ke surga”. Dan jika
orang muslim itu semasa hidupnya sering melakukan maksiat, maka kita
tidak boleh mengatakan “si fulan calon penghuni neraka”, tapi
boleh mengatakan “dikhawatirkan dia di ‘adzab di akhirat”. Jadi
kalau orang muslim yang baik dan taat tidak boleh dipastikan masuk
surga kecuali jika ada dalil yang khusus, muslim yang fasiq juga tidak
boleh dipastikan masuk neraka, akan tetapi jika orang kafir atau orang
murtad, maka boleh dipastikan masuk neraka…
2. Tidak
boleh dimandikan dan tidak boleh dikafankan.
Orang murtad jika mati tidak boleh
dimandikan dan tidak boleh dikafankan, seadanya saja dengan pakaian yang
menempel sewaktu mati, karena orang murtad tidak ada harganya lagi
sebab dia sudah menghinakan dirinya sendiri dengan kekafiran atau
kemurtaddannya.
Ketika di perang Badar, Rasulullah shallallah’alaihi
wa sallam tidak mengubur orang-orang musyrik yang mati dalam
perang sebanyak 70 orang. Beliau langsung memasukkan mereka ke dalam
sumur Badar. Tidak dimandikan dan dikafani terlebih dahulu, tapi
langsung apa adanya dimasukkan ke dalam sumur.
3. Tidak
boleh dishalatkan
Bila ada anshar (kaki tangan)
thaghut seperti polisi atau tentara mati sewaktu dinas, atau anggota
MPR/DPR atau Hakim/Jaksa mati di atas kemusyrikan dan kethaghutannya,
maka kita tidak boleh ikut menshalatkannya, ini adalah haram karena dia
orang kafir, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا
Dan janganlah kamu sekali-kali
menshalatkan seorang yang mati di antara mereka selamanya” (QS.
At Taubah [9]: 84)
Bukannya dapat pahala tapi justru
mendapatkan dosa jika kita menshalatkannya. Begitu juga bagi orang yang
suka membuat tumbal atau sesajian, bila dia belum taubat lalu mati di
atas kemusyikannya maka dia tidak boleh dishalatkan.
4. Tidak
boleh dido’akan
Orang yang mati di atas kemurtaddannya
atau kemusyrikannya atau kekafirannya haram dido’akan atau memintakan ampunan dari Allah
baginya di akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak layak bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahannam”. (QS. At
Taubah [9]: 113)
Rasulullah shalallahu’alaihi wa
sallam pernah meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan
buat ibundanya yang meninggal dalam keadaan musyrik, tapi Allah melarang
dan tidak memberikan izin. Dan ketika Abu Thalib yang terkenal suka
membela Rasulullah itu meninggal, beliau shalallahu’alaihi wa sallam
berkata: “Saya akan memintakan ampunan kepada Allah untuk engkau
selama saya tidak dilarang”, maka turunlah ayat tadi di atas.
Dan yang lebih haram lagi adalah
mengatakan kepada orang murtad “almarhum” atau “almarhumah”
yang artinya orang yang dirahmati, jika saja kepada orang muslim yang
baik kita tidak dibolehkan mengucapkannya, maka terlebih lagi terhadap
orang murtad. Akan tetapi kita hanya dibolehkan mengucapkan rahimahullah
(semoga Allah merahmati) kepada orang muslim yang baik.
5. Tidak
boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin
Orang murtad jika dia mati, maka dia
tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin, karena mereka sudah
hina dan tidak berharga lagi.
6. Haram
masuk surga
Orang murtad tidak mungkin masuk surga
bila dia mati di atas kekafirannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menyatakan:
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri, tidak dibukakan bagi
mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga sampai unta
masuk ke lobang jarum, demikianlah Kami memberi balasan bagi
orang-orang yang berbuat kejahatan” (QS. Al A’raaf [7]:
40)
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya siapa yang
menyekutukan Allah, maka sungguh Allah telah mengharamkan surga atasnya
dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada seorang pun penolong
bagi orang-orang yangzhalim...” (QS.
Al Maaidah [5]: 72)
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir
dari kalangan ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk”. (QS. Al
Bayyinah [98]: 6)
7. Mereka
kekal di dalam neraka
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.
Al Baqarah [2]: 217)
8. Amal
ibadahnya hapus
Segala amal ibadah yang pernah dilakukan
oleh orang murtad seperti; zakat, shaum, haji, infaq, dan yang lainnya
itu hapus sia-sia:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa yang kafir setelah dia
beriman maka hapuslah amalannya, dan dia di akhirat termasuk orang yang
merugi”. (QS. Al Maaidah [5]:
5)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala
:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.
Al Baqarah [2]: 217)
Dan bahkan para rasul diancam Allah bila
mereka melakukan kemusyrikan:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka melakukan
kemusyrikan tentu lenyaplah amalan yang mereka lakukan” (QS.
Al An’am [6]: 88)
Ini adalah ancaman kepada para rasul,
maka apa gerangan dengan kita…?! Dan bahkan kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam sendiri Allah mengatakan:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Andaikata kamu (Muhammad) melakukan
syirik maka lenyaplah amalan kamu” (QS. Az
Zumar [39]: 65)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu disebabkan karena
mereka membenci apa yang Allah turunkan, maka Allah hapuskan amalan
mereka” (QS. Muhammad [47]:
9)
Jika orang membenci ajaran Allah, atau
bahkan sedikit saja membenci ajaran Allah, maka itu adalah suatu bentuk
kemurtaddan, keluar dari Islam dan hapus segala amalannya.
9. Tidak
mendapatkan syafa’at
Orang murtad tidak mungkin mendapatkan
syafa’at di akhirat dari para nabi dan malaikat yang diizinkan Allah
akan memberikan syafa’atnya, juga orang-orang shalih, orang-orang yang
mati syahid dan anak kecil yang meninggal, semua akan memberikan
syafa’at dengan izin Allah, akan tetapi ini tidak berlaku bagi orang
yang mati di atas kekafiran.
Ini karena syafa’at itu memiliki syarat;
Pertama, izin dari Allah terhadap orang yang akan memberikan syafa’at,
dan kedua; Allah ridla terhadap orang yang akan diberikan syafa’at,
sedangkan Allah tidak meridlai kekafiran, dan syarat ridla ini adalah
sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:
وَلا يَشْفَعُونَ إِلا لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka (malaikat) tiada memberi
syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah” (QS.
Al Anbiya [21]: 28)
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala tidak meridlai kekafiran sebagaimana firman-Nya:
وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridlai kekafiran
bagi hamba-Nya” (QS. Az
Zumar [39]: 7)
Allah tidak ridla dengan kekafiran,
sedangkan syarat untuk mendapatkan syafa’at adalah Allah ridla kepada
orang yang akan diberikan syafaat.
Dan di hari kiamat ketika orang-orang
kafir sudah masuk ke dalam neraka, mereka berkata dengan penuh
penyesalan:
فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ
“tidak ada yang memberikan syafa’at
bagi kami” (QS. Asy
Syu’araa [26]: 100)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
فَمَا تَنْفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Tidak bermanfaat bagi mereka
syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at”. (QS.
Al Mudatstsir [74]:
48)
Rasulullah shallallahu‘alaihi
wa sallam berkata: “Setiap nabi mempunyai do’a yang mustajab
dan setiap nabi sudah menyegerakan untuk memakainya di dunia ini, dan
saya simpan do’a mustajab saya ini sebagai syafa’at bagi umat saya di
hari kiamat. Itu pasti didapatkan Insya Allah oleh orang yang mati di
antara umatku sedang dia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun”. (HR. Muslim)
Satu-satunya orang kafir yang
mendapatkan syafa’at hanyalah Abu Thalib, itupun bukan dalam bentuk
dikeluarkan dari api neraka, tapi hanya diringankan ‘adzabnya saja, dari
yang asalnya neraka yang paling dasar diganti dengan sandal dari api
neraka yang mana bila dipakai, maka otak yang ada di kepalanya mendidih.
Sedangkan orang yang paling ringan ‘adzabnya di akhirat mengira bahwa
dirinya adalah orang yang paling berat ‘adzabnya.
Demikianlah di antara sekian banyak
konsekuensi-konsekuensi yang diberlakukan kepada orang yang sudah
divonis murtad. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang menghantarkan
kepada kemurtaddan, aamiin…
Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para shahabat dan para
pengikutnya sampai hari kiamat.[1]
Alhamdulillaahirrabbil
’Aalamiin…
[1]
Disadur dari Seri Taushiyyah Materi Tauhid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar