PRO- T- IN ISLAM

KOMUNITAS PARA PEMBELA TAUHID

Kamis, 11 Oktober 2012

Hukum Menjadikan Undang-Undang Buatan Manusia Yang Bertentangan Dengan Islam Sebagai Rujukan[1]
Berhukum dengan undang-undang yang bertentangan dengan Islam adalah kufur secara mutlak tanpa melihat isi hatinya bila syari’at Islam digantikan, namun bila syari’at Islam masih dijadikan rujukan hukum akan tetapi dalam masalah tertentu si hakim menyeleweng dan menggunakan hukum non Islam, maka ini bisa kafir, bisa fasiq, dan bisa dhalim tergantung i’tiqad, berikut rinciannya:
Allah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)
“Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” (Al Maidah: 44)

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ وَيَتَخَيَّرُوْا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ إِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأْ سَهُمْ بَيْنَهُمْ   ( حَدِيث حسن رواه ابن ماجه )
“Dan selagi pemipin mereka tidak memutuskan perkara dengan kitab suci Al Qur’an, dan mereka memilih-milih hukum yang diturunkan Allah, niscaya Allah akan menjadikan kehancuran mereka pada diri mereka” (Hadits hasan riwayat Ibnu Majaah)
Ketahuilah, sesungguhnya berhukum dengan hukum selain Allah ‘Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam itu ada banyak macamnya, camkanlah apa yang telah ditulis oleh Al Imam Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh rahimahullah dalam kitabnya Tahkimul Qawanin, beliau berkata: “Sesungguhnya hakim yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah itu adalah kafir, baik kekufuran i’tiqad yang mengeluarkan dari agama (Islam), ataupun kekufuran amal yang tidak mengeluarkan dari agama.
Adapun yang pertama yaitu kekufuran i’tiqad, maka ini banyak macamnya:
  • Si hakim yang berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu mengingkari keberhakkan/kebenaran hukum Allah dan Rasul-nya.
  • Si hakim yang berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu tidak mengingkari bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu adalah haq, namun dia meyakini bahwa hukum selain Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam lebih baik, lebih sempurna, dan lebih mencakup dari hukum beliau.
  • Dia tidak meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukum Allah dan Rasul-Nya, namun dia meyakini bahwa hukum itu sama dengan dengan hukum-Nya.
  • Dia tidak meyakini keberadaan hukum si hakim yang menghukumi dengan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu sama dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, apalagi kalau sampai ia meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukumnya, namun ia meyakini meyakini bolehnya berhukum dengan hukum yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya.
  • Dan yang paling besar dan paling dahsyat serta paling nampak pembangan-pembangkangannya terhadap syari’at, paling nampak penolakannya terhadap hukum-hukum syari’at, dan paling nampak penentangannya terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan paling nyata penyerupaannya terhadap mahkamah-mahkamah syari’at, dari sisi persiapan, pengayaan, irsyad, ta’shil, tafri’, tasykil, tanwi’, penetapan hukum, keharusan (iltizam), dan referensi-referensi serta sandaran. Sebagaimana mahkamah-mahkamah syar’iyyah memiliki referensi-referensi yang menjadi sandaran, yaitu rujukan seuanya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka mahkamah-mahkamah ini juga memiliki referensi/rujukan, yaitu undang-undang (qanun) yang diambil dari berbagai macam syari’at dan undang-undang yang banyak jumlahnya, seperti undang-undang Prancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris, dan undang-undang lainnya, serta dari aliran-aliran berbagai ahlul bid’ah yang menisbatkan diri kepada syari’at ini dan yang lainnya.
  • Apa yang dijadikan hukum oleh para pemimpin suku dan kabilah di kawasan pedalaman dan yang lainnya berupa dongeng-dongeng leluhur dan nenek moyang mereka yang mereka namakan hukum adat (atau nama apa saja) yang diwariskan secara turun-temurun mereka memutuskan hukum dengannya, dan mendorong orang untuk berhukum kepadanya disaat ada persengketaan, karena merasa betah dengan hukum-hukum jahiliyyah, dan berpaling serta enggan terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya, falaa haula walaa quwwata illaa billaah.
Adapun bagian kedua, dari dua macam kekufuran hakim yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, yaitu yang tidak mengeluarkan dari agama adalah: Telah lalu bahwa penafsiran Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma terhadap firman Allah ‘Azza Wa Jalla “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” mencakup bagian itu, yaitu perkataan beliau radliyallahu ‘anhuma: “kufrun duna kufrin” dan perkataannya, kufur yang dimaksud itu bukan yang kalian yakini”. Yaitu syahwat dan hawa nafsunya mendorong dia untuk menghukumi dalam satu permasalahan bukan dengan hukum yang diturunkan Allah, dengan disertai keyakinannya bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu adalah yang haq, dan pengakuannya atas dirinya dengan kesalahan serta menyalahi petunjuk.
Ini meskipun tidak mengeluarkan dia dari agama Islam, namun sesungguhnya itu merupakan maksiat yang paling dahsyat dan lebih besar dari dosa-dosa besar, seperti zina, minum khamr, mencuri, sumpah palsu, dan yang lainnya, karena maksiat yang Allah namai dengan kekufuran lebih besar dari maksiat yang tidak dinamai dengan kekufuran.[2]
Anda bisa melihat beliau rahimahullah menjelaskan dalam empat macam pertama status yang berhubungan dengan zuhud (pengingkaran) si hakim yang berhukum dengan bukan hukum Allah atas kebenaran (al haqqiyyah) hukum Allah dan Rasul-Nya, pengunggulan bukan hukum Allah atas hukum Allah, pensejajaran hukum-Nya dengan yang lainnya, dan pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, namun tatkala beliau menuturkan nomor ke lima, beliau tidak menyebutkan quyud (batasan-batasan) tadi, karena yang ke lima itu sudah berupa undang-undang yang disusun sedemikian rupa, berbeda dengan empat macam sebelumnya yang dimana si hakim itu hanya berhukum kepada selain hukum Allah dalam permasalahan tertentu saja sedangkan hukum Allah tetap sebagai rujukan dan hukum yang tetap berlaku, maka penghukuman sebagai orang kafir yang murtad dari Islam itu harus diperhatikan batasan-batasan empat di atas, namun bila dalam masalah ini tidak terdapat salah satu batasan yang empat itu, maka statusnya tergolong pada kufrun duna kufrin. Adapun bila menjadikan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu sebagai qawanin (undang-undang), maka kekafiran/kemurtaddannya itu tidak perlu adanya keyakinan-keyakinan empat di atas.
Syaikh Muhammad berkata lagi: Dan adapun yang dikatakan padanya kufrun duna kufrin, adalah bila dia berhukum kepada selain Allah dengan masih ada keyakinan bahwa dia itu berbuat maksiat dan bahwasanya hukum Allah itulah satu-satunya yang haq, terus perbuatan (berhukum) ini hanyalah yang terjadi darinya sekali-dua kali saja, adapaun orang-orang yang membuat undang-undang dengan rapi dan tersusun dengan sedemikian rupa, maka dia itu kafir (murtad) meskipun mereka mengatakan “kami ini salah dan hukum Allah itu yang paling adil”.[3]
Beliau berkata lagi: Seandainya orang yang menjadikan undang-undang sebagai hukum berkata: “saya meyakini bahwa undang-undang ini bathil” maka (ucapan ini) tidak ada pengaruhnya, bahkan perbuatannya itu merupakan penyingkiran akan syari’at, sama halnya seandainya seseorang berkata: “saya menyembah berhala dan dia meyakini bahwa itu bathil”.[4]
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin berkata: “Status berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah terbagi dua macam:
I. Hukum Allah dibatalkan/digeser, agar tempatnya diganti dengan hukum lain yang thaghuti, yaitu berhukum dengan syari’at di antara manusia di hapus/diralat dan digantikan dengan hukum lain buatan manusia, seperti orang-orang yang menyingkirkan hukum-hukum syari’at dalam muamalah antara manusia dan manggantikannya dengan undang-undang buatan manusia, maka hal ini tidak diragukan lagi adalah istibdal (penukaran/penggantian) syari’at Allah ‘Azza Wa Jalla dengan yang lainnya, dan ini merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama (Islam), karena orang ini memposisikan dirinya pada kedudukan Sang Pencipta, dia mensyari’atkan hukum yang tidak diizinkan Allah ‘Azza Wa Jalla di antara hamba-hamba Allah, bahkan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah ‘Azza Wa Jalla, serta dia menjadikannya sebagai hukum pemutus urusan di antara manusia, sedangkan Allah ‘Azza Wa Jalla telah menamakannya sebagai sekutu di dalam firman-Nya:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?(Asy syuraa: 21)
II. Hukum-hukum Allah ‘Azza Wa Jalla tetap dijalankan seperti biasanya, dan tetap sebagai pemutus dan sebagai rujukan/acuan, namun ada satu hakim dari hakim-hakim yang ada kemudian dia menetapkan hukum dengan sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan hukum-hukum itu, yaitu dengan dia berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, maka baginya ada tiga keadaan:
  1. Menghukumi dengan apa yang menyelisihi syari’at Allah dengan berkeyakinan bahwa hukum (yang ia tetapkan) itu lebih utama dari hukum Allah dan lebih bermanfaat bagi hamba-hamba Allah, atau meyakini bahwa hukum itu sejajar dengan hukum Allah ‘Azza Wa Jalla, atau meyakini bahwa dia boleh berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka ini adalah kekufuran yang dengannya si hakim keluar dari agama (Islam) karena dia tidak ridla dengan hukum Allah ‘Azza Wa Jalla, dan dia tidak menjadikan Allah sebagai pemutus hukum di antara hamba-hamba-Nya
  2. Berhukum dengan apa yang tidak diturunkan Allah dengan berkeyakinan bahwa hukum Allah adalah yang paling utama dan paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, namun dia keluar dari ketentuan hukum itu, sedang dia merasa bahwa dia itu beraksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, dia hanya menginginkan berbuat aniaya dan dhalim kepada si terhukum, karena sebab ada permusuhan di antara dia dengannya, maka dia berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan Allah bukan karena benci terhadap hukum Allah dan tidak pula istibdal tidak juga meyakini bahwa hukum yang dia tetapkan itu lebih utama dari hukum Allah atau sejajar dengannya atau (tidak pula) meyakini bahwa boleh memutuskan dengannya namun karena dia ingin merugikan si terhukum maka ia menetapkan dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Pada keadaan seperti ini kita tidak mengatakan bahwa si hakim itu kafir, namun kita katakan sesungguhnya dia itu dhalim, aniaya dan lalim.
  3. Berhukum dengan apa yang tidak diturunkan Allah sedang dia meyakini bahwa hukum adalah yang paling utama dan paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya dan meyakini pula bahwa dia dengan penetapan hukumnya ini dia bermaksiat kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, namun dia memutuskan karena mengikuti hawa nafsunya, untuk kemashlahatan bagi dia atau si pengadu, maka perbuatan ini adalah kefasikan dan keluar dari ketaatan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla dan terhadap tiga status inilah firman Allah dalam tiga ayat itu ditafsirkan. Firman-nya: “Barangsiapa  tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir” buat status yang pertama. Firman-Nya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim” buat status yang kedua. Firman-nya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang fasik” buat status yang ketiga.[5]
Perhatikanlah! tentu anda bisa melihat bahwa bagian pertama yang Syaikh Al Utsaimin sebutkan sama dengan bagian kelima dan bahkan yang keenam juga yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim. Adapun bagian yang kedua poin pertama yang  Syaikh Al utsaimin sebutkan adalah sama dengan empat poin pertama yang Syaikh Muhammad sebutkan, dan adapun bagian kedua poin kedua dan ketiga dari yang Syaikh Al Utsaimin sebutkan adalah sama dengan bagian kedua dari macam kufur yang Syaikh Muhammad sebutkan di akhir, yaitu kufrun duna kufrin.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata: Dan seperti ini dan lebih buruk darinya (dari hukum yang dibuat oleh Jenggis Khan yang sudah divonis kafir orang yang melakukannya, pent[6]): orang yang menjadikan perkataan orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum dalam masalah darah (pembunuhan dan sejenisnya, pent) kemaluan (perzinahan, perkosaan dan sejenisnya, pent) dan harta, dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir murtad bila terus bersikeras di atasnya dan tidak kembali mau berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan tidak bermanfaat baginya nama apapun yang dengannya dia menamai dirinya dan (tidak bermanfaat juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dzahir, baik shalat, saum, haji dan yang lainnya.[7]
Maka dalam masalah ini hendaklah kita hati-hati, janganlah terseret pemikiran yang bertolak belakang, antara Khawarij yang merupakan anjing-anjing neraka Jahannam dan pemikiran Murji’ah dahulu ataupun Neo Murji’ah yang berpakaian lebih menarik pada masa kini yang berlabelkan nama yang indah dan berbaju dengan baju yang menawan yang dhahirnya mencela pemikiran Murji’ah namun bathinnya sama dengan mereka dan berbeda dengan Ahlussunnah. Semua mengaku Ahlussunnah, siapakah yang sebenarnya…?? semua mengklaim pengikut salaf, namun siapa yang sebenarnya…?? Nas’alullahasaalama.
Diambil dari artikel:
Ar Rasaail Al Mufidah (Kumpulan Risalah Berfaidah) - Ust. Aman Abdurrahman
[1]
Kumpulan risalah/tulisan ini adalah di antara sekian risalah/tulisan yang saya susun saat saya dahulu masih berada di barisan salafi maz’um, tapi karena isinya bermanfaat maka saya izinkan untuk disebarkan sekarang, walaupun ada nukilan dari sebagian syaikh yang saya anggap menyimpang dalam permasalahan sikap terhadap pemerintah murtad dan permasalahan manhaj lainnya, namun para ulama rujukan Tauhid dan Jihad tidak mengkafirkan mereka itu, dan mereka juga kadang mengambil ucapan para syaikh itu dalam permasalahan fiqh, dan di sinipun saya tetap mencantumkan fatwa-fatwa mereka. Saya katakan hal ini agar para ikhwan tauhid tidak bingung.
[2]  Tahkimul Qawanin: 13-21
[3] Al Fatawa: 12/280, 6/189, dinukil dari Raf’ulla’imah
[4] Al fatawa: 6/189, dinukil dari Raf’ulla’imah
[5] Fikhul Ibadat: 60-61 dan Al Qaul Al Mufid: 2/159-162
[6] Lihat Fathul Madjid: 373
[7] Lihat Fathul Madjid: 373, catatan kakinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar